• Tidak ada hasil yang ditemukan

b. Kuesioner tidak terstruktur

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Penelitian dan Kemiskinan

Kabupaten Blora terdiri dari 16 kecamatan, 271 desa dan 24 kelurahan. Keluarga petani miskin contoh (responden) berada pada 3 agroekosistem dominan : i. lahan sawah, yaitu Desa Gondel, Panolan, Klagen,Kemantren (Kedung tuban),

Ngloram, Jipang, dan Getas (Cepu),

ii. lahan kering, yaitu Desa Tempurejo, Nglengkir (Bogorejo), Kajengan, Sambeng, Kedungwungu (Todanan), Kalangan, Tambahrejo, Kedungrejo (Tunjungan),

iii. kawasan hutan, yaitu Desa Sumberejo, Ngiyono (Japah), Bodeh, Ngliron, dan Kediren (Randublatung), Bleboh, Nglebur (Jiken) (Tabel 6).

Tabel 6. Lokasi penelitian berdasarkan zona agroekosistem

Kecamatan Desa Desa sampel Tinggi*

(m dpl)

PDRB Pertanian#

2003 2008

Dominan lahan sawah

Kedungtuban 17 Gondel, Panolan, Klagen, Kemantren

48 74,76 75,18

Cepu 18 Ngloram, Jipang, Getas 48 19,62 18,82

Dominan lahan kering

Bogorejo 14 Tempurejo, Nglengkir 190 62,06 62,38

Tunjungan 15 Kalangan, Tbh.rejo, Kdungrejo 74-130 62,77 63,98

Todanan 25 Kajengan, Sambeng, Kd. wungu 236-250 69,94 70,22

Dominan kawasan hutan

Japah 18 Sumberejo, Ngiyono 200 71,62 72,44

Rdublatung 18 Bodeh, Ngliron, Kediren 53 - 75 69,48 68,08

Jiken 11 Bleboh, Nglebur 31 - 35 64,76 64,35

Keterangan : * = m dari permukaan laut, # = pertanian + kehutanan atas dasar harga konstan

Rumah tangga pertanian berdasarkan luas sawah dan bukan sawah dan pengairan (Tabel 7, Gambar 9). Desa-desa memiliki luas sawah dominan, dengan perairan umum dari Sungai Bengawan Solo. Bengawan Solo yang dapat mengairi sawah di Kec. Cepu dan Kedungtuban seluas 305 ha dan 115 ha. Desa-desa kajian dominan sawah memiliki hari hujan dan curah hujan hanya 44 hari dan 860 mm (2003), 38 hari dan 750 mm (2004), 74 hari dan 1482 mm (2005), serta 67 hari dan 1810 mm (2006) (12 bulan ada hari hujan) (BPS dan Bappeda Blora, 2007). Kecukupan air sebagai masalah pokok, berdasarkan perhitungan neraca air di wilayah Kedungtuban dan Cepu, atau daerah Blora bagian selatan relatif lebih lembab, dengan rejim kelembaban ustik, mengalami defisit air 4 sampai 5 bulan, dengan jumlah defisit air berkisar 107 - 150 mm (Bachri et. al., 2004).

Desa-desa dominan sawah, sebagian memiliki pola tanam padi – padi – padi, atau dengan indeks pertanaman (IP) padi 300. IP padi 300 dengan sumber air sungai Bengawan Solo. IP padi 300 didukung bangunan infrastruktur pengairan

yang dibangun program peningkatan pendapatan petani melalui inovasi (P4MI), Badan Litbang Pertanian tahun 2006 dan 2007. Sebagian lagi memiliki IP padi 200, dengan pola tanam padi – padi – jagung, atau padi – padi – kacang tanah/hijau, sehingga IP 300 tetap terjadi dalam setahun.

Kecamatan Randublatung dan Tunjungan memiliki perairan umum dari Sungai Wulung (9 ha), Sembung (5 ha), waduk Greneng (45 ha), cekdam Sitirejo (2,5 ha) dan cekdam Kedungrejo (1,5 ha) (BPS dan Bappeda Kab. Blora, 2007).

Tabel 7. Potensi, IP padi, RT. miskin, prasarana kesehatan, dan sistem pengairan

Kecamatan Desa Sawah (%) L.kering (%) IP Padi x 100 RT (%) Miskin Hutan

(%) **) Prasarana pengairan lahan pertanian, dan bantuan P4MI

3 2 1

a. Dominan lahan sawah

Ked.tuban 43,8 10,2 V V~ 47,3 33,8 105 ½ teknis, S. B. Solo, pompanisasi

Gondel 37,2 36,4 V V~ 55,7 0,0 7 Sumur gali

Panolan 48,9 25,6 V V~ 69,0 0,0 3 Pompanisasi, glontoran sungai

Klagen 53,6 23,2 V V~ 51,9 0,0 5 Glontoran/pompanisasi, sal. irigasi

Kemantren 58,9 20,6 V V~ 35,8 0,0 11 Cekdam, pompanisasi

Cepu 42,2 19,2 V V” 38,1 9,7 128 ½ teknis, S. B. Solo, pompanisasi

Ngloram 56,2 26,4 V V” 49,0 0,0 7 Embung dan pompanisasi

Jipang 51,6 28,6 V V” 47,3 0,0 8 Cekdam, saluran irigasi

Getas 58,8 24,7 V V” 44,7 0,0 9 Cekdam, saluran irigasi

b. Dominan lahan kering

Bogorejo 15,1 42,4 V‟ V 38,8 11,6 94 ½ teknis, pompa, tadah hujan

Tempurejo 26,0 37,0 V‟ V 31,6 11,1 6 Renovasi bendungan desa

Nglengkir 9,9 45,0 V 49,6 15,0 13 Pembangunan cekdam

Tunjungan 27,9 18,1 V* 34,4 23,0 72 ½ teknis, pompa, tadah hujan

Kalangan 20,1 40,1 V* 37,3 0,0 3 Cekdam-saluran, pompanisasi

Tmbahrejo 30,7 34,6 V* 28,0 0,0 9 Embung dan saluran embung

Kdungrejo 9,1 45,5 V* 26,5 0,7 4 Cekdam– pompanisasi, sumur gali

Todanan 31,5 15,9 V‟ V 37,3 35,7 94 Mata air bukit, tadah hujan

Kajengan 27,1 36,4 V‟ V 34,1 10,6 2 Bendungan, saluran irigasi

Sambeng 37,1 31,5 V‟ V 35,9 14,0 7 Embung, irigasi, pompa, checkdam

Kd.wungu 16,9 41,6 V‟ V 51,5 22,4 1 Bendungan, saluran irigasi

c. Dominan kawasan hutan

Japah 20,4 19,1 V‟ V 43,8 54,3 114 ½ teknis, pompa, tadah hujan

Sumberejo 9,3 7,8 V 51,1 80,8 5 Bangunan cekdam, sumur gali

Ngiyono 4,9 3,9 V 41,8 88,7 4 Pembangunan cekdam

Rdblatung 16,6 9,6 V‟ V 43,3 65,7 204 Pompanisasi, tadah hujan

Bodeh 0,3 3,0 V 62,8 95,7 5 Sumur gali, pompanisasi

Ngliron 4,2 3,7 V 40,6 89,4 13 Bendungan sungai Ngliron

Kediren 12,0 35,5 V‟ V 17,4 53,7 13 Sumur gali, pompanisasi

Jiken 9,6 5,8 V‟ V 36,5 80,1 97 ½ teknis, pompa, tadah hujan

Bleboh 7,3 9,4 V‟ V 45,7 77,4 13 Bangun bendung sungai, irigasi

Nglebur 6,6 2,8 V‟ V 23,8 87,8 11 Bangun cekdam

Sumber : Bappeda dan BPS Blora, 2007; dan data primer Ket. : V* = V‟ : Padi – padi – jagung/kacang tanah, atau Padi – padi – sayuran/semangka, V” = V~ : Padi – padi – jagung, Padi – padi – kacang tanah/hijau # = Pertanian

Sarana kesehatan : rumah sakit, rumah bersalin, puskesmas, pustu, praktek dokter, praktek bidan, posyandu, polindes, apotik/toko obat, dokter, mantri kesehatan, bidan, dukun bayi

Kecamatan Todanan memiliki perairan umum dari Sungai Ketileng dan Kedungwungu (45 ha); cekdam Bentolo (3 ha); Karanganyar (2 ha); Kopen (1 ha); Pelemsengir (2,5 ha), dan cekdam Gondoriyo (2,5 ha). Kecamatan Japah memiliki perairan umum dari Sungai Japah (3 ha). Kecamatan Bogorejo memiliki perairan umum dari Sungai Bogorejo (4 ha) dan cekdam Bogorejo (2 ha). Kecamatan Jiken memiliki perairan umum dari Sungai Jiken (5 ha), cekdam Watulumbung (2,5 ha); Singonegoro (2 ha), dan Bangowan (2 ha).

Kecamatan Tunjungan memiliki sistem pengairan sebagian ½ teknis, sebagian pompa air, tadah hujan. Kec. Todanan sistem pengairan tadah hujan dan mata air di bukit. Lahan sawah desa kajian di Kec. Tunjungan dan Todanan maksimal memiliki IP padi 200. Pada kondisi hari hujan dan curah hujan (mm) pertahun normal, dalam setahun dengan pola tanam padi – padi – jagung/kacang tanah (IP 300), atau padi – padi – sayuran/ semangka (400 < IP < 300).

Kecamatan Jiken dengan luas kawasan hutan dominan, berada pada kesatuan pemangkuan hutan (KPH) Cepu, memiliki hutan produksi dengan produksi kayu jati (22.786,2 m3), dan mahoni (56,25 m3) (tinggi) per tahun. Kecamatan Randublatung berada pada KPH Randublatung dengan produksi kayu jati (11.983 m3), mahoni (247 m3), dan kayu bakar (137 m3) (cukup). Kecamatan Todanan, Japah, dan Tunjungan berada pada KPH Blora, masing-masing dengan produksi kayu jati, mahoni, dan kayu bakar adalah 2.349 m3; 3 m3; dan 1 m3; serta 3.364 m3 dan 86 m3, serta 39 m3 dan 21 m3 (rendah).

Luasan lahan sawah, lahan kering, dan sistem pengairan erat kaitannya dengan produksi pangan utama desa, kecamatan kajian. Kecamatan Kedungtuban dan Desa Klagen dengan luasan sawah mencapai 43,8 dan 53,6 persen, pengairan dari Sungai Bengawan Solo memiliki produksi padi (53.245 ton dan 1.426 ton) lebih tinggi dibandingkan produksi jagung (9.451 ton dan 894 ton) (Tabel 8). Kecamatan Bogorejo, Desa Nglengkir dan Tempurejo terjadi sebaliknya.

Gambar 2. Luas lahan pertanian

0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000

Sawah (2 kec.) L.kering (3 kec.) Hutan (3 kec.)

Dominan

Ha Sawah

Tabel 8. Populasi ternak dan produksi pangan utama (padi, jagung)

Kecamatan

Desa

Ternak dominan (ekor) Pangan (ton)

Sapi Kado Unggas Padi Jagung

Kedungtuban 13.124 5.106 135.518 53.245 9.451 1. Klagen 290 118 3.548 1.426 894 Bogorejo 20.026 8.133 189.140 7.743 20.942 1. Nglengkir 2.080 417 70.333 704 3.256 2. Tempurejo 1.122 338 4.389 964 1.576 Tunjungan 10.723 3.099 210.281 19.921 26.784 1. Kalangan 754 223 16.126 1.626 1.692 Todanan 17.359 7.163 171.931 25.443 11.954 1. Kedungwungu 2.315 443 7.925 2.198 2.100 2. Sambeng 678 167 5.140 1.336 789 Japah 20.243 7.424 133.324 18.663 16.740 1. Sumberejo 564 195 3.486 512 842 2. Ngiyono 754 245 3.354 224 376 Randublatung 20.178 18.784 144.678 26.645 36.951 1. Bodeh 756 1.257 6.489 42 342 2. Ngliron 737 698 4.895 356 575 Jiken 12.562 4.525 93.491 8.085 12.842 1. Bleboh 2.408 470 8.545 1.598 1.824 2. Nglebur 1.588 309 18.206 1.287 1.364

Sumber : BPS dan Bappeda Kab. Blora (2007) validasi di lap. 2007, 2008, diolah, kado = kambing/domba

Kemiskinan dan sektor pertanian, lebih khusus pertanian lahan marjinal, seperti Kabupaten Blora memiliki hubungan sangat erat, karena jumlah penduduk miskin sebagian besar (63%) berada di daerah perdesaan. Dari total jumlah penduduk miskin yang ada 58% bekerja di sektor pertanian, di pedesaan persentasenya bahkan jauh lebih tinggi, misalnya di Desa Bodeh (62,76%) (Kec. Randublatung), Panolan (69,04%) (Kec. Kedungtuban).

Hasil Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) 2000 – 2006, pekerja sektor pertanian di Kab. Blora tahun 2006 mencapai 60%, dan ada kecenderungan terjadi penurunan

Gambar 10b. Pekerja Sektor Pertanian di Kab. Blora

72,63 73,73 70,54 71,23 69,41 62 60,12 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 T ahun % Pertanian

mulai tahun 2003 (Gambar 10). Hal ini diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti mulai gencarnya otonomi daerah dengan adanya dana alokasi umum (DAU), yang lebih bisa menciptakan penyerapan tenaga kerja terutama bidang konstruksi, berimbas ke perdagangan dan jasa.

Rumahtangga pertanian yang melakukan kegiatan mengusahakan tanaman padi dan atau palawija, hortikultura, perkebunan, kehutanan, ternak/unggas, penangkaran satwa liar, ikan/biota lain di air tawar, atau ikan/biota lain di tambak air payau hasil Sensus Pertanian 2003, disebut rumahtangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 ha (Gambar 11), disebut rumahtangga petani gurem yang jumlahnya cukup tinggi di daerah kajian.

Jumlah rumahtangga petani gurem cukup tinggi (Gambar 11, 12, 13), ada kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, mengindikasikan semakin banyaknya rumahtangga pertanian yang miskin. Sempitnya penguasaan lahan pertanian (Gambar 11) akan membuat usahatani berproduksi menjadi tidak efisien, sehingga pendapatan petani menjadi terbatas. Petani gurem di wilayah kajian adalah petani miskin, mengusahakan tanaman pangan, sayuran, atau peternakan skala kecil. Petani gurem di wilayah Blora tidak mengusahakan tanaman hias, seperti anggrek, atau budidaya ikan koi, dengan lahan < 0,5 ha sehingga dapat menghasilkan pendapatan besar, dan tidak digolongkan sebagai petani miskin.

Gambar 11. Luas lahan yang dikuasai petani di 3 agroekosistem

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000

Sawah Lahan kering Hutan

Dominan

KK < 1.000

1 rb<x< 20 rb > 20.000

Gambar 12. RT pengguna lahan dan petani gurem

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000

Sawah Lahan kering Hutan Dominan

KK

Pengguna lahan Petani gurem

Petani gurem di Kab. Blora umumnya memiliki bangunan rumah tidak permanen, berdasarkan kondisi tempat tinggal {(1) luas lantai per kapita (skor 1 = «

8 m2, 0 ≥ 8m2); (2) jenis lantai (1 = tanah, 0 = semen/keramik); (3) jenis dinding (1 =

bambu/ kayu kualitas rendah, 0 = tembok/kayu kualitas tinggi)}, memiliki skor 2 – 3, sedangkan rumah permanen memiliki skor 0 – 1 (Gambar 14).

Kemiskinan lahan marjinal di Kabupaten Blora, lebih khusus di wilayah kecamatan kajian (34,36 – 47,32%), atau desa-desa kajian (17,42 – 69,04%) memiliki hubungan sangat erat dengan kepemilikan rumah tidak permanen di wilayah kecamatan kajian (52% < x < 90%), atau desa-desa kajian (40% < x < 100%). Artinya sebagian keluarga pertanian pengguna lahan, petani miskin, petani gurem dengan kepemilikan rumah tidak permanen (Gambar 14).

Gambar 13. RT petani, pengguna lahan, petani gurem, dan buruh tani

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000

Sawah Lahan kering Hutan Dominan

KK RT Petani

Pengguna lahan Petani gurem Buruh tani

Gambar 14. RT miskin dan rumah non permanen

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Sawah Lahan kering Hutan

Dominan

% % RT Miskin