• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat A Evolusi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Setempat d

DAFTAR LAMPIRAN

SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;

III. METODE PENELITIAN

5.2 Analisis Kebijakan Kehutanan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria, Tata Ruang, Dan Otonomi Daerah Terkait Dengan

5.2.2 Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat A Evolusi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Setempat d

Dalam Desain Kebijakan Kehutanan Nasional 5 Tahun Menjelang Otda (1995-2000)

Dalam semangat desentralisasi dan otonomi daerah, prinsip-prinsip demokrasi, keterbukaan, dan keinginan politis untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik (good governance) menjadi landasan Pemerintah dalam melakukan reformulasi kebijakan pengelolaan kehutanan. Hal tersebut diwujudkan dengan terjadinya perubahan paradigma pembangunan kehutanan yaitu: (1) Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan; (2) Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan penekanan pada pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro; dan (3) Memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal (Hutabarat, 2001). Selain itu, pemerintah amat menyadari bahwa pengelolaan hutan yang berkesinambungan (sustainable forest management) tidak akan tercapai dengan baik tanpa partisipasi masyarakat setempat dalam segala aspek pengelolaan hutan. Perubahan paradigma secara konkrit dituangkan ke dalam berbagai

produk kebijakan dan peraturan yang secara evolutif mengatur desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat 1/.

Perubahan paradigma pembangunan kehutanan nasional menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang bertumpu pada masyarakat desa telah mendorong Pemerintah mengembangkan kebijakan hutan kemasyarakatan sejak awal dekade 90-an. Selama lima tahun terakhir menjelang tahun 2000, konsep dan kebijakan hutan kemasyarakatan (HKm) telah mengalami reformulasi dari

model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan (1995), kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi (1998), lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat (1999) dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya (2000).

Kebijakan HKm pada Tahun 1995. Legitimasi kebijakan HKm pada tahun tersebut diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.622 Kpts-II/95 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan (HKm). HKm didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Tujuan kebijakan HKm yaitu untuk: (1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan; (2) meningkatkan mutu dan produktivitas hutan sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya; dan (3) Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Definisi masyarakat yang dilibatkan di dalam kebijakan tersebut adalah orang yang sumber kehidupannya dari hutan atau kawasan hutan yang secara sukarela berperan aktif dalam kegiatan HKm. Peserta adalah mereka yang ditunjuk oleh Dinas Kehutanan Dati I. Mereka dapat secara individual, kelompok, atau koperasi.

1

Desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab fungsi publik dari Pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah (Propinsi dan/atau Kabupaten/kota) atau organisasi pemerintah semi independen atau sektor swasta (Word Bank Institute, 1999). Hutabarat (2001) menyatakan bahwa tipe desentralisasi yang paling luas adalah devolusi, yaitu tipe desentralisasi yang dicirikan oleh pelimpahan wewenang secara otonom. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh Pemerintah kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota seperti adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan dan peraturan pengelolaan kehutanan.

Partisipasi masyarakat dalam kegiatan HKm mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan, pengolahan, dan pemasaran. Jenis pohon dan tanaman yang ditanam adalah jenis pohon/tanaman serbaguna yang dapat menghasilkan buah-buahan, getah- getahan, dan sebagainya yang bermanfaat bagi peserta. Luas maksimum areal hutan yang diijinkan untuk dikelola adalah 4 hektar per orang atau dikalikan jumlah anggota bagi kelompok atau koperasi pengelola. Peserta hanya diijinkan mengambil hasil hutan bukan kayu (HH-BK). Seluruh hasil non-kayu yang diangkut keluar dari areal hutan tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang menyertai pengangkutan dan masing-masing peserta wajib membayar iuran hasil hutan bukan kayu (IHH-BK) sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Di tingkat lapang, pelaksanaan kebijakan tersebut menghadapi dilema terutama berkaitan dengan hasil hutan yang boleh diangkut oleh masyarakat. Peraturan untuk menanam jenis pohon multi purposes tree species (MPTS) menyulitkan para petani kawasan yang pola pertaniannya amat beragam sesuai dengan kebutuhan subsisten (termasuk kayu rakyat) dan/atau pasar lokal. Terminologi “penunjukan” yang dipergunakan oleh Pemerintah dalam menetapkan siapa peserta HKm yang memenuhi syarat, menunjukkan subjektivitas dan hegemoni kepentingan Pemerintah dalam mengelola hutan tertimbang mengedepankan kebutuhan masyarakat lokal.

Kebijakan HKm pada Tahun 1998. Perubahan pradigma kebijakan HKm terjadi pada tahun 1998 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Definisi HKm adalah hutan negara yang dicadangkan atau

ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau disekitar hutan dengan ciri komunitas.

Beberapa perubahan mendasar dalam SK yang dikeluarkan pada tahun 1998 dibandingkan dengan SK sebelumnya. Namun demikian, implementasinya masih menemui berbagai kendala. Perubahan pada SK tahun 1998 dan kendala yang dihadapi tersebut diantaranya yaitu:

• Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok dalam bentuk koperasi dan bukan perorangan. Keharusan dalam bentuk koperasi, pada beberapa kasus

mengakibatkan praktik birokratisme dan praktik KKN dalam perijinan pendirian koperasi.

• Masyarakat melalui koperasinya mengusulkan permohonan untuk mendapat hak pengusahaan atas kawasan hutan yang disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm). Model ini mendapat kritik dari pemerhati kehutanan terutama kalangan LSM yang menyatakan bahwa HKm adalah bentuk HPH baru berkamuflase atas nama masyarakat. Model ditengarai dapat semakin mempercepat kerusakan hutan. Apalagi di dalam SK tersebut pengusahaan hutan didefinisikan sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian fungsi dan azas perusahaan.

• Kepala Kantor Wilayah menetapkan kelayakan permohonan tersebut, tidak seperti SK sebelumnya yaitu pemerintah (Dinas Kehutanan Dati I) menunjuk

kelompok pengelola. Artinya, terjadi penarikan (sentralisasi) kemenangan kembali ke pusat, semula kewenangan berada di daerah (Dinas Kehutanan Dati I) kini menjadi Kanwil Kehutanan.

• Tidak ada batasan maksimum areal pengelolaan seluas 4 hektar per orang.

• Kontrak pengelolaan HKm memiliki tenggang waktu selama maksimum 35 tahun.

• Definisi HKm sebagai hutan negara yang “dicadangkan” dan “ditetapkan” oleh Pemerintah untuk dikelola masyarakat telah mendorong aparat kehutanan di daerah untuk melakukan “modifikasi” zona pengelolaan hutan dan berlomba mencadangkan areal hutan untuk HKm, contohnya di Propinsi Lampung (Lampiran 1). Hal ini terjadi diduga karena program HKm dipandangan memiliki peluang untuk “dijadikan proyek HKm”.

Kebijakan HKm pada tahun 1999. Model HKm tahun 1998 banyak mendapat kritik dari para pemerhati kehutanan terutama dari kalangan perguruan tinggi dan LSM. Kritik terutama ditujukan pada hal-hal sebagai berikut:

• Persyaratan memperoleh hak pengelolaan yang demikian rumit menyulitkan masyarakat calon pengelola dan berkonsekuensi biaya tinggi. Misalnya pemetaan hamparan, proposal yang “layak”, dll.

• Azas perusahaan mendapat kritik yang amat keras karena azas tersebut justru menutup peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola.

Atas beberapa kritik tersebut, pata tahun 1999 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.865/Kpts-II/1999 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Di dalam SK yang baru tersebut, terdapat beberapa kemajuan, namun juga terdapat beberapa kemunduran yang fundamental. Beberapa kemajuan tersebut diantaranya:

• Penghapusan azas perusahaan sebagai salah satu azas pengelolaan HKm, yang selanjutnya pengelolaannya berdasarkan azas kelestarian.

• Pengubahan istilah dari “pengusahaan” menjadi “pemanfaatan” hutan kemasyarakatan.

• Rencana pemanfaatan tidak hanya dinilai oleh Pemerintah, tetapi juga dinilai oleh lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum. Hal ini amat konstruktif terutama dalam mengurangi hegemoni dan subjektifitas Pemerintah.

• Masyarakat menentukan sistem dan kelembagaan, sementara Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan pemantau. Dengan demikian, tidak ada keharusan bagi masyarakat untuk berkelompok dalam bentuk lembaga koperasi, bagi Pemerintah yang terpenting kelompok tersebut eksis, akuntabel, dan memiliki ikatan komunitas yang layak sebagai sebuah kelompok pengelola.

• Hak dan kewajiban ditentukan Pemerintah bersama masyarakat; hal ini berbeda dengan SK-SK sebelumnya yaitu Pemerintah menetapkan hak dan kewajiban masyarakat pengelola secara sepihak tanpa mengindahkan konteks lokal.

Satu kemunduran kebijakan HKm di dalam SK No.865 adalah pengubahan istilah “Hak” Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan menjadi “Ijin” Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa kalangan menganggap penggunaan kata “ijin” mengaburkan “konsep negara” dalam definisi hutan negara. Dengan meminjam definisi negara merupakan kesatuan antara teritorial/wilayah-rakyat/masyarakat-Pemerintah, maka hutan negara haruslah memiliki pengertian fundamental bahwa masyarakat memiliki hak terhadap hutan. Penggunaan kata “ijin” merupakan indikasi sisa-sisa hegemoni Pemerintah yang masih dipertahankan di dalam pengelolaan HKm, demikian pandangan yang berkembang saat itu.

Kebijakan HKm pada tahun 2001. Terjadinya reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih ke arah desentralisasi telah melahirkan undang-undang otonomi daerah yaitu UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut harus diikuti dengan perubahan UU dan peraturan pengelenggaraan pemerintahan termasuk sektor-sektor pembangunan yang diantaranya adalah sektor kehutanan. Dalam rangka memenuhi semangat otonomi daerah tersebut, dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting diantaranya adalah:

• HKm adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.

• HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.

• Desentralisasi pengelolaan HKm, yang semula perijinan menjadi kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri.

• Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non- kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.

• Dibentuknya Forum Pemerhati Kehutanan dan terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi profesi kehutanan, tokoh masyarakat, pemerhati kehutanan, serta Forum Hutan Kemasyarakatan.

• Format Rencana Pengelolaan HKm yang diusulkan oleh masyarakat lebih sederhana dari peraturan sebelumnya.

Terlepas dari berbagai kemajuan, terutama apakah hasil hutan kayu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, SK No.31/Kpts-II/2001 masih menyimpan kelemahan bahkan bagi sebagian kalangan semakin mengaburkan kapastian

hukum masyarakat pengelola HKm. Indikasi tersebut ditemukan dengan pengubahan istilah “Ijin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan” menjadi “Ijin Kegiatan Hutan Kemasyarakatan”.

Perkembangan terakhir, legitimasi SK No.31/Kpts-II/2001 dipertanyakan oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.III/MPR/2001 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Menyadari hal tersebut, kemudian Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) mempersiapkan reformulasi naskah hukum HKm minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang hingga saat tersebut “belum selesai”. Tabel 5.2.1. Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya

hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional. No

.

Isu