• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk dan Produktivitas Pertanian di Simalungun

Pelaksanaan Repelita di Simalungun dilakukan sesuai arahan-arahan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Begitu pula dengan pengelolaan pasca panen.

Pemerintah tentu memfasilitasi berbagai kebutuhan para petani. Menurut Mosher,

138 Proyek irigasi yang berlangsung di Simalungun yang tercatat hanyalah bentuk perluasan dari saluran-saluran yang sudah ada. Program ini tercantum dalam lampiran Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Provinsi Sumatera Utara No.3/k/1969 tahun 1969, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara,nomor 050/051/sk/Tahun 1984, No. 050/1932 Tahun1989. No:050/669/K/Tahun 1994

139 Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1984 Tanggal 26 Januari 1984 pasal 4.

Pertanian secara sederhana memuat tentang ketersediaan pasar hasil, Faktor Produksi, sistem insentif dan transportasi.140

Perincian dan kemajuan berbagai macam sarana pendukung dalam pertanian, sejak awal telah dijelaskan dan dipertegas bahwa seorang petani memiliki keterkaitan erat dengan adanya KUD. Pasar yang diharapkan adalah bagaimana KUD bisa menjadi motor penggerak di daerah dalam memfasilitasi segala kebutuhan yang diperlukan oleh petani.

Perbaikan sistem irigasi dan perangkat-perangkatnya ternyata mampu membawa hasil-hasil yang dianggap memuaskan, meskipun terdapat beberapa kali gagal panen pada saat penyesuaian benih unggul, namun tetap saja ditahun-tahun selanjunya hasil panen perlahan mulai meningkat.

Tabel 11. Produksi Beras berdasarkan Luas Lahan di Simalungun

NO Tahun

19 1995 77.463 357.241 19.954 47.380

20 1996 78.697 394.515 21.188 64.906

21 1997 80.931 416.515 22.422 71.924

22 1998 78.697 360.014 19.188 50.342

Jumlah 1.269.256 6.753.125 280.055 874.598

Sumber: BPS Kab. Simalungun, data diolah dari berbagai tahun

Awal-awal tahun masa pelita II, Simalungun hanya mampu menghasilan beras kisaran 324.559 Ton beras dengan total luas lahan 34.200 Ha. Hal tersebut merupakan paduan antara lahan pertanian padi sawah dan lahan pertanian Padi ladang.

Sementara pada masa 1985 pasca Indonesia berhasil swasembada beras maka hasil yang diperoleh di Simalungun juga berhasil meningkat dengan total produksi mencapai 371. 783 Ton dari luas 83.129 Ha.141 Tetapi hal itu tidak dapat bertahan lama. Karena jika dilihat dari tabel di atas, tahun selanjutnya mengalami penururan yang sangat drastis. Artinya, bila skala nasional dapat dikatakan mencapai puncak kejayaannya maka tidak dengan Simalungun yang mengalami penurunan luas lahan dan penurunan hasil produksi pada tahun-tahun selanjutnya.

Pada kurun waktu tersebut masyarakat masih dianggap trouma dengan hasil banyaknya hama wereng yang tersebar di daerah itu. Sehingga penggunaan bibit unggul perlahan mulai kehilangan pamornya. Ditambah terdapat ancaman dari berbagai hama lain seperti hama tikus.

141 BPS, Simalungun dalam Angka 1985, hlm.13-145

Gambar 9. Surat Kabar TROUW tentang Hama Tikus

Sumber: Surat Kabar Trouw Jumat 12 maret 1971 hlm. 7

Berita yang muncul diharian surat kabar Belanda diatas memperlihatkan bahwa pemerintah simalungun membuat sebuah hukuman penjara bagi yang tidak berhasil membunuh dan mencari 50 ekor tikus perharinya. Masalah ini berlangsung pada kurun tahun-tahun berikutnya, dan meskipun telah diupayakan memperbaiki pertanian yang ada, hasil produksi tetap juga mengalami fruktuasi hasil panen yang tidak jauh dari masa-masa sebelumnya.

Bagi masyarakat umum, yang menjadi prioritas dalam pertanian adalah harga beras yang akan dikonsumsi. Masyarakat selaku konsumen mendapati selalu adanya kenaikan harga beras. Pada pelaksanaannya yang berwenang menetapkan harga beras adalah Bulog yang diamanahkan oleh pemerintah, sedangkan bagi Simalungun terdapat Sub-Dolog yang mengatur pengeluaran dan peredaran beras di Simalungun.

Tabel 12. Perkembangan Rata-Rata Harga Beras di Simalungun

NO TAHUN HARGA JENIS BERAS*

SAWAH IR C4 ARIAS RAMUS LADANG

1 1980 Rp. 230 - - - - -

2 1981 Rp. 275 Rp.236 Rp. 295 Rp 330 Rp. 306 - 3 1982 Rp.362 Rp.221 Rp. 383 Rp 310 Rp. 300 -

4 1983 Rp.384 Rp.359 - - - Rp. 376

5 1984 Rp.390 Rp.330 - - - -

6 1985 Rp.398 Rp.325 - - - -

7 1986 Rp.619 Rp.462 - - Rp. 681 -

8 1987 Rp.220 - - - - -

9 1988 Rp.540 Rp.463 - - Rp. 681 -

10 1989 Rp .600 Rp.475 - - Rp. 743 -

11 1990 Rp.660 - - - - -

12 1991 Rp.700 Rp.486 - - Rp. 700 -

13 1992 Rp. 675 Rp.550 - - - -

Sumber:BPS Kab. Simalungun. Data diolah dari Berabagai Tahun.

Data diatas memperlihatkan bahwa meskipun kenaikan padi tidak terlalu signifikan, tetapi harga beras perlahan tetap naik walaupun ditahun 1987 mengalami penurunan karena jika dilihat pada produksi padi ditahun 1987 produksi padi tembus pada angka kisaran 300.000 Ton untuk kedua kalinya setelah tahun 1984. Sebenarnya yang menjadi permasalahan tentang harga selalu berkaitan dengan stok beras itu sendri. Pada catatan pengeluaran yang diberikan oleh Sub-Dolog di Simalungun maupun di daerah lainnya pemerintah melalui sub-Dolog memanfaatkan persediaan beras untuk pendistribusian dan kebutuhan yang juga.

Kebijakan ini bertumpu pada kebijakan pemerintah yang mewajibkan adanya tugas tambahan bagi Bulog, yaitu:

(1) Menugaskan Bulog untuk melakukan pembelian gabah atau beras dari KUD maupun bukan KUD pada harga dasar, terutama pada saat panen raya;

(2) Memberi mandat kepada Bulog untuk mengelola stok gabah dan beras dengan membangun atau menyediakan gudang yang cukup;

(3) Menciptakan outlet untuk menyalurkan stok beras berupa pembagian beras kepada pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta menyalurkan beras paceklik ke daerah deficit kemudian mendistribusikan beras ke berbagai daerah yang memiliki harga jual yang berbeda antar daerah agar dapat merangsang perdagangan beras oleh swasta;

(4) Memberikan monopoli impor beras kepada Bulog sehingga pasar beras domestik terisolasi dari pasar internasional; dan

(5) menyediakan pembiayaan yang cukup kepada Bulog melalui pemberian kredit murah yang berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia142

Sebenarnya yang harus menjadi sorotan yang tepat adalah pihak petani itu sendiri. Pasalnya, Kebijakan harga dasar gabah dan beras yang secara eksplisit diterapkan mulai tahun 1980 yang pelaksanaan operasionalnya dilakukan oleh Bulog, berperan positif dalam memberikan insentif berproduksi dan menyumbang pada upaya menstabilkan harga gabah dan beras.

Salah satu faktor yang berdampak pada efektivitas harga adalah ketika ekonomi beras diliberalisasikan dengan cara membuka kesempatan impor beras kepada swasta, maka mengakibatkan harga beras internasional relatif rendah dibanding harga dalam negeri. Walaupun kemudian diterapkan tarif sebesar 30%

atau senilai Rp430/kg,143 kebijakan tarif ini tidak dapat membendung masuknya beras impor. Faktor pendukung lainnya yang hilang adalah terkait dengan kemampuan operasional Bulog. Kebijakan ini kemudian menjadikan pengelolaan pertanian pasca panen perlahan mulai kehilangan arah di masa selanjutnya.

142Achmad Suryana dkk. Dinamika Kebijakan Harga Gabah Dan Beras Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian Vol. 7 No. 4 Desember 2014, Hlm 155-168

143 Ibid

BAB IV

KEGAGALAN TERHADAP DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Kisruhnya politik pembangunan pertanian di Indonesia banyak menguak tabir persoalan yang tak pernah selesai dari dulu hingga sekarang. Permasalahan yang muncul banyak menyoroti persoalan mengenai kebijakan produksi, impor, keterbatasan lahan, sampai pada hilang timbulnya berbagai kelembagaan di sektor pertanian. Pada Bab ini pembahasannya lebih fokus tentang sebuah makna kegagalan dari pembangunan pertanian. Sebagian yang data sudah diuraikan pada Bab 2 yang membahas tentang pertanian dimasa sebelum Orde Baru dianggap memiliki komitmet yang tinggi dalam menjalankan pembangunan pertanian dimasa itu bahkan berbagai kebutuhan pangan untuk perkebunan eropa akhirnya dapat terpenuhi dan mampu menjadi sumbangsih besar bagi Sumatera Timur saat itu begitu pula pada Bab 3 yang membahas tentang strategi politik Orde Baru dalam membangun pertanian di Simalungun.

Berbagai motif yang melandasi politik pembangunan merupakan buah hasil dari keinginan yang terlahir dari kelompok individu yang bersamaan dengan keinginan pemangku negara dan kemudian secara bersama-sama mendapatkan, menjalankan dan mempertahankan pembangunan yang sudah dijalankan. Namun dari keseluruhan capaian tersebut, peran pemerintah selalu menjadi tonggak prioritas dalam segala keputusan, masyarakat petani tidak dapat berbuat atau memainkan perannya sendiri diluar keputusan pemerintah. Peran pemerintah yang digunakan jika dikaji berdasarkan teori politik pembangunan maka motif tersebut berdasarkan motif kekuasaan, identitas dan aktualisasi.144

144 Warjio, Op.Cit. hlm. 144-150

Keseluruhan pandangan diatas itu secara tegas belum menyatakan bahwa jalan yang ditempuh Indonesia dalam membenahi masalah pangan dan sektor pertanian sepenuhnya terdapat pada kebijakan politik pembangunan yang di pola secara detail oleh pemerintah. Meskipun sebagian kelompok memandang adanya pendekatan ekonomi (produksi, pasar, dan mekanisme perdagangan) dalam mengurai permasalahan yang ada, namun paradigma pembangunan pertanian juga bersinggungan erat dengan kesejahteraan petani yang menjadi aktor–aktor politik pembangunan. Petani memiliki peran penting dalam hal ini untuk menjadi roda penggerak. Meskipun demikian, petani bukan berada pada posisi yang selamanya seperti korban kebijakan disatu sisi juga menjadi pelaku tentang kegagalan yang ada. Perubahan paradigma ini akhirnya menciptakan suatu missing link dalam menerapkan pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke periode lain.

Pertanian tidak lagi dipandang secara menyeluruh, tetapi direduksi sebagai suatu kebijakan yang asasnya sekadar persoalan produksi, teknologi, dan harga.

Pendukung lain seperti hukum yang saling timpang tindih menjadikan berbagai kebijakan pertanian harus merelakan program yang lainnya. Terdapat berbagai permasalahan terkait gagalnya pertanian di Simalungun yang akan dibahas pada sub-bab berikut.