• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN LUAS PANEN

Agus Hermawan

DINAMIKA PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN LUAS PANEN

empat prinsip: Terpadu, Sinergis, Spesifik lokasi,

Partisipatif Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL PTT)

2009 Sama dengan PTT Percepatan proses alih teknologi dilakukan di tingkat Kelompok tani. Poktan belajar

bersama-sama di lahan (Laboratorium Lapangan/LL) dan menerapkannya di lahan masing-masing. Proses pembelajaran menggunakan

metode Sekolah Lapang Upaya Khusus

Padi, Jagung, Kedelai (UPSUS

Pajale)

2015- Sama dengan PTT + SRI, bantuan benih, pengendalian OPT, Pupuk, Alsintan,

Irigasi

Asuransi Pertanian, Koordinasi dan pelibatan

pemangku kepentingan dalam

pengawalan/pendampingan program. Pendampingan dilaksanakan oleh peneliti,

penyuluh, Perguruan Tinggi, dan TNI AD Sumber : Wahyuni dan Indraningsih (2003); Ariani et al. (2014)

Maulana (2004) yang melakukan analisis produktivitas total faktor produksi luas panen, produktivitas, dan produksi padi sawah tahun 1980-2001 menggunakan indeks Tornqvist-Theil, menyatakan bahwa indeks pertanaman (IP) merupakan sumber pertumbuhan penting pada tingkat nasional. Swastika et al. (2007) juga menyatakan bahwa peningkatan produksi padi nasional masih dapat dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman baik di lahan sawah irigasi maupun di sawah tadah hujan.

DINAMIKA PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN LUAS PANEN

Analisis terhadap perkembangan luas panen, produktivitas, produksi, dan ketersediaan padi Indonesia menggunakan data deret waktu (FAOSTAT:

http://www.fao.org/faostat/ en/#data

; BPS:

https://www.bps.go.id/

) menunjukkan bahwa program peningkatan produksi padi yang digulirkan pemerintah cukup signifikan meningkatkan luas areal panen, produktivitas, produksi, dan ketersediaan padi.

Analisis korelasi antara program dengan keempat variabel (luas areal panen, produktivitas, produksi, dan ketersediaan bagi masyarakat) sangat nyata. Interpretasi dari hasil analisis korelasi ini adalah bahwa program dan perbaikan teknologi yang menyertai program peningkatan produksi padi secara signifikan meningkatkan capaian nilai keempat variabel. Analisis korelasi antara produksi dengan luas areal panen, produktivitas, dan ketersediaan padi juga sangat nyata. Artinya produksi padi berkait sangat erat dengan luas areal panen produktivitas. Capaian produksi juga sangat menentukan ketersediaan padi per kapita.

Sejalan dengan Sumarno (2012), telah terjadi pelandaian produktivitas dan ketersediaan padi bagi masyarakat terjadi paska pencapaian swasembada beras/padi tahun 1984. Walaupun luas areal panen dan produksi padi meningkat pada kurun 1987-2006,

|59

secara statistika ketersediaan padi per kapita tidak nyata karena adanya pertambahan jumlah penduduk.

Tabel 2. Perkembangan luas panen, produktivitas, produksi, dan ketersediaan padi berdasarkan program

Program Tahun Area panen

(ha)

Provitas (ku/ha)

Produksi (ton) Ketersediaan

(Kg/org/tahun) Padi sentra 1961-1964 6962750 a 17.58 a 12250000 a 130.68 a Bimas 1965-1967 7511333 b 17.68 a 13300000 a 129.05 a Inmas 1968-1969 8017195 bc 21.94 b 17600000 b 159.53 b Bimas yang disempurnakan 1970-1978 8422540 c 26.53 c 22390000 c 172.93 c Insus 1979-1986 9456022 d 37.43 d 35457143 d 223.91 d Supra Insus 1987-1994 10488942 e 42.52 e 44685714 e 246.15 e SUT Padi 1995-1996 11233333 f 43.70 ef 49133333 f 249.40 e INBIS/Gema Palagung/CF 1997-2000 11620000 g 43.34 ef 50380000 Fg 241.49 e P3T 2001-2006 11700000 g 45.48 f 53280000 G 238.60 e P2BN (PTT) 2007-2010 12760000 h 49.19 g 62840000 H 263.30 f SL PTT 2011-2014 13666667 i 51.41 gh 70415488 i 280.26 g UPSUS Pajale 2015- 14550000 j 53.03 h 77250000 j 299.80 h Rata-rata 10258206 37.03 40261544 217.04 Korelasi dengan: - program 0.979 ** 0.941 ** 0.975 ** 0.912 ** - produksi 0.993 ** 0.974 ** 0.963 ** Keterangan :

Huruf yang berbeda pada kolom menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 5% ** : sangat nyata (α = 1%)

Program SUT padi (SUTPA) yang menggunakan pendekatan multi disiplin, ekoregional, berorientasi agribisnis, dan diversifikasi dikembangkan untuk mengatasi pelandaian produksi padi paska program Supra Insus, tidak dapat secara nyata meningkatkan produktivitas dan ketersediaan per kapita padi. Ketersediaan padi

pada kurun tersebut bahkan cenderung menurun. Hasil analisis Wahyuni dan Indraningsih (2003) terhadap dinamika berbagai program peningkatan produksi padi mulai Program Padi Sentra pada tahun 1958 hingga Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) tahun 2001-2003 menunjukkan walaupun swasembada beras memang berhasil dicapai pada tahun 1984, selanjutnya terjadi stagnasi dan ketidakstabilan produksi. Hal ini menunjukkan intensifikasi telah menyebabkan technology fatique.

Untuk mengatasi pelandaian produksi pasca swasembada beras, digulirkan program Supra Insus. Program ini dilaporkan telah meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Misalnya analisis Rachmat et al. (1989) terhadap pelaksanaan program Supra Insus padi pada awal pelaksanaan di Kabupaten Nganjuk menunjukkan produktivitas padi bersih (setelah dipotong bawon) meningkat sebanyak 7,46 kuintal dibandingkan non Supra Insus. Berdasarkan koefisien B/C rasio sebagai pengukur nilai tambah, nilai B/C Supra Insus juga lebih tinggi dibanding non Supra Insus yaitu masing-masing 2,11 dan 2,09 atas biaya tunai dan 1,58 dan 1,29 atas biaya total. Supra Insus ini dilaporkan Rachmat et al. (1989) telah menekan kecenderungan petani untuk menggunakan pupuk berlebihan menuju pemakaian yang lebih berimbang.

Hasil analisis Suryana et al. (2009) pada periode 1990-2006 laju pertumbuhan produksi beras Indonesia hanya 1,36% per tahun, lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan produksi beras dunia yang mencapai 1,49%. Sebagai perbandingan laju pertumbuhan produksi beras di Vietnam, Myanmar, Thailand, dan Brazil masing-masing mencapai 5,76%, 5,36%, 4,68%, dan 3,67%. Secara umum peningkatan produksi beras dunia, lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas (1,10% per tahun) dibandingkan luas panen (0,36% per tahun). Oleh karenanya Suryana et al. (2009) menekankan peran penting pengembangan dan perbaikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas sebagai sarana meningkatkan produksi beras dunia ke depan.

|61

Menurut Wahyuni dan Indraningsih (2003), program-program selanjutnya merupakan penyempurnaan program SUTPA yang intinya membuat program yang berorientasi holistik dan jangka panjang. Program-program tersebut khususnya adalah Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), dan Program Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai (UPSUS Pajale). Ketiga program ini mengangkat Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) sebagai basis teknologi.

Hasil penelitian Rohela (2008) yang menganalisis dampak P2BN terhadap pendapatan petanidi Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat menunjukkan Program P2BN berdampak positif pada penurunan biaya saprodi, meningkatkan produksi (naik dari rata-rata 4.683 kg per hektar menjadi 5.757 kg per hektar), nilai R/C petani program (4,26) lebih tinggi dibandingkan petani non program (3,11), meningkatkan kualitas dan harga jual gabah (dari rata-rata Rp 2.137 per kg menjadi Rp 2.300 per kg), dan meningkatkan pendapatan petani padi (naik dari rata-rata sebesar Rp 4.672.986 per ha menjadi Rp 8.498.276 per ha). Lebih lanjut, kajian Friyatno dan Agustian (2014) terhadap perkembangan produksi padi/beras sebagai dampak dari Program P2BN dalam kurun waktu 2008-2012 di Jawa Barat menunjukkan bahwa luas panen dan produksi padi per tahunnya meningkat sebesar 1,22% dan 2,35%, sementara produktivitasnya meningkat sebesar 1,13%.

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi dikembangkan sebagai metode alih teknologi kepada petani sebagai pembelajaran PTT guna mendukung program peningkatan produksi dan swasembada beras (Nurasa dan Supriadi, 2012). Nurasa dan Supriadi (2012) memandang bahwa konsep program SL-PTT cukup bagus, karena mampu meningkatkan dinamika kelompok tani dan kinerja penyuluhan/pendamingan serta

meningkatkan produktivitas padi sehingga Indonesia berpeluang untuk mencapai kondisi swasembada pangan.

Sebagaimana program sebelumnya, program UPSUS Pajale juga ditujukan untuk meningkatkan produksi. UPSUS Pajale terdiri dari sejumlah kegiatan perluasan areal tanam dan panen melalui Pengembangan Jaringan Irigasi, Optimasi Lahan, dan Perluasan Areal Tanam. Serangkaian kegiatan UPSUS Pajale juga ditujukan untuk meningkatkan produktivitas melalui kegiatan Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), System of Rice

Intensification (SRI), penyaluran bantuan benih/bibit, Pengendalian

OPT dan Dampak Perubahan Iklim, dan Bantuan Alat dan Mesin Pertanian. Pemerintah juga membantu petani dengan memberikan bantuan/subsidi Sarana Produksi Pupuk dan Asuransi Pertanian sebagai antisipasi kegagalan panen. Selain itu dalam UPSUS Pajale, secara intens Kementerian Pertanian menggandeng dan melibatkan secara aktif para Babinsa di lingkungan TNI AD serta para dosen dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi untuk bersama-sama dengan penyuluh, peneliti, dan jajaran struktural/staf Kementerian Pertanian melakukan pengawalan dan pendampingan.

Teknologi SRI (system of rice intensification) menjadi pilihan teknologi dalam UPSUS Pajale diduga karena adanya efisiensi penggunaan input benih, hemat air, serta mendorong penggunaan pupuk organik sehingga dapat merehabilitasi kesuburan tanah dan mengurangi ketergantungan pada pupuk anorganik (Anugrah et

al., 2008). Menurut hasil penelitian Anugrah et al. (2008), pada tahap

awal penerapan pola SRI, produktivitas memang turun hingga 30-50 persen pada musim tanam pertama dan kedua, terutama pada lokasi dengan kesuburan lahan rendah. Akan tetapi sejalan dengan pemberian kompos yang kontinyu, produktivitas lahan secara perlahan meningkat. Anugrah et al. (2008) melaporkan bahwa hasil padi dengan metode SRI rata-rata berkisar 5-7 ton per hektar yang lebih tinggi dibandingkan teknologi konvensional yang mencapai 4-5 ton per hektar.

|63