• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Lama Estrus

PRODUKSI TERNAK

HASIL DAN PEMBAHASAN Lama Estrus

Tabel 1. Rataan lama estrus setelah penyuntikan PGF2a dan HCG

Paritas Rataan lama estrus (jam)

P0 29.23±6.47a

P1 31.46±5.88b

P2 34.29±0.4c

P3 36.17±1.24d

Ket : Huruf kecil superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda sangat nyata (P> 0.01).

Rataan lama estrus ternak kerbau pada paritas dara (P0), beranak 1 (P1), beranak 2 (P2), dan beranak 3 (P3) adalah 29.23±6.47; 31.46±5.88; 34.29±0.4 dan 36.17±1.24 secara berturur-turut (Tabel 1). Lama estrus pada penelitian ini tergolong normal. Saladin (1978) menyatakan lama estrus pada ternak kerbau adalah 24-36 jam. Suhari (1996) menyatakan rataan lama estrus kerbau 44.12±18.63 jam. Keanekaragaman angka-angka lama estrus pada ternak kerbau mungkin disebabkan oleh cara dan waktu deteksi serta ketelitian dari peneliti (Toelihere, 1985).

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa lama estrus pada P0, P1, P2 dan P3 adalah sangat berbeda nyata (P> 0.01) setelah penyuntikan PGF2a dan HCG. Artinya terdapat pengaruh perlakuan terhadap lama estrus kerbau yang berbeda paritas. Perbedaan lama estrus pada P0, P1, P2 dan P3 mungkin disebabkan oleh perbedaan resvon masing-masing individu terhadap perlakuan yang diberikan, sehingga terdapat perbedaan kadar FSH dan LH yang berpengaruh terhadap proses folikulogenesis dan pertumbuhan folikel dominan untuk mengsekresikan estrogen.

FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel ovarium, bersamaan dengan tumbuhnya folikel tumbuh pula theca interina yang merupakan komponen dari folikel. Semakin tebal lapisan theca interina semakin benyak estrogen yang disekresikan kedalam darah. Fungsi LH pada hewan betina merangsang sel-sel granulosa dan sel-sel theca pada folikel yang masak untuk memproduksi estrogen; selanjutnya, oleh kadar estrogen yang meninggi ini produksi LH menjadi semakin tinggi dan ketinggian kadar LH ini menyebabkan terjadinya prosos ovulasi pada folikel yang masak (Partodiharjo, 1987). Patut diduga bahwa setelah penyuntikan PGF2a dan HCG, kadar FSH yang disekresikan pada P3 lebih tinggi sehingga proses folikuler berlangsung dengan baik dan ukuran folikel yang tumbuh lebih besar disertai lapisan theca interina yang lebih tebal, dengan kadar LH yang disekresikan juga lebih tinggi ditambah HCG yang berfungsi seperti LH, menyebabkan sintesa estrogen pada sel-sel granulosa dan lapisan theca interina juga tinggi sehingga estrogen yang dihasilkan tinggi. Yanhendri (2007) menyatakan bahwa ukuran folikel terutama folikel dominan berpengaruh terhadap kadar estrogen. Lama estrus erat kaitanya dengan kadar hormon estrogen, dimana menurunnya kadar estrogen akan diikuti oleh hilangnya tanda-tanda estrus (Zumarni, 2012).

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Partodiharjo (1987) yang menyatakan bahwa lama estrus pada sapi remaja lebih pendek dari pada sapi yang telah pernah melahirkan. Ismail (2009) ternak yang sudah pernah melahirkan lebih satu kali memperlihatkan gejala estrus lebih awal dan penampakan estrus yang

sangat jelas diikuti ternak yang pernah melahirkan satu kali. Ternak yang belum pernah melahirkan memperlihatkan onset estrus lambat dan intensitas estrus kurang jelas. Toelihere (1981a) menyatakan bahwa ternak muda memperlihatkan lama estrus lebih pendek dibandingkan ternak yang lebih tua.

Intensitas Estrus

Intensitas estrus pada penelitian ini diukur berdasarkan pengamatan terhadap perubahan vulva, sekresi lendir vagina, dan perubahan tingkah laku. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa jumlah anak (paritas) berpengaruh sangat nyata (P> 0.01) terhadap intensitas perubahan vulva, kecuali pada P2 tidak berbeda nyata (P> 0.05) dengan P3. Dari tabel 2 terlihat bahwa umumnya keempat kelompok kerbau dengan paritas berbeda menunjukkan intensitas estrus perubahan pada vulva yang jelas selama estrus. Artinya pemberian hormon PGF2a dan HCG dapat memperjelas intensitas estrus. Namun demikian, terdapat perbedaan perubahan pada vulva ternak P3, P2, P1, dan P0 setelah perlakuan. Perubahan pada vulva yang dinyatakan jelas pada P3 diduga karena terjadinya sekresi FSH konsentrasi tinggi sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan dan pemetangan folikel, sedangkan LH yang disekresikan oleh hifopisa bersama HCG merangsang sel-sel granulosa dan theca interina untuk memproduksi estrogen, sehingga estrogen pada P3 lebih tinggi dibandingkan P2, P1, dan P0. Akibatnya estrus nampak lebih jelas pada P3. Pada perubahan vulva P2 tidak berbeda nyata (P> 0.05) dengan P3. Hal ini mungkin disebabkan adanya variasi umur dan jumlah sampel yang digunakan.

Intensitas Perubahan Pada Vulva

Tabel 2. Intensitas Perubahan Pada Vulva Setelah Penyuntikan PGF2a dan HCG

Paritas Rataan Intensitas Estrus Jumlah

(ekor/%) 1 2 3 P0 2.08±0.67a 2(25) 7(58.3) 3(16.7) 12(100) P1 2.5±0.55b 0(0) 3(50) 3(50) 6(100) P2 3.0±0.00c 0(0) 0(0) 2(100) 2(100) P3 3.0±0.00c 0(0) 0(0) 4(100) 4(100) Jumlah (%) 2(6.25) 10(27.08) 12(66.67) 24(100)

Ket : Huruf kecil supercript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda sangat nyata (P> 0.01). Huruf kecil supercript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P> 0.05).

Pada ternak P0 umunya memperlihatkan vulva yang kurang bengkak bahkan tidak ada pembengkakan dan kurang merah sehingga estrusnya dinyatakan kurang jelas. Perubahan vulva yang kurang jelas pada ternak yang belum pernah melahirkan diduga disebabkan oleh rendahnya konsentrasi estrogen dalam darah yang tersekresi pada saat fase folikuler berlangsung. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Suardi (1989) menyatakan pada sapi betina dara pada waktu estrus sering terlihat vulvanya berwarna sedikit kemerahan. Ditambahkan Ismail (2009) menyatakan pada kambing percobaan yang sama sekali belum pernah melahirkan, tanda-tanda estrus terlihat kurang jelas kecuali vagina yang berwarna merah dan terasa hangat.

184

Intensitas Sekresi Lendir Vagina

Tabel 3. Intensitas Sekresi Lendir Vagina Setelah Penyuntikan PGF2a dan HCG

Paritas Rataan Intensitas Estrus Jumlah

(ekor/%) 1 2 3 P0 1.3±0.49a 8(66.7) 4(33.3) 0(0) 12(100) P1 1.6±0.52b 2(33.3) 4(66.7) 0(0) 6(100) P2 2.5±0.71c 0(0) 1(50) 1(50) 2(100) P3 2.75±0.5c 0(0) 1(25) 3(75) 4(100) Jumlah (%) 10(25) 10(43.8) 4(31.2) 24(100)

Ket : Huruf kecil supercript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda sangat nyata (P> 0.01).

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa jumlah anak (paritas) berpengaruh sangat nyata (P> 0.01) terhadap intensitas sekresi lendir vagina. Pada umumnya gejala mengeluarkan lendir estrus pada kerbau sering tidak terlihat. Hastono (2008) menyatakan anatomi letak vagina, dimana bagian depan lebih rendah dibanding bagian belakang, sehingga pada waktu estrus lendir tidak keluar. Sebenarnya sekresi lendir cukup banyak tetapi menggumpal pada lantai vagina sehingga terlihat kurang menggantung (Adhitia, 2011). Toelihere (1981b) menyatakan lendir estrus jelas terlihat disore hari pada waktu hewan istirahat dan berbaring untuk memamahbiak, dimana perutnya bertumpuh ditanah dan tertekan sehingga saluran kelamin ikut tertekan dan terdesak untuk mengeluarkan lendir estrus.

Pada ternak P3 lendir nampak jelas keluar dari vagina dan menggantung namun tidak sebanyak pada sapi. Pada P2, P1, dan P0 yang dinyatakan dengan intensitas 2, lendir estrus jelas terlihat menempel pada dinding vagina yang bengkak dan terbuka namun tidak sampai keluar vagina. Pada ternak P3 lendir nampak jelas dan mungkin disebabkan oleh responnya yang baik terhadap perlakuan PGF2a dan HCG, sehingga FSH tinggi menyebabkan proses folikuler berlangsung baik sehingga ukuran folikel dan kadar estrogen yang dihasilkan juga tinggi, akibatnya sekresi lendir nampak lebih jelas. Saoeni (2005) prostaglandin F2a dapat meningkatkan sekresi cairan lendir dan terdapat oedema pada vagina. Situmorang (2005) melaporkan bahwa HCG dapat berfungsi seperti LH untuk meningkatkan ovulasi pada ternak sapi. Partodiharjo (1987) menytakan bahwa LH berfungsi membantu perkembangan folikel hingga folikel itu mencaoai proses pematangan yang sempurna, selain itu LH juga berfungsi merangsang produksi estrogen dalam folikel oleh sel-sel granulosa dan theca interina.

Intensitas Perubahan Tingkah Laku

Tabel 4. Intnsitas Perubahan Tingkah Laku Setelah Penyuntikan PGF2a dan HCG

Paritas Rataan Intensitas Estrus Jumlah

(ekor/%)

1 2 3

P0 1.8±0.84a 5(41.7) 4(33.3) 3(25) 12(100)

P2 2.5±0.71c 0(0) 1(50) 1(50) 2(100)

P3 3.0±0.00c 0(0) 0(0) 4(100) 4(100)

Jumlah (%) 5(10.4) 9(37.5) 10(52.1) 24(100)

Ket : Huruf kecil superscript yang berbeda pada kolom menunjukkan berbeda sangat nyata (P> 0.01).

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa jumlah anak (paritas) berpengaruh sangat nyata (P> 0.01) terhadap intensitas perubahan tingkah laku. Dari Tabel 4 terlihat bahwa pada umumnya keempat kelompok kerbau dengan paritas berbeda menunjukkan intensitas estrus perubahan yang jelas selama estrus. Namun terdapat perbedaan perubahan tingkah laku pada ternak P3, P2, P1, dan P0 setelah perlakuan. Perubahan tingkah laku yang dinyatakan jelas pada P3 diduga karena setelah penyuntikan PGF2a terjadi sekresi FSH konsentrasi tinggi sehingga terjadi penigkatan pertumbuhan dan pematangan folikel, sedangkan LH yang disekresikan oleh hipofisa bersama HCG merangsang sel-sel granulosa dan theca interina untuk memproduksi estrogen sehingga estrogen pada P3 lebih tinggi dibandingkan P2, P1, dan P0, akibatnya estrus nempakmlebih jelas pada P3. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Ismail (2009) yang menyatakan bahwa ternak yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali memperlihatkan gejala estrus lebih awal dan penampakan estrus yang sangat jelas diikuti ternak yang pernah melahirkan satu kali. Ternak yang belum pernah melahirkan memperlihatkan onset estrus lambat dan intensitas estrus kurang jelas.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Sinkronisasi estrus dengan menggunakan HCG setelah PGF2a dapat merangsang terjadinya estrus dan memperjelas gejala estrus.

2. Lama estrus pada P0, P1, P2, dan P3 adalah berbeda sangat nyata (P> 0.01) setelah penyuntikan PGF2a dan HCG, dimana estrus bertambah panjang seiring dengan bertambahnya paritas.

3. Intensitas estrus (perubahan pada vulva, sekresi lender vagina dan perubahan tingkah laku) P0, P1, P2, dan P3 adalah berbeda sangat nyata (P> 0.01) setelah penyuntikan PGF2a dan HCG; kecuali perubahan vulva P2 tidak berbeda nyata (P> 0.05) dengan P3. Intensitas estrus pada keempat kelompok kerbau yang berbeda paritas berlangsung sangat jelas. Penentuan estrus pada kerbau dara akan lebih akurat apabila menggunakan parameter perubahan pada vulva dan perubahan tingkah laku.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian disarankan :

1. Kepad peternak agar menggunakan PGF2a dan HCG untuk mengontrol aktivitas estrus dan induksi ovulasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerbau.

186 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang waktu perkawinan terbaik pada kerbau

setelah penyuntikan PGF2a dan HCG dengan melihat angka kebuntingan.

3. Perlu penelitian lanjutan tentang penggunaan jumlah dosis PGF2a dan HCG pada kerbau yang berbeda paritas , agar dapat lebih menyeragamkan lama estrus dan intensitas estrus sehingga IB dapat dilakukan lebih serentak.

DAFTAR PUSTAKA

Adhitia, S. 2011. Umur Pubertas,Siklus Estrus, Lama Estrus dan Umur Kawin Pertama Pada Ternak Kerbau di Kabupaten Kampar. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas. Padang.

Hastono. 2008. Upaya Memperpendek Jarak Beranak Ternak Kerbau Melalui Kawin Tepat Waktu. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Ismail, M. 2009. Onset dan Intensitas Estrus Kambing pada Umur yang Berbeda. Fakultas Pertanian.J. Agroland 16 (2): 180-186. Diakses 20 januari 2012: 09.34.

Partodihardjo, S. 1987. Ilmu ReproduksiHewan. Penerbit Mutiara. Jakarta. Saladin. 1978. Ternak Kerbau. Fakultas Peternaka. Universitas Andalas. Padang. Saoeni, R. 2005. Efek Pemberian Protaglandin F2a Secara Intra Vaginal Spon (IVS)

dan Intra Muscular (IM) Terhadap Peningkatan Kinerja Reproduksi Domba. Animal Production Vol. 9 No. 3 : 129-134. Diakses : 20 Desember 2011. 09.34.

Situmorang, P. 2005. Pengaruh Pemberian Hormone Human Chorionic Gonadotropin (HCG) pada Perlakuan Superovulasi Ternak Kerbau. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner10 (4) : 286-292. Diakses : 20 Januari 2012 : 09.45.

Suardi. 1989. FisiologiReproduksi pada Ternak. Diklat. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas. Padang.

Sudjana, I. 1995. Metode Statistika. Edisi ke 6. Bandung.

Suhari, B. 1996. Identifikasi Reproduksi Ternak Kerbau Lumpur Pola Peternakan Rakyat Kabupaten Sijunjung. Skripsi Fakultas Peternakan. Universitas Andalas. Padang.

Toelihere, M.R. 1981a. Fisiologis Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung. 1981b. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung.

1985. Fisiologis pada Ternak. Angkasa Bandung.

Yanhendri. 2007. Penampilan Reproduksi Sapi Persilangan F1 dan F2 Simental Serta Hubungannya Dengan Kadar Hormon Estrogen dan Progresteron pada Dataran TinggiSumatera Barat. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Zumarni. 2012. Pengaruh Dosis GnRH (Gonadotropine Realising Hormone) Terhadap Karakteristik Estrus, Kuantitas Corpus Luteum dan Konsentrasi Hormon Progresteron Sapi Resipien Pesisir pada Program Transfer Embrio. Artikel. Program Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang.