• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjelang tahun politik 2019, filsafat Stoa menjadi sangat penting. Saat Pilkada DKI 2017 kedua kubu saling mencaci maki sedemikian rupa sehingga fakta atau intepretasi tidak jelas lagi, hoax bertebaran seperti asap polusi di Jakarta. Gejala yang sama sebentar lagi akan membuat banyak orang galau: kubu capres A dan kubu capres B akan saling menyebar representasi mereka masing-masing. Fakta menjadi tidak penting karena yang genting adalah "interpretasi atas fakta” yang Anda tebar dengan penuh keyakinan. Pertemanan rusak, silaturahmi putus, mata saling menatap curiga, bahkan Tuhan dan agama pun bisa dibawa-bawa sebagai representasi.

Berkaca dari Stoa, kita sekarang bisa membedakan bahwa 'yang menakutkan kita bukanlah parpol dalam dirinya sendiri, yang menakutkan kita adalah representasi orang bahwa parpol itu Tuhan atau Setan. Representasi seperti itulah yang

mengerikan!”

Parpol di Indonesia mah, kalau kita kembali ke fakta, ya gitu- gitu aja. Jangan dibandingkan dengan parpol-parpol di negara maju yang punya ideologi, yang anggotanya membayar iuran, yang kerjanya jelas, yang pengkaderannya ciamik.

Parpol di Indonesia? Udah deh, gak usah galau, Parpol kita mah ya gitu-gitu aja.

Nah, yang menakutkan adalah manakala ada yang membuat representasi bahwa ada "Parpol Tuhan” dan ada "Parpol Setan". Bila memilih yang satu Anda pasti masuk surga, bila memilih yang lain Anda gak layak hidup (karena percuma Anda hidup, wong mati saja pasti masuk neraka kok). Ini menakutkan! Representasi seperti ini bisa memecah belah umat beragama, mengoyak kerukunan berbangsa, dan menghancurkan kedamaian Nusantara. Selain menakutkan, representasi seperti itu juga bohong besar! Kenapa? Karena kita tahu bahwa seandainya Parpol Tuhan itu nanti menang, haqul yakin, ntar saat berkuasa ya korupsi juga...

Tuhan sih gak mungkin korupsi. Maka kalau ParpolTuhan nanti korupsi, yang

FILOSOFI TERAS XVI

korupsi pasti Parpolnyalah. Istilah (representasi) "Parpol Tuhan" tidak ada

kaitannya dengan Tuhan sama sekali, karena Tuhan tidak pernah mendaftar ikut Parpol mana pun. Selama istilah itu hanya representasi dari orang yang

mengatakannya, maka pada orang itulah—dan bukan pada Tuhan—kita mesti bertanya, “maksudnya Parpol Tuhan apa?

xvii

HENRY MANAMPIRING

Apa Parpol mewakili Tuhan, atau Parpol itu Tuhan sendiri, atau barangkali cuma mengatasnamakan, mengklaim nama Tuhan saja buat Parpol?”

Kalau dengan akal sehat kita bisa menduga jawabannya yang terakhir, ya sudah, kita biasa-biasa aja jugalah. Pun kalau seandainya setelah menang pemilu Parpol itu korupsi, kita juga tidak kaget. Biasa ajalah, namanya juga politik ala Indonesia.

Maka, penting bagi kita untuk belajar bersama Stoa, agar dapat

membedakan mana fakta (parpol kita yang sejauh ini gitu-gitu aja] dan representasi (jualan politikus yang kebelet supaya partainya menang pemilu). Mengapa? Supaya kita tetap waras, tidak gampang galau diombang-ambingkan hoax atau opini orang- orang yang kurang ngopi, demi lestarinya persaudaraan dan silaturahmi antar anak bangsa.

Sebagai buku populer, Filosofi Teras memakai data dari psikiatri, survei, hingga wawancara dengan praktisi media sosial, sehingga buku ini menyentuh hal-halyang sehari-hari dialami generasi milenial sampai mereka yang berumur 50-an tahun.

Buku ini penting, karena kita akan memasuki tahun politik, di mana hoaks dan fake news akan bertebaran membuat orang emosi, lalu

berdemonstrasi berjilid-jilid (ingat skenario “November 2016-Maret 2017"

saat Pilkada DKI). Buku ini bisa menyumbang banyak supaya kita waras menyikapi hoax dan fake news. Jangan gampang baper, jangan gampang lebay, jangan gampang terprovokasi oleh persepsi ciptaan media sosial.

Bagaimana caranya? Jadilah seperti Stoa. Kendalikan persepsi dan pikiranmu. Itu ada di dalam kendalimu. Lalu bagaimana dengan omongan media sosial, komentar orang lain, dan persepsi orang lain? Mereka tidak ada di dalam kendalimu, jadi terima dan biarkan saja.

Kaum troll, Saracen, dan army apa pun yang menyelundup di media sosial akan pusing tujuh keliling kalau orang-orang Indonesia bersikap seperti kaum Stoa dan tidak merespon-apalagi mem- forward-berita-berita sampah yang memang sengaja dikirim untuk mengeruhkan suasana.

Cambridge Analytica, perusahaan Rusia, Novel Ghost Fleet, atau siapa pun yang bergerak menjadi konsultan politik ngawur-ngawuran, tak akan bisa men-Suriah-kan dan membubarkan Indonesia kalau kita memiliki

"benteng batin" yang kokoh seperti Marcus Aurelius.

Justru sebaliknya, terinspirasi oleh kaum Stoa, kita malah diajak menanggapi dengan ramah kaum haters dan pemancing di air keruh ini: ah, mereka hanya menjalankan pekerjaan mereka (kan mereka memang dibayar untuk menyebarkan hoax], atau, hmm... mereka melakukan apa yang mereka pikir baik untuk

dilakukan, padahal mereka tidak tahu apa itu yang ‘baik’, jadi kasihan saja mereka berkeras kepala dalam ketidaktahuan mereka.

Belajar dari Filsafat Stoa, kita justru diajak untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur: bahwa saat ini hidupku oke-oke saja, aku tidak stres akibat hoax dan aku tidak down akibat bullying kaum haters- hari ini juga negaraku Indonesia masih memberiku rezeki, kebebasan, kenyamanan, dan persaudaraan dengan kaum haters yang ignorant; saat ini alam semesta masih memberiku oksigen untuk

xvii

HENRY MANAMPIRING

hidup, alam semesta juga menyediakan kaum haters bagiku supaya aku bisa berlatih menguji kesabaran dan keramahanku.

Saya suka dengan istilah yang dipakai oleh Henry Manampiring untuk

menggambarkan pentingnya latihan dalam filsafat Stoa. "Sama seperti otot harus dilatih dengan berulang-ulang mengangkat barbel, maka batin pun bisa diperkokoh lewat latihan rutin setiap hari lewat STAR [Stop, Think-Assess, Respond]". Setia pada filsafat sebagai praktik dan latihan, buku Filosofi Teras ini memberikan cara latihan mental supaya kita memiliki syaraf titanium dan tidak gampang KO terkapar kesamber galau.

Buku Henry Manampiring berjudul Filosofi Teras ini sangat penting bagi semua yang masih ingin berakal sehat dan mencintai sesama serta alam semesta.

Filsafat Stoa adalah yang pertama mengusung konsep kosmopolis (negara seluas kosmos]. Bukan hanya di Nusantara ini kita bersaudara. Kita adalah warga negara dunia, semua manusia satu kerabat karena berpartisipasi pada logos (rasio)

semesta yang sama.

Jakarta, 17 April 2018 Dr. A. Setyo Wibowo

Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Prakata:

Mengapa Saya Menulis Buku