• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filosofi Teras mengatakan semua kejadian bisa menjadi kesempatan melatih wrfue/arete/kebajikan (keberanian, kebijaksanaan, keadilan, dan menahan diri). Kita bisa memilih antara, “Gue

kecopetan dan ini musibah dan gue nggak pengen hal ini\“ atau,

“Gue kecopetan, tapi ini udah kejadian dan bisa gue jadikan pelajaran, bahkan jadi kesempatan untuk memperbaiki diri, belajar ikhlas, dan lain-lain"

"Formula untuk

keagungan [greatness]

manusia adalah “amor fati'', yaitu tidak ingin apa pun menjadi berbeda, tidak ke depan, tidak ke belakang, tidak di sepanjang keabadian. Tidak hanya sekadar menanggung yang memang harus dijalani...tetapi mencintainya." - Friedrich Nietzsche. Amor fati adalah bahasa Latin, yang diterjemahkan menjadi “love of fate", atau

mencintai takdir.

Di tengah-tengah proses penulisan buku ini, saya mengalami

"musibah kecil". Suatu hari, saya menghadiri sebuah lokakarya bersama klien. Acara tersebut diadakan di sebuah restoran dengan desain yang artistik di Jakarta Selatan. Saking artistiknya, sampai lantai saja dibuat tidak rata, ada satu-dua undakan di sana sini.

Sudah bisa diduga apa yang terjadi pada seseorang dengan

keseimbangan minus seperti saya. Saat di tengah lokakarya, saya berjalan ke arah toilet dan tidak melihat adanya undakan di lantai.

Jatuhlah saya disertai bunyi KREKW Saat terjatuh, rasa malu saya lebih besar dari rasa sakit saya (maklum, sedang ada klien), dan dengan gagah berani saya tetap jalan ke toilet walau sedikit terseok.

Kemudian, saya tetap pede melanjutkan lokakarya.

Tiga puluh menit kemudian, di daerah sekitar mata kaki saya mulai terasa nyut-nyutan. Satu jam berlalu dan bengkak di kaki saya

semakin membesar. Dalam hati saya sudah menduga bahwa ini pasti keseleo Isprained ankle). Ketika rasa sakit sudah tak tertahankan, saya menyerah dan akhirnya pergi ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di rumah sakit terdekat. Sesudah dicek dokter jaga dan difoto rontgen untuk memastikan tidak ada tulang yang patah, akhirnya saya divonis keseleo dan harus minum obat anti-sakit serta mengurangi mobilitas karena kaki harus diistirahatkan dan dibebat.

Di ruang IGD tersebut, sambil menunggu penyelesaian proses

administrasi, saya menatap kaki yang bengkak bagaikan talas Bogor, dengan emosi campur aduk. Jujur, saya sudah sempat merasa

jengkel dan bodoh mengapa saya bisa tersandung. Ditambah lagi, masih ada rasa malu bahwa ini terjadi di acara klien. Di atas itu semua, ada rasa kesal karena selama beberapa hari ke depan pasti saya akan berjalan tertatih-tatih, bahkan mungkin harus

menggunakan tongkat.

Saat pikiran-pikiran itu mulai melintas, akhirnya terpikir juga oleh saya, “Bagaimana saya bisa mengaplikasikan Stoisisme di dalam situasi ini?" Sebagai seseorang yang sedang menulis mengenai Stoisisme, peristiwa ini bagaikan ujian langsung apakah saya bisa mempraktikkan apa yang saya baca dan tuliskan.

Yang pertama, saya menghentikan arus pikiran dan emosi negatif yang mulai timbul (langkah: Stop}. Kemudian, saya mulai

memisahkan fakta dan interpretasi (faktanya: saya tersandung dan keseleo. Itu saja. Jika saya mulai merasa ini sebuah kesialan, ini sudah 'mterpretasi/value judgment saya sendiri).

Akhirnya, dengan susah payah saya mulai mencoba mengendalikan interpretasi saya (langkah: Think & Assess], kira-kira seperti ini:

“Saya keseleo, karena kesandung. Sudah, tidak perlu diributkan

dan dipikirkan terus-menerus kenapa ini bisa terjadi. Apa yang sudah terjadi ya terjadilah.

Saya bisa menginterpretasikan ini sebagai hal yang lumrah.

Mungkin ribuan orang sudah pernah mengalami keseleo. Apa istimewanya? Mengapa hal ini tidak boleh terjadi pada saya?

Apa manfaat yang bisa saya tarik dari kejadian ini? Yang pertama, sebagai ujian terhadap kesabaran saya menanggung rasa sakit fisik. Toh ini hanya keseleo, bukan kondisi medis yang lebih berat. Kedua, sekarang saya bisa empati kepada orang lain yang mengalami hal yang sama."

So far so good. Perlahan, dialog internal ini membuat saya lebih tenang dan mulai bisa menerima keadaan ini tanpa harus mengutuk diri sendiri (langkah: Respond}. Kemudian, saya

teringat dengan prinsip amor fati. Barulah saya menyadari betapa sulitnya ajaran yang satu ini. Bisa menerima sebuah musibah yang terjadi kepada kita rasanya sudah sebuah pencapaian tersendiri, tetapi “mencintai” musibah ini bagaikan kejadian yang sudah didamba-dambakan? Seperti kata Obelix, tokoh komik Asterix,

“Orang-orang Romawi memang gila!"

Walaupun terasa absurd untuk mencoba mencintai musibah, tetapi

saya mencobanya juga. Anehnya, perlahan saya bisa merasakan bahwa ide ini tidaklah seabsurd itu. Saya memang tidak berubah drastis menjadi gembira atas keadaan tersebut ["INILAH YANG SELAMA INI KUDAMBA, KESELEO!!"], apalagi setiap kali kaki terasa nyeri saat harus naik tangga atau tidak sengaja diinjak anak saya yang masih berusia 17 bulan.

Namun, saya menyadari bahwa sangat mungkin menggeser

perasaan saya terhadap keseleo ini sedikit lebih jauh lagi, lebih dari sekadar ikhlas, bahwa mungkin saya merasa mulai menyukainya (walaupun tidak sampai tahap sadomasochist tentunya). Minimal, saya bisa mulai mentertawakan situasi ini, dan juga mentertawakan saya sendiri.

Coba renungkan kondisi hidupmu sekarang ini. Sebagian pembaca sedang merasa bahagia dengan kondisinya sekarang, good for you.

Namun, sebagian pembaca lagi mungkin berharap kondisi hidupnya berbeda dari yang sekarang. Bagi kamu yang masuk dalam kelompok ini, bisakah sedikit saja merenungkan, '‘Mungkinkah gue mencintai kondisi gue saat ini?" Jangan terlalu cepat dijawab /"Penderitaan gue saat ini terlalu berat!! Tidak mungkin gue bisa mengharapkan

terjadi!!"). Berikan waktu sedikit saja untuk dipikirkan. Tidak ada yang bisa menghentikanmu untuk memutuskan mencintai hidupmu. Saat ini. Hari ini. Detik ini.