• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Maturasi Oosit Sapi Secara In vitro

PRODUKSI TERNAK

HASIL DAN PEMBAHASAN Maturasi Oosit Sapi Secara In vitro

Proses maturasi oosit merupakan salah satu tahap penting dalam produksi embrio in vitro. Proses maturasi oosit sapi yang dilakukan menggunakan oosit kualitas A

Tabel 1. Angka Maturasi Oosit Sapi In vitro

No Kultur Sel Kelompok

Persentase (%) Rata-rata Angka Maturasi 1 2 3 1. Tanpa Sel 60,00 (24/40) 61,54 (24/39) 66,67 (22/33) 62,33 +3,21 a

2. Sel Tuba Fallopii 70,97 (22/31) 61,47 (41/59) 68,00 (34/50) 69,00 + 1,00 a 3. Sel Ampula 66,67 (20/30) 69,23 (27/39) 68,89 (31/45) 67,67+ 1,53 a 4. Sel Isthmus 70,83 (34/48) 64,29 (27/42) 70,59 (24/34) 68,00+ 3,46 a 5. Sel Folikel 66,67 (20/30) 65,52 (38/58) 67,57 (25/37) 66,00+1,00 a

Keterangan : - Angka-angka yang sama pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berpengaruh nyata pada (P>0,05)

- Angka di dalam ( ) menunjukkan oosit.

Oosit yang digunakan adalah oosit kualitas A lalu dimaturasi dalam inkubator CO2 5% pada suhu 38,50 C selama 24 jam sehingga dapat mencapai tahap

Metafase-120 II (M-II) atau mengalami maturasi. Adapun persentase oosit yang mengalami maturasi mencapai tahap M-II disajikan pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa suplementasi berbagai kultur sel terhadap angka maturasi oosit in vitro berkisar 62,33 - 69,00%. Suplementasi berbagai kultur sel terhadap angka maturasi oosit in vitro cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa sel. Angka maturasi oosit in vitro tertinggi pada sel tuba fallopii sebesar 69 %, sedangkan yang terendah adalah perlakuan tanpa sel yaitu sebanyak 62,33%. Setelah dianalisis secara statistik, hasil penelitian dari berbagai sel kultur menunjukkan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap angka maturasi oosit in vitro.

Suplementasi berbagai kultur sel dalam medium TCM-199 tidak menunjukkan pengaruh nyata (P>0,05), namun terlihat peningkatan persentase maturasi oosit yang lebih tinggi pada suplementasi berbagai kultur sel. Hasil ini sesuai dengan pendapat Wani, (2002) yang disitasi Rahman et al., (2008), suplementasi dalam medium maturasi in vitro karena mengandung faktor pertumbuhan, hormon, dan peptida yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan oosit.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Jaswandi et al., (2007), angka maturasi in vitro yang diperoleh dari oosit sapi Peranakan Simmental yaitu 68,4%. Hal ini disebabkan karena dalam proses pematangan menggunakan oosit yang berkualitas baik. Kualitas oosit yang digunakan pada penelitian ini adalah oosit kualitas A.

Kualitas oosit sangat mempengaruhi tingkat maturasi yang dihasilkan. Oosit dengan morfologi bagus, yaitu sel kumulus berlapis-lapis, kompak, ooplasma homogen, penampilan cumulus oocyte complex’s (COC) terang dan transparan, serta adanya ZP (Gordon (2003); Rahman et al. 2008) menghasilkan lebih banyak oosit yang matang. Diketahui bahwa hubungan antara sel-sel kumulus dan oosit sangat penting, tidak hanya dalam proses maturasi oosit ke stadium metafase II tetapi juga pada maturasi sitoplasma yang diperlukan untuk perkembangan oosit setelah fertilisasi (Gustari et al. 2009). Interaksi sel kumulus dan oosit menghasilkan glikosaminoglikan, hormon steroid, nutrisi, dan faktor-faktor lain yang mendukung maturasi oosit. Pada oosit mature tampak ekspansi sel-sel kumulus yang merenggang mengelilingi oosit dan pada beberapa oosit dapat dilihat adanya polar body 1 (PB-1). Gordon (2003) melaporkan bahwa tanda oosit yang matang adalah adanya ekspansi sel-sel kumulus, germinal vesicle break down (GVBD) dan polar bodi 1 (PB-1). Ekspansi sel-sel kumulus merupakan tanda oosit mature yang paling mudah terlihat. Ekspansi sel-sel kumulus sangat penting bagi keberhasilan fertilisasi karena dapat membantu migrasi spermatozoa di antara sel-sel kumulus (Widayati et al. 2007). Ekspansi selsel kumulus bertepatan dengan terjadinya meiosis. Selsel kumulus distimulasi oleh FSH dan growth factor untuk memproduksi dan mensekresikan hyaluronik acid yang menyebabkan ekspansi. Nandi et al. (2002) waktu maksimum ekspansi sel kumulus menghasil polar bodi-1 (PB-I) yaitu selama 22-24 jam. Kondisi oosit matang dengan sel kumulus yang memperlihatkan ekspansi dan polar bodi-1 (PB-I) terlihat pada Gambar 1. Hasil penelitian Gustari et al. (2009), tingkat maturasi oosit kambing pada oosit kualitas A dapat mencapai 74,0%.

121

a b

Gambar 1 .a). Oosit Matang dengan Ekspansi Sel Kumulus dan b). Oosit yang Memiliki Polar Bodi I (PB-I)

Menurut Boediono et al. (2006) bahwa angka kematangan inti oosit lebih dipengaruhi oleh kualitas oosit yang digunakan dan kondisi mikro selama proses pematangan. Wang (2007), medium yang digunakan untuk maturasi oosit dan perkembangan embrio harus memiliki sel dalam kondisi in vivo. Medium maturasi dan pemilihan protein dan hormon untuk maturasi in vitro sangat berperan dalam keberhasilan FIV. Medium kultur dan maturasi oosit dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan piruvat dan jumlah laktat yang diproduksi, sehingga komposisi dari medium maturasi akan berguna dalam proses maturasi oosit.

Medium komersil seperti TCM-199 merupakan salah satu contoh jenis medium yang sering dipakai pada proses produksi embrio sapi (Gandi et al. 2000), kambing (Boediono et al. 2000), manusia (Roberts et al. 2002). Menurut Boediono et al. (2006), pengunaan medium TCM-199 pada proses maturasi oosit menghasilkan persentase metafase II yang lebih baik.

Pada penelitian ini menggunakan medium TCM-199 yang disuplementasi dengan serum 10%, insulin 5µg/ml dan gentamisin 50µg/ml sebesar 62,33%. Perbedaan hasil yang diperoleh dapat disebabkan oleh metode pematangan yang digunakan. Hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil yang didapatkan oleh Susilawati et al. (2000), tingkat maturasi oosit sapi pada medium TCM 199 dengan perlakuan tanpa penambahan hormon sebesar 74%. Sedangkan menurut Yulnawati (2006), penggunaan medium TCM-199 dalam medium maturasi disuplementasi FSH, progesteron, estrogen, dan LH pada maturasi oosit domba mencapai tahap M-II sebesar 73,27%. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gordon (2003), umumnya media untuk maturasi oosit secara in vitro diperkaya dengan serum atau albumin. Serum mengandung komponen esensial seperti hormon, vitamin, protein, dan faktor pertumbuhan (Van der Valk, 2004), yang tentunya bermanfaat dalam perkembangan sel. Accardo et al. (2004) mengemukakan bahwa suplemntasi hormon FSH dan LH ke dalam medium maturasi dapat meningkatkan ekspansi sel-sel kumulus dan mengatasi hambatan meiosis pada oosit babi.

Pada penelitian ini juga mengguna-kan sel kultur yang disuplementasi dalam medium TCM-199. Sel kultur yang digunakan untuk penelitian berasal dari lingkungan alamiah (in vivo) seperti sel tuba fallopii, sel ampula, sel isthmus dan sel folikel. Pada Tabel 1 terlihat bahwa angka maturasi oosit in vitro pada suplementasi berbagai kultur sel antara 66-69 %. Suplementasi kultur sel tuba fallopii, ampula dan isthmus dalam medium TCM-199 tidak berpengaruh nyata terhadap angka maturasi

122 oosit in vitro. Hasil ini sesuai dengan pendapat Bureau et al., (2000); bahwa sel kultur tuba fallopii pada babi dan kuda (Li et al.2001) tidak berpengaruh pada tingkat maturasi oosit in vitro tetapi suplementasi kultur sel tuba fallopii selama maturasi meningkatkan sitoplasmik pematangan oosit yang tidak dibuahi dan berkontribusi potensial untuk pengembangan embrio. Suplementasi kultur sel menguntungkan untuk pengembangan embrio in vitro.

Data penelitian ini menunjukkan bahwa oosit memerlukan protein dan atau asam amino untuk perkembangannya. Secara in vivo, selama masa perkembangan oosit hingga mencapai embrio akan terpaparkan pada lingkungan dengan level asam amino yang tinggi dalam oviduk dan uterus (Elhassan et al. 2001). Asam amino tertentu pada membran oosit dan embrio, berperan sebagai molekul pembawa asam amino lain melalui membran untuk memenuhi kebutuhan asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein (Van-Winkle, 2001). Secara spesifik, berbagai asam amino dibutuhkan sebagai substrat untuk sintesis nukleotida (glutamina, aspartat, glisina), GSH (asam glutamat, sisteina, glisina), glikoprotein, asam hyaluronic, dan molekul signal (arginina). Asam amino tersebut juga berperan penting dalam pengaturan pH dan osmolaritas, pengkelat logam berat (glisina) dan donor gugus metil (metionina) (Dumollarad et al. 2007; Sturmey dan Leese, 2008).

Pada medium maturasi kultur sel tuba fallopii terdapat asam piruvat yang berfungsi sebagai sumber energi yang akan membantu menginduksi GVBD dalam proses meiosis. Hafez and Hafez (2000), tuba fallopii merupakan tempat terjadinya pembuahan dan tempat awal terjadinya perkembangan embrio secara in vivo.

Kemampuan maturasi oosit secara in vitro lebih rendah daripada secara in vivo. Maturasi oosit secara in vitro dapat ditingkatkan dengan penambahan hormon gonadotropin dalam media maturasi (Choi et al., 2001). Trilaksana dan Bagus (2008) mengemukakan bahwa sel kumulus dan sel epitel tuba fallopii menghasilkan hormon steroid dan kedua sel ini dapat dipergunakan sebagai ko-kultur dalam media biakan embrio dalam teknik FIV. Menurut Ciptadi et al.(2011), penambahan hormon FSH + LH dan PMSG + hCG untuk maturasi in vitro pada medium mSOF tidak berpengaruh nyata. Ditambahkan Shirazi et al. (2007), sel kumulus dalam maturasi in vitro berpengaruh terhadap produksi hormon steroid dalam maturasi oosit in vitro. Selanjutnya Zhang et al. (2010), mengemukakan bahwa peran fisiologis sel kumulus pada oosit sangat penting dalam maturasi oosit secara normal.

Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa suplementasi kultur sel folikel dalam medium TCM-199 tidak berpengaruh nyata terhadap angka maturasi oosit in vitro. Kemungkinan disebabkan oleh dosis kultur sel belum optimal dalam medium maturasi oosit walaupun medium maturasi in vitro tersebut dapat memenuhi kebutuhan oosit untuk maturasi secara in vitro. Hasil ini sesuai dengan yang dikemukakan Setiadi (2002); Jaswandi et al. (2003) bahwa tidak terdapat pengaruh nyata pada tingkat maturasi inti antara oosit yang dimatangkan dengan sel kultur folikel dengan yang tidak tetapi penggunaan sel folikel perlu diketahui lebih lanjut pada tahap perkembangan embrio. Susanti (2010), juga mengemukakan bahwa penambahan sel folikel dalam medium maturasi oosit dapat meningkatkan kadar progesteron. Disisi lain, Bilodeau-Goesels dan Panich (2002) mengemukakan bahwa keberadaan sel kumulus dapat mendukung pematangan oosit melalui zat metabolit yang dihasilkan dan disekresikan melalui mekanisme gap junction ke sel oosit. Ekspansi kumulus dapat didukung oleh penambahan sel folikel. Menurut Gerrad et al. (2001), proses perkembangan folikel ovarium terjadi pertumbuhan dan

123 pematangan oosit, terjadi peningkatan konsentrasi glukosa, asam piruvat dan asam laktat secara optimum. Suplai nutrisi oosit ini berasal dari sel-sel kumulus yang disalurkan melalui gap juction dan digunakan untuk pertumbuhan oosit dan cadangan energi pada proses awal pembelahan.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini ditarik suatu kesimpulan bahwa suplementasi berbagai kultur sel (sel oviduk, ampula, isthmus dan folikel) dalam medium TCM-199 tidak meningkatkan angka maturasi oosit sapi secara in vitro. Persentase rata-rata angka maturasi oosit sapi secara in vitro terhadap perlakuan berbagai sel kultur yaitu tanpa sel 62,33%, sel oviduk 69,00%, sel ampula 68,00%, sel isthmus 67,67% dan sel folikel 66,00%.