• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyebalkan

160

prnah enggak merasa malas ke acara keramaian karena malas bertemu orang? Tidak hanya malas bertemu orang, tapi dalam hati kita sudah berpikir bahwa orang-orang yang akan kita temui akan berperilaku menyebalkan ke kita (tanpa pernah berpikir bahwa kita pun mungkin punya perilaku menyebalkan juga). Pergi ke luar rumah, kita harus berhadapan dengan perilaku pengendara yang tidak tertib. Pergi ke tempat umum seperti di mal, kita akan bertemu orang-orang egois di antrian lift atau toilet. Pergi ke acara keluarga besar, akan bertemu saudara yang usil atau mulutnya setajam silet. Rasanya ingin tinggal di rumah saja, menyendiri, dan tidak bertemu orang lain. ‘ Daripada jadi dosa, marah dan jengkel karena orang lain, mending enggak ketemu mereka," demikian yang sering terlintas di pikiran saya.

P

Manusia adalah makhluk sosial. Para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sudah meyakini itu. Kemampuan berbahasa yang dimiliki spesies kita diduga berevolusi dari kebutuhan berkomunikasi sesama manusia, karena dengan komunikasi kita bisa berkoordinasi untuk bersama-sama bertahan hidup. Spesies kita kemudian berhasil meninggalkan cara hidup berburu dan mengumpulkan buah-buahan menjadi bercocok tanam (Revolusi Agrikultur) yang akhirnya memicu nenek moyang kita untuk tinggal tetap di sebuah tempat, dan akhirnya melahirkan desa, kota, sampai kerajaan.

Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengantarkan kita masuk ke Revolusi Industri. Akhirnya, sampai di masa sekarang di era informasi dan digital di mana kita senang berbagi selfie. Semua ini adalah cerminan keinginan paling mendalam dalam diri kita untuk terhubung dengan manusia lain. Sejak 2.000 tahun yang lalu, para filsuf Stoa sudah menyadari nature manusia yang harus hidup sebagai makhluk sosial.

Dalam Meditations, Marcus Aurelius berkata, “Semua manusia diciptakan untuk satu sama lain."

Namun, manusia juga adalah Homo Homini /Vyebe//n-manusia yang nyebelin bagi manusia lainnya. Kita adalah manusia yang seringkali nyebelin bagi orang lain dengan ulah dan perkataan kita. Di buku saya sebelumnya, 7Kebiasaan Orang Yang Nyebelin Banget [Penerbit Buku Kompas], dibahas survei yang

161

menunjukkan kalau ada begitu banyak hal-hal menyebalkan yang kita lakukan kepada satu sama lain, baik sengaja maupun tidak disengaja. Manusia saling menyebalkan satu sama lain, misalnya lewat basa-basi ngeselin seperti, “Kapan kawin?”,

“Kapan punya anak?”, “Kok kamu gendutan sekarang?”, dan lain-lain. Perilaku menyebalkan ini juga termasuk tindakan-tindakan kecil kita, seperti main HP di dalam bioskop, masuk lift tidak menunggu yang keluar terlebih dahulu, atau segala perilaku tidak tertib di jalan raya. Lagi-lagi, tidak ada yang banyak berubah sejak 2.000 tahun yang lalu: kita sering dibuat sebal oleh orang lain. Di pembahasan sebelumnya

mengenai premeditatio malorum, kita melihat bagaimana Marcus Aurelius menjadikan kebiasaan untuk mengawali hari dengan membayangkan semua hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepada kita.

People hurt and offend each other—manusia saling menyakiti dan

menyinggung sesamanya—ini kenyataan. Tidak ada tempat di mana pun di dunia ini untuk kita bisa menghindari orang-orang menyebalkan, bahkan di tempat ibadah sekalipun. Mungkin hanya di surga kita terbebas dari perilaku menyebalkan. Karena ini adalah realitas, maka seorang praktisi Stoisisme sudah harus bisa mengantisipasinya. “Mengharapkan orang jahat untuk tidak menyakiti orang lain adalah gila. Itu adalah meminta hal yang tidak mungkin. Arogan sekali jika kita bisa memaklumi orang jahat memperlakukan orang lain seperti itu tetapi kita tidak terima jika terjadi pada kita. Itu kelakuan seorang tiran,” ujar Marcus Aurelius [Meditations).

Kalau dibahasakan ulang, ya wajar dong orang jahat menyakiti orang lain.

Yang aneh itu kalo lo berharap sebaliknya. Lebih ngeselin lagi kalo lo berharap mendapat kekecualian, orang lain boleh disakiti kecuali lo. Siape lo?

Bayangkan betapa seringnya kita membaca tentang perlakuan buruk orang ke orang lainnya. Kita sering kali mengelus dada dan berdecak. Kok bisa ya? Cuma ya sebatas itu saja, kita hanya “merasa prihatin" jika itu terjadi pada orang lain. Filosofi Teras mengingatkan kita untuk selalu siap bahwa kita pun akan mendapat perlakuan buruk suatu saat dalam hidup kita. Saat kita diperlakukan buruk oleh orang lain, apakah kita bisa

setenang jika menyikapi pengalaman orang lain? Atau, kita akan marah- marah lebay?

FILOSOFI TERAS

162

Kalau kita renungkan sejenak kata-kata Marcus di atas, maka bisa

dibayangkan karakter luar biasa dari beliau. Beliau adalah seorang kaisar di sebuah kekaisaran yang terbesar dan terkuat di masanya. Jika kita saja segan terhadap seorang presiden dari negara demokrasi, terbayang

betapa menakutkannya seorang “kaisar” dari sistem monarki. Sebagai seorang kaisar, celaan orang lain harusnya menjadi masalah sepele, toh dia bisa saja dengan mudah memerintahkan memisahkan kepala para kritikusnya dari tubuh mereka. Namun, Marcus Aurelius bisa mencapai kebijaksanaan seperti di atas mengenai perlakuan manusia. Kalau orang jahat ngejahatin orang lain, ya wajar dong?

Jika kita kembali ke dikotomi kendali, maka orang-orang yang menyebalkan ada di luar kontrol kita. Kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain, tetapi kita sepenuhnya bisa menentukan apakah kita akan terganggu atau tidak oleh perilaku orang lain. Perilaku orang lain masuk dalam kategori indifferent, yang artinya tidak punya pengaruh kepada kebahagiaan kita. Yang artinya, aneh kalau kita terganggu oleh kelakuan menyebalkan orang lain, ketika sesungguhnya mereka

seharusnya tidak punya pengaruh apa-apa pada kita.

Filosofi Teras mengajarkan kita untuk tidak memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengganggumu. Artinya, kuasa itu sudah ada di tangan kita. Perasaan terganggu oleh perilaku orang lain sepenuhnya terserah kita, dan kitalah yang menentukan mau memberi power itu ke orang lain atau tidak. Orang lain tidak bisa membuat kita merasa terganggu jika kita tidak memberikan izin. Teman sekolah mengolok-olok kita? Kolega di kantor memiliki kebiasaan menyebalkan? Atau, bahkan orang tua kita sendiri rasanya sering memperlakukan kita tidak seperti yang kita

harapkan? Jika kita terganggu oleh itu semua, Stoisisme mengingatkan bahwa kitalah yang mengizinkannya.

Terkadang, orang lain bisa menjengkelkan kita bukan karena apa yang mereka lakukan, tetapi karena apa yang TIDAK mereka lakukan. Misalnya, orang-orang yang tak tahu berterima kasih. Stoisisme mengajarkan agar kita jangan bete jika kebaikan atau keramahan kita TIDAK dibalas. Contoh, saat kita tersenyum pada orang lain dengan maksud ramah, tetapi orang tersebut melengos saja. Keselgak? Sebelum saya belajar Stoisisme,

saya akan kesal sekali kalau sudah bersikap ramah pada orang lain, terus dikacangin begitu. Atau, saya sudah berbuat hal yang memikirkan orang lain [considerate], tapi tidak dianggap. Misalnya, saya membuka pintu gedung dan menahankan pintu untuk orang yang di belakang saya, tetapi orang yang di belakang saya boro- boro bilang terima kasih, menengok

163

HENRY MANAMPIRING

saja tidak, melengos saja seolah-olah sudah pekerjaan saya menahankan pintu untuknya. Setelah menerapkan Filosofi Teras, saya tidak perlu lagi merasa kesal. Sekali lagi, prinsip dikotomi kendali menjadi panduan saya.

Saya tidak bisa mengendalikan respons orang. Bersikap baik kepada orang lain adalah pilihan dan di bawah kendali saya, tetapi "respons orang lain" tidak di bawah kendali saya, dan betapa bodohnya jika saya

mengharapkan orang lain "harus" memberi respons yang sesuai. Saya sudah harus cukup bahagia bahwa saya telah bertindak memedulikan orang lain. Tidak lebih dari itu.

"Kamu salah jika kamu melakukan kebaikan pada orang dan

berharap dibalas, dan tidak melihat perbuatan baik itu sendiri sudah menjadi upahmu. Apa yang kamu harapkan dari membantu

seseorang? Tidakkah cukup bahwa kamu sudah melakukan yang dituntut Alam [Nature]? Kamu ingin diupah juga? Itu bagaikan mata menuntut imbalan karena sudah melihat, atau kaki meminta imbalan karena sudah melangkah. Memang sudah itu rancangan

mereka...begitu juga kita manusia diciptakan untuk membantu

sesama. Dan ketika kita membantu sesama, kita melakukan apa yang sudah dirancang untuk kita. Kita melakukan fungsi kita.” - Marcus Aurelius [Meditations)