• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PERKEMBANGAN EKONOMI PARIWISATA TERHADAP HUKUM TANAH ADAT DI DESA TENGANAN PAGRINGSINGAN

III. Hasil dan Pembahasan

Desa Adat Tenganan Pagringsingan adalah sebuah desa tua di Bali, terletak di Kabupaten Karangasem, + 18 km ke arah barat dari Amlapura ibukota kabupaten, dan + 67 Km ke arah timur dari Denpasar, ibukota Propinsi Bali, dan + 3 Km ke arah utara dari kawasan wisata Candidasa. Desa ini mempunyai adat-istiadat yang unik, salah satu di atanranya yang sudah dikenal di dunia kepariwisataan adalah adat makare-kare atau perang pandan, yaitu tradisi yang dilakukan setiap tahun, dimana dua orang laki-laki secara bergiliran melakukan perang tanding dengan memakai perisasi di tangan kiri dan bersenjatakan satu ikat daun pandan berduri. Luka- luka yang dialami karena goresan duri pandan tersebut diobati dengan obat penawar yang dibuat sendiri oleh masyarakat setempat.

Keunikan lain yang dimiliki desa ini adalah awig-awignya yang melarang untuk mengalihkan hak kepemilikan tanah kepada orang luar desa, baik melalui jual beli, gadai ataupun melalui proses hibah dan pewarisan. Hak-hak atas tanahnyapun cukup unik, karena adanya kepemilikan hak atas tanah kolektif (komunal) yang masih kuat, di samping hak kepemilikan individu. Beragam hak atas tanah telah diuraikan secara rinci oleh Astiti dalam penelitiannya tahun 1983.8 Pada

intinya, hak atas tanah milik individu dan hak milik tanah kolektif (druwe sekaa) mempunyai kaitan yang erat dengan tanah komunal milik desa (druwe desa), artinya, di satu pihak individu- individu sebagai krama desa mendapat hak untuk memakai (hak pakai) tanah pekarangan milik desa untuk tempat tinggal, mempunyai hak untuk memungut hasil hutan (buah-buahan, dan lain-lainnya) milik desa, hak untuk mendapat hasil panen yang disebut tika dari sawah milik desa. Di pihak lain, desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum juga memiliki hak-hak tertentu terhadap tanah milik individu warga dan milik sekaa berupa hak ngalang (hak untuk mengambil hasil kebun milik individu warga ataupun sekaa berupa daun sirih, tebu, pisang, buah pinang, buah kelapa, setiap bulan untuk keperluan upacara di desa); hak ngambeng (hak untuk mengambil nira atau tuak dari pohon enau dan kelapa di kebun milik individu maupun milik

sekaa); dan hak ngarampag (hak desa untuk mengambil kayu/pohon, antara lain, kayu nangka, cempaka, enau, kelapa, pinang, bambu, untuk keperluan upacara di desa, tanpa harus minta ijin kepada pemiliknya.

Demikian eratnya hubungan antara tanah milik individu dan tanah milik sekaa dengan tanah milik desa yang bersifat saling menguntungkan, dimana secara konkret hak milik komunal (druwe desa) memberi kontribusi terhadap kesejahteraan krama (warga), dan sebaliknya tanah milik individu dan sekaa juga memberi kontribusi terhadap desa, maka dapat diduga bahwa hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat setempat masih menjunjung tinggi nilai-nilai komunal atas tanah, yang merupakan nilai masyarakat agraris.

8 Tjok Istri Putra Astiti, 1983, ‘Hukum Tanah Adat di Desa Tenganan Pagringsingan’, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal.4-16.

Dengan berkembangnya pariwisata di desa setempat, pengaruhnya secara signifi kan

dapat dilihat dari tumbuhnya mata pencaharian di sektor pariwisata, namun mata pencaharian pertanian masih tetap dipertahankan. Dilihat dari tahapan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat setempat, dapat dikatakan masih pada tahap awal, yaitu tahap initial euphoria,9 dapat diketahui dari adanya respon positip masyarakat terhadap perkembangan pariwisata, karena dirasakan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bagaimana pengaruh perkembangan ekonomi pariwisata pada tahap-tahap selanjutnya, terutama terhadap hak-hak atas tanah baik tanah individu maupun tanah milik kolektif, perlu dipertanyakan dan penting diteliti pada masa yang akan datang.

Terkait dengan perkembangan ekonomi pariwisata di desa Tenganan Pagringsingan, ada beberapa temuan yang penting dikemukakan di antaranya adalah bahwa: 1) Perkembangan ekonomi pariwisata ternyata tidak diikuti oleh proses individualisasi hak kepemilikan atas tanah kolektif dan juga tidak ada alih fungsi lahan, hal ini berbeda dengan apa yang umumnya terjadi di desa lain. Ditemukan adanya satu kasus alih fungsi lahan di depan pintu masuk desa, dari yang dulunya tidak produktif, menjadi produktif (dari lahan kosong kemudian diubah menjadi bangunan arshop yang berfungsi ekonomi). Walaupun tidak terjadi alih fungsi lahan, akan tetapi di desa setempat terjadi alih fungsi bangunan di dalam pekarangan, yang semula berfungsi untuk melaksanakan kegiatan adat dan keagamaan, kemudian dalam kesehariannya bangunan- bangunan tersebut difungsikan sebagai arshop (fungsi ekonomi) untuk memajang barang-barang cenderamata keperluan para turis yang berkunjung. Penggunaan bangunan-bangunan tersebut sebagai arshop hanya bersifat sementara, yang sewaktu-watu apabila pemiliknya melakukan kerja adat dan keagamaan, bangunan kembali difungsikan seperti semula. 2) Perkembangan ekonomi pariwisata di Desa Adat Tenganan Pagringsingan tidak diikuti oleh adanya transaksi tanah kepada orang luar desa, walaupun terkait dengan hal ini ditemukan dua kasus transaksi tanah kepada orang luar desa, yang terjadi karena proses lelang, akan tetapi salah satu kasus tersebut telah diselesaikan dengan cara negosiasi dimana desa membeli kembali tanah tersebut. Hanya dalam kasus kedua tanah objek lelang masih berada di tangan orang luar desa, karena desa tidak dapat memenuhi konvensasi yang dituntut pembeli, berupa sejumlah lahan yang terletak di luar desa. Kejadian ini menunjukkan bahwa kontrol atau pengawasan desa atas tanah yang ada di lingkungan wilayah desa adat Tenganan Pagringsingan masih cukup kuat, dan berarti juga bahwa ketentuan awig-awig desa yang melarang pengalihan hak atas tanah kepada orang luar desa masih tetap ditaati.

Ditinajau dari segi budaya hukum masyarakat berarti masyarakat setempat dapat dikatakan bersikap dan bertindak taat (patuh) terhadap hukum khususnya hukum tanah adat. Secara sosiologis hal ini mengindikasikan bahwa bekerjanya hukum adat (awig-awig) setempat masih efektif. 3) Dengan adanya perkembangan ekonomi pariwisata di desa setempat memang pada mulanya terjadi konfl ik, akan tetapi tidak begitu serius dan telah berhasil diselesaikan berdasarkan

musyawarah dan mufakat. Konfl ik yang terjadi termasuk kon ik positip (kon ik fungsional)10

yang bersifat memperkuat struktur dan tidak menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat desa. Penyelesaian konfl ik yang berhasil dilakukan secara musyawarah dan mufakat serta tidak

berakhir dengan perpecahan, itu merupakan pertanda bahwa sengketa/konfl ik telah berhasil

9 Ada 5 tahapan (stage) dampak social dari pariwisata, yaitu : 1) initial euphoria, 2) apathy, 3) increasing irritaton, 4) outright antagonism, 5) cherishd value are forgotten and the environment destroyed. Baca J.Lea, 1988. Tourism and Development in the Third World, Roulledge, London, hal. 64.

10 Doyle Paul Johnson, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (terjemaham Robert M Z Lawang), jilid 2, PT Gramedia, Jakarta, hal.196.

diselesaikan berdasarkan azas rukun, laras, dan patut.11