• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi

94

uatu hari, saya merasakan malas yang luar biasa saat akan berangkat bekerja. Ada sebuah jadwal meeting dengan klien yang saya merasa sangat berat untuk dilakukan. Dalam perjalanan, saya mencoba menganalisis pikiran saya sendiri di balik rasa berat ini. Setelah ditelusuri, ternyata rasa berat saya timbul dari persepsi saya bahwa meeting ini hanya membuang- buang waktu saya, bahwa tidak ada hal apa pun yang bisa saya peroleh dari meeting ini. Tetapi kemudian saya diingatkan Filosofi Teras untuk berhati-hati dengan persepsi saya akan sebuah fakta objektif.

Faktanya adalah saya menghadapi sebuah meeting. Titik. Apakah meeting ini hanya buang-buang waktu sudah menjadi penilaian (value judgment) saya, dan bukan fakta. Menyadari bahwa rasa berat ini disebabkan oleh persepsi saya sendiri, maka saya mencoba menantangnya. Kata siapa meeting ini pasti buang-buang waktu—apalagi meeting-nya belum terjadi?

Dan kata siapa saya tidak bisa belajar sesuatu pun dari meeting apa pun?

Sesudah melakukan 'debat internal’ ini, saya merasakan sedikit lebih tenang.

S

Di bab sebelumnya, kita sudah diajarkan mengenai dikotomi kendali untuk menyadarkan diri secara terus-menerus bahwa ada hal-halyang berada di bawah kendali kita dan ada yang di luar kendali kita. Ini adalah fondasi penting di dalam Stoisisme. Dengan bisa memahami hal ini saja, maka akan sangat membantu kita mengatasi kekhawatiran sehari-hari.

Jika kita membuang waktu dan tenaga untuk memusingkan, meratapi, atau terobsesi pada hal yang tidak di bawah kendali kita, maka itu adalah

irasional, tidak masuk akal. Walaupun prinsip ini sangat penting dalam Filosofi Teras untuk memandu hidup kita sehari-hari, tetapi bukan satu-satunya. Saya rasa kamu juga pasti merasa masih ada sesuatu yang hilang jika hanya memahami dikotomi (atau trikotomi) kendali ini, karena para filsuf Stoa pun menyadari hal ini. Jadi, jangan khawatir. Ternyata mereka sadar kok kalau kita semua punya kekuatan spesial untuk menghadapi hidup!

“It is not things that trouble us, but our judgment about things.”- Epictetus [Enchiridion]

95

("Bukan hal-hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tetapi pertimbangan/pikiran/persepsi akan hal-hal dan peristiwa tersebut.”)

Dengan kata lain, Epictetus mengatakan bahwa sumber sebenar-benarnya dari segala keresahan dan kekhawatiran kita ada di dalam pikiran kita, dan bukan hal atau peristiwa di luar kita. Coba

bayangkan situasi-situasi berikut:

• Ketinggalan kereta saat mau ke kampus/kantor.

• Motor/mobil kita bannya kempes di tengah jalan.

Smartphone baru beli dua hari jatuh, kacanya retak.

• Pacar salah sebut nama kita jadi nama mantan.

• Calon gubernur jagoan kita kalah di Pilkada.

• Rumah kebanjiran.

• Dimarahi mertua karena masakan tidak enak.

• Kehilangan pekerjaan karena perusahaan bangkrut.

• Anak kita kawin lari dengan pasangan yang berbeda agama.

Rasanya manusia normal akan setuju bahwa semua situasi di atas tidak mengenakkan. Dari yang sekadar menyebalkan, yang serius bikin mau marah, sampai yang bisa membuat kita putus asa.

Epictetus berkata bahwa sesungguhnya semua hal itu bukanlah penyebab kita sedih, stres, galau, dan lain-lain. Menurut Stoisisme, peristiwa-peristiwa tersebut adalah netral (tidak baik, tidak buruk).

Namun, persepsi, anggapan, dan pertimbanganlah yang membuat itu semuanya menjadi "buruk”. Hah?Gimana?

Dalam Filosofi Teras, ada pemisahan antara apa yang bisa ditangkap oleh indra kita /impression), dan interpretasi atau makna atas apa yang kita lihat dan dengar tersebut /representation). Kita sering kali gagal memisahkan keduanya. Pada umumnya, kita serta-merta memberikan interpretasi/ penilaian lvalue judgment) dan pemaknaan dari sebuah peristiwa yang dialami. Peristiwa itu sendiri hampir selalu netral, tetapi kemudian menjadi "positif" atau "negatif" karena

interpretasi dan makna yang kita berikan.

FILOSOFI TERAS

96

Sebuah ilustrasi sederhana, seorang Jawa Solo baru pertama kali bertemu dengan seorang Batak Medan. Secara budaya, seseorang yang berasal dari Batak Medan terkenal berbicara keras. Cara berbicara ini bagi diri sendirinya adalah netral, tetapi kalau dilihat dari perspektif si orang Jawa Solo, dia bisa menginterpretasi si orang Batak Medan sebagai ‘’kasar’’ dan "pemarah”, padahal keduanya tidak benar. "Bicara keras” adalah impression, fakta

objektif yang bisa ditangkap indra, tetapi “kasar” adalah representation, sudah ada penilaian lvalue judgment) subjektif.

Mari kita ambil beberapa contoh sebelumnya. Pacar salah sebut nama mantan, misalnya. Secara fakta, kejadian ini "netral”. Apa yang bikin kamu mengamuk kalau jadi pacarnya? Karena kamu menyusun persepsi dan interpretasimu [value judgment) sendiri atas kejadian itu:

'‘Bajingan, pacar gue belom move on dari si jalang itu!"

"Selama ini jadi dia selingkuh sama mantannya?"

"Sungguh cowok berengsek yang tidak menghargai gue!"

• Dan lain-lain.

Perhatikan, semua pernyataan di atas adalah murni dikonstruksi di dalam kepalamu dan bukan datang dari peristiwa pacar salah sebut nama mantan.

Kejadian salah sebut nama mantan itu sendiri bersifat "netral”. Bahwa ia dimaknai sebagai tanda belum move on, atau bahwa dia cowok brengsek, adalah tambahan value judgment dari kita sendiri.

Mari kita ambil contoh lain. Ketika diputus hubungan kerja oleh perusahaan karena perusahaan bangkrut, apa yang melintas di pikiran kita?

• "Saya kena karma apa ya sampai apes seperti ini?”

• "Hidup saya selalu sial, kerjaan saja gak bisa bertahan.”

• "Ini adalah kiamat! Habis sudah hidupku..."

Sekali lagi, pikiran-pikiran di atas adalah opini dan interpretasi kita sendiri, tidak datang secara objektif dari peristiwa PHK itu sendiri. Inilah yang disebutkan oleh Epictetus bahwa sesungguhnya bukan peristiwa/hal yang meresahkan kita, tetapi pikiran kita sendiri (mengenai peristiwa/hal tersebut).