• Tidak ada hasil yang ditemukan

SpKJ FAPM

"Masalah khawatir bukan masalah ‘di pikiran’ saja!

Bagaimana latar belakang sampai dokter memilih kuliah psikiatri dan kemudian mendalami Psychosomatic Medicine?

Saya lahir dan besar di Tangerang. Saya memilih bersekolah di SMA negeri, karena zaman dulu katanya lebih mudah masuk FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) kalau datang dari sekolah negeri. Saat memulai kuliah di tahun 1997, pembangunan lagi berjalan pesat-pesatnya.

Indonesia saat itu baru mengenal istilah konglomerat. Waktu itu saya

FILOSOFI TERAS

8

kepikir, kalau jadi pengusaha harus seperti konglomerat yang punya sifat

"makanin orang”, kayaknya cara mendapatkan duitnya kok kurang bagus.

Jadi, saya memikirkan (profesi) apa yang bisa mendapatkan uang, tapi juga menolong orang.

Karena kondisi keuangan, Papa nggak mungkin menyekolahkan saya ke sekolah kedokteran swasta. Selain mahal, lulusnya gak jelas. Kalo gak masuk UI, saya harus masuk swasta. Nah, seperti umumnya orang keturunan China kebanyakan, swasta yang saya pilih waktu itu adalah Untar (Universitas Tarumanegara), tapi ngambilnya (Teknik) Sipil, karena jargon pembangunan. Mikirnya, nanti kalo lulus banyak yang pake. Tapi, ternyata saya lulus UMPTN (FKUI).

Sesudah menjadi mahasiswa kedokteran, mengapa tertarik untuk mengambil jurusan psikiatri?

Kalau keinginan menjadi psikiater sendiri sudah sejak dari kuliah tingkat satu.

Buku yang berpengaruh kenapa saya memilih psikiatri adalah The Doctors karya Erich Segal.

Salah satu tokoh di buku itu adalah seorang psikiater lulusan Harvard. Di situ saya mengenal konsep Freudian dan mulai membeli buku-buku mengenai Freud

(Sigmund Freud, Bapak Psikoanalisis) di tingkat dua.

Kemudian, dulu kan ada mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Kebetulan, di kampus saya (mata kuliah tersebut) dibawakan oleh seorang psikiater. Dia bicara tentang cara memahami perilaku manusia, bagaimana menciptakan kebiasaan, dan, dia selalu bilang, kalau ingin mempelajari kebiasaan dan otak manusia, belajarlah psikiatri. Kalau hanya belajar psikologi, sepertinya hanya mempelajari perilakunya saja. Sementara kalau kita belajar psikiatri, karena kita seorang dokter, kita juga tahu sakitnya bagaimana. Kita tidak kehilangan "sense of doctor" dengan menjadi psikiater. Dari situ saya terpikir, berarti di profesi ini saya masih bisa bantu orang nih.

Dalam perjalanannya, sesudah lulus kedokteran, saya langsung mengambil spesialisasi psikiatri. Zaman dulu kita bisa langsung mengambil spesialis tanpa harus PPT.

Kenapa psikiatri? Karena menarik, bisa mempelajari perilaku manusia, dan sebagai dokter kita tahu bahwa sumbernya di otak. Semua fenomena bisa dijelaskan di otak kita. Masalahnya ilmunya belum nyampe aja, sehingga kita belum bisa menjelaskan kenapa orang bisa menjadi depresi, jadi cemas, dll.

Saya menjadi dokter dan mengambil psikiatri untuk melawan stigma bahwa psikiater itu hanya ngurusin orang gila aja. Secara statistik di Indonesia, dari Survei Kesehatan Dasar Rumah Tangga 2012, sebenarnya

9

HENRY MANAMPIRING

yang psikotik (yang disebut “gila” itu) itu hanya 0,7%. Jadi, pekerjaan psikiater sebenarnya lebih banyak merawat yang depresi cemas. Dari berbagai literatur bisa 20- 30% (insiden).

Kalau ketertarikan pada pengobatan psikosomatik (bagian dari ilmu psikiatri yang menghubungkan psikiatri dan disiplin kedokteran lainnya, seperti penyakit dalam, alergi, syaraf, dan lain-lain)?

Di tahun kedua belajar psikiatri, saya berkenalan dengan psikosomatik. Di Indonesia, psikosomatik ada dua sisi. Dari sisi penyakit dalam dan dari sisi psikiatri. Kalau penyakit dalam, lebih ke organ, karena dulu ada istilah

"penyakit-penyakit psikosomatik", seperti hipertensi, neurodermatitis, asthma bronchiale, dan lainnya. Ini adalah penyakit-penyakit yang dianggap banyak hubungannya dengan psikologi. Makanya ada istilah seperti "Lo jangan marah-marah melulu dong, nanti darah tinggi!", "Nanti kalo stres, lambung lo sakit”. Jadi, sebenarnya orang sejak dulu sudah mengetahui adanya psikosomatik. hanyalah "psikolog yang bisa mengobati dengan obat".

Jadi, sederhananya, apakah itu “pengobatan psikosomatik”?

Di ilmu pengobatan psikosomatis dijelaskan bahwa apa yang terjadi di otak kita bisa memengaruhi badan secara keseluruhan. Maka, tidak heran ada orang stres

mengalami tegang leher. Kalau sakit kepala, bisa kemudian mengalami sakit lambung juga, karena ada interconnection (keterkaitan).

Kita sebagai psikiater gak cuma bilang, “Kamu ini sakit kepala karena banyak mikir.” Betul, saya lagi mikirin utang sampai jadi sakit kepala. Tapi pertanyaannya, kenapa jadi sakit kepala? Karena dengan mikirin hutang, otak saya bekerja lebih keras. Stres karena utang itu persepsinya negatif. Ketika ada persepsi negatif, otak harus bekerja keras untuk beradaptasi dengan persepsi negatif itu. Otak kita selalu berusaha agar segala sesuatu menjadi seimbang. Ketika ada persepsi negatif, maka otak itu akan mencoba beradaptasi.

Jadi, bagaimana stres bisa merusak kesehatan tubuh kita?

Ada quote dari Hans Seyle, “Bukan stres yang membunuh kita, tapi reaksi kita terhadapnya.” Karena sebenarnya masalahnya bukan di stres itu sendiri, tetapi

FILOSOFI TERAS

10

persepsi kita. Misalnya, “Duh jalanan macet nih!”, atau, “Utang gue banyak.” Itulah yang menyebabkan badan mengeluarkan zat. Pertama, respon adrenalin

meningkat. Adrenalin meningkatkan tekanan darah (karena jantung menjadi makin berdebar), pembuluh darah menyempit, dan karenanya kepala kita menjadi tegang.

Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini akan meningkatkan hormon stres, namanya kortisol. Kortisol adalah zat yang sifatnya oksidatif, merusak apa pun di dalam tubuh kita. Jika dia menempel di pankreas, dia meningkatkan insulin.

Makanya, ada orang yang kalau stres bawaannya mau makan. Badannya memanggil- manggil karena berpikir dia sedang membutuhkan energi.

Jika stresnya akut atau sementara, maka reaksi tubuh juga sementara. Tetapi jika stresnya lama, maka reaksi tubuh juga akan lama. Makanya saya suka bilang kepada pasien, jangan stres lama-lama, nanti adaptasinya berubah. Nanti anda tidak tahu lagi bahwa anda sedang stres, karena sudah terbiasa hidup dalam stres.

Jika kita stres kelamaan, badan akan merespon dengan hal- hal yang kita tidak tahu sebagai bagian dari stres. Contohnya penyakit dispepsia atau gangguan lambung. In the long run, bisa muncul gangguan jantung, hipertensi, dan diabetes.

Adakah perbedaan antara ‘takut’, ‘stres’, ‘khawatir/cemas’, dan depresi?

Kalo “takut’’, kita tahu sumbernya, misalnya takut setan atau takut ujian.

Kalau cemas, berdasarkan definisinya, gak jelas penyebabnya, pokoknya merasa cemas saja. Karenanya, ada diagnosis “gangguan cemas

menyeluruh”, yaitu orang yang suka khawatir berlebihan terhadap segala sesuatu di dalam hidupnya, khususnya terhadap orang-orang yang

dicintai.

Gangguan cemas itu tidak muncul tiba-tiba, seperti di Survei (Khawatir) itu.

Di satu sisi, saya merasa ini opportunity (kesempatan), sehingga saya bilang kepada koas-koas (ko- asisten) saya, kamu jadi psikiater deh, dibutuhkan banget karena banyak orang khawatir. Apalagi dengan ketidakpastian sekarang. Orang menjadi cemas karena dia tidak bisa mengendalikan hidup di situasi ketidakpastian.

Kalo stres artinya “tekanan”, sesuatu yang mengganggu keseimbangan di hidup kita. Ada stres fisik, stres psikis. Kalau olahraga sampai kecapean itu stres fisik. Kalau stres mental, saya merasa exhausted, kelelahan. Ada sumber stresnya.

Jika stres meningkat terus, pada kondisi orang sudah tidak tahu stresnya datang dari mana, artinya dia sudah masuk fase cemas. Makin jauh lagi, jika cemasnya dibiarkan, bisa menjadi depresi.

11

HENRY MANAMPIRING

Banyak orang yang awalnya cemas biasa saja—merasa khawatir akan kehidupan—kemudian tidak mendapat solusi dan dia menjadi depresi.

Tidak ada solusi, jadi hopeless, lalu jadi depresi. Ada dua gejala penting depresi: pertama adalah mood yang sedih, lalu yang kedua adalah putus asa—tidak ada harapan, hidup kok begini-begini aja. Kita harus hati-hati dengan teman-teman yang berkata, "Hidup gue kok begini-begini aja", jangan-jangan dia sudah mengalami gejala awal depresi. Karena apa yang terucap oleh seseorang bisa jadi memang refleksi dari (hidup) dia.

Depresi dan cemas tidak berbeda jauh. Dan secara organ otak juga sama, karenanya obatnya pun sama. Depresi, mendapat obat antidepresan. Cemas panik, dikasih antidepresan juga.

Apakah gangguan tubuh karena pikiran hanya terjadi saat sudah parah saja? Atau bahkan cemas "sehari-hari” saja sudah bisa bermanifestasi fisik?

Cemas sehari-hari pun sudah bisa memengaruhi fisik. Contohnya, saat mau presentasi kita bolak-balik ke kamar mandi. Penjelasannya adalah saat kita stres, atau tubuh kita memersepsikan adanya stres, maka terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom (saraf yang bertanggung jawab atas organ-organ yang berfungsi sendiri tanpa perintah, seperti jantung, paru, kandung kemih), makanya jadi pengen pipis.

Asthma bronchiale, misalnya. Asma yang dipicu stres. Ketika orang stres,

merangsang reaksi alergi imunologi, maka timbullah asmanya. Gangguan cemas tidak datang tiba-tiba. Biasanya pasien datang ke saya sesudah berkeliling ke beberapa dokter, seperti dokter penyakit dalam, dokter jantung, dokter saraf, atau dokter THT, karena gejalanya seperti vertigo, tapi kemudian dinyatakan tidak apa-apa. Tidak ada organ yang rusak. Kata saya, makronya memang tidak, artinya jantungnya masih bagus. Tapi bayangkan, jantung berdetak 95 kali per menit, dibandingkan 65 kali per menit, lebih berat mana bebannya?

Bisakah saya artikan bahwa pesannya di sini adalah: jangan anggap remeh khawatir/cemas “kecil” yang terjadi sehari-hari?

Secara umum, kita memiliki kemampuan adaptasi. Bayangkan stress threshold sebagai gelas, lalu kita isi sedikit-sedikit dengan stres. Kita harus cari tahu cara supaya gelas itu tidak terlalu penuh, dikeluarkan sedikit-sedikit. Caranya macam-macam, misalnya dengan berbicara. Kadang-kadang kita feeling relieved (lega) hanya dengan berbicara kepada orang. Atau rekreasi.

Mengapa saya katakan persepsi itu penting. Contoh: liburan itu lebih melelahkan dibandingkan praktik/kerja, jalan ke sana sini, tapi rasanya senang karena kita berkumpul bersama keluarga. Makanya, ada yang bilang, coba ganti suasana biar

FILOSOFI TERAS

12

gak stres. Karena sekarang lagi trennya ke CBT [Cognitive Behavioral Therapy], maka yang paling penting itu perception.