• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seeing from Other People’s Perspective

Suatu hari, Maya melihat melihat sahabat dekatnya Nisa mukanya cemberut.

Maya: "Kenapa lo?”

Nisa: ”HP gue ilang May, jatoh di jalan kayaknya. Kesel banget gue, kok gue bego banget ya?”

Maya: "Ya udah Nis, ikhlasin aja. HP bisa dibeli lagi lah...." Nisa:

"Huhuhuhu, tapi gue sedih banget May. Dan rasanya mau marah-marah terus ke diri gue sendiri, ceroboh amat...."

Maya: "Ya udah, sinih sinih, puk puk....”

Coba kita bayangkan skenario tersebut. Saat Maya mendengar soal

’musibah’ yang menimpa Nisa sahabatnya, apakah Maya akan bereaksi lebay? Apakah Maya akan berguling-guling di tanah, menjerit-jerit ke langit, bertanya pada Tuhan mengapa sahabatnya Nisa harus menerima azab demikian berat? Rasanya tidak kan?

Mungkin Maya akan berusaha keras untuk terlihat simpati kepada

FILOSOFI TERAS

142

sahabatnya, tetapi rasanya lebih mungkin Maya akan hanya sedikit terlihat prihatin dan tidak sampai meratapi hidupnya sendiri. Reaksi ini tentunya berbeda dengan Nisa yang tertimpa musibah itu. Dia mungkin akan bete berhari-hari, mungkin sedih sekali karena HP itu cukup mahal, dan Nisa takut memberitahu orang tuanya soal itu.

Dalam Filosofi Teras, ada exercise menarik. Jika suatu hari Maya juga kehilangan HP-nya, bisakah dia bersikap setenang seperti saat dia mendengarkan cerita Nisa tadi? Filosofi Teras mengajarkan bahwa cara kita menyikapi musibah yang menimpa orang lain haruslah sama dengan cara kita sendiri bersikap saat kita yang tertimpa musibah yang sama. Karena secara objektif, musibah yang menimpa adalah sama, maka seharusnya responsnya pun sama (terlepas kita adalah korban atau pengamat).

Dalam contoh Maya dan Nisa, Stoisisme akan berkata bahwa secara objektif, HP milik Nisa tidak bernilai lebih rendah atau lebih tinggi dari HP milik Maya (di luar faktor harga rupiah). Maka, adalah aneh jika Maya meratapi kehilangan HP-nya lebih dari Maya meratapi

hilangnya HP Nisa.

Konsep ’’perlakukan musibahmu sama seperti kamu memperlakukan musibah orang lain’’ ini rasanya salah satu konsep tersulit dalam Filosofi Teras. Rasanya cukup sulit dilakukan secara emosional, karena ada perbedaan status sebuah benda ketika ia menjadi milik orang lain dibandingkan milik sendiri. Akan tetapi, tidak bisa disangkal ada logika yang mengagumkan di sini.

Jika kita kehilangan HP dan menangis meraung-raung, maka seharusnya kita melakukan hal yang sama jika yang hilang adalah HP orang lain. “Milik saya” tidak menjadikan sebuah HP lebih bernilai dibandingkan “milik dia". Di sinilah Stoisisme berusaha mengingatkan kita untuk tetap objektif dalam menilai segala sesuatu. Lalu, karena umumnya kita relatif lebih tidak sedih mengenai orang lain kehilangan sesuatu daripada diri sendiri kehilangan sesuatu, konsekuensinya ada dua, antara kita harus lebih sedih mengenai orang lain

kehilangan suatu hal (belajar menambah empati pada musibah orang lain), atau, kita harusnya belajar lebih rasional dan objektif menyikapi musibah diri sendiri.

Kalau praktik konsep ini terasa sulit untuk hal-hal yang relatif sepele

—seperti kehilangan benda—bayangkan jika kita harus

menerapkannya ke peristiwa hidup yang lebih besar. Sikap kita terhadap orang lain yang sedang berduka atas kehilangan anaknya,

143

HENRY MANAMPIRING

(harusnya) sama dengan duka kita saat kehilangan anak kita sendiri.

Karena, nilai nyawa anak kita tidak lebih tinggi dari nilai anak orang lain (selain perbedaan status bahwa yang satu adalah anak kita).

Dalam penerapan di musibah yang lebih besar, rasanya sulit sekali kita melakukannya. (“Lo gila ya? Ya jelas gue lebih sedih kehilangan motor/mobil/rumah/keluarga gue sendiri daripada motor/

mobil/rumah/keluarga orang lain doonng!"). Namun, konsep ini tetap penting untuk direnungkan, karena mencoba menempatkan musibah dalam perspektif baru yang lebih seimbang, dengan harapan dampak musibah tersebut bisa dikurangi.

Memang, penerapannya di masalah-masalah sepele lebih mungkin dan lebih berguna, karena tanpa sadar, kita terlalu banyak

memberikan waktu dan tempat untuk masalah- masalah yang tidak akan kita besar-besarkan jika terjadi pada orang lain (seperti

kehilangan HP). Ketika dengan teknik ini kita menyadari bahwa kita mungkin membesar-besarkan masalah yang sepele, semoga kita bisa kembali memprioritaskan energi kita dengan benar.

If You Can’t be with the One You Love...

“It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor." - Seneca /Letters)

Bagi filsuf Stoa, konsep “kaya” dan “miskin” memiliki persepsi subjektif, dan lebih dari sekadar urusan jumlah deposito, properti, atau investasi saham. Mana yang lebih penting,

FILOSOFI TERAS 144

seseorang memiliki harta benda yang banyak, atau seseorang yang

"merasa" kaya dengan apa yang telah dia miliki? Seseorang bisa saja memiliki harta benda begitu banyak, tetapi selalu resah karena

merasa tidak mencapai peringkat orang-orang terkaya se-lndonesia.

Sementara itu, ada orang lain yang tidak bisa dibilang kaya raya, bahkan tergolong sederhana, tetapi dia merasa sangat cukup dan puas dengan apa yang dimilikinya, tidak merasa kekurangan. Bagi Filosofi Teras, orang kedua inilah yang benar-benar "kaya".

"Sesungguhnya yang miskin bukanlah dia yang memiliki harta terlalu sedikit, tetapi dia yang masih menginginkan lebih,” ujar Seneca [Letters from a Stoic).

Bagi saya, hal ini bukan untuk disalahartikan sebagai anti-ambisi (ingatlah bahwa sebagian filsuf Stoa adalah pedagang atau datang dari latar belakang keluarga kaya raya). Kita boleh saja

mengumpulkan harta dan kekayaan, tetapi selalu ingatlah bahwa itu semua di luar kendali kita dan bisa direnggut sewaktu-waktu,

sehingga kita tidak terlalu attached pada kekayaan. Lalu, kita juga diingatkan untuk mengendalikan keinginan mengejar kekayaan tanpa henti, untuk bisa merasakan "cukup" dengan apa yang sudah kita miliki. Dengan ini, kita mencegah kekayaan menjadi majikan yang menjadikan kita budak mereka.