• Tidak ada hasil yang ditemukan

thaacntxbgt asli atau photoshop tuh, fotonya? :p akan menegur mereka yang terprovokasi, bukan mereka yang sengaja

memprovokasi. Para troll di internet dan media sosial tidak akan bisa mencapai apa-apa jika lebih banyak orang lebih bisa mengendalikan pikirannya dan tidak mengacuhkan para provokator.

'‘Ambillah waktu sebelum bereaksi..." Tips dari Epictetus ini juga konsisten

FOLLOW

sydralw

Eiffel Tower, Paris

FILOSOFI TERAS

166

dengan prinsip S-T-A-R [Stop-Think & Assess-Respond). Saat emosi mulai mendidih akibat membaca linimasa media sosial, stop! Jangan tergesa-gesa menggerakkan jempol, jangan melakukan apa-apa. Time out dulu, kemudian berpikir. Kata-kata hinaan, celaan, provokasi hanyalah “kata-kata”. Kata- kata tidak mengubah realitas, sama halnya dengan ketika kita mencaci maki sebuah lukisan mahakarya. Nilai lukisan tersebut tidak akan berubah. Jika saya sampai merasa tersinggung dan terpancing, maka ini sepenuhnya salah saya. Lagipula, dengan demikian tujuan si provokator justru tercapai. Namun, jika kita tidak terpancing, bahkan bisa menjawab dengan kepala dingin dan tidak emosional, ada hal positif yang bisa tercapai. Wawancara di akhir bab dengan Cania Irlanie, seorang aktivis, akan lebih memperjelas bagian ini.

"The best revenge is to be unlike him who performed the injury." - Marcus Aurelius [Meditations)

Untuk mereka yang menghina kita dengan sengaja, bagaimanakah kita bisa “membalas dendam"? Marcus Aurelius, seorang kaisar, memiliki jawaban yang singkat dan jelas, “Sesungguhnya balas dendam yang terbaik adalah dengan tidak berubah menjadi seperti sang pelaku". Jika kita menerima hinaan dan kemudian kita pun berubah menjadi penghina yang emosional dan dikuasai kemarahan, maka yang menang adalah kemarahan dan kebencian. Seperti di film-film zombi, jika si manusia normal digigit oleh zombi dan kemudian berubah menjadi zombi juga, maka sang zombi sudah menang.

Ada orang sengaja menjelekkan atau ingin memprovokasi kita? Stand your ground. Tetap menjadi praktisi Stoa yang memegang kendali atas persepsi dan responsnya yang baik. Maka, itu akan seperti adegan di mana zombi 'menggigit’ kita, tetapi tidak mempan. Itulah "pembalasan” terbaik menurut Marcus Aurelius, ketika kita tidak turun derajat menjadi sama dengan yang ingin berbuat jahat kepada kita.

"Sebagai obat untuk melawan ketidakramahan, kita dianugerahi

keramahan." - Marcus Aurelius iMeditations). Eh? Tidak hanya kita tidak boleh ikut berubah menjadi jahat ketika diperlakukan jahat, Marcus Aurelius mengajarkan bahwa cara menghadapi orang yang judes, kasar, pemarah, tidak ramah, dan tidak sopan adalah justru dengan keramahan.

Ini memang ajaran yang sulit di masyarakat yang sangat reaktif, dan rasanya tangan ini ingin menampol orang-orang menyebalkan. Namun, seperti prinsip bahwa api akan padam dengan air dan bukan dengan api lagi, begitu juga ketidakramahan hanya bisa "diperangi” dengan kebaikan.

Mengapa? Karena sering kali orang yang kasar pada kita tidak menyangka

167

HENRY MANAMPIRING

akan menerima reaksi yang ramah dan santun. Ketika mereka sudah bersiap-siap menghadapi serangan judes balik, betapa kagetnya mereka ketika malah diperlakukan dengan baik /Lah....kok gue judes sama dia, tapi doi malah baik. Terus aku kudu piye...J Lagi, bayangkan seorang kaisar mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak membalas perilaku buruk dengan perilaku buruk juga—sebuah halyang jarang ditemui di jajaran penguasa, rasanya.

Mungkin Tidak Ada Motivasi Jahat...

Sedari tadi kita membahas situasi-situasi di mana ada pihak-pihak yang sengaja hendak menyakiti, menghina, atau menyinggung kita. Akan tetapi, para filsuf Stoa juga menyadari ada kemungkinan lain, yang bahkan lebih sering terjadi, yaitu banyak orang sebenarnya menyakiti kita ”tanpa

sengaja”.

“Ketika ada yang menyakitimu, atau berkata buruk tentangmu, ingatlah bahwa dia bertindak dan berbicara karena mengira itu

memang tugasnya. Ingatlah bahwa tidak mungkin dia mengerti sudut pandang kita, tetapi hanya sudut pandang dia sendiri. Karenanya, jika dia melakukan kesalahan dalam menilai, sebenarnya dialah yang dirugikan, karena dia telah tertipu [deceived]. Jika seseorang

menganggap kebenaran sebagai sebuah kekeliruan, kebenaran itu sendiri tidak rugi, tetapi justru dia yang tertipu yang rugi. Dengan prinsip ini, kamu bisa dengan rendah hati menanggung orang yang menghina kamu, dengan cukup berkata, ‘Itu kan menurut dia.'” - Epictetus [Discourses]

Epictetus mengingatkan adanya kemungkinan lain saat kita merasa tersinggung oleh perkataan dan tindakan orang lain, yaitu bahwa orang tersebut tidak bermaksud menyakiti kita, tetapi justru dia melakukannya untuk “kebaikan” menurut sudut pandang dia. Bahkan, Epictetus

mengatakan orang tersebut merasakan sudah "tugasnya” untuk melakukan/mengatakan hal tersebut.

Mari kita coba gunakan contoh situasi yang paling umum di kalangan milenial Indonesia, yaitu pertanyaan paling dibenci, "Kapan kawin?”, yang kerap ditanyakan di acara-acara keluarga. Jika kita emosi, kita pasti sudah jengkel duluan di dalam hati. Dasar kurang ajar, tidak tahu etiket, tidak tahu privacy orang, tidak tahu sopan santun, dan lain-lain. Akan tetapi, kalau kita mengikuti jalan pikiran Epictetus, maka si penanya "kapan nikah”

mungkin sebenarnya merasa dia melakukan tugasnya, dari sudut pandang

FILOSOFI TERAS

168

dia. Sang penanya mungkin anggota keluarga yang merasa kasihan karena [bagi dia) kamu sudah kelamaan hidup melajang, dan usia mulai mendekati kedaluwarsa. Sang penanya mungkin benar-benar tulus merasa kalau kamu melajang, maka pasti hidupmu nelangsa. Juga, sang penanya mungkin benar- benar secara tulus mengharapkan kamu untuk bahagia di dalam bahtera pernikahan.

Saat kita mulai memikirkan kemungkinan ini, apakah kita masih ingin marah? Betul, mungkin perspektif dia keliru. Mungkin kita memang masih bahagia melajang. Mungkin kita memang tidak mau memaksakan asal menikah sekadar karena tekanan deadline. Namun, sang penanya tidak mungkin sepenuhnya bisa melihat perspektif kita. Dia tidak menjalani hidup kita dan tidak bisa merasakan apa yang kita rasakan. Dia bertindak dan bertutur kata mengikuti perspektif dia, pengalaman hidup dia, perasaan dia, dan menurutnya apa yang dilakukannya adalah “baik”. Jadi untuk apa merasa tersinggung dan marah?

169

HENRY MANAMPIRING

Epictetus pun menambahkan, jika seseorang berkata-kata/ bertindak berangkat dari perspektif yang keliru atau salah, sesungguhnya yang rugi adalah dia sendiri, bukan kamu, karena dia sudah tertipu /deceived).

Kembali ke contoh tadi. Jika sesungguh-sungguhnya kamu bahagia hidup