• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Regulasi dan Peraturan Pemerintah

4.2. Berkembangnya Perkebunan Rakyat dan Upaya Mengkonversi Lahan

4.2.2. Faktor Regulasi dan Peraturan Pemerintah

Pihak berwenang yang secara bersama harus mencegah terjadinya alih fungsi lahan berdasarkan aspek pertanahan dan ketetapan adalah pemerintah pusat maupun daerah yang memiliki kekuasaan penuh atas tanah-tanah di wilayahnya, panduan ini sebenarnya sudah tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, maka dalam pelaksanaannya pemerintah dapat memberlakukan berbagai kebijakan sesuai koridor yang ada dan harus menyadari permasalahan mengenai konversi lahan yang tidak pada tempatnya. beberapa kebijakan untuk membatasi dan/atau mencegah konversi tanah pertanian sudah terpampang jelas dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan, sehingga tidak ada timpang tindih antara mana bagian yang menjadi lahan industri dan lahan-lahan produktif untuk pertanian peraturan peraturan ini juga telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, seperti:

- Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri;

- Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi Pembangunan Kawasan Industri;

- Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Tanah Non pertanian;

- Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan RTRW Dati II.

Upaya pemerintah Simalungun dalam menjalankan berbagai peraturan dan ketetapan diatas sejatinya dapat terlaksana secara konsisten, bentuk pelaksanaan tersebut dapat dilihat dari berbagai rencana yang tertuang melalui perencaan dan tata ruang wilayah di Simalungun, dan terlaksannya berbagai bentuk program pemerintah pusat di wilayah Simalungun. Hanya saja dalam setiap pelaksanaan suatu program masih belum terkontrol dengan baik dan dibicarakan dengan seksama. Bahkan beberapa peraturan sering kali terjadi timpang tindih dengan kebijakan pusat. Seperti halnya program menteri pertanian melalui sub sektor perkebunan yang harus timpang tindih dengan program perluasan bidang pangan yang tengah gencar-gencarnya mengejar target suasembada beras.

Keluarnya peraturan menteri pertanian tentang penerapan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) tentu sangat berpengaruh dengan pertanian bidang pangan dan berdampak pada Program Bimas yang sedang dilakukan di Simalungun.

Meskipun secara tegas dikatakan bahwa program bimas lebih pro pada sistem pertanian padi sawah, seharusnya pemerintah tidak mengesampingkan pertanian padi ladang karena produksinya yang dianggap paling stabil. (lihat kembali tabel 11 perbandingan produktivitas padi ladang dan padi sawah). Padi ladang juga dapat mendongkrak kestabilan pangan bagi negara hal ini terlihat dari kemandirian petani yang tidak terlalu bergantung pada pasokan beras yan dimiliki negara. Perkebunan Inti Rakyat yang kebanyakan dilakukan di eks-lahan

pertanian padi ladang sangat berdampak bagi para petani yang biasa menyimpan padi secara mandiri di lumbung-lumbung padi milik masyarakat.

Perkebunan Inti Rakyat (PIR) mrupakan suatu perusahaan yang terdiri atas perkebunan milik perusahaan sebagai kebun inti yang membangun perkebunan milik petani sebagai kebun plasma.160 Pada pelaksanaannya terdapat dua bagian pelaksana yaitu PIR Berbantuan dan PIR Swadana. PIR Berbantuan dapat diartikan bahwa yang menjadi pelaksanaan Perkebunan ini berasal dari luar negeri dan sebagian dananya berasal dari dalam negeri. Sedangkan untuk PIR Swadana dapat diartikan sebagai PIR yang dananya bersumber dari dalam negeri.161 PIR Swadana diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

310/Kpts/Org/4/1981 tentang Pembentukan PIR Swadana.162

Fokus pada pola PIR Swadana, perkebunan ini dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu PIR Lokal dan PIR Khusus. PIR Lokal adalah PIR yang anggotanya terdiri dari penduduk setempat yang setatusnya memiliki hak tanah dan nantinya tanah penduduk ini akan dipakai oleh pihak pengelola, baik untuk sebuah tanaman perkebunan ekspor ataupun perkebunan pangan. Sedangkan PIR Khusus merupakan pola perkebunan PIR yang beranggotakan para transmigran yang umumnya bergerak pada bidang perkebunan untuk komoditi ekspor (seperti:

sawit, karet, dan coklat).163

Secara singkat Perkebunan Inti Rakyat Lokal memiliki ciri pelaksanaan yang seluruhnya dikembangkan dan dikoordinator oleh perkebunan-perkebunan

160 Chairuddin K. Nasution, Hukum Agraria (Hak-hak atas Tanah/Kehutanan/PIR-Transmigrasi/Dll. (Fakultas Hukum UISU/UMSU. Medan. 1993.).hlm. 109.

161 Ibid.

162 Juni Irianti S. Tinjauan Yuridis Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri Di Desa Buntu Turunan,(Tesis).Medan: Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010, hlm. 44

163 PIR Khusus diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

856/Kpts/Um/1981 tentang Pembangunan PIR Khusus di Daerah Transmigrasi.

besar sebagai Inti (pelaksana Utama). Tugas utamanya adalah untuk membantu dan membimbing berjalannya perkebunan ini kepada rakyat karena lokasi dan penerapan perkebunan PIR nantinya menggunakan di tanah-tanah perkebunan rakyat. Posisi rakyat sebagai pemilik tanah berfungsi sebagai suatu plasma (bagian yang terikat dalam satu aturan kerjasama yang saling menguntungkan dan bersifat berkesinambungan). Pelaksana Perusahaan inti yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan perusahaan perkebunan besar, yang dikelolah oleh perusaan perkebunan baik milik swasta maupun perkebunan milik negara.164

Di Simalungun, Perkebunan dengan pola PIR sering disebut dengan PIR-Bun. Sebagai contoh studi mengenai PIR di Simalungun yang bersinggungan dengan pertanian rakyat adalah yang terdapat di kecamatan Bandar atau sekarang masuk kedalam kecamatan Bandar Masilam dan wilayah tersebut banyak diantara masyarakat disana yang mengikuti program PIR-Bun ini.

Menurut pemaparan warga setempat bahwa wilayah kec. Bandar banyak sebelum berkembang tanaman sawit, dahulunya merupakan wilayah lahan basah (lahan tadah hujan) dan lahan kering dengan jenis pertanian padi darat atau padi ladang, kemudian jika memasuki musim penghujan, maka lokasi yang tergenang air dan memungkinkan untuk menanam padi sawah maka penduduk setempat juga menanami dengan padi sawah.165

Namun setelah adanya program PIR-Bun yang digarap pertama kali pada tahun 1982, maka lokasi yang dahulunya dijadikan sebagai lahan pertanian padi warga telah banyak berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Jika pada tahun-tahun sebelumnya penduduk disana dapat menghemat biaya pengeluaran dengan

164 Pasal 1 angka 3 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.

165 Wawancara dengan Bapak Sakri Ahmad. Selasa, 14 April 2020 di Bandar Masilam.

cara menanam padi untuk kebutuhan hidup selama satu tahun, maka perlahan akses sumber kehidupan mereka perlahan berkurang dan hilang karena semakin luasnya areal PIR-Bun ini.166

Gambar 12. Kantor PIR Lokal di Wilayah Kecamatan Bandar yang dikelola oleh PTPN IV

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2020

Dalam proses penggarapan lahan pertanian PIR-Bun, masyarakat harus mengikuti segala bentuk aturan yang berlaku, terdapat berbagai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan program PIR-Bun ini, diantaranya : 1. Mematuhi ketentuan-ketentuan PIR yang telah ditetapkan.

2. Menandatangani perjanjian yang berisi:

a. Bekerja di lokasi yang ditetapkan;

b. Tinggal di lokasi pemukiman yang ditetapkan;

c. Tidak memindahtangankan atau memperjualbelikan lahan.167

Pada intinya, sistem PIR-Bun merupakan bagian dari jelmaan suatu sistem pertanian yang menganut dan menggunakan sistem kontrak. Pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak terkadang sering kali maknanya diperluas, tidak hanya petani dan perusahaan agroindustri tetapi termasuk pihak Pemerintah dan

166 Wawancara dengan Bapak Wasno. Selasa, 14 April 2020 di Bandar Masilam.

167 Inpres Nomor 1 Tahun 1986, Op.Cit.

perbankan.168 Pihak perkebunan menyiapkan dan mengeluarkan segala bentuk dana baik dari penanaman hingga pemupukan, namun bagi para peserta mereka harus tetap membayar subsidi tersebut ketika musim panen sudah tiba. Namun karena peserta wajib membayar biaya proyek tersebut, maka pemerintah memberikan dua opsi yaitu, kredit dan non kredit.169

Kebanyakan petani di Simalungun yang menjalin kerjasama dengan pihak pengelola PIR lebih memilih untuk membayar biaya proyek secara kredit. Opsi ini dipilih karena berkaitan dengan kererbatasan biaya yang dimiliki petani, sehingga para petani akan membayar kredit tersebut setelah tanaman yang ditanam telah dapat dipanen dan menghasilkan keuntungan. Perkebunan PIR yang disepakati adalah tanaman kelapa sawit dan tentu hal tersebut akan menjadi periode baru bagi petani yang awalnya bekerja sebagai petani padi berubah menjadi buruh perkebunan.

Karena sifat tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang memerlukan perawatan ekstra dan memakan biaya banyak sejak dari awal tanam, tentunya para petani tidak akan sanggup mengelolahnya secara mandiri, apalagi kelapa sawit juga memerlukan waktu yang cukup lama untuk diambil hasilnya. Sehingga segala bentuk biaya diawal penanaman akan ditangung oleh pihak pengelola, baik itu pembersihan ladang, bibit, pupuk, hingga proses panen nantinya.

Bagi para petani yang tidak lagi bekerja sebagai petani padi maka mereka bergabung ke pihak pengelola perkebunan PIR untuk menjadi buruh harian lepas, seperti merawat/membersihkan gulma, memupuk, menanam kelapa sawit yang

168 http://www.scaleup.or.id/publikasi-kolom/PIR harus ditinjau ulang-IND.pdf, diakses tanggal 30 September 2020.

169 Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 856/Kpts/Um/1981,Lampiran poin V nomor 1 dan 2.

baru dan lain-lain. Berharap dengan menjadi buruh kebun tersebut dapat mengahasilkan upah lebih dan bias dipakai untuk kebutuhan belanja makan sehari-hari. Pengeluaran yang biasanya dapat diminimalisir dengan hasil tanaman pertanian harus hilang menambah pekerjaan sebagai buruh kebun.

Merupakan suatu hal yang tidak wajar untuk seorang petani yang bekerja ditanah miliknya sendiri dan diposisikan sebagai pekerja untuk pengelola pihak perkebunan PIR. Bahkan suatu saat apa yang petani ini lakukan telah menghasilkan panen yang diharapkan, para petani juga harus menyicil dan membayar kredit yang sudah ditentukan diawal. Beberapa petani yang tanahnya di gunakan untuk lahan kelapa sawit dan kemudian menjadi buruh lepas bagi pengelola PIR mengaku bahwa ketika menjadi buruh lepas sebagian mereka juga harus bekerja dua kali menjadi petani biaya dan menanam tanaman pangan dipinggir-pinggir perkebunan milik PIR demi menutupin kebutuhan hidup mereka. Begitu pula setelah kelapa sawit mengahasilkan buah, pihak yang berwenang mengmbil dan menghargai buahnya adalah pihak PIR. Petani hanya bisa menikmati sebagian sisa hasil panen kelapa sawit setelah dipotong kredit oleh pengelola PIR-Bun. Kendati begitu, rakyat tetap mendapat hasil gaji/upah dari bekerja sebagai buru kebun di perkebunan Inti.170

Para warga yang bekerja di koordinator oleh seorang mandor yang ditunjuk dari kelompok kumpulan petani yang tanahnya dipakai untuk proyek PIR kemudia berasal dari orang-orang sekitar plasma yang dianggap punya pengaruh lebih dan

170 Wawancara dengan Ibu Supinah (eks- Buruh perkebunan PIR-Bun), Kamis, 13 Agustus 2020 di Bandar Masilam.

biasanya mendapat tugas memegang gaji buruh kebun yang ladangnya ikut menjadi Proyek PIR-Bun.171.

Bagi yang banyak modal, maka beberapa diantara penduduk mencoba untuk melunasi tanah miliknya sendiri dengan cara membayar kontan dari kredit yang harus dibayar ke pihak PIR-Bun. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengambil kembali sertifikat atau hak tanah miliknya. Namun bagi mereka yang tidak beruntung harus tetap menikmati sisa-sisa hasil kredit untuk digunakan bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini berlangsung hingga seluruh pihak plasma berhasil mendapatkan haknya dengan terlebih dahulu melunasi cicilan secara keseluruhan.

Beberapa warga yang menyebutkan bahwa tidak adanya keterbukaan mengenai biaya cicil pada kredit dan biaya hasil panen kelapa sawit menjadi penyebab utama masyarakat larut dalam ketidak pastian dan kesengsaraan. Hingga akhirnya proyek PIR tutup di akhir masa pemerintahan Orde Baru, bukti-bukti konversi lahan perladangan dengan perkebunan sawit masih dapat ditemukan hingga saat ini, dan dampaknya setelah padi menghilang kemudian berganti menjadi kelapa sawit tidak ada lagi penduduk yang menanam jenis pertanian pangan tanaman diwilayah tersebut.

Segala bentuk pembaruan yang lakukan oleh pemerintah orde baru pada bidang pertanian merupakan sesuatu yang harus ditinjau kembali. Teknlogi dan pola berfikir masyarakat harus di bombing untuk kepentingan bersama. Dalam teori Enclave dualism menurut Higgins mengatakan bahwa sumber perbedaan antara Barat dan Timur terletak pada teknologi dan pasaran hasil. sektor yang modern mengimpor teknologi terutama bersifat hemat tenaga kerja dengan

171 Ibid

intensif modal dan pasaran produknya Internasional. sedangkan sektor tradisional bersifat intensif tenaga kerja dengan sasaran produksi dalam negeri.

perkembangan sektor modern terutama sebagai reaksi terhadap permintaan pasar ekspor, bagi petani di Indonesia potensi ini hampir tidak berdampak pada ekonomi lokal.172 Itulah yang terjadi di Simalungun dalam bidang pembangunan pertanian pada masa Orde Baru.

Maka tidak heran jika petani di Simalungun yang masih bisa dikatakan sebagai petani kalangan Peasent yang hanya menjadi seorang petani kecil dan ketika memasuki masa Orde Baru yang digadang-gadang sebagai pelaku pembaharuan ternyata belum juga berhasil dinaikkan ke derajat yang lebih tinggi.

Mengingat satu hal berdasarkan catatan Henry Berstein, bahwa dalam ekonomi politik yang dapat diterapakan bagi pertanian menganut 4 pertanyaan yang bisa mengarahkan sukses tidaknya pelaku ekonomi ini. “Siapa milik apa?, Siapa melakukan apa?, Siapa mendapatkan apa?, Digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan itu?”173

Pada akhir pembahasan ini, yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana sebenarnya peran pembangunan dalam mengatasi peningkatan beras di Simalungun. Dalam pratiknya petani juga tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya. Petani semakin terkekang dan gerak geriknya kalah sebagai aktor kelas bawah. Pemerintah dan lembaga yang dibentuk akhirnya juga menjadi aktor yang berhasil menikmati kemenangan. Dalam catatan sejarah, inilah yang menjadi ketetapan dalam pertanian dan segala sesuatunya tentu membawa dampak positif dan negatif untuk masa kini.

172 Sri Widodo, Op.cit Hlm. 28

173 Henry Berstein, Op.Cit.

BAB V PENUTUP