• Tidak ada hasil yang ditemukan

251 TEKNOLOGI PENERAPAN DAN PENGAWALAN JAGUNG

HIBRIDA

Sebagai bagian dari upaya peningkatan kinerja produksi di kawasan jagung, telah dilaksanakan kegiatan pengawalan teknologi jagung di Jawa Tengah. Pengawalan dalam bentuk pendampingan kepada petani dipusatkan di Kabupaten Blora dan Grobogan. Pendampingan melibatkan petani kooperator yang menerapkan pendekatan Pengelolaan Tanaman dan sumberdaya Terpadu (PTT) spesisik lokasi jagung hibrida.

PTT merupakan pendekatan dalam budidaya yang mengutamakan pengelolaan tanaman, lahan, air, dan organism pengganggu tanaman (OPT) secara sinergis dan bersifat spesifik lokasi (Zubachtirodin et al., 2009). Pendampingan jagung hibrida diwujudkan dalam bentuk display varietas jagung Bima 19, Pioneer 21, NK 212 yang dilaksanakan bersama-sama dengan unsur pelayanan teknis (Dinas Pertanian) dan penyuluhan (PPL). Kegiatan display dilakukan sepenuhnya oleh petani sebagai kooperator pelaksana dengan bimbingan dan arahan teknologi dari peneliti dan penyuluh.

Varietas dan Benih Unggul

Sebagian besar petani (95%) di Kabupaten Blora dan Grobogan memilih jagung hibrida varietas Pioner, Bisi, NK dan DK. Selain produktivitas lebih tinggi, varietas ini diduga tahan terhadap penyakit bulai dan lebih tahan di lahan kering (Hoerussalam et al., 2013). Sebagian kecil petani Kabupaten Blora terkadang masih memakai benih turunan, khususnya pada saat kondisi keuangan tidak memungkinkan, walaupun disadari hasil produksi tidak setinggi benih berlabel. Kelangkaan benih di pasaran menjadi salah satu alasan petani tidak menggunakan benih dari Kementerian Pertanian.

Jumlah benih jagung hibrida yang biasa dilakukan petani adalah sebesar 15 kg/ha. Aplikasi Seed treatment dengan dimetomorf menjadi salah satu rekomendasi untuk petani jagung sebagai aplikasi dalam mengatasi penyakit bulai (Sclehrosporamaydis), karena penyakit bulai merupakan kendala utama yang dirasakan petani dalam usahatani jagung di sentra jagung saat ini (Oelviani et al., 2016). Benih dari pabrik yang telah mendapat perlakuan seed treatment dalam beberapa kasus ternyata tidak mampu mengatasi serangan pathogen jamur penyebab bulai. Untuk itu banyak petani jagung di Grobogan yang memberikan perlakuan benih ganda (double

treatment) terhadap benih jagung sebelum ditanam. Hal ini

dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan penyakit bulai yang akhir-akhir ini intensitas serangannya cenderung tinggi.

Populasi Tanaman dan Jarak Tanam

Populasi tanaman optimal akan mendukung capaian produksi yang maksimal pula. Sebagian besar petani (80%) sudah menerapkan jarak tanaman yang digunakan 75 x 40 cm (2 biji), walaupun kenyataan di lapangan terkadang jarak tanam tidak diperhatikan oleh petani. Sebagian kecil petani memodifikasi jarak tanam jagung pada kisaran 75 cm jarak antar baris dan 25 cm jarak dalam baris, tergantung kesuburan lahannya, sedangkan untuk lahan kering petani biasa menggunakan jarak tanam lebar (200-300 cm x 60 cm) untuk pola tumpangsari.

Pengaturan jarak tanam pada suatu areal tanah pertanian merupakan salah satu cara yang berpengaruh nyata terhadap capaian hasil panen (Patola, 2008). Pada tingkat tertentu semakin rapat jarak tanam, semakin banyak tanaman yang tidak berbuah. Jarak tanam mempengaruhi persaingan antar tanaman dalam mendapatkan air dan unsur hara sehingga mempengaruhi hasil (Bilman, 2001). Semakin panjang umur tanaman maka tanaman akan memerlukan tempat lebih luas (Patola, 2008).

|253

Populasi tanaman per luas lahan menentukan pembentukan lebar tajuk tanaman, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap penerimaan cahaya matahari yang berfungsi sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis. Serapan cahaya matahari oleh tajuk tanaman merupakan faktor penting pada kegiatan fotosintesis untuk menghasilkan assimilat bagi pembentukan biji jagung. Cahaya matahari yang diserap tajuk tanaman harus proposional dengan luas lahan yang dinaungi oleh tajuk tanaman (Raharjo, 2008). Pendapat ini diperkuat Reta-Sanchez (2002) yang menyatakan bahwa peningkatan penetrasi cahaya di dalam tajuk ini terjadi karena susunan dedaunan dalam tajuk menentukan serapan cahaya dibanding indek luas daun, jumlah daun, sebaran pada suatu tajuk tanaman sehingga mempengaruhi kinerja fotosintesis dan hasil tanaman.

Pemupukan

Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman yang respon terhadap pemupukan. Untuk dapat tumbuh dengan baik tanaman jagung memerlukan lingkungan tumbuh yang baik, diantaranya ketersediaan hara tanah. Pemupukan merupakan upaya untuk meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah guna menunjang pertumbuhan tanaman yang optimal (Pramono et al., 2011). Dalam prakteknya, sebagian besar petani di Kabupaten Grobogan dan Blora mememupuk jagung dalam takaran berlebihan.

Aplikasi pupuk nitrogen yang berlebihan dapat menyebabkan residu yang berasal dari zat pembawa pupuk tertinggal dalam tanah sehingga akan menurunkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian (Astiningrum, 2006). Pemakaian pupuk kimia yang terus-menerus menyebabkan ekosistem biologi tanah menjadi tidak seimbang, sehingga pemupukan untuk mencukupkan unsur hara di dalam tanah tidak tercapai (Ardiyaningsih, 2009). Potensi genetis tanaman pun tidak dapat dicapai mendekati maksimal.

Rekomendasi pemupukan pada sentra jagung dilakukan berdasarkan status hara di lokasi pendampingan kawasan jagung (Tabel 1). Status tingkat kesuburan cukup bervariasi mulai tingkat rendah sampai tinggi. Status hara N di dua kabupaten menunjukkan kadar rendah sampai tinggi, kadar P cukup tinggi dan kadar K memberikan tingkat kesuburan sedang sampai tinggi, serta kadar C rendah sampai sedang. pH tanah di tiga lokasi Kecamatan Ngaringan, Tegowanu dan Jiken, Kabupaten Blora memberikan angka netral (6-7). Kandungan C-Organik berada pada status rendah hingga sedang.

Tabel 1. Status hara dan rekomendasi pemupukan didasarkan pada status hara di lokasipendampingan kawasan jagung. MK-1 2016.

Kab. Kec. Desa

Status hara Rekomendasi dosis pupuk

N P K C-Org pH Urea Ponska BO

t/ha

Blora Jiken Genjahan R T T R 6-7 300 325 2-5

Grobogan Tegowanu Medani T T S S 6-7 200 350 2-5

Grobogan Ngaringan R T S R 6-7 325 325-350 2-5

Sumber : data primer 2016

Keterangan : R (Rendah), S (Sedang), T (Tinggi)

Jenis pupuk yang digunakan adalah Urea dan NPK Phonska, dengan takaran untuk masing-masing jenis pupuk bervariasi antara petani di Kabupaten Blora dan Grobogan. Aplikasi pupuk diberikan sebanyak tiga kali, yaitu 30% urea dan 50% Ponska diberikan sekaligus pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (hst), sedangkan pemberian 50% urea + 50% Ponska diberikan pada umur 28 hst, sisa 20% urea diberikan pada umur 40-45 hst berdasarkan bagan warna daun (BWD).

|255

Ketepatan pemberian air sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman jagung sangat berpengaruh terhadap produksi (Aqil et al., 2014). Periode pertumbuhan tanaman yang membutuhkan adanya pengairan dibagi menjadi lima fase, yaitu fase pertumbuhan awal (selama 15-25 hari), fase vegetatif (25-40 hari), fase pembungaan (15-20 hari), fase pengisian biji (35-45 hari), dan fase pematangan (10-25 hari).

Pengairan di sentra jagung bersumber dari air tanah yang dinaikkan dengan pompa air, sumur gali dan air sungai. Terdapat 1–2 titik sumur di tiap hamparan lahan. dimana petani bisa menyalurkan air menggunakan selang atau diangkut menggunakan ember. Petani terkadang mengkombinasikan kegiatan pengairan dengan pemupukan dengan cara melarutkan pupuk ke dalam air dan menyiramkannya pada pertanaman jagung. Aplikasi introduksi teknologi pada pengairan dilakukan dengan membuat saluran irigasi di lahan menggunakan traktor tangan dengan jarak 2 m memotong lahan. Saluran ini berfungsi untuk mengairi tanaman saat kekurangan air dan sebagai langkah antisipasi agar tanaman jagung tidak tergenang air akibat curah hujan yang tinggi.

Penyiapan Lahan

Pengolahan tanah untuk usahatani jagung di kabupaten Blora dan Grobogan pada lahan sawah tadah hujan/lahan kering mayoritas dilakukan dengan cara mengolah tanah pada petakan bidang olah dan membuat saluran drainase. Drainase dimaksudkan untuk distribusi air dan menghindari kemungkinan adanya genangan air di lahan. Lubang tanam di buat dengan cara di koak atau di ponjo/tugal dengan kedalaman 10 cm. Benih ditanam dengan jarak 70 cm x 40 cm sebanyak 2 biji per lubang atau 1 biji per lubang apabila jarak tanamnya 70 cm x 20 cm.

Pada praktek tanpa olah tanah (TOT), yang dilakukan oleh petani Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan, saluran drainase dibuat dengan jarak antar saluran 2,25 - 2,5 m, dengan lebar parit 30 cm. Sistem olah tanah sempurna (OTS) banyak dilakukan di lahan kering. Tanah di lahan kering umumnya padat atau bero pada musim kemarau (MK), sehingga perlu digemburkan sebelum ditanami jagung pada awal musim hujan (MH).

Gambar 1 - 4 : (1) Persiapan lahan; (2) Benih Bima 19 dengan aplikasi seed

treatment menggunakan dimetomorf; (3) aplikasi pupuk

kompos, dimetomorf dan furadan sebelum tanam ; (4) penanaman benih jagung Bima 19.

|257

Penggunaan Pupuk Organik

Pemberian bahan organik dilakukan bersamaan olah tanah dan sebagian digunakan untuk menutup biji tanaman pada saat penanaman jagung. Kebutuhan pupuk organik per hektar adalah 2-3 ton. Pupuk organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah serta menentukan hasil tanaman di lahan kering (Dewi et al., 2014; Mateus, 2014;). Beberapa sifat fisik tanah yang dapat dipengaruhi oleh pemberian pupuk kandang antara lain adalah kemantapan agregat, bobot volume, total ruang pori, plastisitas dan daya pegang air (Ari, 2007). Penambahan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan, selain menambah bahan organik juga berkontribusi terhadap ketersediaan hara N, P, dan K, serta mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik (Rachman, 2008).

Penyiangan

Penyiangan dilakukan untuk mengendalikan gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman jagung. Penyiangan dilakukan 2 kali, yaitu pada umur 7-10 hst dan 25-35 hst. Pengendalian gulma di tingkat petani kebanyakan mengkombinasikan cara pengendalian manual melalui pendangiran dan cara kimiawi berupa penyemprotan herbisida. Pada sistem TOT kadang petani tidak melakukan penyiangan secara khusus. Lahan hanya disemprot dengan herbisida, sedangkan pada sistem OTS petani melakukan penyiangan secara kimiawi pada umur 10-20 hst dengan menggunakan herbisida selektif bergantung pada jenis gulma di pertanaman. Penggunaan herbisida harus dilakukan secara bijaksana karena pemberian herbisida yang berlebihan akan merusak lingkungan. Oleh karena itu penggunaan herbisida untuk pengendalian gulma perlu dilakukan harus hati-hati dan ditekan seminimal mungkin untuk

meniadakan dampak negatifnya terhadap lingkungan (Fadhly, 2016).