• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Mekanisasi dan Ketergantungan Bahan Kimia pada pertanian 108

4.1. Sistem Pertanian Modern yang Mengikat

4.1.1. Sistem Mekanisasi dan Ketergantungan Bahan Kimia pada pertanian 108

Pandangan identitas dalam suatu politik pembangunan memiliki peran untuk mengidentifikasi berbagai kekuatan dan kelemahan yang melekat pada diri seseorang atau kelompok.149 Kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada pangan telah tersusun dalam Repelita berbagai proyek tersebut diimplementasikan ke setiap daerah. Artinya pemerintah tentunya mempersiapkan berbagai lembaga yang siap membantu kekuatan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan pertanian tersebut. Sehingga pemerintah harus mempersiapkan dengan sangat matang landasan dan pedoman tantang rencana dan target yang akan dilakukan. landasan dan pedoman tersebut menghindarkan negara dari pemborosan dan penyelewengan tenaga, uang, barang, ruang dan waktu, bahkan sekaligus sebagai alat kontrol.150

Rangkaian kegiatan pertanian di Simalungun yang terdiri dari persiapan pra tanam hingga kegiatan pasca panen, mengadopsi pedoman dan landasan yang sama dalam menjalan berbagai program tersebut. Bagi pemerintah, apa yang di butuhkan oleh petani haruslah menjadi suatu pogram yang harus. Ketika petani

148 Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit., hlm 149

149 Dalam hal motif Identitas erat kaitannya dengan sebuah persaingan antar individu, kelompok dan seringkali menciptakan disharmoni sosial di dalamnya, namun pada bidang pertanian sering kali yang menjadi struktural itu lebih kepada pertentangan antara indentitas petani yang tertindas ataupun munculnya lembaga-lembaga yang peran jejaknya menjadi lebih tinggi dan memainkan segala hal yang dapat menjatuhkan petani. Lihat warjio, Op.Cit hlm 148 dan Lihat Greg. Soetomo, Op.Cit. hlm. 3-9.

150 Soebakti Soesilowidagdo. Melaksanakan Repelita. (Yogyakarta:BPA-UGM, 1969), hlm.3

Simalungun membutuhkan pasokan air, maka program tersebut tertuang dalam Repelita I yang banyak memuat tentang program irigasi dan sarana pendukungnya. Begitu pula dengan benih, perangsang tumbuhan, penangkal hama, dan sampai program pasca panen sudah dipersiapkan oleh pemerintah.

Meskipun demikian, ternyata yang terjadi dilapangan masih terdapat berbagai problem yang terjadi pada petani dalam melaksanakan program andalan pemerintah tersebut. Bagi petani di Simalungun pemerintah Orde Baru memberikan fasilitas yang diberikan dalam berbagai program lebih terkesan memaksa. Misalnya pada pra tanam hingga masa menjelang tanam petani harus membiasakan dengan segala bentuk teknologi yang terbarukan.

Ditambah dengan desain pembangunan yang sangat sentralistik dan perlakuan yang seragam terhadap keragaman yang ada membuat petani membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi, syukurnya di Simalungun yang mengerjakan pertanian sawah kebanyakkan orang-orang dari Suku Toba dan Orang Jawa yang sudah lama menetap disana. Dan ini merupakan suatu politik pembangunan dalam motif identitas yang terjadi di Simalungun dan merupakan hasil budaya yang diberlakukan sejak masa Kolonial, hanya sedikit persentase orang Simalungun asli yang menjadi petani padi sawah.

Ditinjau dari segi budaya misalnya, upaya mengintrodusir petani Simalungun dengan varietas benih baru (dengan masa panen lebih singkat), pemupukan, obat-obatan untuk hama, pemakaian traktor hingga memunculkan huller-huller pengganti Losung (lesung) menjadikan adanya pergeseran budaya dan memunculkan ketergantungan yang sangat tinggi.

Pergeseran bentuk usaha tani masa Orde Baru di Simalungun memiliki ciri yang sama dengan negara-negara berkembang lainnya yaitu terjadi pergeseran dari usaha tani ke budidaya pertanian, bentuknya sebagai berikut:

- Perubahan teknis berbasis Industri

- Pembentukan pasar global dan pembagian kerja dalam budidaya pertanian, terutama pangan pokok,

- Pembentukan sektor pertanian sebagai objek kebijakan.151

Selama ini kita mendefenisikan bahwa kegiatan mekanisasi pertanian sebagai sesuatu yang identik dengan traktorisasi, padahal defenisi ini sangat keliru. Sebenarnya makna mekanisasi pertanian dalam pengertian Agricultur Engineering suatu rangkaian kegiatan dari pengaplikasian teknologi dan manajemen pertanian baik dalam penggunaan alat dan mesin pertanian dimulai dari mengelolah tanah, proses menanam, penyediaan air, pemupukan tanaman, perawatan tanaman, sampai pada proses akhir pemungutan hasil produk yang siap dipasarkan ke pasar.152 Jika dibandingkan dengan alur tersebut maka mekanisasi di Simalungun sudah berkembangan dengan pesat dan maju, lihat kembali (tabel 13 ). Seharusnya, kebijakan mekanisasi tersebut berdampak baik pada masyarakat Simalungun.

Jika berdasarkan data mekanisasi di atas seharusnya kesejahteraan petani Simalungun lebih stabil dan menghasilkan hasil yang optimal. Namun pada kenyataanya masih dikatakan menurun dan belum dapat dikatakan belum

151 Petani dalam arti (Peasant) pasca masuknya unsur kapitalis perlahan berubah menjadi produsen komoditas kecil (Petty Commodity Productions) mereka harus memproduski kebutuhan hidup (substensi) tetapi harus memproduksi beras dengan bergabung dengan struktur pembagian kerja yang lebih luas dan terintegrasi ke pasar. Lihat Henry Berstein, Op.Cit., hlm. 5-.15

152 Aris Priyanto, Penerapan Mekanisasi Pertanian, Buletin Keteknikan Pertanian,Vol 11, No.

1 Desember 1997, hlm. 54

memiliki kesinambungan antara keduanya. pasalnya dalam perkembangan dan penerapan mekanisasi Simalungun selalu terbentur pada biaya operasional yang kian melonjak.

Padahal bukan berarti setiap petani harus memiliki sendiri peralatan yang diperlukan atau bukan harus mampu mengoprasikan dan mengelola dengan sendirinya. namun karena penerapan mekanisasi pertanian membutuhkan investasi yang besar, memerlukan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan tentang teknik/mekanika, menejemen pengoperasian dan perawatan, dukungan perbengkelan serta suku cadang dan sebagainya.

Petani di Simalungun yang tidak memiliki modal untuk membeli alat-alat pertanian yang makssud maka dapat melakukannya dengan bantuan jasa penyewa alat-alat pertanian. Dengan demikian proses awal penanaman hingga tumbuh mengandalkan jasa yang tersedia dengan cara membayar dengan upah atau dengan potongan gabah nantinya pada saat panen.

Berkenaan dengan sewa alat pertanian seperti tractor atau mesin bajak sawah, para penyewa harus mengeluarkan 4 kaleng gabah kering untuk membajak sawah seluas 400 M2 (1 rante) dengan ketentuan takaran kaleng mencapai bobot 16 kg. maka untuk sekali membajak sawah petani memerlukan sebanyak 64 kg gabah kering untuk luas 400 M2. Dalam perkembangan selanjutnya sewa upah alat ini akan mengalami kenaikan, jika diawal 64 kg padi untuk setiap 400 m2 sawah maka pada tahap berikutnya menjadi 5 (lima) kaleng padi atau seberat 80 kg.

Kenaikan ini dilakukan serentak oleh para petani pemilik bajak.153

153 Nurhamidah,.Op.cit hlm. 7

Bentuk usaha tani berdasarkan kegiatan diatas ternyata memiliki aturan-aturan yang sifatnya tidak mengikat tetapi dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama. Hingga sampai saat ini para petani kaya juga mulai mempekerjakan perantara atau mandor, yang melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap sawah-sawahnya.

Pada masa setelah tanam berbagai bentuk perawatan juga menjadi perhatian yang sangat penting. Peran dari bahan-bahan perangsang tanaman hingga pencegahan terhadap hama semakin mendapatkan perhatian lebih. Seperti halnya di Simalungun hama wereng maupun tikus menjadi musuh utama bagi pertanian padi. Disini petani mulai membandingkan perbedaan dengan jenis padi lokal yang sebelumnya dan memiliki ciri lebih tahan dan tidak rentan oleh hama.

Begitu pula dengan tumbuh kembangnya pertanian di Simalungun sangat memerlukan pemupukan yang tepat.

Pengeluaran petani yang semakin bertambah karena harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membeli pupuk kimia dan pestisida yang tidak dapat dikesampingkan lagi. Alternatifnya tentu mengharapkan kredit dalam pemenuhan bahan kimia dalam pertanian agar dapat meningkatkan hasil pertanian sekaligus terbebas dari hama-hama pertanian. Peningkatan jumlah anggota koperasi sebagai penyalur kredit terus bertambah seiring perkembangan tahun (lihat tabel 5).

dilema yang dirasakan petani adalah kelembagaan dan pelayanan seperti lembaga penyuluhan, KUD, BRI unit Desa, kios Saprotan, lembaga penyedia benih yang berorientasi pada peningkatan produksi padi, tidak jarang merasakan pelayanan kelembagaan tersebut sulit diperoleh tepat pada waktunya, kelompok tani dan

KUD dianggap belum mampu menjalankan fungsinya dengan baik, dan kredit usaha tani (KUT) yang tidak lancar juga menjadi problem selanjutnya.

Sementara itu bantuan modal dari pemerintah tentulah sangat diperlukan oleh petani, namun nyatanya dalam praktek mekanisme pencairan KUT masih berbelit-belit dan banyak petani yang tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin tentu efektifitas dan dampak yang dirasakan oleh petani kecil di pedesaan belum bisa dinikmati sepenuhnya. Hutang yang terkadang semakin terbelit merasakan kecemasan sendiri bagi para petani pada saat menjelang panen.

Walaupun sudah ada jaminan pada dari Bank Indonesia yang menanggung 50% melalui pelayanan kredit. Kecemasan bertambah karena harga jual gabah yang semakin ttidak stabil dari waktu ke waktu dan memberikan persepsi ditengah masyarakat dengan muncul istilah cemas menanti panen154

Sejak adanya mekanisasi, kecemasan petani mulai masa tanam hingga masa panen juga berdampak pada mereka yang memiliki lahan terbatas, selain kurang memiliki modal, petani dengan lahan terbatas juga mulai kehilangan mata pencarian sampingan, yaitu mencari penghasilan tambahan dengan cara bekerja sebagai butuh tani untuk menghasilkan biaya kehidupan sehari-hari. Pekerjaan ini berperan sebagai buruh tani lepas yang bekerja disawah-sawah milik orang yang lebih kaya dan memiliki modal besar. Pemilik modal memanfaatkan tenaga tani ini untuk menanam, membersihkan sawah dari gulma hingga proses pemanenan yang dikerjakan secara bersama-sama dan memerlukan tenaga buruh tani yang banyak, sedangkan untuk upahnya biasanya dibayar dengan upah berbayar atau beras. Bahkan di Simalungun yang lebih tradisional tidak mengenal istilah upah

154 Kompas, 28 September 2000

karena dilakukan dengan sukarela dengan cara Marharoan Bolon (istilah gotong royong), selain menjadi pekerjaan tambahan cara ini juga dapat meminimalisir pengeluaran dalam bertani.

Begitu memasuki masa panen pengeluaran para petani yang harus dipersiapkan juga masih ada yaitu berkaitan dengan para pekerja pertanian dan mesin perontok padi. Jika biasanya petani memanen secara bergotong royong dan berpindah dari pemilik yang satu ke pemilik yang lain atau ada juga yang juga berprofesi untuk mencari pekerjaan tambahan dengan mencari upah di lahan pertanian. Seperti pada tahun 1977 studi kasus di desa Bajadolok tahun yang merupakan salah satu desa di Simalungun dilakukan satu penelitian oleh Nurhamidah dari Universitas Sumatera Utara yang menguraikan tentang petani yang mengalami kesempatan kerja terus terbatas karena adanya perubahan pola tanam dan jenis padi yang ditanam. Siklus ini bermula dari semakin banyaknya petani yang mulai menanam padi unggul jenis tahan hama. Jenis tersebut memiliki ciri batang pendek sehingga terjadi perubahan dalam teknik dan cara memanen.

Padi harus langsung dirontokkan setelah dipotong dengan mempergunakan alat perontok dari bambu buatan sendiri kemudian perlahan ada pula yang menggunakan mesin alat perontok. Disisi lain sebelum mengenal mekanisasi padi jenis unggul, sistem memanen dapat memanfaatkan tenaga manusia yang banyak, dalam sehari untuk lahan seluas satu hektar para pengusaha pertanian dapat memperkerjakan sekitar 200 orang, namun pada masa Orde Baru pekerjaan itu cukup dilakukan oleh 25 orang laki yang tentu saja hal tersebut berdampak pada kesempatan bekerja. Meskipun pengusaha padi telah mengurangi pekerja demi menekan biaya yang harus dikeluarkan, buruh tani tetap saja menerima dampak

pengurangan upah dalam setiap kerjanya, pada tahun tersebut upah yang biasanya dibayar dengan gabah diturunkan dari 1/18 menjadi 1/22 bagian.155

Di samping adanya petani yang bekerja jadi buruh tani terdapat pula petani-petani yang mulai enggan mengolah lahan pertaniannya sendiri, sebagian dari mereka lebih memilih untuk menyewakan lahan sawah meliknya kepada pada petani yang membutuhkan. Tentu cara tersebut dinilai yang lebih menguntungkan dan mudah karena mengandalkan hitungan luas lahan dan menyewakan lahan pertanian juga mengahasilkan uang yang cukup cepat tanpa harus mengandalkan hasil pertanian.

Sebagian dari mereka yang ingin tetap menikmati hasil pertanian lebih banyak, mereka cukup memperkerjakan lebih sedikit pekerja kemudian para pemilik modal tersebut memilih untuk membeli dan memiliki alat-alat pertanian sendiri kemudian menyelesaikan pekerjaannya sendiri dan mengupahkan atau menyewakan ke petani yang membutuhkan.

Memasuki masa jual, pada awalnya kendali harga beras sepenuhnya dilakukan oleh Bulog. Bulog sendiri merupakan suatu Lembaga non Departemen yang secara khusus menangani kepentingan bahan pangan bagi masyarakat luas, artinya segala bentuk kecukupan pangan bagi segenap lapisan masyarakat merupakan tanggung jawab penuh dari Bulog. Pemerataan pangan mencakup berbagai dimensi tempat, waktu, volume dan kualitas. Dalam menjalankan tugasnya, struktur Bulog dibantu oleh seperangkat Depot Logistik (Dolog) yang tersebar secara merata di 27 propinsi, ditambah dengan kinerja Sub-sub Dolog

155 Nurhamidah. Op.Cit. hlm. 16

sebanyak 88 buah yang ditempatkan di Kabupaten serta harus memiliki 322 unit gudang-gudang beras berkapasitas penampungan beras sebanyak 3.500 ton/unit.156

Pada tahun-tahun berjalannya tugas Bulog, beredarnya Isu lain tentang skrema penjualan gabah atau beras, masyarakat awlanya merasa terbebani dengan dampak kredit yang menjerat para petani kemudian diperburuk dengan alur perdagangan beras yang semakin rumit. Sehingga berdampak pada harga jual dan pendapatan petani. sebagai contoh alur berikut menggambarkan bentuk monopoli beras yang menghilangkan kesejahteraan petani terutama dengan harga beli yang sangat murah.

Gambar 10. Skema Siklus Distribusi Beras dari Petani hingga ke Konsumen

Sumber: Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit., Hlm 156

Berdasarkan mata rantai skema penjualan beras diatas, perjalanan yang cukup tentu sangat berdampak pada harga gabah petani, Dari siklus tersebut Bulog biasanya menyerahkan proses pengumpulan gabah atau beras kepada sejumlah perantara yang sering kita dengar sebagai tengkulak, terlebih mereka yang dipercaya biasanya telah memiliki modal dan telah memiliki mekanisasi

156 A. Muhammad Asrun, Monopoli Bulog Pada Masa Orde Baru, Jakarta, Perhimpunan Pusat Studi Hukum Publik,2015 hal 18

penggilingan padi sendiri, dan tidak jarang memperoleh uang muka dari Dolog sebagai pelaksana Bulog di daerah. Pada prakteknya perantara ini berada pada posisi diawasi dan dikendalikan oleh tataniaga yaitu Bulok. Harga selalu menjadi permasalahan utama karena bermain dengan keuntungan, sehingga selaku pemain usaha tentu para perantara akan mencari laba setinggi-timgginya sehingga wajar saja bila petani menjadi bayer market bagi para tengkulak atau bukan tengkulak.

Dari gambaran diatas baik petani maupun pengusaha tani menengah selalu ditampilkan pada lapisan setereotip yang tidak berdaya karena memiliki tingkat pengetahuan dan penguasaan faktor produksi yang rendah (seperti luas lahan yang semakin sempit dan kemampuan finansial yang kecil) terkadang harus terikat dengan nilai-nilai tradisional yang sangat kental. Sebenarnya tepat jika mereka dinilai sebagai kelompok yang memerlukan campur tangan pemerintah dalam program pembangunan.tetapi sering kali modernisasi atau mekanisaasi dalam pertanian mengesampingkan kesejahteraan petani.

Pada kondisi tersebut, menjadi petani harus dapat memilih sesuai keadaan yang dimiliki, tentu saja menjadi petani yang memiliki lahan sempit atau luas tergantung dengan kesediaan modal yang dimiliki, jika tidak memiliki modal yang cukup maka petani dapat menyewa lahan dan mencari tambahan sebagai buruh tani guna menawarkan jasa untuk mendapatkan upahan dari produk pertanian.

Marjinalisasi yang terjadi pada petani tersebut merupakan dampak yang dihasilkan secara langsung dari suatu kebijakan dan berkaitan dengan rendahnya kesejahteraan petani serta kualitas hidup petani.

Dikaitkan dengan kesejahteraan petani, lahan pertanian merupakan bagian terpenting terhadap tingkat pendapatan petani. Dengan fenomena luas lahan yang

semakin sempit, tentunya usaha tani yang dilakukan tidak akan mencapai skala usaha yang maksimal. Salah satu dampak dari semakin sempitnya luas lahan yang dimilki petani pada dua dasawarsa terakhir adalah banyaknya petani yang mengalihkan fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian.

Kasus yang sering terjadi di Simalungun adalah semakin banyaknya penduduk yang tidak memiliki lahan sawah memilih menyewa sawah orang lain, namun dalam pelaksanaannya bukannya menanam padi namun membuat berbagai kolam ikan, karena dalam penegerjaan dan masa panen padi relatif lama anatara 2-3 kali panen dalam setahun sedangkan untuk dkolam ikan dapat menghasilkan panen ikan 3-4 kali dalam setahun. Factor utamanya menyikapi soal proses pengerjaan yang lebih mudah. Sehingga dapat kita melihat bahwa terjadi penuruan luas lahan sawah pada akhir masa Orde Baru disebabkan karena hasil pertanian padi dianggap yang kurang menjanjikan.

Begitu pula pada pertanian padi ladang yang jumlahnya juga menurun, seperti tahun 1984 sampai 1987 terjadi penuruan jumlah produksi (lihat tabel 3.8) akibat adanya program pemerintah untuk menanam kelapa swait pada areal perladangan di Simalungun, pembahasan ini akan dibahas lebih mendalam pada bab selanjutnya.

4.1.2. Rasio Jumlah penduduk dan Kebutuhan Beras

Perhitungan kesejahteraan dapat dihitung berdasarkan rasio jumlah penduduk dan ketersediaan beras yang ada. Bagi Simalungun jumlah penduduk yang ada pada masa Orde Baru hingga tahun 1990 adalah sebagai berikut.

Tabel 14. Perbandingan Jumlah Penduduk Simalungun tahun 1980 dan 1998

8 Dolok pangaribuan 20.389 19.923

9 Jorlang Hataran 14.839 21.077

Data di atas menunjukkan bahwa di Simalungun terjadi penambahan jumlah penduduk dengan rata-rata naik antara 2000 s.d 3000 penduduk perkecamatan, catatan ini tentu sangat penting untuk mengevaluasi kecukupan pangan di Simalungun. Namun jika ditinjau berdassarkan rasio kebutuhan beras dengan jumlah penduduk di Simalungun pada tahun 1990 dapat dikatakan masih mampu memenuhi kebutuhan untuk satu kabupaten.

Perbandingan rasio yang diberikan berdasarkan target rencana kerja Repelita I Sumatera Utara adalah 220 Kg/G.K (0,22 T Kg/G.K) untuk 1 (satu)

jiwa pertahun.157 Jika melihat tahun 1980 dengan jumlah penduduk 759.024 jiwa seharusnya kebutuhan beras di Simalungun pada tahun tersebut hanya 166.985 Ton/G K dan ternyata hasil produksi 300.725 Ton/G K, Sedangkan untuk tahun 1990 terdapat jumlah penduduk Simalungun sebanyak 803.363 jiwa maka kebutuhan berasnya hanya 176.740 Ton/GK dengan penghasilan panen di Simalungun mencapai 389.603 Ton/GK. Maka hasil inni tentu dapat menutupi kebutuhan pangan didalam kabupaten. Tentu ini merupakan hasil yang sangat bagus, bahkan Simalungun berhasil surplus beras dengan ± 133.740 Ton. Secara bertahap hingga tahun 1998 maka tingkat produksi beras di Simalungun sebagai berikut.

Gambar 11. Grafik Produksi Beras di Simalungun Pada Masa Orde Baru

Sumber: BPS Kab. Simalungun Data Diolah dari Berbagai Tahun

Dalam perkembangan naik dan turunnya grafik diatas, sebenarnya produksi beras di Simalungun masih berada dalam level wajar, begitu pula dengan cadangan beras yang dikatakan masih aman. Akan tetapi, penulis melihat adanya perbandingan jumlah gabah kering dan beras yang memiliki selisih yang sangat besar terutama pada pengeluaran beras yang dikeluarkan oleh Sub-Dolog.

157Berdasarkan keputusan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Provinsi Sumatera Utara No.3/k/1969 tahun 1969 dengan Gubernur Suamtera Utara pada Repelita I

Besaran pengeluaran beras berbanding terbalik dengan surplus gabah kering. Sebagai contoh pada tahun 1980 pengeluaran Bulog sesuai dengan dengan Sub Dolog di Simalungun mendistribusikan beras sebanyak 10.360,7026 Ton, sudah termasuk Operasi Pasar sebanyak 4.746,9216 Ton Beras di dalamnya. jika melihat jumlah produksi beras pada tahun tersebut masih terdapat kekurangan jumlah beras kurang lebih 123.379 Ton beras dan untuk pemenuhannya diperlukan impor beras dari wilayah kabupaten terdekat. hitungan tersebut sudah termasuk hasil konversi hitungan gabah kedalam bentuk beras.

Analisis sementara yang dapat disimpulkan bahwa surplus yang terjadi diatas hanya berlaku pada jumlah penduduk yang tercatat didinas terkait, sementara disisi lain pemerintah pada masa itu masih menggunakan beras sebagai biaya pengganti honorarium bulanan/tunjangan hidup bagi para pekerja diberbagai instansi pemerintahan. dengan kata lain terdapat kebijakan lain dalam realisasi penyaluran beras yang mengakibatkan penggunaan beras di Kabupaten Simalungun membesar dan mengalami kekurangan pasokan beras, pembagian itu berlaku untuk penyaluran beras kepada ABRI, POLRI, PNP/PTP, operasi pasar, bencana alam dan catu karyawan sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku. sehingga beban tunjangan beras pegawai yang dikeluarkan oleh dolog sebenarnya lebih besar dari pengeluaran untuk operasi pasar yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat di Simalungun.

4.2.Berkembangnya Perkebunan Rakyat dan Upaya Mengkonversi Lahan