• Tidak ada hasil yang ditemukan

justru bisa mendirikan tembok-tembok yang memisahkan, misalnya, '‘Karena gue Kristen gue gak mau membaca kebijaksanaan yang ada di agama Islam," atau,

“Karena gue Muslim gue gak mau membaca kebijaksanaan yang ada di agama Hindu," dan seterusnya.

Adakah ide alternatif yang bisa membantu kita merasa lebih tenang dan damai, tanpa terbentur label dan politik identitas?

Filosofi Teras

Kira-kira 300 tahun sebelum Masehi (atau sekitar 2.300 tahun yang lalu), seorang pedagang kaya dari Siprus (sebuah pulau di Selatan Turki) bernama Zeno

melakukan perjalanan dari Phoenicia ke Peiraeus dengan kapal laut melintasi Laut Mediterania. Zeno membawa barang dagangan khas daerah Phoenicia, yaitu semacam pewarna tekstil berwarna ungu yang sangat mahal, yang sering dipakai untuk mewarnai jubah raja-raja. Pewarna ini dibuat dari ekstrak siput laut, dan proses pembuatannya sangat melelahkan, karena ribuan siput laut ini harus dibuka dengan tangan hanya untuk mendapatkan beberapa gram ekstrak pewarna. Karenanya tidak heran barang ini sangat berharga dan mahal.

Malang tidak bisa ditolak, kapal yang ditumpangi Zeno karam. Zeno tidak hanya kehilangan seluruh barang dagangannya yang teramat mahal, tetapi ia juga harus terdampar di Athena. Ini tentunya sebuah cobaan yang besar, tidak hanya

kehilangan harta benda, tetapi juga harus menjadi orang asing yang luntang-lantung di kota yang bukan rumahnya.

Suatu hari di Athena, ia pergi mengunjungi sebuah toko buku dan menemukan sebuah buku filsafat yang menarik hatinya, la bertanya kepada si pemilik toko buku, di manakah ia bisa bertemu dengan f i lsuf-f ilsuf seperti penulis buku itu.

Kebetulan saat itu melintaslah Crates, seorang filsuf aliran Cynic, dan sang

penjual buku menunjuk kepadanya. Zeno pun pergi mengikuti Crates untuk belajar filsafat darinya.

Zeno kemudian belajar dari berbagai filsuf yang berbeda, dan kemudian ia pun mulai mengajar filosofinya sendiri, la senang mengajar di sebuah teras berpilar (dalam bahasa Yunani

disebut stoa] yang terletak di sisi Utara dari agora (tempat publik yang digunakan untuk berdagang dan berkumpul. Mungkin semacam alun-alun Yunani kuno ya) di kota Athena.

Sejak itu, para pengikutnya disebut "kaum Stoa". Dalam proses penulisan buku ini, saya menemukan banyak orang sulit

menyebutkan "Stoisisme”. Karenanya, untuk memudahkan judul buku, saya menyebutnya Filosofi Teras (terjemahan langsung dari kata stoa].

Dari Zeno, filsafat ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh para filsuf lain, mulai dari Yunani sampai ke kekaisaran Romawi. Beberapa dari mereka adalah Chrysippus dari Soli, Yunani, yang dianggap sebagai pendiri kedua Stoisisme; Cato The Younger dari Roma, seorang politisi dan negarawan yang terkenal karena berani menentang Julius Caesar; Lucius Seneca dari Roma, seorang filsuf, negarawan,

penulis drama; Musonius Rufus dari Roma, mengajar filsafat di era Kaisar Nero; Epictetus dari Yunani, terlahir sebagai budak, kemudian mendapat kebebasan dan tinggal di Roma; dan Kaisar Marcus

Aurelius, yang dikenal sebagai salah satu dari Lima Kaisar Yang Baik [The Five Good Emperors).

Stoisisme kemudian meredup di awal abad ke-4, ketika Kekaisaran Romawi mengadopsi agama Kristen sebagai agama resmi negara.

Sekarang, di abad 21, di belahan dunia Barat, filosofi ini mulai populer kembali dengan buku-buku dan presentasi yang

memperkenalkannya kembali ke publik, seperti karya-karya dari William Irvine, Tim Ferris, Ryan Holiday, dan Massimo Pigliucci.

Bahkan, sekarang ada acara tahunan Minggu Stoa [Stoic Week) pada sekitar bulan Oktober sampai November, di mana para peminat Stoisisme dari seluruh dunia bisa bersama-sama melakukan refleksi dan mempraktikkan filosofi ini selama seminggu dengan panduan online.

Saat mempelajari Stoisisme, saya menemukan filosofi ini jauh dari mengawang-awang, atau lebih dari sekadar konsep yang abstrak dan

"intelek”. Stoisisme bersifat sangat practical dan bisa diterapkan sehari-hari. Saya pribadi menemukan alternatif laku hidup (meminjam terjemahan Romo Setyo Wibowo untuk “way of Z/fe”) yang lebih baik dari ajaran positive thinking.

Contoh sederhana bagaimana Stoisisime telah mengubah karakter saya adalah sebagai berikut.

Dahulu saya bisa berubah menjadi orang yang sangat pemarah jika terjebak di dalam...kemacetan. Saya bisa sangat merasa stres,

mengalami peningkatan detak jantung, dan sangat emosional di balik kemudi (bayangkan Bruce Banner mau berubah jadi Hulk, tapi minus jadi gede dan ijo aja...] Bahkan, saat saya hanya menjadi penumpang dan tidak perlu mengemudi pun saya masih mengalami kemarahan ini. Jika berada di tengah kemacetan, saya merasa stuck, terjebak, frustrasi, dan hal ini membuat saya murka. Perilaku saya sudah sampai mengganggu keluarga. Setelah menemukan dan belajar mempraktikkan Stoisisme, saya berubah drastis. Kemacetan sudah tidak membuat saya emosional lagi (bahkan ketika menghadapi

perilaku pengguna jalan lain yang terkadang ajaib dan membuat saya ingin mengelus dada ayam...).

Efek dari Stoisisme di hidup saya tidak hanya terbatas di situasi jalan raya. Stoisisme membantu saya dalam menjalani hidup sehari-hari dengan lebih tenteram dan tidak mudah terganggu oleh hal-hal negatif, kesialan, tekanan pekerjaan, sampai ke perilaku orang yang menyebalkan di sekitar. Karena saya telah merasakan manfaat mempraktikkan Stoisisme, saya ingin berbagi kepada orang lain melalui buku ini, siapa tahu Filosofi Teras ini bisa membantu orang-orang lain seperti saya. Minimal, memulai ketertarikan untuk

mempelajarinya lebih dalam.

Satu hal yang saya temui saat mempelajari Stoisisme adalah betapa banyak prinsip-prinsipnya yang serupa dengan yang diajarkan

berbagai agama, orang tua, nasihat kakek nenek, sampai budaya asli Indonesia. Saat membaca buku ini, saya rasa akan banyak dari kamu yang berpikir, "Lho, ini sama dengan ajaran agama saya!" atau, "Eh ini kayak kata-kata orang jaman dulu ya," atau, "Ini seper ti'quote tokoh besar yang itu!" Atau, mungkin kamu kenal langsung dengan orang yang sudah mempraktikkan prinsip-prinsip filosofi ini walaupun ia belum pernah membaca tentang Stoisisme.

Bagi saya, prinsip Stoisisme tersebut menunjukkan kebijaksanaan universal yang terkandung di dalamnya. Selain itu, karena ini adalah sebuah aliran filsafat dan bukan agama/kepercayaan, seharusnya tidak terjadi tembok dan benturan-benturan yang umum timbul

dengan ide-ide yang memiliki “label agama”. Saya merasa kelebihan Stoisisme adalah sifatnya yang kompatibel dan