• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Bimbingan Massa (Bimas) dan Intensifikasi Massa (Inmas) 73

Sebagai usaha pembeda sekaligus usaha memperbaiki pertanian yang ada, pemerintah Orde Baru memperkenalkan Badan Pengendali Bimbingan Massal (BP Bimas) kepada masyarakat petani di Indonesia. Program ini merupakan lembaga setingkat eselon I di bawah Departemen Pertanian, dengan tugas pokok menggerakkan masyarakat petani meningkatkan produksi padi. Begitu pula dengan adanya Badan Benih Nasional yang dibentuk tahun 1971 yang juga merupakan lembaga nonstruktural di bawah koordinasi Menteri Pertanian, dengan tugas utama meningkatkan penyediaan dan distribusi benih padi varietas unggul dengan potensi hasil tinggi.105

Bermula dari usaha-usaha penyempurnaan pengaturan penyuluhan pada masa pada kurun waktu 1963-1974 maka terdapat kerjasama antara Fakultas Pertanian (UI), Institut Pertanian Bogor melakukan suatu pilot proyek cara penyuluhan yang efektif guna meningkatkan produksi padi dengan penerapan panca usaha lengkap di kabupaten Karawang dan berhasil meningkatkan hasil produksi dua kali lipat dari sebelumnya. Kebijakan ini kemudian berlanjut pada masa tanam 1964/1965 dilanjutkan dengan nama Demontrasi Massal (DEMAS) dan diperluas lagi pada talmn 1965/1966. Seterusnya proyek ini dirubah namanya menjadi Bimbingan Massal SSBM atau BIMAS SSBM yang akhirnya menjadi sistem Simas, setelah mengalami perbaikan-perbaikan lewat: Bimas Berdikari,

105 Ahmad, Suryana, Op.cit, hlm. 7

Bimas Biasa, Bimas Baru, Bimas Gotong Royong, dan Bimas yang disempurnakan.106

Berdasarkan Kepres No 95 tahun 1969 tentang BIMAS, maka pada masa tanam 1968-1979 dilakukan usaha intensifikasi secara massal di berbagai sentra produksi padi yang dilakukan melalui program Bimas/Inmas. Pelaksaan Bimas sendiri dilakukan dengan kegiatan penyuluhan secara massal melalui intensifikasi dan ekstensifikasi yang tercantum dalam Panca Usaha Tani:

a. Penggunaan bibit unggul;

b. Penggunaan pupuk yang tepat;

c. Cara bercocok tanam yang baik;

d. Penanggulangan hama dan penyakit;

e. Perbaikan sistem pengairan.107

Artinya sasaran Bimas yang paling utama adalah meningkatkan produksi padi melalui pemupukan, pemberantasan hama, serta penggunaan varietas-varietas unggul, dengan anggapan bahwa pengairan dan pengolahan tanah sudah dapat dilakukan oleh para petani.108 Sementara Inmas adalah suatu langkah lanjutan dari program Bimas yang dilaksanakan melalui pemberian kredit usaha tani. Secara nasional, pada musim tanam 1979/1980 dilaksanakan program intensifikasi khusus (Insus). Hal ini juga berlaku bagi petani di Simalungun, mereka yang menjadi sasaran program Insus padi adalah petani yang masuk dalam program Bimas dan dilakukan oleh satu kelompok petani dengan hamparan seluas 1,000

106 Departemen Pertanian, 2002. Profil Pembangunan Pertanian Menjelang 100 Tahun (190502005), Op.Cit. Hlm. 35-36.

107 Agus Hudoyo dan Indah Nurmayasari. Pengaruh Program Intensifikasi Terhadap Peningkatan Produktivitas Padi Di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya FKPTPI 2018.

Hlm. 664

108 Anonim, Sumatera Utara Membangun. Opcit.

Ha. para petani di Simalungun dalam satu kelompok hamparan diharapkan harus mampu mengoptimalkan seluruh yang berkaitan dengan lahan pertanian. Seperti penggunaan lahan sawah, penerapan teknologi, daya dan dana.

Kegiatan kelompok tani ini bertujuan untuk merumuskan rencana kerja, mencari informasi dan sekaligus menyebarkannya, mengkoordinasikan dan mengawasi kegiatan anggota, melakukan berbagai usaha dengan cara menggalang kerjasama antar-anggota dan kerjasama dengan pihak luar kelompok.

Sisi lain dari berkembangnya sistem Bimas terdiri dari: penyediaan kredit (oleh BRI), pelayanan penyuluhan pertanian (oleh PPL dari Dinas Pertanian), sarana peoduksi yang murah dan mudah diperoleh petani (diurus oleh penyalur kios dan KUD, serta pengelola dan pemasaran hasil usaha tani (oleh KUD.

kelompok tani maupun swasta perorangan).109

Pelaksanaan Bimas dan Inmas di Simalungun merupakan penetapan yang dilakukuan oleh Gubernur dengan jabatan ketua badan pembina BIMAS atas usul Bupati/Ketua badan pelaksana BIMAS di Simalungun, maka dalam pelaksanaannya dibentuklah Unit Desa.110 Selanjutnya dalam pelaksanaanya lebih dikenal dengan Opsdema (Operasi Desa Makmur). Dan dalam pelaksaan Opsdema di Simalungun target yang ingin di capai adalah 3000 Ha padi sawah.

Meskipun begitu, padi ladang (Gogo) tetap mendapatkan porsi target penanaman lebih dari 1000 Ha.

109 Keempat unsur tersebut ditetapkan dengan lntruksi Presiden No.4 tahun 1973 tentang Unit Desa.

110 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1973 Tentang Unit Desa, pasal 4.

Tabel 3. Sasaran: Tanam Dan target Produksi Tanaman Padi Pada Program Unit Desa Di Simalungun Tahun 1983/1984

N

O URAIAN RENCANA LUAS TANAMAN (HA)

JLH

Sumber: BPS, Simalungun Dalam Angka 1983, hlm. 120

Rencana di atas dianggap perlu dilakukan di Simalungun, sesuai dengan instruksi presiden serta menindaklanjuti keputusan menteri pertanian sejak tahun tahun 1970.111 Tujuannya agar penerapan Bimas dan Inmas dapat mendongkrak pertanian di Simalungun dan dirasa sangat perlu mengingat capaian dan realisasi proyek Bimas sendiri pada masa tanam dua tahun sebelumnya belum menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, hal ini dapat dilihat pada Opsdema di Simalungun hanyalah mencapai 36%. Gambaran ini menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1970-1980-an pertanian di Simalungun masih memerlukan perbaikan diberbagai bidang pendukung.

Tabel 4. Realisasi Proyek Opsdema di daerah Tk. II Kabupaten Simalungun

Sumber: BPS Kab. Simalungun. data diolah dari tahun 1981-1983.

Capaian dari target luas lahan di Simalungun yang tidak sesuai dengan target Bimas dan Inmas dapat terjadi karena masih minimnya pemahaman

111 Sejak tahun 1970, menteri pertanian telah mengintruksikan berbagai peraturan terkait peningkatan produksi padi di daerah. Kebijakan ini menjadi dasar pembangunan pertanian yang berkelanjutan untuk seluruh wilayah di Indonesia. Lihat Keputusan Menteri Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas, no. 380/kPTS/UM/7/1970. Tentang peningkatan produksi padi masa tanam oktober 1970- maret 1971

masyarakat dengan berbagai program yang ditekankan kepada masyarakat.

Berakar dari masalah di Simalungun yang juga terjadi diberbagai wilayah daerah lainnya. Penyuluhan dan perbaikan benih harus semakin ditingkatkan guna mengejar ketertinggalan target yang akan dicapai.

3.3. Pengenalan Bibit Baru

Berdasarkan catatan sejarah, Simalungun mengalami perubahan bidang pertanian padi sejak zaman kolonialisme masuk ke Simalungun, perubahan tersebut terlihat dari pola pertanian ladang menjadi pertanian sawah. Oleh sebab itu cara pengolahan tanah, bibit/benih juga mengalami perubahan yang signifikan.

Begitu juga peralatannya yang juga mengikuti jenis kebutuhan alamnya.

Hingga tahun 1968, para petani di Simalungun masih memilih padi jenis lokal seperti: jenis Ramos, Jongkong, dan sebagainya yang memerlukan masa tanam lebih kurang 180 hari. Padi lokal ini menurut penuturan petani dan juga petugas penyuluhan pertanian di lapangan dinilai sangat tahan terhadap hama namun tidak terhadap hama tikus. Kekurangan lainnya yaitu para petani hanya dapat panen satu kali dalam satu tahun. Karena pasca tanam 180 hari berikutnya mereka menanam dengan jenis tanaman palawija, seperti: jagung, kacang tanah, kedelai dan sebagainya, yang merupakan tanaman komersial bagi petani.112

Dalam rangka meningkatkan produksi beras, sekitar tahun 1968 sampai 1969, pemerintah telah menganjurkan kepada para petani agar menanam padi jenis unggul. Pada kurun waktu tersebut padi unggul yang telah dikembangkan

112 Nurhamidah, Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Baja Dolok, Simalungun tahun 1960-1978. (Laporan Penelitian. Medan: Jurusan Sejarah USU, 1997). Hlm. 17

adalah padi jenis PB-5 dan PB-8113. Padi jenis ini dapat dipanen pada usia tanam 100 hari. sehingga memungkinkan para petani dapat menanam padi dua kali dalam satu tahun. Berbeda dengan padi lokal sebelumnya, ketika menanam padi jenis lokal maka kesempatan menanam tanaman komersial (palawija) tidak dapat dilakukan.

Pada awal musim tanam padi unggul, para petani umumnya belum mengenal pupuk kimia. Selain karena masih terbiasa dengan pemupukan alamiah secara turun temurun, biaya yang dikeluarkan juga relatif lebih murah dan mudah didapatkan. Namun seiring waktu, para petani dianjurkan untuk menggunakan pupuk kimia, tentu berdampak pada teknik pertnian jenis baru di kalangan petani.

Penggunaan pupuk kimia benar-benar menuntut petani untuk teliti dan faha tentang cara penggunaannya serta menuntut petani harus tepat dan teratur.

Pemupukan yang tidak tepat dan sempurma mengakibatkan panen yang tidak baik.

Hal di atas merupakan implikasi yang logis, bahwa penggunaan suatu temuan baru dari hasil teknologi modern harus membutuhkan perawatan yang tepat dan sempuma. Selain pemupukan, pemberantasan hama juga harus dilakukan dengan sempurna dan teratur, hal tersebut dilakukan guna mempertahankan padi jenis PB-5 daD PB-8 yang sangat peka terhadap hama wereng.

Pada tahun 1972, kabupaten Simalungun melalui pemerintah Orde Baru memperkenalkan varietas padi jenis baru yang dikenal dengan C-4 dan merupakan

113Jenis IR-5 dan IR-8 merupakan verietas unggul hasil penelitian IRRI. Namun karena dihasilkan dari keturunan padi PETA asal Indonesia dan demi identitas bangsa maka verietas tersebut di namakan dengan PB-5 dan PB-8 (Peta Baru) oleh pemerintah Indonesia. Lihat Tribowo Yuwono dkk.. Pembangunan Pertanian: Membangun Kedaulatan Pangan. (Yogyakarta: UGM Press, 2011), hlm. 17.

program Pelita yang di distribusikan ke daerah-daerah khusus bagi daerah yang dilanda kemarau panjang, sebagai bagian dari skema untuk mempertahankan dan menambah produksi beras. Hal yang sama juga dilakukan ketika terjadi kemarau panjang tahun 1977 dan pemerintah mengintroduksikan varietas padi IR-26 dan IR-36.114

Pada tahun 1974, melalui Dinas Pertanian pemerintah berusaha menyediakan 30 ton bibit padi IR-26 yang didistribusikan ke beberapa daerah Bimas di Sumatera Utara yaitu: Simalungun, Deli Serdang, Langkat, dan Asahan.

berdasarkan eksperimen yang telah dilakukan, pemerintah terus mencoba meyakinkan kembali kepada para petani untuk tidak ragu menggunakan bibit unggul IR-26 karena dinilai jauh lebih baik serta memiliki daya tahan terhadap hama maupun perubahan iklim yang ada di Simalungun. Jika di lihat secara kronologis, maka semenjak 1973, diperkenalkan secara bertahap yang dimulai dari IR-26, dilanjutkan IR-28, IR-34, IR-36, IR-38, IR-54, IR-64 dan IM V yang disinyalir memiliki produksinya tinggi dan memiliki resistensi terhadap wereng yang. Usaha mengintroduksi varietas padi jenis unggul di atas pertama kali dilakukan menyeluruh dan bersamaan dengan kabupaten-kabupaten di provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.115

Pada pelaksanaanya, terdapat beberapa wilayah diluar Simalungun yang menolak program pembaharuan dari pemerintah, hal ini disebabkan pasca penggunaan jenis benih C-4 yang ternyata pernah gagal panen secara besar-besaran. Hampir sebagian besar petani di daerah luar Simalungun seperti Perbaungan dan sekitarnya juga merasakan kecewa terhadap pemerintah daerah

114 Triwibowo, Ibid. hlm. 62

115 Jan H.M. Oudejans, Perkembangan Pertanian di Indonesia, terjemahan.Edhi Martono.

(Yogyakarta: UGM press, 2006). Hlm. 63.

karena peristiwa serangan hama menyebabkan petani mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah. Kekecewaan mereka bertambah ketika masyarakat merasa pemerintah mengabaikan kondisi mereka. Setelah kejadian tersebut sebagian petani memilih kembali untuk menggunakan budi daya bibit lokal.116

Mengatasi problem yang terjadi pada-tahun 1970-an mengenai tanaman padi, maka pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Tanaman pangan mulai membentuk tim sub-dinas cadang di daerah tingkat provinsi dan kabupaten sejak 1975. Namun baru sejak tahun 1979 mereka mulai melakukan penelitian tentang cara-cara pengendalian alternatif terhadap hama wereng yang menyerang tanaman padi. Menariknya tim pemantau Sub-Dinas Perlindungan Tanaman padi menemukan untuk pertama kalinya wereng punggung putih (sogatella furcifera) yang menghabisi padi di beberapa kabupaten Sumatera Utara.117

Pada repelita II dan III, pemerintah Sumatera Utara mencanangkan sebuah program Rice Estate, yaitu suatu metode perluasan pertanian sawah namun berada di dataran tinggi. Dalam menjajaki pembukaan program tersebut, usaha yang dilakukan berdasarkan pertimbangan yang besar terutama memperhatikan sifat tanaman padi yang hydrophyt, ketinggian tempat ±500 mdpl dan sarana pengairan dan luas pertanaman. Oleh sebab itu, untuk dapat membina Rice Estate diperlukan luas ribuan Ha yang disertai sistem pengairan yang baik pula. Khusus wilayah Simalungun lokasi yang pilih adalah Negeri Dolok dengan luas 3000 Ha.118

116 Harian Waspada, 25 Juli 1975

117 Jan H.M. Oudejans, Op.Cit., hlm.59-60

118 Rice Estate telah ada sejak masa Kolonial Belanda, dan kemudian diadopsi sampai pemerontahan Orde Baru, selain lokasi yang luas biaya yang dobutuhkan juga sangat besar. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai program yang sama dengan ekstensifikasi. Namun dalam pelaksaannya kurang mengahasilkan dan tidak mampu mengahasilkan seperti apa yang telah di rencanakan. Lihat, Sumatera Utara Membangun. Opcit. Hlm. 212. Lihat juga Profil Pembangunan Pertanian Menjelang 100 Tahun, Departemen Pertanian 2002, Hlm. 102-104

Meskipun terjadi kegagalan-kegalan dalam penerapkan proses awal penggunaan benih unggul di masyarakat, tentu saja pemerintah selalu berusaha melakukan perbaikan dan penelitian secara berlanjut. Sehingga pada tahun-tahun selanjutnya di harapkan terjadi peningkatan panen dari produktivitas pertanian padi di Simalungun.

3.4. Lembaga/Organisasi Pendukung pembangunan Pertanian