• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola awal Sosial-Ekonomi di Simalungun

2.2. Sistem Sosial-Ekonomi

2.2.1. Pola awal Sosial-Ekonomi di Simalungun

Masyarakat Simalungun memiliki sistem sosial yang khas dalam kehiduan sehari-harinya. Terdapat falsafah hidup yang sering terdengar dari leluhur nenek moyang orang Simalungun, seperti Habonaron do Bona, Sapangambei manoktok Hitei, Marharoan Bolon, Marsialop Ari, Marsombuh Sihol dan Hopuk.

Kerukunan masyarakat ini terbingkai secara penuh dalam keteguhan orang Simalungun. Sehingga dalam beorganisasi yang bersifat sosiat terdapat falsafah yang mengikat tata kekerabatan dalam adat istiadat orang Simalungun yakni Tolu Sahundulan, Lima Saodoran yang bermakna gambaran dan peran posisi masing-masing tokoh dalam upacara adat dan sistem kekerabatan. Tolu Sahundulan artinya tiga posisi dalam satu tempat duduk. Sistem ini menjelaskan bagaimana posisi tempat duduk: Sanina (Sanak sodara), Boru (pihak ipar/penerima anak gadis),dan Tondong (pihak pemberi istri kita/orang tua) Sedangkan Lima Saodoran artinya kalau berodoran (berbaris) maka masing-masing harus berada

70Hisarma Saragih, Op.Cit, Hlm. 3

dalam barisannya yaitu yang terdiri atas, (Tondong, Tondong ni Tondong, Sanina (saudara sepupu), Boru dan Boru ni Boru/Anak Boru Mintori (ipar dari ipar).71

Kelima unsur adat (kekerabatan) tersebut merupakan suatu barisan yang besar dalam suatu kumpulan masyarakat adat yang merupakan gambaran umum dari upacara (pekerjaan) adat, dan secara umum disebut dengan (Na Martondong Maranank Boru).

Beralih pada sudut pandang yang berbeda, tanpa disadari karakter sosial masyarakat Simalungun secara historis juga menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi seiring dengan perubahan zamannya. Peran sosial perlahan bergerak mengikuti setiap perubahan yang terjadi. Dinamika ruang sosial selalu mengalami fleksibelitas dengan keadaan yang terjadi. Sebagai contoh, masyarakat Simalungun pada awalnya memiliki pola fikir sederhana: selagi tanah dapat memberikan hasil kebutuhan manusia dan jumlah orang masih relatif sedikit, maka apa yang terdapat di alam dapat di jadikan sebagai kebutuhan hidup.

Alur perjalanan ekonomi berdasarkan pemahaman di atas tentu sangatlah sederhana, tidak ada jual beli yang ada hanya tukar menukar barang, atau transaksi sekelompok individu lainnya didalam satu wilayah, yang dibutuhkan hanya bagaimana mencari produksi dari hasil hutan dan tanaman yang tumbuh di atas tanah. Hasil alam ini kemudian menjadi konsumsi sehari-hari yaitu berupa makanan seperti: pakis, daun dongdong (sejenis kayu bergetah), simoru duma (sejenis rumput), halosi (sejenis rumput untuk sayur), lahutu (sejenis rumput untuk sayur), tanggulon (sejenis pohon berbuah) dan lain-lain.72

71D. Kenan Purba dan J.D Poerba, Op.Cit.hlm. 15.

72J.M. Saragih, dkk, Op.Cit. hlm 42.

Memasuki masa selanjutnya, terjadi peralihan dari yang berpindah-pindah menjadi serangkaian dengan hidup bercocok tanam, gambaran bercocok tanam berpindah-pindah dilakukan dengan cara merambah hutan, kemudian membakar lalu membersihkannya. Sesudah itu ditanami dengan tanaman untuk kebutuhan hidup. Setelah tanah dianggap kurang memberikan hasil lalu ditinggalkan dan dicarilah tempat yang lain untuk dijadikan perladangan baru, demikianlah seterusnya dan cara ini dirasa kurang baik dan kurang ekonomis.

Kemudian berpindah ke pola pertanian menetap, karena dianggap lebih baik dan lebih menguntungkan. Penanaman dapat dilakukan terus menerus.

Ladang seperti itu dinamakan pohon atau tegalan. Kemudian dibentuk persawahan di pinggir-pingir sungai yang dikenal dengan istilah sabah lombang. Sejalan dengan itu dibentuklah perkampungan sebagai tempat tinggal menetap. Sebagai akibat perkembangan penduduk dan jumlah tanah yang terbatas dan tetap, maka mengenai masalah penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah di daerah ini semakin penting artinya bagi perekonomian yang ada di Simalungun.

Memasuki masa kerajaan sampai dengan tahun 1920, perkeonomian dan pemanfaatan lahan mulai mengalami perubahan yang signifikan, raja memiliki hak penuh atas tanah-tanahnya. kemudian berhak menentukan arah kebijakan dalam pertanian. Pembangunan bidang ekonomi terutama pertanian dibawah kerajaan sangatlah perlu layaknya sebuah kampung lengkap dengan pemimpinnya maka pembangunan rumah bolon (istana Raja) lengkap dengan Balei (tempat Musyawarah), Lopu (tempat istirahat) dan Jambur (tempat bercengkrama). Begitu pula dengan pembangunan Losung Bolon (Lesung Besar) sebagai tempat menumbuk padi seiring dengan hasil pertanian yang dihasilkan oleh masyarakat

baik dari ladang sendiri atau dari Juma Bolag (Ladang Raja).73 Hasil pertanian dalam bidang pangan terutama beras, maka beberapa padi juga akan di simpan didalam hobon yaitu lumbung padi yang dahulu dibuat dari kulit kayu, bambu yang dianyam dan sekarang sudah pula dibuat dari papan.

Gambar 2. Losung Sebagai Penumbuk Padi Tradisional dari Simalungun

Sumber: Dokumentasi bapak Tuahman Saragih, 2020 2.2.2. Pola lanjutan Sosial-Ekonomi di Simalungun

Perekonomian di Simalungun mengalami perubahan dan gaya baru ketika makin banyak para investor asing. Berbagai negara dari Inggris, Jerman dan Amerika masuk dalam rangka membuka jalannya perkebunan di Simalungun.

Sistem ekonomi yang biasanya menjadi kebutuhan sehari-hari, selalu sejalan dengan sistem sosial yang berlaku di wilayah kerajaan Simalungun, perlahan hilang dengan sistem kapitalis yang baru di bawah kekuasaan Belanda.

Keuntungan yang diperoleh perusahaan asing memaksa Belanda menjamin investasi mereka dengan menjadikan daerah Sumatera Timur sebagai kawasan perkebunan. Sehingga tahun 1909 dibentuklah Cultuurgebied van Oost Sumatera

73Ibid, hlm. 56

(Kawasan Perkebunan Pantai Timur) yang meliputi: Langkat, Deli, Serdang, Siantar, Simalungun dan Asahan.74

Sedangkan beberapa Raja Simalungun yang tunduk dengan pemerintah Hindia Belanda perlahan hidup lebih baik dan dalam suasana kemewahan dengan fasilitas yang umumnya juga dipakai kalangan orang-orang Eropa karena menerima gaji dan perolehan pajak (sewa) atas tanah kontrakannya. Melalui cultuurgebied, para raja mendapatkan keuntungan finansial, perolehan gaji para Raja di Simalungun sebesar f 6.720 setahun, kemudian seperti Siantar dan Tanah Jawa juga menikmati uang jalan sebesar f 1.800 setahun. Selian itu dari rakyat para raja juga masih menerima sejumlah upeti-upeti tradisional.75

Sebaliknya, para petani lebih berat karena ditekan untuk pembayaran balasting (pajak). Kemudian pembukaan perkebunan (onderneming) sejak tahun 1910 merupakan penanda pertambahan penduduk di Simalungun yang terdiri dari kuli kontrak dari Jawa dan Cina bahkan migrasi Batak Toba yang berasal dari Tapanuli untuk memulai sebuah pertanian padi jenis baru yang sebelumnya tidak dikenal di masyarakat Simalungun76. Diutamakannya ekonomi perkebunan dan pertanian oleh kolonial Belanda pasca korte verklaring (1907) menjadi penggerak utama perubahan di Kerajaan di Simalungun.

74Memorie van Overgave van Onderafdeling Simaloengoen 1 October 1911, hlm 100-101, bundel Algemene Secretarie dalam Jalatua H. Hasugian, Op.Cit, hlm.85

75Juandaha Raya.op.cit., hlm. 74

76Kedatangan orang dari arah Tapanuli dipelopori oleh orang Belanda yang berkaitan erat dengan proses kristenisasi. Pemerintah Belanda menjanjikan fasilitas tertentu asal mereka mau ikut dengan jumlah besar dan kemudian membuka areal persawasahan.sementara Di hal ini mengakibatkanterbatasnya kebutuhan pangan di areal perkebunan. sehinggaPemerintah kolonial berharap agar orang Tapanuli mampu mengatasi kekurangan pangan di daerah perkebunan-perkebunan milik Belanda. Lihat O.H.S Purba & Elvis F. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak: Sebab, Motipdan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba.

(Medan:Monora,1997). Hlm. 120. Lihat juga D. Kenan Purba dan J.D Poerba, Op.Cit.hlm.66

Kegiatan yang dipelopori oleh Belanda di atas adalah untuk memperbesar persaingan (tidak jarang terjadi perselisihan) antara penduduk setempat dengan penduduk pendatang. Sesuai dengan krakteristik sifat orang Simalungun yang suka menyendiri dan mudah tersinggung ditambah tidak mengenal sistem pertanian sawah akhirnya mereka perlahan berpindah kedaerah-daerah yang relative tanahnya kurang subur dan gersang di dataran Tinggi. Sementara di dataran rendah daerah-daerah subur sudah dijadikan areal persawahan padi dan sebagian dijadikan sebagai lokasi perkebunan.77

Gambar 3. Perkampungan Imigran Toba dan Jawa ke Simalungun

Sumber : J. Tideman, Op.Cit. Hlm. 189 & 199

Ket: (kiri) Perkampungan Toba di Areal persawahan Bah Kerah II; (kanan) Perkampungan Purwadadi di Pematang Bandar

Keadaan di atas terus berlanjut hingga dewasa ini. Inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan pandangan tentang wilayah Simalungun atas dengan Simalungun Bawah. Terjadinya karakteristik multi-etnis Simalungun dewasa ini, sebenarnya sebagian besar merupakan hasil dari kebijakan liberal masa kolonial, yang mendorong investasi swasta di Indonesia dan menyebabkan pertumbuhan skala besar perkebunan karet, teh, tembakau, dan kelapa sawit milik Eropa di dataran rendah. Sama halnya seperti lokasi persawahan yang digunakan

77D. Kenan Purba dan J.D Poerba, Ibid

dan dikelolah oleh orang-orang Jawa eks-perkebunan wilayah ini disebut dengan Java kolonisasi.

Melihat keadaan sosial ekonomi pada masa awal kemerdekaan, umumnya belum mengalami banyak perubahan seperti masa jaman Jepang, terutama di bidang pertanian kemunduran produksi pertanian terjadi karena pada zaman Jepang para petani tidak mengelola tani secara maksimal dikarenakan pihak pemerintah Jepang membeli hasil dari petani seperti beras dengan harga yang sangat murah.

Perkembangan ini berpengaruh besar terhadap perubahan dalam bidang ekonomi, kebudayaan, struktur sosial, pola-pola interaksi sosial dan stuktur kependudukan di daerah Simalungun, maka dengan seketika berubah menjadi penduduk yang lebih heterogen (pluralis).78

Perubahan yang dimaksud adalah sistem yang mengarah pada pelaksana roda perekonomian sertya mengacu pada tujuan akhir dari ekonomi itu sendiri.

Meskipun demikian, proses perubahan perekonomian di Simalungun dari masa ke masa selalu berkaitan erat dengan tanah tempat mereka hidup. Maka dari itu, masyarakat Simalungun menjalani hidup selalu bersumber dari tanah atau hidup di atas tanah.Baik sejak memasuki zaman Kerajaan, kolonialisme hingga menjadi bagian dari NKRI. Itulah sebabnya relevansi pencaharian hidup berkaitan erat dengan tanah. Pada uraian selanjutnya ini, akan dibicarakan secara tahap demi tahap sesuai dengan karakteristik kehidupan masyarakat Simalungun berdasarkan topografi wilayah dan sangat erat kaitannya dengan karakteristik masyarakat Simalungun.

78Wolfgang Clauss. Economic and Social Change among the Simalungun Batak of North Sumatra. (Verlag Breitenbach Publishers: Saarbrucken. Fort Lauderdale. 1982) hlm. 55.

2.3. Terbentuknya Ekologi Budaya dan Ekosistem Pertanian

Meminjam istilah ekologi yang sering dipakai dalam perspektif ilmu biologi pada dasarnya memiliki makna hubungan fungsional antara organisme dengan lingkungan hidupnya. Pendekatan ilmu sosial dalam ekologi bukan hanya sebagai ambisi umum dalam lintas ilmu. Perlunya melibatkan manusia dengan yang terjadi di alam dapat dijadikan latar belakang yang saling ketergantungan.

Fungsi lain dari proses ini sebenarnya akan melihat bagaimana manusia itu dibentuk oleh kondisi-kondisi lingkungan.79

Pendekatan bidang ekologi dalam pertanian memiliki tujuan untuk mencapai spesifikasi yang jelas antara hubungan manusia dengan kegiatan manusia itu sendiri, transaksi biologis, dan proses alam tertentu. Kaitan dari ketiga tujuan ini biasanya terjadi pada suatu jaringan ekosistem. Kemudian ekosistem mampu mengerucut menjadi satu hal yang sering disebut dengan ketergantungan dengan alam sekitar.

Setidaknya dalam pertanian selalu muncul anggapan bahwa pada akhir setiap proses kerja, muncul suatu hasil yang sudah dibayangkan oleh pekerja itu, dengan demikian hasil itu sudah ada secara ideal/dalam angan-angan. Manusia tidak saja menghasilkan suatu perubahan bentuk pada bahan-bahan alam; ia juga mewujudkan (verwirklicht) maksudnya sendiri pada bahan-bahan itu.80

Dengan masuknya manusia sebagai suatu unsur ekosistem, maka proses ini tidak mungkin mengubah hakekat asas yang sebenarnya. Calrke dalam C. Geertz memberi contoh uraian mengenai seorang peternak yang jengkel, karena banyaknya kebiri yang masih kecil mati karena dimakan sebangsa anjing hutan.

79C. Geertz, Involusi Pertanian: proses perubahan ekologi di Indonesia, (terjemahan).

(Jakarta:Bhratara Karya Aksara,1983). Hlm. 1-6

80 Marx dalam Henry Berstein, Dinamika kelas dalam perubahan agrarian (edisi revisi), terjemahan: Dian Yanuardy dkk, (D.I Yogyakarta: 2019), hlm. 18.

Kemudian peternak bersama tetangganya memusnahkan hampir semua anjing hutan yang ada di sekitar ladang peternakannya. Dengan musnahnya anjing hutan yang ada maka muncul kelinci, tikus dan segala macam binatang pengganggu lain dan berkembang biak kemudian memakan rumput di padang peternakan Sipeternak. Selanjutnya usaha memusnahkan anjing pun terhenti sejenak, kemudian mefokuskan dengan meracuni hama kelinci, tikus dan lainnya. Akan tetapi, anjing hutan yang kembali ke ladang peternakan merasa kekurangan mangsanya karena kehilangan kelinci, dan tikus. Alhasil anjing hutan menjadi lebih ganas memakan biri-biri yang masih kecil dan lebih ganas lagi sebagai satu-satunya sumber pangan yang ada.81

Kasus diatas berhasil menempatkan manusia sebagai penentu dari keberlangsungan yang ada. Manusia dalam sebuah ekosistem sebenarnya tidak menjadi penghubung rantai makanan. Namun pola ekosistem yang terjadi berhasil menempatkan manusia sebagai peranan penting dalam mengelola alamnya. Alam terbentuk dengan sendirinya kemudian manusia menempatkan diri sebagai penentu kelanjutan alam yang ada dan membuat ekologinya sendiri.

Sisi lain dari kehadiran manusia dari suatu ekosistem di alam dapat dikaji melalui perspektif yang lebih dekat yang disebut dengan ekologi budaya.82 Perbedaan utama antara ekologi budaya dengan pendekatan lainnya sebenarnya bukan terletak pada kehidupan manusia secara luas dan besar, melainkan melihat kecocokan dalam menerapkan konsep dan asas ekologi pada aspek tertentu dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia.

81Ibid, hlm. 4-5

82W. Firey. Land Use Central Boston.(Cambridge: Harvard University Press,1947). Hlm. 3

Seperti halnya pertanian, baik sawah maupun ladang merupakan sebuah proses historis dari perkembangan budaya dan merupakan bagian terpenting dari penginggalan lingkungan alamnya. Bentangan alam beserta seluruh isinya yang disediakan kemudian di proses oleh campur tangan manusia, lalu muncul budaya-budaya baru yang sesuai dengan bentangan alamnya. Begitu pula sistem pertanian dapat berkembang menghasilkan sebuah sistem pertanian sesuai dengan bentu alam, kreativitas dan kemampuan manusianya.

Munculnya istilah padi ladang maupun padi sawah juga berkaitan dengan konsep pendekatan sebuah ekologi diatas. Setiap bentuk pertanian merupakan suatu usaha untuk mengubah ekosistem tertentu sehingga dapat menaikkan arus energi ke manusia, persawahan mencapai hal ini dengan cara mengolah kembali alam sekitar, sedangkan perladangan dengan cara meniru alam sekitar.83 kemunculan ekologi budaya yang baru juga hadir tanpa disadari dengan lahirnya organisasi kekerabatan, pembagian kerja menurut jenis kelamin, bentuk struktur desa dan pelapisan masyarakat berdampingan dengan proses ekologi yang terjadi di alam.

Bagi kabupaten Simalungun, keadaan alam yang sangat strategis dan subur dibedakan atas dua tofografi wilayah, yaitu Simalungun Atas dan Simalungun Bawah.84 Bagian Simalungun Atas meliputi kerajaan Silimakuta, Purba, Dolok

83C. Geertz, op.cit., hlm 16

84 Belum ada kejelasan sejak kapan muncul istilah Simalungun atas Dan Simalungun Bawah, pasca tahun 2000an istilah ini semakin sering terdengar terkait rencana proses pemekaran wilayah Simalungun, penggunaan Atas dan Bawah menurut hemat penulis merupakan bagian wilayah yang ditinjau berdasarkan tofografinya. Hal ini disebabkan karena karakteristik wilayah Simalungun yang terdiri dari dua jenis yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Hisarma Saragih menyebutkan bahwa yang termasuk wilayah Atas merupakan bekas wilayah administrasi Seribudolok, dan Bawah yang termasuk bekas administrasi di Pematang Siantar. Selanjutnya juga dapat di lihat berdasarkan wilayah kerajaan. Lihat Hisarma Op.cit, hlm. 21-22, lihat juga R. William Liddle,

Silao dan Raya. Sedangkan Simalungun Bawah Mleiputi kerajaan Siantar, Tanah Jawa, dan Pane.

Dengan tofografi yang berbeda diantara dua bagian wilayah ini, maka Simalungun Atas relative lebih sejuk dengan temperatur 18,30-19,60C karena berada pada 14000 Mdpl dengan aliran sungai antara lain : Bah Bulian, Bah Lias, Bah Bolon, Bah Pasussang, Bah Karei, dan lain-lain. Aliran sungai ini terus memanjang terus sampai Simalungun Bawah yang hanya berada 20 Mdpl sesuai dengan kemiringan lereng wilayah Simalungun.85

Gambar 4. Grafik Persentase Kemiringan Lereng Kab. Simalungun

Sumber: Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Simalungun (2004-2014).

Pemerintah kabupaten Simalungun Badan Perencaan Pembangunan Daerah. hlm. II-4 Berdasarkan gambaran wilayah di atas dan juga dengan tersedianya lahan dan tanah yang subur, Masyarakat Simalungun akhirnya mengandalkan alam sebagai upaya bertahan hidup. Meskipun begitu, wilayah yang paling luas adalah wilayah dengan tingkat kemiringan 2 s.d 15 % atau dapat dikatakan lebih luas dataran rendahnya, oleh karena itu masyarakat Simalungun mengenal dua sistem pertanian yaitu Perladangan (Parjumaan) dan persawahan. Masing-masing pertanian memiliki ciri dan karakter bertani yang berbeda sehingga mengisi alur historis yang berbeda-beda pula.

Suku Simalungun: An Ethnic Group In Search Of Representation, dalam Indonesia, No. 3 Apr.

1967(Southeast Asia Program Publications at Cornell University) hlm. 4

85 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Simalungun (2004-2014). Op.Cit. hlm.

II-4

2.3.1. Perladangan (Parjumaan)

Simalungun saat ini merupakan salah satu sentra produksi beras nasional, baik varietas padi ladang, Sawah ataupun jenis padi yang lainnya. Meskipun begitu, luas lahan padi ladang tidak lebih besar dari luas lahan padi sawah.

Meskipun begitu Simalungun termasuk daerah penghasil padi ladang terbesar di Sumatera Utara.

Jenis benih padi ladang yang sering digunakan adalah Padi gogo yang termasuk salah satu ragam budidaya padi yang penanamannya di lahan kering.

Selain jenis padi gogo, masih ada ragam budidaya jenis padi yang lain yang dikembangkan seperti yang paling terkenal adalah padi sawah, padi rawa atau padi pasang surut untuk dataran rendah, dan padi tadah hujan untuk daerah-daerah tertentu. Perbandingan ragam budidaya tersebut jika dipersentasekan maka rinciannya adalah padi sawah 63%, padi gogo 14%, padi rawa 3% dan padi tadah hujan 20%.86

Bagi masyarakat Simalungun teknik pertanian berladang disebut dengan marjuma. Mata pencaharian tradisional berladang dilakukan dengan teknik menebas hutan belukar (mangimas) dan mengolahnya menjadi lahan pertanian tanaman palawija seperti padi, jagung, ubi. Rangkaian lengkap dari Pertanian padi ladang dimulai dari mangimas (membuka hutan atau sabana menjadi perladangan), mardang (menanam padi), marbabou (menyiangi padi), dan pariama (panen).

Mata pencaharian seperti ini biasanya menggunakan pertanian secara berpindah-pindah, mereka meninggalkan lahan yang sudah kurang subur untuk

86Ira Apriyanti, Financial Feasibility Of Rice Red Rice Farming Oryza Nivara (Case Study:

Village Of Saran Padang, Dolok Silau Subdistrict, Simalungun Regency), (Medan: Journal Of Agribusiness Sciences), Volume 01 No. 01, Oktober 2017. Hlm. 26

dua sampai tiga tahun saja, selanjutnya mereka mencari lahan yang baru. Proses kegiatan berladang seperti ini sering disebut dengan berbagai istilah: perladangan (Swiden Agriculture), bercocok tanam berpindah-pindah (Shifting Cultivation), atau pertanian tebang bakar (slash-and burn farming) namun dengan proses yang sama yaitu tanah dibuka, ditanami selama satu atau dua tahun, kemudian di istirahatkan menjadi semak belukar dan biasanya ditanami kembali. Bentuk kehidupan sosial ekonomi yang bercorak tanaman ladang sangatlah berpengaruh terhadap sikap, pola hidup, dan cara berfikir orang Batak Simalungun.87

Tipe perladangan biasanya terjadi dengan perputaran yang mengambang, artinya tidak selalu memperhatikan unsur tanah. Jika sudah tidak subur maka akan berpindah mencari tempat yang baru. Untuk mempercepat proses pembukaan lahan maka dilakukan pembakaran hutan yang dasarnya juga merupakan cara mempercepat proses pembususkan. kemudian sekaligus mengarahkan proses yang sedemikian rupa sehingga menghasilkan zat makanan yang banyak dan berguna untuk tanaman pangan tersebut.

Meskipun bertani dengan perladangan biasanya memiliki kontrol yang besar, namun dalam khasanah penelitian tidak banyak dibahas dalam kepustakaan karena pencirian perladangan yang biasanya diungkapkan secara negatif88. Menurut Gourou89 secara garis besar menguraikan empat ciri perladangan

87Sebelum kedatangan Kolonial Belanda, marjuma dinyatakan sebagai usaha yang sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri (Subsisten), saling bertemu di perladangan dan membuat gubuk kecil (sopo), jauh dari dari kehidupan khalayak (huta) lebih cendrung mengasingkan diri. Dan jika jumlah sopo semakin banyak dan berdekatan, maka lambat laun akan membuat huta (perkampungan) yang baru, di sisi lain setelah adanya bentuk kerajaan tradisional hasil pertanian dan hal ini juga dijadikan sebagai alat pemberian (upeti) rakyat kepada raja karena telah memberikan perlindungan dan kesejahteraan. Sementara untuk pertanian sawah hanya ada sebagian di pinggiran danau toba, lihat Moolenburgh dalam Hisarma Saragih, Op.Cit. hlm 40-41,

88Conclin dalam Clifford Gerts, Involusi pertanian,Proses perubahan ekologi di Indonesia (terjemahan Indonesia: S. Supomo), (Jakarta: Bhratara Karya Aksara:1983),hlm. 15

89Ibid, hlm. 15

a. Dijalankan di tanah tropis yang gersang;

b. Berupa teknik pertanian yang elementernya tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak;

c. Kepadatan penduduk rendah;

d. Menyangkut tingkat konsumsi yang rendah;

Sedangkan menurut Dobby, perladangan itu merupakan tahap evolusi dari berburu dan meramu sampai pada bercocok tanam menetap, dan istimewanya terdiri dari ciri-ciri kehidupan yang tidak ada hubungannya dengan usaha pedesaan atau sangat sedikit mengarah pada produksi yang memiliki arti dalam perdagangan, kebanyakan sarjana mengungkapkan bahwa ciri perladangan itu diiringi penggundulan dan erosi tanah yang serius.90

Jika ditelaah lebih dalam, proses ini jelas tidak bisa disamarkan dengan karakteristik pertanian padi di Simalungun teruatama bagi Simalungun Atas yang notabenenya sebagai petani perladangan (marjuma). Seperti yang di jelaskan sebelumnya, bahwa tingkat kepadatan penduduk simalungun juga masih tergolong masih rendah, kalaupun harus menjadi kempung kecil, maka huta tersebut juga terdiri dari beberapa sopo.

Pertanian jenis perladangan msih dapat didapati baik sebelum dan sesudah kolonial Belanda masuk ke wilayah Simalungun. Saat adanya kerajaan huta terbentuk, maka pada saat itu terdapat peran seorang paruma (rakyat biasa/ petani) menanam padi dan kemudian biasanya hasil pertanian yang dihasilkan oleh masyarakat itu bersumber dari ladang sendiri atau dari Juma Bolag (Ladang Raja).

Kemudian sebagiannya diberikan kepada raja sebagai bentuk terimakasih kepada

90Ibid

Raja. Setelah ada pengaruh Belanda, dapat lihat pula adanya pertambahan penduduk dan adanya diperkenalkan jenis pertanian pangan yang berbeda. Hingga masa Orde Baru dan saat ini, jenis tanaman pertanian ladang ini masih ditemukan di Simalungun. Namun hasil persentasenya dapat dikatakan selalu menurun.

Jika dilihat secara positif jika dibedakan dengan areal persawahan, maka perladangan lebih berintegrasi dalam struktur umum ekosistem alami. Setiap bentuk pertanian merupakan suatu usaha untuk mengubah ekosistem yang ada

Jika dilihat secara positif jika dibedakan dengan areal persawahan, maka perladangan lebih berintegrasi dalam struktur umum ekosistem alami. Setiap bentuk pertanian merupakan suatu usaha untuk mengubah ekosistem yang ada