• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3. Terbentuknya Ekologi Budaya dan Ekosistem Pertanian

2.3.2. Persawahan (Sabah)

Jika pertanian ladang identik dengan Simalungun Atas atau sebaliknya, Simalungun Bawah identik dengan lahan basah (persawahan), maka sebenarnya ada pula beberapa wilayah di Simalungun Atas yang mengolah pertanian sawah secara tradisional seperti yang berdomisili di daerah Girsang Sipangan Bolon, Purba Saribu dan Tiga Langgiung atau Harang Gaol.

Abad ke-20 merupakan tahun yang penuh tantangan baru bagi orang Simalungun, kehidupan di dunia pertanian yang secara general hanya mengenal sistem perladangan harus menerima sistem pertanian sawah (Wet-rice Agricultur) dan orang Simalungun sendiri mengenal istilah ini dengan Sabah. pengaruh ini merupakan campur tangan yang dibawa oleh Belanda. Kemudian proses pengelolaan tanah yang tidak hanya berbentuk perladangan selaras dengan

ramainya orang-orang yang berempat tinggal di Simalungun maka kemudian sudah pasti adanya peningkatan kepadatan penduduk.91

Satu hal yang menarik dari persawahan adalah suatu ekosistem yang termasuk stabil atau tahan lama, sawah juga dapat menghasilkan panen secara terus menerus setiap tahun dan dapat mengahasilkan panen sebanyak 2 sampai 3 kali dalam setahun.berbeda dengan padi ladang yang hanya panen sekali dalam setahun. Menurut Murphey padi sawah juga merupakan tanaman yang unik.

Kesuburan tanah pada dasarnya memang sangat berkaitan dengan pupuk agar tetap subur. Namun setelah sepuluh tahun ataupun dua puluh tahun kemudian hasil panen itu biasanya menjadi stabil dan boleh dikatakan tidak berubah. Hal ini disebabkan oleh air dalam dinamik sawah.92

Semakin banyaknya kedatangan orang eropa dan para imigran lainnya dalam usaha perkebunan, maka Pemerintah Belanda melihat pentingnya pembangunan pertanian sawah dengan membuka saluran irigasi. Para pejabat pemerintah asal Eropa tersebut melihat kondisi lokal di daerah Simalungun peluang yang baik bagi pertanian daerah ini.

Usaha yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda kepada orang Simalungun agar beralih dari pertanian berladang ke pertanian sawah, karena sedikit orang Batak Simalungun yang menghasilkan kebutuhan pangan. Maka usaha yang dilakukan oleh Belanda adalah dengan membuka akses ke daerah Tapanuli agar dapat memasok beras ke wilayah Simalungun. Namun karena

91 Pada tahun 1913 misalnya, ada usulan dari masyarakat tentang pendirian gereja di daerah Tamuan Dolok. Awalnya sudah ada gambaran yang diberikan bahwa telah terjadi interaksi pemberian tanah seluas 1 1Ha untuk dikelola menjadi persawahan. Sebanyak 3,4 Ha sudah di tempati atau dikerjakan sedangkan 1/4 Ha. Lagi belum dikerjakan menjadi sawah padahal sudah mulai dilakukan penebangan pohon-pohon kayu besar. Lihat Parbarita-batak, Jumat, 20 Januari 1928 No 3.

92Murphey dalam C. Geertz, Op.cit. hlm. 29.

terbatasnya produksi akibat lahan yang tidak memungkinkan, lagi maka atas bantuan pemerintah kolonial Belanda dilakukan program imigran bagi orang Toba yang di Tapanuli agar pindah ke Simalungun untuk membuka sawah-sawah baru.

Di sisi lain sebagai pendatang pemerintah Belanda juga menjamin keselamatan orang-orang Toba yang bermukim dan memberikan mereka tanah secukupnya.

Awal kedatangannya, mereka membentuk pemukiman di lembah-lembah sungai sebagai upaya mempermudah pembangunan irigasi.93

Setelah seiring berjalannya pertanian dan irigasi ysng dibangun oleh pemerintah Belanda, maka lebih dari 4 ribu hektar tanah diubah menjadi sawah dan hasilnya sangat memuaskan. Percobaan besar yang pernah dilakukan Belanda pada tahun 1916 sampai 1920 ternyata mampu memberikan hasil yang memuaskan dengan panen rata-rata 58 sampai 80 pikul gabah per hektar untuk daerah Bah Korah. Sedangkan untuk daerah lainnya seperti Tiga Balata dan Dolok Merlawan mampu menghasilkan panen rata-rata 62 pikul dan untuk Bandar Meratur menghasilkan sekitar 41 pikul gabah per hektar.94

Ketika imigran dari Toba ke Simalungun datang secara bergelombang, jumlah mereka baik perempuan dan anak-anak sudah ada 280 orang pada tahun 1907 kemudian jumlah imigran yang berbasis di Simalungun pada tahun 1913 sekitar 6.500 jiwa, Tahun 1915 menjadi 8800 jiwa, 1917 menjadi 11250 jiwa, 1919 menjadi 12840 jiwa, dan tahun 1920 menjadi 20460 jiwa,95 atas sokongan Belanda mereka mulai membuka sawah.

93Lihat, Carlk Cunningham, The Postwar Migration of The Toba Bataks to East Sumatera, (New Haven London: Yale University, 1958), hlm. 85. Lihat juga Tideman, op.cit. hlm. 186-190.

Dan lihat juga R. William Lidlle (b), Ethnicity, Party, and Natinal Integration: An Indonesian Case Study, (New Haven London: Yale University, 1970) Hlm. 30

94Tideman, ibid.

95 ibid. Hlm. 186

Gambar 5. Jaringan Irigasi dan Areal Persawahan

Sumber: J. Tideman, Op.Cit. Hlm. 13 & 269

Ket: (kiri) Jaringan Irigasi, Setelah Selesai Konstruksi sebagai Metamorfosis Padang Gurun Menjadi Sawah yang Akan Dibangun. (kanan) Alur induk irigasi di daerah Bandar Meratoer yang rusak akibat rembesan/luapan aliran air

Kebijakan Belanda ini dalam rangka menopang perekonomian perkebunan yang membutuhkan beras bagi para buruh yang juga didatangkan dari luar Pematang Siantar dan Simalungun. Kampung-kampung dengan campur tangan pemerintah dibangun menjadi tempat-tempat dan aliran irigasi dengan disediakan luas lahan sekitar 2000 Ha untuk paras imigran.

Orang Jawa yang didatangkan untuk bekerja di perkebunan dan di Simalungun Bawah, diringi dengan orang Batak Tapanuli Utara, yang terampil dalam teknik pertanian padi basah, perlahan terus didorong oleh Belanda untuk pindah ke Simalungun untuk menyediakan makanan bagi pekerja di wilayah itu.

Ketika Batak Tapanuli Utara masuk dan menetap di lahan beras terbaik, masyarakat Simalungun yang kurang agresif bergerak naik ke kaki bukit pegunungan Bukit Barisan yang kurang subur.96

Atas peristiwa historis di atas warisan budaya dan warisan kolonial Belanda akhirnya memberikan gambaran tersendiri bagi sistem pertanian di Simalungun. Ekologi budaya dan ekosistem pertanian memberikan pemahaman sejarah yang utuh dan diwarisi hingga saat ini.

96R. William Liddle (a), Op.Cit. hlm. 4

BAB III

STRATEGI POLITIK PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KABUPATEN SIMALUNGUN MASA ORDE BARU

3.1. Kebijakan Politik Pembangunan Pertanian pada Masa Orde Baru