• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Geo Historis Kabupaten Simalungun

2.1.2 Bentuk Pemerintahan

Simalungun merupakan nama atau wilayah yang identik dengan tempat tinggal orang Simalungun yang menjadi salah satu dari enam puak membentuk suku Batak. Lima kelompok lainnya adalah Orang Karo, Toba, Angkola, pak-pak

53Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Simalungun (2004-2014). Pemerintah kabupaten Simalungun Badan Perencaan Pembangunan Daerah.

(Dairi) dan Mandailing.54 Orang Batak Simalungun Sering disebut juga dengan Batak Timur.55 Hal ini disesuaikan dengan wilayahnya yang terletak di sebelah Timur wilayah Batak. Berbeda dengan karakteristik yang kenal saat ini, masyarakat Batak terutama yang tinggal di pedalaman dan belum terdi pengaruhi pihak asing maupun penjajah, relatif hidup mengisolasi diri dari pengaruh dunia luar. Kehidupan ini dapat dijumpai hingga abad ke 19. Namun berbeda dengan yang berdiam diri di daerah-daerah pesisir ataupun dilokasi-lokasi yang berbatasan dengan masyarakat lain, mereka biasanya telah mengadakan kontak dengan dunia luar atau orang asing di luar sukunya sendiri.56

Keabsahan tentang pastinya usal-usul asli nenek moyang orang Simalungun masih menjadi tanda tanya hingga saat ini, jika di tinjau secara umum maka hanya dapat dijabarkan berdasarkna mitologi Batak yang sering disebeut sebagai Si Raja Batak. Masyarakat asli Simalugnun sendiri sangat meyakini bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari tempat yang sangat jauh dari pulau Sumatera yang didalam cerita rakyatnya datang dari tanah India bernama (Banua Holing).57

Dari sebuah kerajaan yang diberi nama Harajaon Nagur (Kerajaan Nagur), namun setelah keruntuhan Kerajaan Nagur muncul kerjaan baru yang disebut dengan Raja Naoppat atau Kerajaan Berempat dengan yang disebut dengan Kerajaan Siantar, Kerajaan Panei, Kerajaan Tanoh Jawa dan Kerajaan Dolog Silou). Dari sinilah kemudian penduduk asli orang Simalungun berkembang menjadi marga Damanik yang memegang kekuasaan di Kerajaan Siantar, yang

54Payung Bangun, Kebudayaan Batak. Dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Jambatan,1981). Hlm. 95-94

55M. Joustra, Batakspiegel. (Leiden: S.C.Van Doesburgh,1926). Hal. 292.

56Hisarma Saragih. Op.Cit. Hlm. 2-4

57 Budi Agustono, dkk. Sejarah Etnik Simalungun, (Medan: USU Press,2012). Hlm. 20

bermarga Purba memegang kekuasaan di Kerajaan Purba dan Panei. Selanjutnya yang bermarga Saragih memegang kekuasaan di Kerajaan Raya, dan yang bermarga Sinaga memegang kekuasaan, di Kerajaan Tanah Jawa.58

Pemahaman berbeda mengatakan bahwa Simalungun sebenarnya memiliki sejarah rumpun yang berbeda dengan rumpun batak lainnya. Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang memiliki perbedaan dengan bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum bahasa-bahasa Batak Toba dan Mandailing.59

Sebagai wilayah otonom dibawah pemerintahan Simalungun, kerajaan Panei, Tanah Jawa, Siantar dan Dolog Silaou juga memliki daerah daerah bawahan atau sub-ordinasi yang bentuk pemerintahannya di sebut dengan partanon. Pemerintahan partuanon juga berhak memiliki hak otonom berdasarkan hukum adat di wilayah Simalungun.

Bentuk kekuasaan dari kerajaan di Simalungun pada dasarnya lebih mengarah ke piramidal bukan hierarkis. Maksudnya memiliki struktur pemerintahan Partuanon dipimpin oleh Tuan, yang memberikan pengaruh yang sama dengan keempat kerajaan di atasnya. Tuan juga menaungi daerah-daerah kecil dibawahnya yang biasa dikenal dengan Huta dan di pimpin seorang pangulu huta. Maka dari itu struktur pemangku kekuasaan ini meliputi Raja, Partuanon, dan Pangulu huta atau struktur terkecil dalam pemerintahan di Simalungun adalah Huta (desa). 60

58 J.M. Saragih, dkk, Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Sumatera Utara 1984/1985, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Medan:1989) hlm. 34

59Uli Kozok, Warisan Leluhur: Sastra Lama dan aksara Batak, (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 14

60ANRI, SoK Seri Ie No. reel film 21 Memorie van Overgave der Onderafdeling Simeloengoen, Simaloengoen en Karolanden, Sumatera’S Oostkust W.C van Gelder, 1911 dalam Hisarma Saragih, Op.Cit. hal 31

Partuanon diangkat langsung oleh raja, guna menjaga pembangkangan dan tindakan lain diluar kerajaan, maka biasanya selalu yang diangkat menjadi Partuanon biasanya keluarga laki-laki keturunan raja yang disebut tuan. Jika yang diangkat berasal dari hubungan perkawinan maka disebut dengan (sanina sapangankonon). atau jika berasal ipar (anak Boru) maka wilayah itu disebut dengan parbapaan. Wilayah desa pusat (pematang) biasanya menjadi pusat wewenang partuaonon berjalan bersama dengan huta lainnya.

Meskipun Raja dalam menjalankan pemerintahan dipandang sebagai penguasa yang absolut, namun raja juga harus mematuhi adat yang terikat, misalnya aturan Harajaon dalam menobatkan Raja haruslah putra yang lahir dari sorang Puang Bolon (Permaisuri) dan yang boleh dinobatkan sebagai seorang Puang Bolon juga harus dari putri raja tertentu (misal: Kerajaan Raya harus dari Putri Raja Panei yang bermarga Purba; Kerajaan Dolog Silou harus berasal dari kerajaan Raya). Selanjutnya, dalam prosesnya hasil keputusan selalu dirundingkan bersama anatara Raja sebagai Partongah (penengah) dengan pejabat kerajaan (gamot) beserta partuanon atau parbapaan. Begitulah kedudukan raja dalam pemerintahan, tanpa mematuhi adat makan raja tidak akan mendapat wibawa yang tinggi. Selain itu, wibawa juga harus selaras antara kekuasaan yang dimiliki raja dengan berbagai kemampuan spiritual yang harus juga dimiliki oleh raja yang biasa bersifat kesaktian gaib.61

61Ibid. Hlm 32-33

Gambar 1. Peta Onder Afdeling Simalungun

Sumber: Juandaha Raya Purba Dasuha dalam Hasugian Jalatua, Pemerintah kolonial Belanda di Pematang Siantar periode 1917-1942, hlm. 7

Jika sebelum masuknya pengaruh asing masyarakat Simalungun hidup dalam kesukuan dengan kerajaan kecil, maka pasca masuknya pengaruh asing secara geografis, wilayah Simalungun pada masa kolonial terletak sebagai Onderafdelling yang berada di bawah afdelling Simeloengoen en Karolanden.62 Bahkan sampai tahun 1833 masing-masing kerajaan berempat menjalankan pemerintahannya menurut adat-istiadat Simalungun dan baru berubah setelah masuknya pengaruh bangsa barat tahun 1865.

Pada tahun 1889 raja-raja mengalami perubahan dalam kedaulatannya.

Perubahan itu terjadi melalui Controler Belanda V.C.J Westenberg yang berkedudukan di Bangun Purba (Deli/Serdang) mulai mempengaruhi Kerajaan Dolog Silou, Silimakuta, Purba dan Raya.

Pada awal abad ke-20 nama “Simalungun” secara resmi dipakai oleh Belanda untuk menentukan sebuah nama wilayah, yakni Simeloengoen-landen

62Anthony Reid, The Blood of the People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, (Kuala Lumpur: Oxford University Press,1979. Hlm. 53

(tanah Simalungun) yang meliputi beberapa kerajaan dibawahnya seperti Siantar, Tanah Jawa, Panei, Raya, Purba, Silimakuta dan Dolog Silou.63

Pembentukan Afdeeling Simeloengoen en Karolanden ini berdasarkan Besluit Gubernur General Hindia Belanda Nomor 22 tanggal 12 Desember 1906;

Staatblad Nomor 531 yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen berkedudukan di Saribudolog. Sebagai pejabat Asisten Residen pertama pemerintah Hindia Belanda mempercayakannya kepada V.C.J. Westenberg.64

Keputusan yang diambil oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menentukan Afdeeling Simeloengoen enKarolanden di Saribudolog sebagai letak ibukota dikarenakan letaknya yang berada di tengah-tengah antara Kerajaan Siantar (wilayah Simalungun) dan Tanah Karo. Dengan begitu Westenberg lebih mudah dan leluasa dalam menjalankan tugas dan menjangkau wilayah kerjanya, pada saat itu Westenberg juga dibantu oleh dua orang Controleur yang masing-masing berkedudukan di Kabanjahe dan Pematang Siantar.65

Pengaruh Belanda tak hanya sampai disitu, pada tahun 1912 kedudukan afdeling yang awalnya di Saribudolog maka dipindahkan ke Pematang Siantar.

Melalui peningkatan status ini, Westernberg berharap semakin diberikan kekuasaan lebih luas ketika menjabat sebagai Asisten Residen terutama dalam membuat berbagai kebijakan yang sangat strategis.

Berdasarkan kebijakan diatas, Westernberg memiliki kewenangan mutlak untuk menekan raja-raja lainnya di wilayah Simalungun untuk berkontribusi

63Lihat Mansen Purba, Rondahaim: Sebuah Kisah Kepahlawanan Menentang Penjajahan di Simalungun. Medan: Bina Budaya Simalungun. 1993, hlm 37.

64Besluit Gubernur General Hindia Belanda Nomor 22 tanggal 12 Desember 1906, Staatblad Nomor 531 Tahun 1906 dalam Jalatua H. Hasugian, pemerintahan kolonial Belanda di Kota Pematang Siantar Periode 1917-1942. Tesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara,2012), hlm. 6

65Djoko Marihandono, Harto Juwono. Sejarah Perlawanan Masyarakat SimalungunTerhadap Kolonialisme: Perlawanan Sang Nahualu. Bogor: Akademia. 2009, hlm. 164.

dalam menjalankan pemerintahan di Simalungun tentang memberikan pengaruh lanjutan pada bidang kegiatan sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Kedatangan kolonial juga memberikan perubahan yang besar bagi tatanan kerajaan yang ada di Simalungun. Pasca penandatanganan Korte Verklaring66 tahun 1907 raja-raja kemudian mengaku tunduk kepada Belanda, selanjutnya Belanda memecah belah raja-raja Maroppat dengan mengakui 3 daerah partuanon, yakni: Raja Saragih di Raya, Raja Purba di Purba dan Raja Purba Girsang di Silimakuta, mempunyai kedudukan sama dengan Raja Maroppat yang berarti mengendurkan rasa kesatuan dan persatuan yang dikenal dengan taktik divide et impera, Belanda mendirikan Kerajaan Marpitu dari mengangkat partuanon berikut: 1) Tuan Bandar berkedudukan di Pematang Siantar; 2) Tuan Batu Nanggar berkedudukan di Serbelawan; 3) Tuan Tiga Dolok berkedudukan di Tiga Dolok; 4) Tuan Marihat berkedudukan di Marihat Siantar; 5) Tuan Negeri Dolok berkedudukan di Negeri Dolok; 6) Untuk Kampung Kristen diangkat Marga Mangunsong bergelar Mangaraja Ihutan. 7) Untuk Golongan Cina diangkat Kapitan Cina.

Saat pemerintahan di Simalungun berubah menjadi Swapraja atau tujuh kerajaan yang disebut dengan Landschap. Maka dibentuk pula beberapa distrik dibawahnya:

66Korte Vorkling berisi tentang tiga pasal yaitu: 1) berupa pengakuan takluknya kerajaan simalungun dan menjadi bagian dari Hindia Belanda; 2) tidak mengadakan hubungan politik dengan negeri asing 3) melaksanakan sepenuhnya semua perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Lihat ANRI, SoK Besluit No. 24, 6 Januari 1904, Bijlagen 1.

Tabel 2. Kerajaan atau Landschap Beserta Distrik di Simalungun Masa Kolonial

Sumber: D. Kenan Purba dan J.D Poerba, Sejarah Simalungun, hlm. 61

Pada masa swapraja dan seterusnya raja-raja merasa kuasanya dikukuhkan, akan tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka telah menjadi alat kolonial. Sebagai bukti, raja-raja sudah ditugaskan memungut belasting (pajak) dan bagi rakyat yang tidak mampu membayar pajak dipaksa melaksanakan pekerjaan rodi (kerja paksa). Bahkan dalam mempemudah mendapatkan sewa lahan, Belanda selalu menawarkan sistem bagi hasil kepada para penguasa raja, hal itu sebenarnya merupakan cara Belanda untuk mengakomodir hukum adat tentang sewa-menyewa lahan.67

Setelah penandatanganan korte verklaring, maka Belanda melarang para raja berhubungan politis dengan kekuatan politik lain. akibatnya, wilayah Simalungun yang berada di dataran rendah berubah menjadi lahan-lahan perkebunan besar dibawah kendali Belanda.

67A.M.P.A.Scheltema. Bagi Hasil di Hindia Belanda, (terjemahan). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1985), hlm. 405-406.

Memasuki masa Jepang, rakyat yang telah miskin kemudian dipaksa bekerja keras menggarap tanah guna penanaman padi untuk makanan tentera Jepang, sedangkan rakyat dipaksa makan jagung dan ubi. Pemuda yang menjadi Giugun dan Heiho ini sudah ditempah dan tahan uji, karena telah kenyang akan pengalaman pahit dan penderitaan di masa sebelumnya.

Semasa Jepang berkuasa, penguasaan dan pengelolaan serta penggunaan tanah oleh rakyat semata-mata hasilnya hanya buat jepang. Hal ini jugalah yang menimbulkan kebencian rakyat terhadap raja-raja yang telah diperalat Jepang sebagai penguasa tanah. Akibat lain ialah bahwa mereka inilah kelak yang paling anti terhadap kekuasaan raja atas tanah. Pada masa pendudukan Jepang di Simalungun dibentuklah anak Gerindo yang diberi nama Tai Sin Tai agar Jepang tidak merasa curiga akan kegiatannya dan melatih kader-kademya baris berbaris-seperti sistim tentera Jepang sendiri serta, pelatihnyapun diminta dari tentera Jepang. Tai Sim Tai inilah kemudian yang menjadi Barisan Harimau Liar (HBL).68

Selama pada masa pemerintahan Jepang keadaan rakyat sangat menderita, baik bidang pemerintahan maupun bidang ekonomi. Pemerintahan tidak stabil, lembaga demokrasi tidak ada, raja-raja tidak dapat berbuat banyak untuk membela rakyat, walaupun statusnya tetap seperti zaman kolonial Belada, namun tugasnya semata-mata hanyalah sebagai perantara.69 Hingga masa kemerdekaan sistem pemerintahan tradisional akhirnya tunduk kepada NKRI. Tidak ada lagi bentuk kerajaan yang berjalan, karena sejak penetapan proklamasi kemerdekaan

68J.M. Saragih, dkk. Op.Cit, Hlm. 40

69D. Kenan Purba dan J.D. Poerba, Sejarah Simalungun, (Jakarta: Bina Budaya Simalungun,1995). Hlm. 3

Indonesia maka perkembangan pemerintahan di Simalungun merupakan sebuah kabupaten daerah tingkat II dalam negara Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kepalai oleh kepala daerah yang dikenal dengan Bupati.