PRODUKSI TERNAK
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena menyebabkan perubahan keseimbangan panas, keseimbangan energi, keseimbangan air dan tingkah laku ternak. Unsur lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap ternak adalah suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi (Wiliamson dan Payne, 1993). Menurut McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan suhu udara di dalam kandang dan padang penggembalaan menunjukkan peningkatan dan mencapai puncak pada waktu pukul 14.00 WIB dan menurun pada sore hari.
Tabel 1. Rataan Suhu Udara
Uraian Suhu Udara
Desa Pembatang (Kec.Pangean) 28.8 ±4.25 0C Desa Sikakak (Kec. Cerenti) 28.27 ± 3.46 0C
Rataan suhu udara di kedua lokasi penelitian yaitu 28.8 ±4.25 0C (Desa Pembatang) dan 28.27 ± 3.46 0C (Desa Sikakak), seperti terlihat pada Tabel 1. Menurut Williamson dan Payne (1968) menjelaskan, bahwa sapi di daerah tropis yang dipelihara pada suhu lingkungan di atas 27°C mekanisme pengaturan panas menjadi lebih aktif dan laju pernafasan dan penguapan meningkat. Suhu udara di desa Pembatang dan Sikakak sudah berada di atas 27°C, hal ini menyebabkan ternak menerima tambahan panas, sehingga ternak berusaha meleaskan beban panas melalui proses thermoregulasi. Faktor lingkungan merupakan yang paling berperan dalam menyebabkan stress fisiologis.
Frekuensi Pernapasan Sapi Kuantan
Pernafasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang atau mengganti panas dengan udara disekitarnya. Frekuensi pernafasan setiap menit untuk setiap ternak tidak sama. Mount (1979), menyatakan bahwa di daerah sub tropis frekuensi pernafasan sapi berkisar antara 20 – 40 kali per menit. Rataan hasil pengamatan frekuensi pernafasan Sapi Kuantan di desa Pembatang yaitu 27.65 ± 5.83 kali per menit dan desa Sikakak yaitu 26.76 ± 4.73 kali permenit (Tabel 2). Menurut (Subroto, 1995), pernafasan sapi dalam keadaan normal berkisar antara 10 – 30 kali tiap menit, dan menurut (Akoso, 1996) Pernafasan pada sapi dewasa berkisar antara 12 – 16 kali setiap menit, sedangkan pada sapi muda 27 – 37 kali per menit.
Tabel 2. Rataan Frekuensi Pernapasan Sapi Kuantan
Uraian Fekuensi Pernafasan (kali/menit)
Desa Pembatang (Kec.Pangean) 27.65 ± 5.83
112 Hasil pengukuran frekuensi pernafasan pada Sapi Kuantan ini masih normal menurut Blakely dan Bade (1998), frekuensi pernapasan yang normal pada sapi dewasa adalah 18 – 28 kali per menit. Tetapi, hasil pengukuran ini berbeda dengan penelitian Nawaan (2006) pada Sapi Pesisir yang dilakukan di tiga Kabupaten di Sumatera Barat, dimana hasil pengukuran Frekuensi Pernafasan sapi Pesisir yaitu 53.08 kali per menit dan hampir sama dengan penelitian Sobang (2005) yang memperoleh rataan frekuensi pernafasan 24.45 kali per menit pada sapi Bali. Perbedaan ini dikarenakan oleh ukuran tubuh, semakin kecil ukuran tubuh ternak maka frekuensi pernafasan akan semakin tinggi. Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan akan meningkat di siang hari seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan.
Kelly (1984), menyatakan bahwa kisaran frekuensi pernapasan sapi dewasa masing-masing 15 – 40 kali per manit, semakin tua umur ternak frekuensi pernafasannya semakin berkurang. Frekuensi pernafasan bertambah dengan meningkatnya suhu lingkungan dan dapat mencapai 40 kali per menit dalam suhu lingkungan yang tinggi. Peningkatan frekuensi laju pernafasan terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringan-jaringan tubuh. Semakin tinggi suhu lingkungan maka frekuensi pernafasan akan semakin meningkat (Fahimuddin, 1975).
Frekuensi Denyut Nadi Sapi Kuantan
Rataan hasi frekuensi denyut nadi Sapi Kuantan yang diperoleh adalah 63.95 ± 3.07 kali permenit (Desa Pembatang) dan 64.18 ± 4.69 kali permenit (Desa Sikakak), seperti terlihat pada Tabe 3. Hasil pengukuran ini lebih rendah dari hasil penelitian Nawaan (2006) pada Sapi Pesisir yang dilakukan di tiga Kabupaten di Sumatera Barat, dimana hasil pengukuran Denyut Nadi sapi Pesisir yaitu 71.56 kali per menit dan lebih tinggi dari hasil penelitian Sobang (2005) pada Sapi Bali dimana hasil pengukuran denyut nadi sapi Bali yaitu 54.45 kali per menit. Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa Denyut Nadi akan meningkat di siang hari seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan.
Tabel 3. Rataan Frekuensi Denyut Nadi Sapi Kuantan
Uraian Fekuensi denyut nadi (kali/menit)
Desa Pembatang (Kec.Pangean) 63.95 ± 3.07
Desa Sikakak (Kec. Cerenti) 64.18 ± 4.69
Hasil pengukuran frekuensi denyut nadi Sapi Kuantan di kedua lokasi penelitian masih menunjukkan aktivitas yang normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso et al,.(1991) yang menyatakan bahwa denyut nadi normal sapi dewasa sekitar 60 – 70 kali per menit dan anak sapi sekitar 70 – 90 kali per menit. Frekuensi denyut nadi normal pada sapi berkisar antara 36 − 80 kali per menit (Frandson, 1992).
Faktor – faktor yang mempengaruhi kecepatan denyut nadi adalah umur, spesies, kelamin, kondisi ternak, aktivitas dan suhu lingkungan (Akoso, 1996). Semakin tinggi aktivitas yang dilakukan ternak semakin cepat denyut nadinya. Peningkatan frekuensi denyut nadi disebut tachycardia dan penurunan frekuensi denyut nadi disebut bradycardia (Akoso et al., 1991). Peningkatan denyut nadi merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983). Kenaikan denyut nadi
113 berfungsi untuk mengalirkan darah ke tepi kulit agar keseimbangan panas tubuh dapat terjaga (Isroli et al., 2004).
Suhu Rektal Sapi Kuantan
Hasil pengukuran suhu rektal yang diperoleh adalah 38.61 ± 0.230C dan 39.18 ± 0.670C untuk desa Pembatang (Kec. Pangean) dan Desa Sikakak (Kec. Cerenti) (Tabel 4). Hasil pengukuran ini hampir sama dengan penelitian Nawaan (2006) pada Sapi Pesisir yang dilakukan di tiga Kabupaten di Sumatera Barat, dimana hasil pengukuran Suhu Tubuh sapi Pesisir yaitu 38.53 0C dan lebih tinggi dari hasil penelitian Sobang (2005) bahwa rataan suhu tubuh sapi Bali 37.68 0C – 38.15 0C. Menurut (Williamson dan Payne, 1993), suhu tubuh sapi normal berkisar antara 38 °C – 39 °C.
Tabel 4. Rataan Suhu Rektal Sapi Kuantan
Uraian Suhu Rektal (0C)
Desa Pembatang (Kec.Pangean) 38.61 ± 0.23
Desa Sikakak (Kec. Cerenti) 39.18 ± 0.67
Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa Suhu Tubuh akan meningkat di siang hari seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan dan akan kembali menurun di sore hari. Menurut Duka’s (1995), temperatur rektal (suhu tubuh) pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, pakan, minuman dan pencernaan produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung tergantung pada makanan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.
Perubahan suhu tubuh dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan tingkah laku (Ewing, 1999). Suhu lingkungan dapat secara langsung berpengaruh pada tubuh ternak, suhu yang tinggi (panas) dapat menyebabkan cekaman panas yang kuat pada ternak dan akhirnya ternak menjadi stres, mengurangi aktifitas merumput (makan). Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologis dapat berfungsi normal, dibutuhkan temperatur lingkungan yang sesuai (Chantalakhana dan Skunmun, 2002). Semua ternak domestik termasuk hewan berdarah panas (homeotherm) yang berarti ternak berusaha mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran yang paling cocok untuk terjadinya aktivitas biologis yang optimal (Williamson and Payne 1993).Suhu lingkungan optimal untuk ternak 220C – 270C (Ames dan Ray, 1983) dengan kelembaban udara yang sedang maka akan menghasilkan daerah yang nyaman bagi kehidupan ternak.
KESIMPULAN
Status Fisiologis sapi kuantan di Kecamatan Cerenti dan Pangean rata-rata hamir sama. Semakin tinggi suhu udara (lingkungan) maka semakin meningkat suhu tubuh, frekuensi pernafasan dan denyut nadi Sapi Kuantan.
114
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B.T., G. Tjahyowati, dan S. Pangastoeti. 1991. Manual untuk Paramedis Kesehatan Hewan. Food and Agriculture Organizatio of The United Nations Rome. Edisi kedua. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
Akoso, T.B. 1996. Kesehatan Sapi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ames dan Ray, 1983. Peningkatan Kualitas Ternak Dwiguna (daging dan susu). Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Bogor, 18 – 19 Nopember 1997. Hlm. 571 – 584.
Anderson, B.E.1983. Temperatureb Regulation and Environmental Physiology. In: duke’s Physiology of Domestik Animal. 10th
ed. M.J. Swenson (Ed). Cornel Univ. Press.P.791-726.
Blakely, J dan D. H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Chatalakhana, CH. And P. Skunmun, 2002. Sustainable Smallholder Animal System in the Tropics. Kasetsart University Press,Bangkok.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau. 2013. Statistik Peternakan Provinsi Riau. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau. Pekan Baru.
Duke’s. 1995. The Physiologis of Domestic Animal. A Division of Cornell University Press, Ithaca New York.
Ewing. 1999. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan dan Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi IV. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Isroli, S. A. B. Santoso dan N. Haryati. 2004. Respons Termoregulasi dan kadar urea darah domba Garut betina dewasa yang dipelihara di dataran tinggi terhadap pencukuran wool. Pengembangan Peternakan Tropis. 2:110 – 114.
Kelly WR, 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London: Bailliere Tindall.
Mount, L.E. 1979. Adaptation to The Thermal Environment. Man and His Productive Animal. Edword Arnold, London.
Nawaan, S. 2006. Daya Tahan Panas pada Sapi Peranakan Simmental Peranakan Ongole dan Sapi Pesisir. UNAND. Padang.
Sobang, Y.U.L, 2005. Kinerja Fisiologis Sapi Bali Penggemukan Yang Diberi Pakan Kosentrat Berbasis Pakan Lokal. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Peternakan Unadan, Kupang.
Subroto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Walpole, R. 1982. Pengantar Statistika. Terjemahan : B. Sumantri. PT. Gramedia. Wello, 2011. Teknik pemeliharaan Sapi potong. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Williamson, G dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: Darmadja, S.G.N.D.)
Yousef, M. K. 1985. Stress Physiology in Livestock Vol II: Ungulates. CRC Press Inc. Florida. USA.
115 EFEKTIVITAS SUPLEMENTASI BERBAGAI KULTUR SEL DALAM MEDIUM
TCM-199 TERHADAP ANGKA MATURASI OOSIT SAPI IN VITRO
Syaiful. F.L., E. Purwati., Suardi., T. Afriani., Jaswandi dan Hendri
Fakultas Peternakan Universitas Andalas
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas berbagai kultur sel
dalam medium TCM-199 terhadap angka maturasi oosit sapi in vitro. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: oosit yang diperoleh dari ovarium sapi yang telah dipotong dari Rumah Potong Hewan (RPH) Payakumbuh, Sumatera Barat. Kultur sel yang digunakan adalah sel tuba fallopii, ampula, isthmus dan sel folikel. Setiap perlakuan terdiri dari 3 (tiga) kelompok. Setiap unit terdiri atas 40-50 oosit. Data dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), jika hasil penelitian terdapat berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT). Data hasil penelitian yang diperoleh pada perlakuan berbagai ko-kultur sel dalam medium TCM-199 terhadap angka maturasi oosit sapi in vitro adalah tanpa sel 62,33%, sel tuba fallopii 69,00%, sel ampula 68,00%, sel isthmus 67,67% dan sel folikel 66,00%. Setelah dianalisis secara statistik menunjukkan bahwa perlakuan berbagai kultur sel dalam medium TCM-199 tidak berpengaruh nyata terhadap angka maturasi oosit sapi secara in vitro (P>0,05). Dapat disimpulkan bahwa suplementasi berbagai kultur sel dalam medium TCM-199 tidak meningkatkan angka maturasi oosit sapi secara in vitro. Kata Kunci : kultur sel, medium TCM-199, maturasi oosit in vitro
ABSTRACT
The research objective was to determine the effectivy of a variety of cell culture medium TCM-199 to the number of cattle in vitro oocyte maturation. Materials used in this study are: ovarian oocytes obtained from cows which have been cut from Slaughter House (RPH) Payakumbuh, West Sumatra. Cell culture used is a cell fallopian tube, ampulla, isthmus and follicle cells. Each treatment consists of three (3) groups. Each unit consists of 40-50 oocytes. Data were analyzed using a randomized block design, if there are significant research then continued with test of Duncan's New Multiple Range Test (DNMRT). The data was obtained in the treatment of various co-cultures of cells in medium TCM-199 to the number of cattle in vitro oocyte maturation was 62.33% with no cells, cells fallopian tubes 69.00%, 68.00% ampulla cells, cell isthmus 67.67% and 66.00% follicle cells. Having analyzed statistically demonstrated that treatment of a variety of cell culture medium TCM-199 did not significantly affect the numbers of cattle oocyte maturation in vitro (P> 0.05). It was concluded that supplementation of a variety of cell culture medium TCM-199 does not increase the rate of maturation of bovine oocytes in vitro.
Keywords: cell culture, TCM-199 medium, oocyte maturation in vitro
PENDAHULUAN