• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagaikan cenayang, para filsuf Stoa juga sudah memberikan

beberapa tips menghadapi kelebayan zaman ini. Tanpa kita sadari, sebenarnya kita sering kali lebay (berlebihan) dalam menanggapi segala sesuatu, walaupun hal itu sebenarnya remeh. Kita marah-marah, ngomel, baper, mewek, dan lain-lain, untuk hal-hal yang tidak perlu. Di foto selfie keliatan gemuk? Lebay! Berat badan naik 200 gram? Lebay! Gebetan ternyata sudah punya anak? Lebay! Nilai ujian anak hanya 97, padahal harusnya 100? Lebay! Gak

mendapatkan tiket konser? Lebay! Seleb kawin lagi? Lebay juga, padahal kenal juga enggak.

Kenyataannya, media sosial menambah lagi kemungkinan kita menjadi lebay. Pertama, dengan mendistorsi persepsi realitas kita.

Kebanyakan orang hanya mem-post hal-hal yang indah saja di media sosial, misalnya sepatu baru, HP baru, pacar baru, cafe baru, liburan baru, tas baru, rumah baru, istri baru, anak baru, dan seterusnya.

Hampir jarang sekali yang mem- post kemalangan, kemiskinan, kecerobohan, kebodohan dalam hidupnya.

Saya belum pernah melihat ada yang menulis di akun media

sosialnya, "Yay! Saya hamil dan tidak tahu siapa bapaknya!” Karena postingan orang-orang di media sosial selalu diseleksi /curated), maka media sosial tidak memberikan gambaran realitas hidup yang seimbang, tetapi cenderung ke yang positif saja. Ini membuat kita mengira standar hidup yang "normal” harus selalu indah, sempurna, harmonis, dan ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak enak sedikit, bagi kita ini sudah menjadi masalah besar.

Yang kedua, menjadi lebay sangat difasilitasi oleh media sosial. Kita mudah memuji-muji dengan berlebihan hal-hal yang ada di media sosial, karena kita cukup memilih like, menaruh emoticon, atau menulis komentar dengan jempol kita. Tanpa kita sadari, lebay di jempol akhirnya bisa menjadi lebay di bibir dan pikiran. Sekarang, kita

mengerti bahwa lebay di pikiran bisa membuat kita tidak bahagia.

Filosofi Teras membagikan beberapa pengamatan mengenai hidup untuk melawan fenomena lebay:

1. Tidak ada yang baru di dunia ini. "Selalu ingat bahwa ini semua telah terjadi sebelumnya, dan akan terjadi lagi. Plot yang sama dari awal hingga akhir, di tata panggung yang sama. Pikirkan hal ini, berdasarkan yang kamu ketahui dari pengalaman atau

sejarah," Marcus Aurelius [Meditations). Semua kejadian yang kita alami dan amati dalam hidup pada dasarnya sudah pernah terjadi, sedang terjadi lagi, dan masih akan terjadi.

Di sini, tentunya Marcus Aurelius tidak membicarakan hal-hal yang bisa muncul dan hilang, seperti tren baju, Taylor Swift, atau teknologi smartphone, tetapi hal-hal yang berkenaan dengan perasaan manusia, yaitu patah hati, iri hati, sedih karena

kehilangan barang, duka karena kehilangan anggota keluarga, terkhianati, kehilangan teman, kehilangan harapan, nafsu birahi, dan lain-lain-semua ini sudah dialami umat manusia selama ribuan tahun dan masih terus akan terjadi.

Dalam perspektif waktu seperti ini, apakah hal-hal sepele dalam hidup ini perlu mendapatkan responyang berlebihan? Mungkin jika Marcus Aurelius hidup di zaman sekarang, dia akan menegur kita, "EH BIASA AJA KELEUS. INI HAL BIASA DALAM HIDUP, GAK USAH LEBAY!"

2. Perspektif dari atas (View from above). "Ketika kamu berpikir mengenai umat manusia, cobalah melihat hal-hal di dunia seolah kamu melihatnya dari ketinggian,” Donald Robertson.

Dalam bukunya Stoicism and The Art of Happiness, Robertson mengutip teknik yang pertama kali diperkenalkan oleh Marcus Aurelius ini. Kita diminta mencoba membayangkan diri kita perlahan terbang ke atas (dengan menumpang drone raksasa).

Diawali dari problem kita sendiri, misalnya diputus pacar/ diminta cerai, kemudian perlahan makin naik. Kita melihat orang-orang di sekitar kita, mondar-mandir dengan urusan dan kesusahan mereka sendiri. Makin naik, kita melihat kota tempat kita tinggal, dengan segala kompleksitas warganya dan permasalahannya.

Makin naik, kita melihat Indonesia dengan segala

permasalahannya, dari urusan korupsi, kerusakan hutan, kemiskinan, dan lain-lain. Terus naik, siapkan helm oksigen,

karena kita akan melihat bumi yang bulat, beserta segala permasalahan dunia, dari angkasa luar.

Kemudian, tanyakan kembali ke diri kita, apakah sebenarnya masalah pribadi kita sungguh-sungguh sebuah masalah besar bila dibandingkan dengan dunia dan seluruh kehidupannya?

Tidakkah drama yang sedang kita jalani sebenarnya tidak sebegitu istimewanya, sebuah debu di dalam keseluruhan

perjalanan sejarah? Bandingkan dengan ancaman perang nuklir, misalnya.

Yang menarik, teknik kuno ini ternyata dialami nyata dua ribu tahun kemudian oleh para...astronaut. The

Overview Effect (Efek Melihat Dari Jauh) adalah nama untuk perubahan drastis yang dialami para astronot saat melihat bumi dari jauh di luar angkasa. Ketika mereka melihat bumi dari angkasa, maka muncul kesadaran betapa rapuhnya kehidupan, dan betapa kita semua umat manusia sesungguhnya saling terhubung /interconnected) di planet ini.

Dalam artikel “Seeing Earth from Space is the Key to Saving Our Species from Itself' ("Melihat Bumi dari Angkasa adalah Kunci Menyelamatkan Spesies Kita dari Diri Kita Sendiri”) oleh Becky Ferreira, mantan astronot Apollo 11 Michael Collins berkata,

"Saya sungguh percaya jika saja para pemimpin bangsa-bangsa bisa melihat planet mereka dari jarak 100.000 mil, maka

perspektif mereka akan berubah drastis.”

3. Semua akan terlupakan. ‘Pada saatnya, kamu akan melupakan segalanya. Dan akan ada saatnya semua orang melupakanmu.

Selalu renungkan bahwa akhirnya kamu tidak akan menjadi siapa-siapa, dan lenyap dari bumi," Marcus Aurelius

/Meditations). Jika pada akhirnya segala drama hidup kita akan dilupakan dan terlupakan, bahkan mungkin oleh kita sendiri, apakah sudah sepantasnya kita bersikap berlebihan terhadap sebuah peristiwa?

Pada akhirnya, kita sendiri mungkin akan melupakan apa yang baru saja terjadi, orang-orang lain juga akan melupakannya, dan mungkin dalam 10, 25, atau 50 tahun lagi, semua ini akan terasa remeh dan biasa.

Dengan menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada yang benar-benar istimewa dengan peristiwa hidup kita, baik dalam perspektif waktu

(semua drama kita ini sudah pernah terjadi di masa lampau di seluruh dunia, dan akan terjadi lagi di masa depan), dan juga dalam

perspektif seberapa pentingnya apa yang kita alami dibandingkan keseluruhan umat manusia dan hidup, maka jika kita rasional, kita tidak perlu lebay di semua situasi.