Studi untuk memperoleh informasi tentang diversitas genetik pada berbagai ternak akan menjadi informasi berguna dalam mengidentifikasi sumbangan rumpun, galur dan populasi dalam pemanfaatan secara langsung bagi pembangunan sektor peternakan. Penelitian mengenai tingkat diversitas genetik baik berdasarkan analisa data dari fenotipe, protein darah dan molekular sudah cukup intensif dilakukan pada berbagai rumpun, galur dan populasi ternak lokal. Studi diversitas genetik dilakukan bertujuan antara lain untuk mengetahui tingkat perbedaan dan kesamaan genetik, introgresi gen, filogenetik serta identifikasi keunikan genetik.
a. Fenotipe
Data fenotipe atau morfologi banyak dipakai sebagai penanda dalam menentukan varian genetik antara rumpun, galur dan populasi ternak. Karakter fenotipik merupakan penciri eksternal yang dapat menunjukkan perbedaan genetik antara ternak. Banyak studi membuktikan morfometrik tubuh yang menampilkan perbedaaan berbagai dimensi tubuh, baik secara linier maupun non linier, dapat mengidentifikasi diversitas genetik yang terjadi baik didalam maupun antara rumpun dan populasi ternak. Studi berdasarkan karakteristik morfologi mengindikasikan terdapat varian genetik cukup jelas seperi ditunjukkan oleh pohon filogenetik pada sejumlah populasi rumpun sapi PO di sentra bibit di Jateng dan Jatim (Hartati et. al., 2010), sapi Aceh di DI Aceh (Abdullah, 2008), sapi Pesisir di Sumatera Barat (Sarbaini, 2004) dan sapi Katingan di Kalimantan Selatan (Utomo et. al., 2010). Studi untuk mendapatkan informasi tentang kemungkinan adanya kluster kluster tertentu dari ternak lokal berdasarkan inteprestasi hasil analisis kanonikal dari penyebaran populasi ternak di dalam dan di antara populasi yang berada pada sebaran geografis yang luas juga telah dilaporkan seperti pada kerbau rawa lokal (Anggraeni et. al. 2011), itik (Muzani et. al. 2005), ayam (Brahmantiyo et. al. 2011), kelinci (Brahmantiyo et. al. 2006), kambing (Batubara, 2011) dan domba (Sumantri et. al. 2007).
Pendekatan analisa kraniometrik (ukuran kepala) antara sapi Bali dengan banteng pada studi lain membuktikan bahwa sapi Bali memiliki kemiripan yang besar dengan tetua liarnya banteng dari Baluran di Taman Nasional Baluran Situbondo dan banteng dari Merubetiri di Taman Nasional Merubetiri Jember (Mahdi et. al., 2013). Demikian pula dapat dipakai untuk melakukan pembedaan genetik yang jelas antara sapi lokal di Sumatera Barat terhadap keturunan silangan dan tetuanya sapi eksotik (Agung et. al., 2014)
41
b. Protein Darah
Protein darah banyak yang diatur secara genetis oleh pasangan alel tanpa dominansi. Polimorfisme protein darah antara lain dapat dipakai untuk menentukan asal-usul, menyusun hubungan filogenetik baik antara spesies, rumpun dan populasi ternak. Studi filogenetik menggunakan polimorfisme protein darah (6 lokus) dengan teknik Polyacrylamid Gel Electrophoresis Thin Layer Electrophoresis (PAGE-TLE) dilakukan pada tiga rumpun domba lokal (Wonosobo, Domba Ekor Tipis/DET dan Batur) (Noviani et. al., 2013). Semua lokus yang diamati (pre-albumin/Pa, albumin/Alb, ceruloplasmin/Cp, transferrin/Tf), post-transferrin/P-tf dan amylase-I/Am-I) bersifat polimorfik (0,380-0,454) dan dua rumpun domba (DET dan Batur) teridentifikasi memiliki kerabatan genetik paling dekat.
Keragaman genetik antara tiga rumpun sapi potong sebelumnya telah diestimasi berdasarkan nilai rataan heterosigositas (Ĥ) (Namikawa et. al., 1982). Tingkat heterosigositas pada 9 lokus protein darah pada ketiga rumpun sapi potong cukup tinggi, yaitu PO (32%), Madura (37%) dan Bali (14%). Studi lain pada kerbau rawa lokal berdasarkan polimorfisme protein darah (Albumin/Alb, Transferin/Tf dan Posttransferin/Ptf) menginformasikan kerbau Benuang di Jambi masih berkerabat dengan kerbau rawa di Sumatera Barat (Azmi et. al., 2007).
c. Molekular Genetik
Studi keragaman sumber daya genetik ternak lokal menggunakan sejumlah analisa molekular juga cukup intensif dieksplorasi. Analisis DNA mitokondria (mtDNA) menjadi salah satu teknik molekular yang banyak digunakan untuk mempelajari asal-usul berbagai rumpun dan populasi ternak domestikasi (Machugh dan Bradley, 2001).
Melalui analisa D-loop DNA mitokondria (Fumihito et. al., 1996) dan sekuen hypervariable-I daerah kontrol DNA mitokondria (Niu et. al., 2006) dapat menjelaskan bahwa proses domestikasi ayam di Asia terjadi di berbagai tempat di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Untuk mengkonfirmasi hal tersebut, dilakukan studi pada ayam kampung (10 populasi) dan konfirmasi distribusinya pada clade ayam Asia (Zein et. al., 2012). Berdasarkan analisa filogenetik dari sekuen hipervariabel-I daerah kontrol DNA mitokondria diketahui ayam kampung membentuk empat haplogrup/clade dari 7 referensi clade ayam Asia, meliputi clade II, clade IIIc, clade IIId dan clade IV. Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan sebelumnya menggunakan teknik sekuen D-loop DNA mitokondria yang menjelaskan Indonesia sebagai salah satu pusat domestikasi utama ayam lokal dan berhubungan erat dengan ayam hutan merah (G. gallus gallus) (Sulandari et. al., 2008).
Pada mamalia DNA mitokondria hanya diturunkan lewat jalur induk (maternal) tanpa rekombinasi. Sekuen nukleotida dari ruas genom D-loop mtDNA mitokondria dipakai untuk mempelajari hubungan genetik pada kambing lokal (6 subpopulasi) (Batubara et. al., 2011). Analisa marka mikrosatelit (13) pada lima rumpun kambing lokal menghasilkan alel tertinggi pada lokus MAF70 (5,6 ± 2,9) dengan terendah pada lokus MAF035 (1,6 ± 0,6) serta adanya alel unik pada lokus MCM527 untuk kambing lokal (Zein et. al., 2012). Pada sapi potong lokal melalui analisa lokus mikrosatelit (10) mengidentifikasi adanya perbedaan genetik sapi
42 Katingan di Kalimantan Tengah terhadap sejumlah rumpun sapi potong lokal (Utomo et. al., 2011).
Pada sapi Bali melalui analisa mikrosatelit lokus SPS115, INRA037, MM12 dan ETH185 menunjukkan bahwa populasi sapi Bali di BPTU Bali dan VBC Barru memiliki jarak genetik yang dekat dibandingkan dengan populasi sapi Bali di BPT-HMT Serading Sumbawa (Septian et. al., 2015). Pada ternak kerbau pemeriksaan daerah cytochrome oxidase subunit I (COI) mengidentifikasi terdapat 41 situs polimorfisme dan mampu membedakan kerbau rawa kepada tiga haplotipe untuk kerbau lumpur dan satu haplotipe untuk kerbau sungai (Saputra et. al., 2013). Berbagai informasi molekular ini dapat berguna sebagai informasi untuk melakukan pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumber daya genetik ternak lokal.
Melalui analisis Neighbour Joining Joshi et. al. (2004) memperkuat pernyataan asal-usul kambing lokal masuk dalam kelompok garis keturunan (lineage) B. Lineage B adalah nenek moyang secara maternal dari haplogroup kambing di daerah Asia Timur, Afrika Selatan dan Afrika Utara, Asia Selatan, Cina, Mongolia, Malaysia, Indonesia, Pakistan dan India.
Introgresi Gen
Karakteristik genetik eksternal berupa warna dan pola bulu ayam asli (kampung/K dan wareng/W) dipakai untuk mengetahui laju introgresi gen dari rumpun ayam introduksi (Rhode Island Red, White Leghorn dan Barred Plymouth Rock) (Sartika et. al., 2008). Studi membuktikan pengaruh introduksi gen dari ayam rumpun eksotik memiliki laju berbeda, yang menjelaskan tingkat kemurnian genetik keduanya berbeda (K = 75% dan W = 16%).
Kajian pada kerbau rawa lokal di Lombok dengan penanda DNA mikrosatelit menggunakan tiga primer acak (HEL09, INRA 023 dan INRA 034) memperoleh informasi terjadi pencampuran genetik baik di dalam maupun dari luar populasi kerbau rawa di Lombok tengah disebabkan kemudahan perpindahan ternak (Sukri, 2014).
Seleksi
Seleksi sebagai program perbaikan genetik untuk memperbaiki sifat pertumbuhan sudah cukup banyak dilakukan pada sejumlah rumpun khususnya pada sapi potong lokal, baik pada balai penelitian, balai bibit pemerintah dan sentra produksi. Pada BPTU-HPT Indrapuri di Propinsi Aceh sebagai misal dalam memelihara kemurnian sekaligus meningkatkan performan pertumbuhan sapi Aceh, sudah dilakukan kegiatan seleksi untuk mengidentifikasi pejantan unggul. Seleksi berdasarkan bobot badan saat umur sapih, satu tahun dan dewasa, memberikan respon seleksi yang baik (h2 > 0,30) untuk lama pembiakan pejantan 3 tahun dan induk 6 - 8 tahun (Putra et. al., 2014).
Kegiatan seleksi ternak kambing PE pada sifat pertumbuhan dengan berdasarkan kriteria sejumlah bobot badan mulai saat lahir sampai umur satu tahun di stasiun bibit kambing PE (Kalimantan Selatan) mengestimasi sejumlah parameter genetik dengan nilai yang tinggi (h2 = 0,35-0,68; r = 0,71-0,98), sehingga disimpulkan seleksi berdasarkan bobot badan sampai umur satu tahun dapat memberikan hasil yang efektip (Hasan et. al., 2014).
43 Pada ternak unggas kejadian rontok bulu mempengaruhi produksi telur serta lamanya ternak berhenti bertelur. Perbaikan produksi telu itik dengan melihat adanya keterkaitan rontok bulu dengan produksi telur diamati pada pada itik betina genotipe AP (Alabio jantan x Peking betina) dan betina genotipe PA. Perbaikan produksi telur melalui seleksi disarankan dengan menerapkan kriteria lamanya berhenti bertelur kurang dari 60 hari (Susanti et. al., 2012).
Kelinci merupakaan ternak cukup potensial untuk dipertimbangkan sebagai penghasil daging bagi masyarakat, sehingga diperlukan bibit yang baik dan mencukupi. Perbaikan genetik dari bobot sapih dilakukan dengan seleksi pada dua rumpun kelinci (Rex dan Satin) dan persilangannya (Brahmantyo et. al., 2011). Melalui estimasi Nilai Pemuliaan dengan BLUP (best linier unbiased prediction) diperoleh respon seleksi generasi F1 cukup baik (Rex = 22,8 g atau 3,7%; Satin = 6,8 g atau 1,1% dan persilangan = 65,3 g atau 10,7%). Seleksi bobot sapih sekaligus akan menghasilkan bobot potong pada umur lebih awal disebabkan adanya korelasi genetik positif antara kedua sifat.