• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Kamu menderita Major Depressive Disorder”

Kata-kata Sang Psikiater bagaikan petir di siang bolong. Oke, tidak selebay itu sih. Namun, yang pasti jauh lebih mengejutkan dari teriakan tukang sate kompleks perumahan di siang hari. “MajorDepressive Disorder' adalah istilah keren (dan medis) dari ’‘depresi", dan tentunya

"depresi" di sini adalah kondisi medis beneran, bukan istilah yang sering kali digunakan seenaknya oleh netizen di media sosial ["Depresi banget gw, kata abangnya martabak nutella sudah habis!!")

Beberapa bulan sebelum menemui psikiater, saya memang mengalami kemurungan yang tidak bisa dijelaskan. Saya diganggu pikiran-pikiran mendung yang tidak bisa dijelaskan selalu pemicunya. Bawaannya sedih dan negative thinking melulu, walaupun saya masih bisa

menyembunyikannya di tempat kerja (mungkin karena belum terlalu parah/severe).

Dari dulu, saya memang dikenal sebagai pribadi yang penuh negative thinking. Ketika dihadapkan pada sebuah situasi, saya selalu terpikir

xvii

HENRY MANAMPIRING

skenario jeleknya dulu. Namun, di pertengahan tahun 2017, pikiran buruk, cemas, dan rasa tidak semangat menjalani hidup itu terasa semakin

menekan. Saya menyadari bahwa kondisi ini sudah menjadi serius ketika mulai memengaruhi orang-orang terdekat di sekitar saya.

Sejak dulu, orang-orang yang sudah mengenal saya secara dekat sering menganjurkan saya untuk hanya berpikir hal-hal yang positif saja, tetapi saya merasa tidak cocok dengan ajakan positive thinking. Entah mengapa saya tidak pernah merasa bisa untuk "pokoknya pikirkan yang bagus-bagus saja". Bagi saya, berat sekali untuk bisa mengubah pikiran negatif menjadi pikiran positif semudah menyalakan saklar lampu. Selain itu,

FILOSOFI TERAS XX

ajakan "berpikir positif” seperti mengabaikan karakter dasar saya yang lumayan overthinking (apa-apa dipikirin), termasuk melihat potensi negatif yang bisa terjadi dari rencana apa pun. Yup, I am definitely the life of the party.

Sesudah mendapat diagnosis dari psikiater, saya kemudian diberikan terapi obat-obatan. Dari pengalaman ini, saya jadi lebih menyadari betapa topik kesehatan jiwa dan juga terapinya masih mengalami stigma yang sangat merugikan di

Indonesia. Kesehatan jiwa sering dianggap tabu untuk dibicarakan (karena hanya identik dengan "gila”. "Bro, gue gak bisa ketemuan besok siang, ada janji sama psikiater”. ”HAH, LO GILA YA? GILA KOK SADAR?”). Saya rasa hal ini

disebabkan gangguan psikis masih sering dianggap berbeda dari gangguan fisik seperti encok, pegel linu, dan batuk pilek.

Gangguan psikis sering dianggap berada di ranah "jiwa” atau "roh”, sesuatu yang abstrak, tak terlihat, dan kalau ada gangguan artinya hanya "gila” atau "diguna-guna”. Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa problem psikis juga bisa berkaitan dengan fungsi organ tubuh dan kimia otak, dan ini menjadikannya tidak berbeda dengan saat tenggorokan kita meradang dan sakit karena serangan bakteri.

Stigma dan salah pengertian tentang kondisi mental pun menimpa terapi dan pengobatannya. Karena kurangnya pemahaman bahwa ada aspek fisik di balik kondisi psikis, sering kali yang dianggap "terapi” hanya terbatas pada "curhat”, konseling, atau, yang paling parah, disembur air kembang kumuran dukun. Terapi obat untuk kondisi kejiwaan sering dipukul rata dianggap sebagai bahaya karena

"tidak alami”, atau pasti akan menimbulkan "ketergantungan”. Stigma mengenai masalah kesehatan jiwa dan terapinya yang masih menghambat ini sebenarnya merugikan banyak orang yang seharusnya bisa mendapatkan manfaat, tetapi harus memilih kena semburan mulut dukun.

Obat-obatan yang saya dapatkan terbukti efektif. Dalam tempo kira-kira dua minggu, mood saya jauh membaik. Entah ini efek plasebo atau memang riil, yang pasti saya merasakan perubahan nyata. Hal ini juga dirasakan oleh keluarga dan orang-orang di sekitar saya.

Sejak itu, saya semakin mengapresiasi ilmu kesehatan jiwa dan menyadari bahwa masalah kesehatan mental memang bisa dipengaruhi oleh

gangguan kimia di otak. Artinya, obat-obatan modern bisa membantu.

Namun, selama perjalanan terapi ini, saya juga tidak sabar untuk bisa bebas dari pengobatan. Ibarat sakit kepala dan minum parasetamol, tentunya kita tidak ingin terus-terusan mengonsumsi parasetamol.

Dalam artikel "We Need New Ways of Treating Depression” yang ditulis oleh Johan Hari, disebutkan bahwa walaupun terapi depresi dengan obat-obatan memang memberikan hasil yang menggembirakan (37% pasien yang menjalani terapi obat melaporkan perbaikan kondisi mental mereka), sayangnya kesembuhan ini tidak bertahan lama. Hanya 10% pasien

depresi penerima obat yang tetap bertahan sembuh dari depresi selama satu tahun. Pengobatan memang memberikan pemulihan yang sangat dibutuhkan, tetapi perlahan-lahan depresi kembali menyerang. Berarti,

FILOSOFI TERAS XXI

obat-obatan saja tidak cukup. Ada hal lain yang diperlukan untuk bisa memelihara kesehatan mental kita dalam jangka panjang.

Dalam artikel tersebut juga dikatakan bahwa fokus pada aspek biologi saja membuat kita memandang depresi atau kecemasan sebagai sebuah

"malfungsi’’ dari otak atau gen. Namun, para ilmuwan yang meneliti faktor sosial dan psikologi di balik depresi cenderung memiliki pendapat yang berbeda. Bagaimana jika depresi bukanlah sebuah "kerusakan"

(malfunction), tetapi justru "fungsi" alarm yang memberitahukan ada kebutuhan yang tidak terpenuhi? Ibaratnya, alarm kebakaran di gedung yang tiba-tiba berbunyi (harusnya) bukanlah sebuah kerusakan, tetapi menjadi alat yang memberi tahu para penghuni gedung bahwa kebakaran benar-benar terjadi di gedung tersebut. Depresi juga harus dilihat sebagai upaya tubuh memberi tahu ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam hidup kita.

Tanpa disangka-sangka, jalan hidup membawa saya ke sebuah alternatif solusi yang membantu saya memperoleh ketenangan yang lebih baik pasca-terapi obat. Di tengah masa pengobatan, saya menemukan Filosofi Teras (atau Stoisisme, nanti akan saya jelaskan mengapa saya

terjemahkan menjadi Filosofi Teras), sebuah filosofi purba dengan usia 2.300 tahun (lebih tua dari agama Nasrani dan Islam).

Suatu hari, saat kondisi saya belum pulih dan masih dalam pengobatan, sambil menunggu istri yang sedang belanja di supermarket, saya iseng melangkah masuk ke sebuah toko buku. Di tumpukan buku-buku terbaru, saya temui buku How To Be A Stoic karya Massimo Pigliucci. Sebelum membaca buku tersebut, saya hanya mengetahui Stoisisme sebagai salah satu cabang filsafat kuno. Itu saja.

Selain itu, dalam bahasa Inggris, definisi stoic (dengan 's’ kecil) adalah seseorang yang tidak tampak memiliki emosi, f/af/datar banget, atau tidak mudah bereaksi secara emosi, baik dalam situasi susah maupun senang. Gambarannya seperti ras Vulcan yang ada di Star Trek mungkin ya, seperti Mr. Spock yang mukanya

lempeng terus, baik di saat susah ataupun senang (mungkin kamu punya teman yang seperti demikian juga!).

Sesudah membaca buku Pigliucci, mata saya bagaikan terbuka dan saya seperti menemukan sebuah “terapi tanpa obat" yang bisa dipraktikkan seumur hidup.

Filosofi Teras ini sangat membantu saya merasa lebih tenang, damai, dan tidak mudah stres dan marah-marah. Efek dari mempelajari Stoisisme ini begitu

positifnya, bahkan terapi obat oleh Sang Psikiater bisa dihentikan jauh lebih awal dari umumnya, karena perbaikan sikap dan mental saya yang signifikan.

Saya percaya banyak orang di luar sana yang hidup dengan kekhawatiran.

Mungkin tidak sampai depresi klinis, tetapi tetap saja kecemasan dan

kekhawatiran sehari-hari cukup merugikan. Stoisisme bisa menjadi alternatif untuk membantu hidup yang lebih baik. Dalam bahasa Yunani, para filsuf Stoa menyebut tujuan dari filosofi Stoisisme sebagai "eudaimonia" atau "hidup yang berkembang [flourishing)".

Sayangnya, belum banyak buku mengenai filosofi ini di dalam Bahasa Indonesia—

atau bahkan buku filsafat secara umum— mungkin karena kata “filsafat" punya

FILOSOFI TERAS XXII

banyak konotasi negatif, seperti topik yang sulit dan bikin rambut beruban, atau topik yang dianggap tidak ada relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Saya berharap buku ini bisa menjadi trigger atau pemicu untuk menumbuhkan minat—

baik bagi para pembaca, penerjemah, dan penulis buku—akan buku-buku dengan tema serupa.

Buku ini juga berisikan wawancara dengan pakar dan praktisi dari berbagai bidang yang relevan, seperti Dr. Andri, SpKJ, FAPM., seorang psikiater dengan spesialiasi Psychosomatic Medicine; Agstried Piethers, seorang psikolog pendidikan; Wiwit Puspitasari seorang psikolog klinis;

Llia Halimatussadiah, seorang pengusaha dan penulis; dan Citta Cania Irlanie, seorang aktivis dan editor. Saya tertarik melihat keterkaitan Filosofi Teras ini dengan disiplin ilmu psikologi dan psikiatri, dan juga praktik

langsung di kehidupan sehari-hari. Ada banyak hal menarik yang saya pelajari dari diskusi dengan para narasumber ini.

Menggunakan analogi yang kekinian, saya menemukan Filosofi Teras ini bagaikan OS (Operating System) dari keseharian kita, seperti OS Android di smartphone berbasis Android, atau iOS di iPhone. OS di smartphone memastikan bahwa penggunaan dan aplikasi [apps) sehari-hari dari

smartphone kita berjalan lancar. Aplikasi tercanggih dan terseru pun akan macet jika tidak didukung OS yang baik. Demikian dengan keseharian kita.

Kita memiliki banyak "aplikasi” dalam keseharian kita, pergi sekolah/kuliah, pekerjaan kita, pacaran/pernikahan kita, hubungan kita dengan orang-tua, ambisi dan mimpi kita, hobi kita, dan lain-lain. "Aplikasi-aplikasi” ini

membutuhkan OS yang baik agar bisa berfungsi optimal. Saya

menemukan Filosofi Teras sebagai sebuah OS yang bisa membantu tujuan tersebut.

Akhir kata, saya menulis buku ini untuk berbagi pengalaman saya menemukan Filosofi Teras yang sangat membantu memperoleh hidup yang lebih tenang. Saya berharap buku ini bisa membantu para pembaca yang mungkin sedang dilanda kecemasan dan kekhawatiran. Buku Filosofi Teras rasanya memang cocok untuk mereka yang sering atau sedang merasa khawatir akan hidup, atau sering resah dan kecewa dalam kehidupan sehari-hari.

Filosofi Teras tidak menjanjikan rahasia untuk menghilangkan kesulitan dan tantangan hidup, tetapi justru menawarkan cara- cara untuk

mengembangkan sikap mental yang lebih tangguh agar bisa tetap tenang menghadapi terpaan hidup apa pun. Bagi pembaca lainnya, semoga buku kecil ini minimal dapat menambah pengetahuanmu akan adanya sebuah pemikiran antik yang sudah berusia 2.000 tahun lebih, dan masih relevan dengan kehidupan kita sekarang.