• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian GATS

ASING DI BIDANG PARIWISATA DI INDONESIA oleh

II. Metode Penelitian

3.2 Kesesuaian Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian GATS

Pada pembahasan menyangkut kesesuaian prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS pada pengaturan penanaman modal asing di bidang pariwisata di Indonesia, penelitian ini mengidentifi kasi dua hal yang menjadi topik pembahasan yaitu menyangkut aspek perizinan

penanaman modal asing di bidang pariwisata dan pemberian fasilitas-fasilitas dalam penanaman modal asing di bidang pariwisata. Hal ini disebabkan karena dalam dua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan pemberlakuan prinsip non diskriminasi yang meliputi most favoured nation

dan national treatment yang telah menjadi kesepakatan Internasional melalui GATT/WTO dan GATS.

3.2.1 Kesesuaian Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian GATS Pada Pengaturan Perizinan

Berdasarkan amanat prinsip most favoured nation itu, pemerintah tidak memberlakukan ataupun mengistimewakan suatu negara tertentu yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Setiap investor diberikan perlakuan yang sama antar negara dengan tidak melihat kondisi negara tersebut (negara maju atau negara berkembang) ataupun negara tersebut masuk dalam suatu keanggotaan organisasi internasional ataupun forum kerjasama internasional antar negara- negara.

Pada hakekatnya pelaksanaan prinsip most favoured nation dalam perizinan penanaman modal asing di bidang pariwisata dapat diterapkan secara penuh. Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa untuk memenuhi pembiayaan pembangunan melalui penanaman modal, pemerintah pada awalnya mengutamakan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri baik pemerintah (anggaran pemerintah) maupun sektor swasta.

Pemerintah Indonesia masih memberlakukan perbedaan-perbedaan perlakuan pada proses perizinan dalam penanaman modal asing di bidang pariwisata, khususnya terkait prinsip national treatment yang menghendaki adanya persamaan antara pelaku investor dalam negeri dengan

investor asing. Hal ini terlihat dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Hal-hal yang masih berbeda menyangkut penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri pada bidang pariwisata sejauh yang ditemukan dalam penelitian ini adalah menyangkut hal-hal seperti : a. Bidang Usaha Pariwisata

Pada bidang usaha pariwisata, Pasal 14 Undang-undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, tidak menyebutkan dengan tegas adanya pembatasan-pembatasan bidang usaha dalam aktivitas pariwisata. Undang-undang ini hanya menyebutkan jenis-jenis bidang usaha dalam lapangan usaha pariwisata yang meliputi: daya tarik wisata, kawasan pariwisata, jasa transportasi wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman, penyediaan akomodasi, penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi, penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran, jasa informasi pariwisata, jasa konsultan pariwisata, jasa pramuwisata, wisata tirta dan spa.

Perbedaan perlakuan dalam bidang usaha sesungguhnya memang bertentangan dengan Perjanjian GATS. Artikel II jo. XVII Perjanjian GATS melarang negara anggota WTO memberikan tindakan yang berbeda antara penyedia jasa asing dengan penyedia jasa dalam negeri. Negara anggota dilarang melakukan diskriminasi terkait commercial presence dari perusahaan jasa asing. Dengan kata lain, investasi jasa dalam bidang usaha yang termasuk dalam komitmen liberalisasi suatu negara harus mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah dengan tidak mendikotomikan statusnya sebagai PMA atau PMDN.

b. Bentuk Badan Usaha Pariwisata

Menyangkut bentuk badan usaha hotel yang merupakan usaha penyediaan akomodasi pariwisata, Pasal 59 Peraturan Pemerintah No.67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan yang dinyatakan masih tetap berlaku, menyebutkan bahwa usaha hotel harus berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Keputusan Menteri Pariwisata No. KM.94/HK.103/MPPT-87 lalu menetapkan secara lebih tegas terhadap bentuk usaha hotel. Keputusan menteri ini menyebutkan bahwa hotel bintang 1 (satu) dan 2 (dua) dapat menggunakan perseroan komanditer (CV), fi rma atau koperasi, sementara untuk

hotel bintang 3 (tiga), 4 (empat) dan 5 (lima) harus berbentuk badan usaha Perseroan Terbatas (P.T).

c. Tenaga Kerja pada Usaha Pariwisata

Pasal 10 ayat 2 Undang-undang 25 tahun 2007 menyebutkan bahwa perusahaan baik asing ataupun dalam negeri berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kemudian pasal 10 ayat 4 mencantumkan persyaratan bahwa perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada warga negara Indonesia.

Perbedaan perlakuan menyangkut tenaga kerja sesungguhnya bertentangan dengan Perjanjian GATS. Namun Perjanjian GATS belum mengatur ketentuan larangan bagi pengutamaan tenaga kerja dalam negeri. Hanya saja, terdapat pembatasan jasa yang diatur dalam Artikel XVI ayat (2) huruf d Perjanjian GATS, yang melarang pembatasan jumlah personil yang diperkerjakan oleh pemasok jasa dalam sektor jasa tertentu. Persyaratan pembatasan ini Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (Gats) pada Pengaturan Penanaman Modal

bahkan tidak dibenarkan dengan alasan penilaian kebutuhan secara ekonomis. Meskipun demikian, Indonesia belum menerima larangan tersebut dalam schedule of specifi c commitment-nya. Oleh karena itu, adanya pembatasan khusus terhadap jumlah personil sektor jasa berdasarkan hukum di Indonesia masih diperbolehkan. 9

d. Pemakaian Tanah pada Usaha Pariwisata

Pasal 21 ayat 1 Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa hanya warga-negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Pembatasan dalam kepemilikan hak milik serta syarat-syaratnya merupakan sesuatu yang sangat rasional. Sebab, apabila orang asing atau badan hukum asing diberikan keleluasaan untuk memiliki hak milik atas tanah, maka lambat laun tanah Indonesia akan habis dimiliki oleh orang asing yang memiliki ketersediaan modal tidak terbatas. Adanya pembatasan hak milik atas tanah ini sesuai dengan asas nasionalisme dalam hukum agraria. Ditutupnya kemungkinan orang asing untuk mempunyai hak milik atas tanah juga tidak berarti bahwa orang asing tidak dapat memiliki hak atas tanah. Warga negara asing dapat memiliki hak atas tanah, tetapi di luar tanah hak milik.10

3.2.2 Kesesuaian Prinsip Non Diskriminasi Dalam Pengaturan Pemberian Fasilitas dan Insentif

Salah satu upaya untuk meningkatkan arus penanaman modal asing adalah dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kelonggaran-kelonggaran yang merupakan stimulus agar investor berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia . Dengan adanya fasilitas-fasilitas ataupun insentif-insentif yang diberikan Indonesia juga memiliki daya saing dengan host country

lainnya yang telah lebih dulu memberikan berbagai fasilitas ataupun kemudahan-kemudahan dalam menanamkan modalnya. Pada akhirnya dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki dapat menempatkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia

Pemberlakuan berbagai fasilitas dan kelonggaran atau insentif perpajakan tersebut pada dasarnya diberikan kepada semua negara yang akan menanamkan modalnya di Indonesia sebagai salah satu penarik / perangsang bagi investor dalam pelaksanaan penanaman modal. Tidak ada suatu keistimewaan yang diberikan kepada suatu negara ataupun kelompok negara tertentu untuk diperlakukan berbeda satu sama lain. Dalam penanaman modal asing tidak terdapat pendikotomian antara negara maju dan berkembang ataupun pemisahan antara negara industri dengan non-industri. Hal ini telah sesuai dengan amanat prinsip most favoured nation,

khususnya mengenai penanaman modal asing di bidang pariwisata.

Pada pemberian fasilitas dan insentif dalam Penanaman Modal khususnya di bidang pariwisata, dalam pelaksanaannya tidak terdapat suatu perbedaan antara investor asing dengan investor dalam negeri. Setiap pemberian fasilitas dan insentif dalam Penanaman Modal ternyata tidak melihat atau membedakan investor lokal dengan asing. Hal ini tentunya berbeda jika dibandingkan dengan pengurusan perijinan dalam Penanaman Modal dimana masih terdapat perbedaan perlakuan antara investor asing dengan investor dalam negeri.

9 Mahmul Siregar, op.cit., h.289. 10 IB Wyasa Putra dkk,op.cit.,h.87.

3.3 Kebijakan Pemerintah Indonesia terkait Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian