• Tidak ada hasil yang ditemukan

"The right to tourism” dalam perspektif hak asasi manusia di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan ""The right to tourism” dalam perspektif hak asasi manusia di Indonesia."

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pengantar Redaksi ... 2

“The Right To Tourism” dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia

Ni Ketut Supasti Dharmawan, dkk. ... 3-20

Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) dalam Melindungi Pembangunan Pariwisata Bali

Desak Putu Dewi Kasih, dkk. ... 21-34

Pelanggaran Terhadap Peraturan tentang Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali pada Pembangunan Hotel dan Restoran di Kabupaten Badung Ni Nyoman Sukeni, dkk ... 35-44

Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali

Gde Made Swardhana, dkk ... 45-57

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata

I Gusti Ketut Ariawan, dkk ... 58-71

Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS) pada Pengaturan Penanaman Modal Asing di Bidang Pariwisata di Indonesia

A.A Gede Duwira Hadi Santosa, dkk ... 72-84

Perkembangan Pariwisata di Desa Plaga

I Ketut Sandhi Sudharsana, dkk ... 85-95

Dampak Perkembangan Ekonomi Pariwisata Terhadap Hukum Tanah Adat di Desa Tenganan Pagringsingan

Tjok Istri Putra Astiti, dkk ... 96-102

Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Penopang Industri Pariwisata Volume 36 Nomor 2, September 2011

Penanggung Jawab:

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH.

Pemimpin Redaksi:

Prof. Dr. I Wayan P. Windia, S.H.,M.Si.

Dewan Redaksi:

Prof. Dr. Philipus M. Hadjon,SH. (Unsakti) Prof. Dr. Nindyo Pramono,SH.,MS. (UGM) Prof. Dr. Hikmahanto Juwana,SH.,LLM. (UI) Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.,MS (Unud)

Prof. Dr. I Nyoman Sirtha,SH.,MS. (Unud) Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani,SH.,MS. (Unud)

Prof. Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS. (Unud) Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum. (Unud)

Prof. Dr. Ibrahim R. SH.,M.Hum. (Unud) Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan,SH.,M.Hum. (Unud)

Sekretaris Redaksi:

(3)

Pengantar Redaksi

Ada yang berbeda dari Kertha Patrika edisi September 2011 ini. Keseluruhan substansi edisi ini merupakan keseluruhan kegiatan penelitian dari dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penelitian yang telah berlangsung sejak 6 bulan lalu ini dibiayai oleh Project Nuffi c IND 223 dan

telah diseminarkan pada tanggal 16 Agustus 2011.

Terdapat setidaknya 10 tulisan seputar diskursus hukum dan pariwisata yang menghiasi edisi khusus Jurnal Kertha Patrika ini meliputi “THE RIGHT

TO TOURISM” DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI

INDONESIA” yang ditulis oleh NI KETUT SUPASTI DHARMAWAN, DKK. FUNGSI HUKUM PERJANJIAN BUILD OPERATE AND

TRANSFER (BOT) DALAM MELINDUNGI PEMBANGUNAN

PARIWISATA BALI oleh DESAK PUTU DEWI KASIH, DKK. PELANGGARAN TERHADAP PERATURAN TENTANG TATA RUANG WILAYAH PROPINSI BALI PADA PEMBANGUNAN HOTEL DAN RESTORAN DI KABUPATEN BADUNG oleh NI NYOMAN SUKENI,DKK HUBUNGAN KUNJUNGAN WISATAWAN ASING DENGAN TINGKAT KEJAHATAN NARKOTIKA DI BALI oleh GDE MADE SWARDHANA, DKK dan PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN FISIK DAYA TARIK WISATA oleh I GUSTI KETUT ARIAWAN, DKK

Selanjutnya,PRINSIP NON DISKRIMINASI PERJANJIAN

GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS)

PADA PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG PARIWISATA DI INDONESIA ditulis oleh A.A GEDE DUWIRA HADI SANTOSA,DKK. PERKEMBANGAN PARIWISATA DI DESA PLAGA oleh I KETUT SANDHI SUDHARSANA, DKK. DAMPAK PERKEMBANGAN EKONOMI PARIWISATA TERHADAP HUKUM TANAH ADAT DI DESA TENGANAN PAGRINGSINGAN oleh TJOK ISTRI PUTRA ASTITI,DKK. EKSISTENSI USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH SEBAGAI PENOPANG INDUSTRI PARIWISATA BERKELANJUTAN DI BALI oleh RA RETNO

MURNI,DKK. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM

PENYELENGGARAAN PARIWISATA DI BALI oleh I MADE SUBAWA,DKK

Semoga dengan beragamnya informasi dan pengetahuan yang diberikan oleh penulis dari beberapa disiplin hukum yang berbeda, akan memperkaya khazanah keilmuan hukum khususnya bagi seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(4)

“THE RIGHT TO TOURISM” DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA1

oleh:

Ni Ketut Supasti Dharmawan Ni Made Nurmawati

Kadek Sarna2 Abstract

The right to tourismnow is part of human right and it becomes important to be implemented. By enjoying leasure time during travelling for tourism, people can improve their quality of life including their productivity of works. This research will study two research questions. First, the recognation of the right to tourism as part of human right. Second, the implementation of this right for the workers in tourism industrial companies in Bali.

The study shows that the right to tourism as part of human right have recognized in international, regional and national level. In Indonesia the recognation of the right to tourism is regulated in Consideration (b) and Article 19 (1) a the Act No. 10 Tahun 2009 Concerning Tourism. At international level, the recognition of the k

rights to tourism exsis through the UDHR 1948 Article 13 dan 14, the ICESCR article 6 dan 7, the European Social Charter article 2 (2-4), dan the UNWTO Global Code of Ethics Article 7 dan article 8.

The implementation of the right to tourism for the workers at tourism industrial companies in Bali were not effective, the employees tend to used their free time or holyday time for the religions activities, and even lot of them do not know concening the right to tourism as part of human right.

Key words:the right to tourism, human right, international, Indonesia.

I. PENDAHULUAN

Kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata, sekarang ini digolongkan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Kajian HAM dalam konteks ini masih belum mendapat perhatian seperti halnya HAM yang lainnya, terutama HAM yang berkaitan dengan Hak Sipil dan Hak Politik. Dalam realitanya studi tentang HAM Generasi Pertama dan HAM Generasi Kedua di negara-negara berkembang, umumnya lebih difokuskan pada ranah hak sipil dan hak politik dari warga negara dalam konteks kenegaraan, hak sosial serta hak ekonomi dari setiap warga negara untuk hidup yang layak dalam konteks hak untuk mendapat pekerjaan serta remunerasi yang seimbang dengan pekerjaannya.

Negara-negara Berkembang umumnya masih belum menaruh perhatian pada bidang HAM yang berkaitan dengan Hak Berwisata. Hal tersebut berbeda dengan di Negara Maju, seperti halnya European Union (the EU), mereka cukup menaruh perhatian dan salah satu fokus konsentrasinya adalah hak setiap orang dalam berwisata (the right to tourism) yang

1 Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian “Pengakuan Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia : Studi EmpirisPelaksanaan Hak Berwisata Bagi Para Pekerja Pada Perusahaan Industri Pariwisata Di Bali, dibiayai oleh Project Nuffi c IND 223 dan telah diseminarkan pada tanggal 16 Agustus 2011.

(5)

dihubungkan dengan peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kepedulian the EU terhadap hak setiap orang untuk berwisata serta dikatagorikan sebagai hak asasi manusia (Human Right)

dideklarasikan secara tegas oleh Antonio Tanjani, the European Union Commissioner for Enterprise and Industry dengan menyatakan bahwa : ”Travelling for tourism today is a human right.

Instrumen hukum Hak Asasi Manusia yang memberi landasan yuridis tentang keberadaan

the right to tourism” dapat dilihat dalam Article 24 of the Universal Declaration of Human Rights 1948 sebagai berikut3: Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable

limitation of working hours and periodic holidays with pay.

Antonio Tajani mengemukakan dalam konprensi tingkat menteri (ministrial conference) di Madrid bahwa “Traveling for tourism today is a right. The way we spend our holidays is a formidable indicator of our quality of life”. Uni Eropa akan mensubsidi kegiatan holidays bagi warganegara miskin, para pensiunan dan mahasiswa atau murid-murid untuk dapat berwisata.4

Keseriusan perhatian dan dukungan terhadap keberadaan dan pengakuan Hak Berwisata, Uni Eropa dalam pilot project-nya menganggarkan subsidi 30 % untuk biaya vacations bagi para pensiunan, para senior, anak-anak muda umur 18-25 tahun serta keluarga yang menghadapi kesulitan dalam kehidupannya.

Indonesia, khususnya Pulau Bali adalah merupakan salah satu tujuan wisata bagi masyarakat Uni Eropa. Relatif banyak wisatawan yang berasal dari Eropa menghabiskan waktu libur, rileks dan menikmati liburan dengan berwisata di Pulau Bali yang indah dan spesial dengan adat dan kebudayaannya. Melalui kegiatan berwisata para wisatawan sejenak melupakan urusan-urusan pekerjaan yang menuntut konsentrasi tinggi. Situasi rileks dan fress setelah berwisata pada akhirnya akan membawa kesegaran baru untuk beraktivitas kembali yang sesungguhnya adalah salah satu faktor penting yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, begitu diyakini oleh pemikir-pemikir yang pro terhadap urusan berwisata adalah bagian dari hak asasi manusia.

Berkaitan dengan penyelenggaraan kepariwisatan di Indonesia, melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, prihal the right to tourism juga diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan kata lain ketentuan hukum tersebut secara yuridis formal telah eksis di Indonesia yang tentunya membutuhkan pengimplementasian secara kongkrit dalam prakteknya. Jika sudah ada kesepahaman bahwa urusan berwisata atau “tourism” termasuk salah satu kebutuhan mendasar manusia sehingga pantas diklasifi kasikan sebagai human right,

persoalannya adalah apakah para pengusaha di industri pariwisata maupun karyawan-karyawan yang bekerja di industri pariwisata termasuk di industri pariwisata di Bali, yang keseharian mereka memang disibukkan dengan urusan bagaimana caranya menyuguhkan layanan jasa yang terbaik bagi para wisatawannya tersebut menyadari bahwa mereka sesungguhnya juga punya HAM yang sama, yaitu hak asasi untuk berwisata sebagaimana halnya yang banyak dinikmati oleh wisatawan-wisatawan manca negara yang mereka layani Apakah Hak Berwisata di Indonesia mendapatkan ruang yang memadai sebagai bagian dari HAM bagi setiap orang?, Apakah para pengusaha memberikan waktu yang memadai bagi karyawannya untuk berlibur agar kualitas kehidupannya menjadi lebih baik sebagai pemenuhan atas HAM-nya? Apakah sudah relevan

3 David Chalk, European Union : Tourism Is A Universal Human Rights, p.2, http://www.nileguide.com, diakses tanggal 14 Nopember 2010

(6)

menggolongkan kegiatan berwisata sebagai hak asasi manusia di Indonesia, mengingat kondisi Indonesia sangat jauh berbeda dengan Negara-Negara Maju, Indonesia masih memiliki persoalan-persoalan kebutuhan fundamental seperti penduduk miskin kelaparan, mengemis dan tidak memiliki tempat tinggal yang layak, putus sekolah karena tidak mempunyai cukup biaya untuk melanjutkan sekolah, serta persoalan-persoalan sosial lainnya. Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut maka menjadi penting dan menarik untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan ”the right to tourism” dalam perspektif hak asasi manusia.

II. PEMBAHASAN

1. Aspek-Aspek HAM Dalam Kegiatan Kepariwisataan Dalam Perspektif Nasional Dan Internasional

Konsep fundamental hak asasi manusia bertitik tolak dari the Universal Declaration of Hman Rights 1948. Fondasi HAM tidak lahir begitu saja dari langit melainkan merupakan bagian dari sistem hukum domistik dan hukum internasional. G Oestreich mengemukakan bahwa “human rights, in particular, do not come out of the the blue”.5 Setiap regim hukum memiliki intelektual dan fondasi ideologinya masing-masing, demikian pula dalam bidang HAM. Sebelum menjadi hukum, ideologi dan konsep HAM perlu dikongkretisasikan sebagai elemen-elemen dalam suatu sistem hukum agar bisa mendapat pengakuan sebagai HAM (the idea and concepts have to materialize as elements of a legal system, according to he applicable secondary rules, before being capable of being recognized as human rights.6

HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Human rights are “basic rights and freedoms that all people are entitled to regardless of nationality, sex, national or ethnic origin, race, religion, language, or other status.”7 HAM adalah universal dan egalitarian, setiap

orang memiliki persamaan hak yang sejatinya melekat pada hakekat dan keberadaan manusia. Keberadaan hak-hak tersebut eksis sebagai hak alami (natural rights) ataupun ha-hak yang diatur dalam suatu sistem hukum secara formal (legal rights) baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional.8

Secara nasional, di Indonesia melalui Undang-Undang No.39/1999

Republik Indonesia . pengertian HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, da setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dalam perkembangannya dalam level internasional HAM dikelasifi kasikan daam 3 (tiga)

generasi yaitu Generasi Pertama berkaitan dengan hk-hak sipil dan politik (civil and political rights) tercantum dalam Article 3 sampai dengan Article 21 the UDHR, yang kemudian diatur pula melalui kesepakatan internasionl yaitu the international Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR 1966). Dalam Generasi Pertama ini karakteristik HAM-nya adalah melindngi keidupan pribadi manusia, menghormati kedaulatan individu serta ketdakadaan intervensi dari Negara. HAM Generasi Kedua berkaitan dengan pengakuan terhadap hak asasi manusia dalam

5 G. Oestreich dalam Christian Tomuschat, 2008, Human Rights Between Idealism and Realsm, Oxford University Press, New York, p. 1.

6 Ibid, p. 2.

7 Amnesty Basic Defi nition of Human rights”, Amnesty International,

http://www.amnestyusa.org/research/human-rights-basic, 19 Juni 2011.

8 Nickel James2006, Human Rights, http://plato.stanford.edu/archives/spr2009, diakses 10 Agustus 2011

(7)

bidang ekonomi, sosial, dan budaya. HAM jenis ini diatur dalam Artice 22 sampai Article 28 the UDHR dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966. HAM Generasi Ketiga berbasis hak solidaritas atau persaudaraan (fraternity). The third generationis rights of solidarity based on the principle of fraternity. HAM yang termasuk dalam klasifi kasi Generasi Getiga meliputi : the right to peace, the right to development, and

the right to clean environment. HAM Generasi Ketiga ini adalahhak kolektif , pengaturannya dalam tingkar regional dapat diketahui melalui Article 24 of the African Charter on Human and Peoples Rights. Meskipun termasuk dalam hak-hak kolekti f “Collective Rights

Sebagai salah satu industri paling besar, kegiatan pariwisata telah memberikan dampak yang amat positif bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Seperti misalnya dapat meningkatkan pendapatan pajak Negara, membuka lapangan pekerjaan baru, serta dapat menghadirkan perbaikan dan pembangunan infrastruktur baru seperti pembukaan jalan-jalan beraspal serta infrastruktur penting lainnya. Namun demikian kegiatan pariwisata secara besar-besaran juga dalam realitanya membawa dampak negatif. Seperti misalnya terjadi kerusakan lingkungan di daerah tujuan pariwisata, polusi lingkungan, polusi sosial, eksploitasi terhadap sumber daya alam air, ekploitasi kebudayaan serta kurang dihormatinya budaya-budaya lokal setempat, kejahatan seksual pariwisata (child sex tourism, traffi cking), ketidaksetaraan gender dalam pekerjaan, dan lain-lain. Dalam perspektif HAM , phenomena seperti itu dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM.

Di Indonesia, menurut Pasal 1 (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2009, Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Dalam Undang-Undang Kepariwisataan dikemukakan juga istilah wisata. Menurut Pasal 1(1) wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

World Tourism Organization (WTO) memberikan difi nisi tentang tourism dengan

mengacu pada konsep tourism dan visitor pada Ottawa International Conference 1993. Menurut WTO, tourism is the activities of persons traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leasure business and other purposes. Sedangkan visitor is defined as those persons who travel to a country other than that in which they have their usual residence but outside their usual environment for a priod not exceeding twelve months and whose mind purpose of visit is other than the exercise of an activity remunerated from within the place visited.9

Defi nisi tourism maupun visitor sebagaimana diacu dalam the UN WTO Global Code of

Ethics jika dikaitkan dengan Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia, tampaknya defi nisi

tersebut lebih mendekati difi nisi “wisata”, meskipun di Indonesia batasan bepergian untuk

berwisatanya hanya disebutkan dalam jangka waktu “sementara” , sedangkan dalam defi nisi

the UN WTO Global Code of Ethics secara tegas disebutkan batasannya yaitu “ tidak lebih dari satu tahun”. Dari konsep “tourism” yang dikemukakan baik dalam konteks the UN WTO Global Code of Ethics yang sudah jelas mengemukakan tentang lama kunjungan adalah “tidak lebih dari setahun” atau dalam konteks pengertian “wisata” menurut Undang-Undang

(8)

Kepariwisataan yang batas waktunya adalah “sementara”, maka kemudian berawal dari rentang waktu inilah dapat dikaji tentang persoalan-persoalan HAM apa saja yang berkaitan dengan suatu kegiatan wisata.

Mencermati unsur-unsur yang ada dalam defi nisi “tourism” atau “wisata” seperti tersebut

di atas, baik dalam Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia maupun dalam the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism dinyatakan sebagai bagian dari HAM atau Human Rights.

Dalam perkembangan dunia modern sekarang ini, banyak hal ditambahkan sebagai bagian dari HAM termasuk didalamnya hak untuk berwisata. Sesungguhnya tidak mudah untuk dapat menerima begitu saja bahwa berwisata adalah suatu “hak” dan bagian dari HAM, mengingat masih banyak hak-hak fundamental yang dimiliki manusia yang jauh lebih pantas untuk diperjuangkan, dipromosikan serta dihormati demi harkat dan martabat manusia. Namun di Indonesia melalui Undang-Undang Kepariwisataan secara yuridis formal telah mengakui bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata adalah bagian dari HAM.

Secara singkat dari ketentuan Article 3 The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism

tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pengembangan pariwisata berkelanjutan tidak hanya dimaksudkan dapat memenuhi kebutuhan perkembangan kepariwisataan saat ini akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah suatu bentuk kegiatan berkelanjutan dan bertanggungjawab bagi generasi mendatang (the development of sustainable tourism as a process that meets the need of present tourists and host communities whilst protecting and enhancing needs in the future).10

Dalam perspektif nasional di Indonesia, senada dengan difi nisi sustainable development

sebagaimana diatur dalam the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism, melalui ketentuan Pasal 1 (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Hidup juga dikemukakan pengertian tentang pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahtraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Dalam Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia pengaturan tentang sustainable development tercantum pada bagian “Menimbang huruf c” yang menyebutkan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggungjawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional.

Berkaitan dengan pencapaian tourism sustainable development (pengembangan kepariwisataan berkelanjutan) ada tiga pilar penting yang wajib diperhatikan dan dijaga keharmonisannya yaitu : keseimbangan ekonomi, lingkungan dan sosial serta ditambah dengan pilar climate change. Persoalan climate change mempunyai pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan ekonomi dan sosial budaya.11

Kewajiban dan tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan nampaknya selalu eksis dalam berbagai konsep tentang pengembangan tourism atau kepariwisataan , baik dengan

10 Kishore Shah, Jan Mc Harry and Rosalie Gardiner, 2002, Towards Earth Summit 2002, sustainableTourism-Turning The Tide, Briefi ng Paper, Economic Brie ng No. 4, p. 1, Stakeholder Forum-UNEP, United Nations Foundation, www.

eartsummit2002.org, diakses 12 Maret 2011.

11 Navamin Chatarayamontri, 2009, Sustainable Tourism And The Law: Coping wih Climate Change, Dissertation & Theses, Paper 6, http://digitalcommons.pace.edu/lawdissertations/6, p. 2

(9)

sebutan tourism sustainable development ataupun ecotourism. Beranjak dari konsep-konsep tersebut maka keberadaan aspek HAM dalam kegiatan ”tourism” dalam konteks yang lebih luas yaitu “tourism activity” atau kepariwisataan dapat dikemukakan sebagai berikut :

2.1. HAM Berkaitan Dengan “The Right to Clean Environment“

Prihal aspek HAM yang berkaitan dengan “The right to clean environment “dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut:

Principle 1 of the Rio Deklaration 1992 menyatakan: “entitled to a healthy and productive life in harmony with nature

Principle 1 stockholm Declaration of the United nations Conference on the Human Environment 1972 : “Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate condition of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future generation.

The UN general Assembly Resolution 45/94 (1990) : “all individuals are entitled to live in an environment adequate for their health and well-being

The UN Commission on Human Rights Resolution 1990/41: “affi rmed the relationship between the protection of the environment and the promotion of human rights”

Article 24 of the African Charter on Human and Peoples Rights : “all people shall have the right to general satisfactory environment favorable to their development”

Article 12 ICESCR 1966 ; “the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health through the improvement of all aspects of environmental and industrial hygiene”.

Article 3 of the World Tourism Organization Global Code of Ethics for Tourism : “Tourism a factor of sustainable development”

Semua instrumen hukum di atas menjadi landasan hukum bagi pembangunan berkelanjutan dalam bidang lingkungan, yang juga dapat diperluas maknanya sampai kepada pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan scara khusus juga mengatur tentang konsep kepariwisataan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Konsep penyelenggaraan kepariwisataan berkelanjutan dan bertanggungjawab di Indonesia tampaknya mengadopsi ketentuan Article 1 the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism (Kode Etika Moral Kepariwisataan Dunia) tentang Tourism’s contribution to mutual understanding and respect between peoples and societies yang pada prinsipnya mengemukakan pariwisata hendaknya mempromosikan nilai-nilai etika yang umum berlaku pada kemanusiaan, dengan sikap bertoleransi dan respek atas keberagaman agama, falsafah dan moral kepercayaan yang keduanya merupakan fondasi kepariwisataan yang bertanggungjawab.12 Selain Article 1,

Indonesia juga nampaknya mengadopsi ketentuan Article 3 dari the UN WTO Global Code of Ethics for Tourism. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan meskipun tidak secara tegas dikemukakan mengacu atau meratifi kasi the UN WTO Global

Code of Ethics for Tourism, namun pengakuan dan kepatuhannya terhadap Soft Law tersebut

(10)

sesungguhnya tercermin dalam Pasal 5 (g) yang menyatakan “Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata”.

2.2. HAM Berkaitan Dengan The Right to Life

Aspek HAM yang berkaitan dengan the right to life dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut:

European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms:

- Article 8 right to respect for family and private life, Article 2 right to life Universal Declaration of Human Rights (1948):

- Article 3: “everyone has the right to life, liberty and the security of person.”

- Article 4: “No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms.”

- Article 5: “No one shall be subjected to turtore or to cruel, inhuman or regarding treatment or punishment.”

• International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) article 6 until 8. • The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism: Article 2 (3).

Instrumen-instrumen tersebut di atas berhubungan dengan hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan.

2.3. HAM Berkaitan Dengan The Right to Work

Aspek HAM yang berkaitan dengan the right to work dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut:

Universal Declaration of Human Rights (1948) Article 23:

(1) Everyone has the right to work, to free choise of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment.

International Covenant on Economic and Social Rights (ICESCR) 1966: Article 6 and 7.

The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism: Article 9 Rights of the workers and entrepreneurs in the tourism industry.

• Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan : Pasal 9.

Instrumen-instrumen hukum tersebut di atas baik secara implisit maupun eksplisit mengakomodir hak asasi manusia bagi setiap orang untuk bekerja.

2.4. HAM Berkaitan Dengan The Right to Tourism

Aspek HAM yang berkaitan dengan the right to tourism dalam kegiatan kepariwisataan, pengaturannya dapat dilihat dari berbagai instrumen hukum sebagai berikut:

The UDHR 1948 : Article 13 yang menyatakan : “Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each State”. dan Article 24 menyatakan “ Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay”.

International Covenant on Economic and Social Rights (ICESCR) 1966 Article 7 mengemukakan : The state parties to the present Covenant recognize the right of

(11)

everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular:

(d) rest, leisure and reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay, as well as remuneration for public holidays.

The European Social Charter (1961) pada Article 2 (2) :” to provide for public holidays with pay’

The UN WTO Global Code of Ethics for Tourism : Article 7 .

• Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan dalam Bagian menimbang huruf b. mengemukakan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal 19 (1) a. secara tegas menyatakan: “Setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata”.

Pengakuan akan HAM dalam kegiatan kepariwisataan dapat diketahui pula dari prinsip penyelenggaraan kepariwisataan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (b). Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan yang menyatakan: Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan local.

Berdasarkan instrumen-instrumen hukum tersebut di atas seperti misalnya yang tercantum dalam pengaturan Article 7 (d) ICESCR, jelas pada HAM generasi kedua ini keberadaan Hak Berwisata sebagai bagian dari HAM telah diakui secara internasional, dimana banyak negara-negara di dunia menjadi anggotanya, termasuk didalamnya Indonesia yang telah mengesahkannya sejak tahun 2005.

Dalam level regional, seperti misalnya di Eropa, keberadaan dan pengakuan terhadap Hak Berwisata sebagai bagian penting dari HAM yang wajib diimplementasikan oleh negara-negara anggota diatur dalam the European Social Charter (1961) pada Article 2 yang menyebutkan

13: With a view to ensuring the effective exercise of the right to just conditions of work, the

Contracting Parties undertake:

1. to provide for reasonable daily and weekly working hours, the working week to be progressively reduced to the extent that the increase of productivity and other relevant factors permit;

2. to provide for public holidays with pay

3. to provide for minimum of two weeks’ annual holiday with pay;

4. to provide for additional paid holidays or reduced working hours for workers engaged in dangerous or unhealthy occupations as prescribed;

5. to ensure a weekly rest period which shall, as far as possible, coincide with the day recognized by tradition or custom in the country or region concerned as a day of rest.

Dalam Penjelasan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan : bahwa kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dunia usaha pariwisata, dan masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar berwisata sebagai hak setiap orang dapat ditegakkan, sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahtraan, serta persahabatan

(12)

antarbangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia.14

Sebagai konsekuensi dari keberadaan the right to tourism sebagai bagian dari HAM, para wisatawan dalam perjalanannya berwisata berhak memperoleh the right to inform (Hak informasi) yang tercantum dalam Article 8 (2) the UNWTO Global Code of Ethics serta Pasal 20 ayat a Undang-Undang No. 10 tahun 2009 yang mengemukakan bahwa setiap wisatawan berhak memperoleh informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata.

2. Studi Kritis Terhadap Pengakuan Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari HAM Dalam perkembangannya di era globalisasi sekarang ini, nampaknya ada kecenderungan untuk menjadikan, mengklaim atau mendeklarasikan segala sesuatu urusan sebagai bagian dari HAM atau Human Rights. Memang mudah untuk mendeklarasikan dan mengklaim, serta juga tidak terlalu sulit untuk mencarikan dasar hukumnya sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Berbagai legal instruments telah tersedia untuk mewadahi HAM, namun tidak mudah untuk mewujudkan terlebih mengimplementasikan dalam praktek dan kehidupan yang senyatanya. Seperti contoh HAM Generasi Ketiga yaitu : the right to clean environment, the right to peace, dan the right to development, yang eksis dengan ketidakpastian.

All human rights of the third generation are surrounded by grave uncertainties regarding their holders, the duty-bearers, and their substance.15 Sederetan HAM-HAM baru telah muncul ke permukaan, mulai dari yang tergolong dalam HAM Generasi Ketiga, kemudian the right to health care, hingga yang terakhir the right to tourism sebagaimana dideklarasikan di Belgia. Pengakuan akan the right to tourism telah dideklarasikan di Negara Belgia yang menyatakan bahwa : ”Now Brussels has declared that tourism is a human right and pensioners, youths and those too poor to afford it should have their travel subsidized by the taxpayer.”16

Jika dicermati secara lebih kritis, bidang-bidang yang diklaim sebagai HAM akhir-akhir ini seperti ”the right to tourism”, sesungguhnya sudah sangat jauh bergeser dari pemahaman tentang HAM yang dikenal sebelumnya yaitu sebagai hak yang benar-benar bersifat fundamental atau sangat mendasar (basic) bagi manusia. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa HAM Generasi Ketiga seperti ”the right to Development” masih penuh dengan ketidakpastian dan ketidakjelasan ketika dilakukan pengetesan dengan elemen-elemen mendasar yang harus dipenuhi agar dapat dikatagorikan sebagai ”Human Right”. Adapun elemen-elemen yang digunakan untuk mengetes berkaitan dengan:

The Holders (siapa pemegang haknya)

The Duty-Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan )

The Substance ( apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut)

Berkaitan dengan pengakuan terhadap ”the right to tourism” sebagai ”Human Right” atau HAM tampaknya juga sangat penuh dengan ketidakjelasan jika pemahaman tentang “tourism”

atau “berwisata” ditest dengan unsur-unsur HAM sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan defi nisi “wisata” atau “berwisata” menurut hukum di Indonesia atau “tourism”menurut the

UN WTO Global Code of Ethics yang mengacu Ottawa International Conference 1993

dapat ditarik unsur-unsur atau elemen-elemen dari tourism atau perjalanan berwisata sebagai

14 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, http://www.legalitas.org/, hal 11, diakses tanggal 1-12-2010.

15 Christian Tomuschat, Op.,Cit., p. 57.

16 Bojan Pancevski, 2010, Get packing: Brussels decrees holidays are a human right, p.1, http://www.timesonline.co.uk/, diakses tanggal 1-12-2010.

(13)

berikut:

• Adanya kegiatan perjalanan (traveling) dari seseorang untuk tujuan berekreasi atau bersenang-senang (leisure)

• Kegiatan rekreasi atau bersenang-senang dilakukan dengan bepergian ke suatu tempat di luar daerah lingkungan kerja atau kediamannya sehari-hari melalui kegiatan perjalanan (bergerak travelling atau movement)

• Kegiatan perjalanan mengisi waktu luang berlibur dengan tujuan bersenang-senang di luar daerahnya dilakukan untuk sementara waktu tidak lebih dari satu tahun.

Dari unsur-unsur “berwisata” terlihat bahwa defi nisi “berwisata” jauh lebih kompleks

dengan kegiatan mengisi hari libur atau memanfaatkan waktu cuti (free time) dengan rileks berdiam di rumah atau sekalipun melakukan perjalanan atau bepergian namun tidak untuk tujuan bersenang-senang, karena kegiatan mengisi liburan seperti itu tidak dapat dikatagorikan ‘berwisata” atau melakukan perjalanan “tourism” karena tidak memenuhi unsur-unsur “tourism”. Dengan memahami betapa kompleks dan luasnya defi nisi dari “tourism” seperti

misalnya “kegiatan rekreasi bersenang-senang”, apakah ukuran bersenang-senang? Apakah dengan berbaring di pasir putih di bawah terik matahari pantai Sanur Bali yang indah orang dapat bersenang-senang? berenang di kolam alam atau kolam indah buatan hotel? massage spa

atau mandi susu? Atau justru makan siang di restaurant alam terbuka? Dan sederetan aktivitas-aktivitas lainnya yang mungkin sangat berbeda antara satu orang dengan yang lainnya untuk pemenuhan kreteria “bersenang-senang’ atau “leisure”.

Unsur-unsur ”tourism” akan terlihat semakin tidak mudah untuk dijabarkan apalagi diimplementasikan sebagai bagian dari HAM terutama jika di-test dengan elemen-elemen HAM yang harus dipenuhi sebagai berikut:

1. Unsur ”their holders” (siapa pemegang haknya, siapa yang memiliki hak untuk berwisata) : dari berbagai instrumen-instrumen hukum dikemukakan adalah ””Everyone” atau ”setiap orang” :

• Orang Muda, Orang Bekerja, Orang tua, pensiunan • Orang tidak mampu, orang yang memiliki keterbelakangan • Orang yang memiliki problem sosial.

Dari unsur pertama jawaban dari ”hasil test” terhadap siapa yang berhak untuk berwisata adalah masih termasuk memenuhi katagori jelas, artinya jelas the right holders-nya. Sehingga jawabannya adalah : YES

2. Unsur The Duty-Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan )

(14)

berarti tidak ada lapangan pekerjaan lebih lanjut. Jika pemerintah yang mempunyai kewajiban atau the duty-bearers, maka pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah apakah pantas memprioritaskan membiayai orang berwisata sementara di depan mata masih ribuan orang kelaparan, kena bencana, putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, dan persoalan-persoalan sosial lainnya yang jauh lebih bersifat fundamental. Kiranya dari hasil ”Test” terhadap unsur yang kedua ”the duty-bearers” adalah penuh dengan ketidakpastian. Dengan demikian jawabannya adalah: NO.

3. The Substance ( apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut

Unsur ketiga yanag di-test agar memenuhi katagori ”Human Right” adalah unsur ”the substance”. Dalam konteks ini pertanyaan yang harus dijawab adalah apa substansi dari ”tourism” atau ”berwisata”?. Untuk menjawab kiranya bisa berawal dari defi nisi ”tourism”

yaitu : bepergian mengisi waktu luang dan tidak bekerja untuk tujuan bersenang-senang (leisure)

dalam jangka waktu tertentu tidak lebih dari satu tahun. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab adalah ; pertama konsep ”bepergian atau movement’, apakah berarti bepergian ke luar desa sudah termasuk, atau ke luar daerah, provinsi atau harus ke luar negeri, apakah dengan kendaraan, kapal laut, atau harus pesawat udara. Pada konsep pertama ini tidak ada indikator yang tegas. Kedua, konsep ”bersenang-senang atau leisure”, apakah berjemur di pantai, massage

dan spa, makan di restaurant ala Italy, menikmati alam pegunungan, internet dan menelpun,

shopping. Seperti halnya konsep yang pertama, pada konsep kedua juga tidak jelas. Ketiga, konsep selanjutnya yang harus di test dan dijawab adalah konsep tentang jangka waktu tertentu yang tidak lebih dari setahun. Apakah seminggu, satu bulan, tiga bulan, atau 9 bulan 25 hari. Bayangkan jika setiap orang berwisata dalam jangka waktu yang maksimal misalnya memilih menggunakan waktu 9 bulan 25 hari, dan yang memiliki the duty bearers untuk obligation to respect, to protect, and to fulfi ll adalah pemerintah atau government, maka dapat dibayangkan pada akhirnya negara akan menjadi bangkrut. Sehubungan dengan hal tersebut dapatlah dikemukakan bahwa hasil ”test’ terhadap unsur yang ketiga ”the substance” menunjukkan hasil penuh dengan ketidakpastian. Dengan demikian jawabannya adalah : NO.

Masyarakat Eropa meskipun sangat terkenal menaruh perhatian paling serius terhadap urusan-urusan yang berkaitan dengan HAM, khususnya yang berkaitan dengan HAM yang bersifat fundamental, begitu juga sebagai Negara Maju yang sangat memperhatikan kesejahtraan dan kualitas kehidupan warga negaranya, pemenuhan-pemenuhan kepentingan yang bersifat

privacy bagi warganegaranya dihormati dan sangat diperhatikan, seperti misalnya mengisi waktu liburan dengan berwisata, namun berkaitan dengan deklarasi dari the EU yang menyatakan ”travelling for tourism today is a human right”, terlebih dengan strategi pilot program dengan membiayai atau mensubsidi kegiatan berwisata melalui pernyataan bahwa ”The EU subsidize 30 % of vacations for pensioners, seniors, young adults aged 18 to 25, disabled people, and families facing diffi cult social, financial or personal circumstances”, ternyata banyak pendapat yang kontra terhadap keputusan tersebut.

Di Belanda sebagai salah satu Negara Maju di Eropa, memang mengenal tradisi bahwa berlibur atau vakansi adalah sesuatu yang perlu mendapat perhatian serius, dimana sekurang-kurangnya 5 minggu dalam setahun, dan pada bulan Mei orang Belanda menerima tunjangan liburan, 8 persen dari gaji bruto setahun untuk membiayai liburannya.17 Indonesia menjadi

17 Media Independen Online, Orang Belanda Berhak Berlibur 5 Minggu Dalam Setahun, http://www.poskota.c0.id, hal. 1, diakses tanggal 1 Desember 2010.

(15)

salah satu tujuan wisata terpilih yang banyak dikunjungi oleh orang Belanda. Begitu padatnya lalu lintas dalam musim liburan yang digunakan untuk kegiatan berwisata atau tourism, hingga Belanda memandang perlu mengeluarkan dan mengenal kebijakan mengatur waktu liburan musim panas.

Berkaitan dengan waktu liburan Negara Belanda dibagi 3, setiap zone mendapat liburan pada waktu yang tidak bersamaan, hal tersebut dilakukan untuk mencegah jangan sampai lalu lintas terlalu macet kalau para wisatawan berangkat pergi berlibur ke luar Belanda. Bagi orang Belanda, wisata adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Orang Belanda juga mendapat tunjangan liburan setiap tahun sebagai tambahan gaji mereka. Job Zeedzen, dosen sekolah tinggi pariwisata di Breda, Belanda Selatan, menyatakan bahwa Belanda bisa jadi termasuk dalm daftar top 3 dalam hal berwisata.18 Namun demikian, sekali lagi perlu dicermati bahwa mereka mengisi

waktu liburanya dengan kegiatan berwisata adalah dengan biaya sendiri atau tunjangan liburan sebagai bagian dari tambahan gaji mereka, dan bukan dari ”taxpayers”( hasil pendapatan pajak yang di bayar oleh masyarakat) untuk membiayai kegiatan berwisata. Sehubungan dengan hal tersebut menjadi tidak heran jika masyarakat Eropa banyak yang kontra terhadap kebijakan yang dicetuskan oleh Antonio Tajani, the European Union Commissioner for Enterprise and Industry pada tanggal 15 april 2010 di Madrid. Sebagai contoh Peyton Miller mengemukakan : ”A vacation is a luxury good if ever there were one, and its classifi cation by the EU as a ”human right” is laughable in the extreme and using taxpayers to cover it. Why not spend this money to better house and feed the millions of homeless in EU countries? Why not use it to combat human trafficking (i.e. modern-day slavery for purposes of prostitution and forced labor in Europe, especially since the U.N. estimated last November that there could be around 270,ooo trafficking victims in E.U countries. Why not use it to better educate European youth?”19

Di Indonesia prihal pengakuan terhadap ”the right to tourism as a human right”, yaitu pengakuan terhadap kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dicantumkan secara eksplisit dalam bagian Menimbang huruf b. Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Tampaknya Indonesia mengadopsi begitu saja standar-standar internasional termasuk didalamnya ketentuan dalam the UN WTO Global Code of Ethics terkait dengan pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusi dengan tanpa mempertimbangkan kondisi dan situasi negara sendiri. Jika cukup bijaksana, paling tidak ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan, dipertimbangkan dan dibenahi sebelum menentukan bahwa hak berwisata adalah hal asasi manusia. Adapun komponen-komponen tersebut seperti misalnya:

Ketentuan tentang hari libur : cuti dan waktu istirahat (free time)

Menurut Pasal 79 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, cuti dan waktu istirahat bagi pekerja diberikan oleh pengusaha sekurang-kurangnya 12 hari setelah pekerja berturut-turut bekerja secara penuh dalam setahun. Kemudian cuti atau istirahat panjang selama 2 bulan diberikan berturut-turut satu bulan pada tahun ketujuh dan satu bulan lagi pada tahun kedelapan pada karyawan yang telah bekerja berturut-turut selama

18 Philip Smet dan Jean van de Kok, Berlibur Hak Orang Belanda, hal. 1, http://static.rnw.nl/, diakses tanggal 1-12-2010. 19 Peyten Millor, Vacation is a Human Rights, http://hpronline.org/uncategorized- April 20,2010., lihat juga http://

(16)

6 tahun dalam perusahaan yang sama. Berdasarkan ketentuan tersebut itu berarti untuk dapat menikmati waktu istirahat yang memadai yaitu satu bulan untuk berwisata seorang karyawan harus menunggu telah bekerja selama 7 tahun secara berturut-turut dalam perusahaan yang sama. Dalam situasi seperti itu di satu sisi apakah relevan menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia. Selain itu, bagi pekerja yang telah bekerja setahun mereka mendapatkan waktu istirahat 12 hari, pertanyaannya apakah waktu tersebut cukup signifi kan untuk merencanakan liburan

dengan konsep berwisata atau ”tourism”. Kiranya jika mengatur tourism as a human right, maka setidaknya seharusnya disinkronkan dengan ketentuan hukum lainnya yang berkaitan, seperti misalnya dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Gaji Pegawai Negeri & Gaji UMR

Kegiatan berwisata atau ”tourism” adalah kegiatan yang termasuk ”luxury good” dan membutuhkan biaya yang relatif tidak sedikit atau relatif banyak. Jika mencantumkan ketentuan bahwa kegiatan berwisata adalah hak asasi manusia, artinya yang harus dihormati, dipromosikan dan diwujudkan dalam implementasinya, maka apakah sudah dipertimbangkan gaji pegawai negeri sekalipun sekelas dosen Gol. IV b gajinya adalah tidak lebih dari 4, 5 juta sebulan. Apakah dengan kondisi seperti itu mereka akan mampu memenuhi kebutuhan hak asasi manusinya dalam berwisata. Terlebih jika pertanyaan yang sama dipertanyakan pada karyawan yang menerima gaji dengan batasan gaji UMR (Upah Minimum Regional). UMR di Jakarta yang tertinggi di tahun 2011 adalah Rp. 1290.000, sementara UMR tertinggi di Bali Rp.1.110.000 sebulan. Sekali lagi jika mengatur tentang hak berwisata adalah hak asasi manusia, setidaknya seharusnya disinkrunkan terlebih dahulu dengan penetapan UMR. Dengan kata lain UMR perlu ditingkatkan agar sinkron dengan Undang-Undang Kepariwisataan. Dengan UMR yang ada sekarang ini terlalu berlebihan jika orang harus memenuhi hak berwisatanya sebagai bagian dari hak asasi manusinya, sementara untuk mampu memenuhi kebutuhan penting untuk dapat melanjutkan kehidupannya saja masih harus berjuang keras.

Persoalan-Persoalan Sosial yang Bersifat Fundamental

Indonesia masih berhadapan dengan berbagai persoalan sosial mulai dari masyarakat miskin dan kelaparan, bencana alam, putus sekolah, persoalan traffi cking, TKW yang disiksa dan diperjualbelikan, dan persoalan sosial lainnya, sehingga tampaknya jauh lebih bijaksana jika berfokus untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial tersebut di atas daripada mengedepankan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia.

3. Pengimplementasian Hak Berwisata Bagi Para Pekerja Pada Perusahaan Industri Pariwisata Di Bali

Di Indonesia, pada perusahaan-perusahaan besar pemberian dan pemanfaatan hak berwisata bagi karyawan mulai banyak diperhatikan, meski belum fokus seperti halnya di Negara Maju seperti Eropa. Seorang karyawan dari Jakarta mengemukakan bahwa perusahaannya memberi dua kali liburan dalam setahun. Liburan tersebut dimanfaatkan untuk bersantai dan beristirahat, meski tidak merasakan adanya peningkatan produktifi tas, namun program

tersebut dapat membuat karyawan merasa nyaman dan betah berada pada perusahaan yang bersangkutan.20

20 Acara Liburan Bisa Meningkatkan Produktivitas Dan menyegarkan Semangat Karyawan, http://www.korantempo/, diakses tanggal 2 -12-2010.

(17)

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, tidak mengatur secara eksplisit perihal hak berwisata atau the right to tourism sebagaimana diatur dalam UU Kepariwisataan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan waktu istirahat hanya 12 hari dalam setahun, sehingga terkesan tidak sinkron jika dikaitkan dengan hak setiap orang melakukan perjalanan wisata adalah hak asasi manusia, karena persoalan yang perlu dijawab adalah bagi mereka yang bekerja di perkantoran apakah waktu 12 hari cukup untuk merencanakan berwisata. Secara lebih rinci Pasal 79 c Undang-undang Ketenagakerjaan menyatakan karyawan berhak mendapat cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Kemudian menurut pasal 79 d, karyawan juga memperoleh hak istirahat panjang sekurang kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ke 7 dan ke 8, masing-masing 1 bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama.

Berkaitan dengan hak cuti sebagaimana tersebut dalam ketentuan diatas, dalam implementasinya, hasil studi empiris menunjukkan bahwa umumnya perusahaan-perusahaan yang mendukung industri pariwisata di Bali telah memenuhi kewajibannya karena karyawan telah memperoleh hak cuti setelah bekerja selama 1 tahun dengan lama cuti setahun 12 hari. Sebanayak 66,7 % responden mengemukakan bahwa mereka memperoleh cuti setelah satu tahun bekerja serta sebanyak 76,7 % mengemukakan lama cuti yang diperoleh dalam setahun adalah 12 hari. Hasil itu menunjukkan bahwa dalam tarap implementasi relatif telah terjadi kesesuaian dengan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ketenagakerjaan di Indonesia. 21

Tabel 1 : Lama Cuti Karyawan dalam Setahun

Lama Cuti / Tahun Jumlah %

Tidak tahu 2 3,3

Dibawah 12 hari 4 6,7

12 hari 46 76,7

Lebih dari 12 hari 8 13,3

Sumber : 60 orang responden dan Informan pada perusahaan di Bali (Hotel, Villa, Restaurant,Bank,LKBB, Jasa Telekomunikasi,Travel Agent, Gallery, Perak,Pabrik Furniture, Garment, Adventure )

Sehubungan dengan hak cuti yang diberikan oleh perusahaan, hasil studi empiris menunjukkan sangat minim (13,4 %) karyawan menggunakan haknya untuk kepentingan the rights to tourism atau hak berwisata. Pada umumnya mereka menggunakan cutinya untuk kepentingan keagamaan dan keluarga yaitu masing-masing 43, 3 %. Sebagai masyarakat yang tinggal di Bali yang banyak memiliki kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan dan adat, mereka lebih memperioritaskan menggunakan hak cutinya untuk kegiatan tersebut, masih belum terlalu memikirkan untuk kegiatan berwisata. Bahkan masih banyak responden yang menjawab tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan hak berwisata sebagai hak asasi manusia.

Kecendrungan masyarakat di Bali termasuk karyawan-karyawan yang bekerja pada pariwisata memanfaatkan cuti yang diperolehnya untuk kepentingan upacara keagamaan seperti panca yadnya. Mereka bahkan tidak pernah memikirkan menggunakannya untuk berlibur dan berwisata. Ketika mereka melakukan yadnya meskipun melelahkan akan tetapi mereka memperoleh kebahagiaan tersendiri, yang belum tentu diperoleh oleh mereka jika dilakukan

(18)

dengan berlibur dalam bentuk perjalanan berwisata.22

Sehubungan dengan pandangan-pandangan seperti tersebut diatas maka tidak mengherankan jika studi empiris juga menunjukkan hasil bahwa sepengetahuan karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahan yang mendukung industri pariwisata di Bali, hampir tidak pernah merencanakan penyelenggaraan rencana berwisata. Mereka juga mengemukakan bahwa belum mengetahi manfaat dari berwisata dalam kaitannya dengan produktivitas serta kinerja mereka. Responden juga mengemukakan bahwa terkadang ada keinginan merencanakan untuk melakukan perjalanan berlibur, namun waktu cutinya tidak memadai, selain cuti kurang panjang juga disebabkan sudah digunakan untuk kebutuhan upacara keagamaan, adat dan upacara keluarga. Selain itu dari segi pendanaan atau gaji juga tidak mencukupi untuk berlibur sampai ke luar daerah apalagi memikirkan berlibur ke luar negeri. Berkaitan dengan perencanaan berwisata kemungkinan tidak terlaksana secara rinci disajikan dalam tabel-tabel berikut.

Tabel 2 : Rencana Berwisata tidak terlaksana/terlaksana Sebagian

Rencana Berwisata tidak terlaksana/terlaksana Sebagian, karena Jumlah %

Tidak tahu 10 16,6

Cuti kurang panjang 8 13,4

Hak cuti habis (dipakai yang lain) 16 26,7

Dana tidak mencukupi 26 43,3

Sumber : 60 orang responden dan Informan pada perusahaan di Bali (Hotel, Villa,Restaurant,Bank,LKBB, Jasa Telekomunikasi,Travel Agent, Gallery, Pabrik Perak,Pabrik Furniture, Garment, Adventure )

Keberadaan pengakuan Hak Berwisata sebagai bagian dari HAM masih belum banyak diketahui dalam praktek, hasil studi empiris menunjukkan bahwa sekitar 63,3 % responden mengemukakan bahwa mereka tidak mengetahui jenis HAM yang satu ini. Masyarakat responden yang diwawancarai nampaknya belum menganggap kebutuhan untuk melakukan kegiatan berwisata sebagai kebutuhan penting yang bersifat fundamental. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya mereka lebih menggunakan waktu cuti untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat keagamaan , keluarga dan adat. Meskipun belum menganggap sebagai kebutuhan mendasar, namun kedepannya jika waktunya cukup serta pendanaan memadai, responden juga mengemukakan mereka membutuhkan untuk berwisata.

Berkaitan dengan temuan-temuan studi baik yang dilakukan melalui studi kepustakaan maupun studi empiris terhadap pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia, tampaknya ke depannya di Indonesia penting untuk mensinkronkan perundang-undangan yang terkait, seperti halnya Undang-Undang Ketenagakerjaan, agar pengakuan terhadap hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia yang telah diatur secara yuridis formal dalam Undang-Undang Kepariwisataan di Indonesia dapat diimplementasikan secara efektif dalam prakteknya.

22 Wawancara dengan Ibu Helina sekretaris Dinas Pariwisata Kab. Badung, tanggal 6 Juni 2011. Hal senada juga dikemukakan oleh I Gst Ketut Rai Wirawan, owner Enjung Beji Resort, 7 Mei 2011.

(19)

III . PENUTUP 1. Simpulan:

Berdasarkan uraian pada sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara yuridis formal Hak Berwisata sebagai bagian dari HAM mendapat

pengakuan baik dalam tingkat internasional, regional maupun nasional. Dalam perspektif nasional Indonesia secara eksplisit diatur dalam Bagian Menimbang b. serta ketentuan Pasal 19 (1) a Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Sementara itu dalam perspektif internasional keberadaan the rights to tourism eksis melalui the UDHR 1948 Article 13 dan 14, the ICESCR article 6 dan 7, the European Social Charter article 2 (2-4), dan the UNWTO Global Code of Ethics Article 7 dan article 8.

2. Hasil pengujian terhadap pengakuan ”the right to tourism as a human right”

terhadap elemen-elemen penting hak asasi manusia yang terdiri dari: the right holders, the duty-bearers, dan the substance, hasilnya menunjukkan penuh ketidakpastian terutama dari aspek the-duty bearers dan the substance, oleh karena itu tidak signifi kan dan terlalu dini mengklaim megitu saja perjalanan melakukan

wisata sebagai hak asasi manusia atau human right.

3. Pengimplementasian Hak Berwisata bagi para pekerja pada perusahaan Industri Pariwisata Di Bali belum efektif, karena pada umumnya para pekerja lebih memilih memanfaatkan waktu cuti yang diperolehnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan upacara keagamaan adat. Bahkan masih relatif banyak yang mengemukakan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan ketentuan yang mengatur bahwa perjalanan untuk melakukan kegiatan wisata atau the right to tourism dalam kegiatan kepariwisataan tergolong sebagai hak asasi manusia.

2. Saran:

1. Mengingat masih relatif banyak pekerja yang bekerja di daerah industri pariwisata di Bali belum mengetahui keberadaan dan pengakuan Hak Berwisata adalah bagian dari HAM, maka penting untuk dilakukan sosialisasi tentang konsep the right to tourism

2. Berkaitan dengan pengakuan terhadap the right to tourism as a human right, sebaiknya disinkronkan terlebih dahulu dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan terkait seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan khususnya berkaitan dengan lamanya waktu cuti agar diperpanjang sehingga signifi kan untuk digunakan

berwisata, serta ketentuan yang menyangkut peningkatan UMR (Upah Minimum Regional) agar setiap orang di Indonesia benar-benar dapat menikmati hak asasi manusianya dalam berwisata, karena melalui peningkatan UMR atau gaji, masyarakat sekurang-kurangnya memiliki keuangan yang memadai untuk membiayai perjalanan berwisatanya.

(20)

DAFTAR BACAAN

Attorney Stephen Elias & the editors of Nolo, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Nolo, Berkeley California

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 Christian Tomuschat, Human Rights Between Idealism and Realism, Oxferd University Press, New York, 2008

Fayed & Fletcher, 2002 in Yvette reisinger, 2009, International Tourism Cultures and Behavior, Butterworth-Heinemann, Oxford Guide to International Legal Research, Second Edition, Butterworth Legal Publishers, United States, 1993

IGN Parikesi Widiatedja, 2011, Keijakan Liberalisasi Pariwisata Konstruksi Konsep Ragam Masalah Dan Alternatif Solusi, Udayana University Press,

Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, banyumedia Publishing, Malang, 2007

Morris L. Cohen, Kent C. Olson, Legai Research, West Group, USA, 2000

Peyton Miller, E.U : vacationing a Human Right, http://hpronline.org/uncategorized

Sandy Ghandhi, 2008, Blackstone’s International Human Rights Documents, Oxford University Press, New York

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Huma, 2002

Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT Alumni, Bandung

David Chalk, European Union : Tourism Is A Universal Human Rights, http://www.nileguide. com. Jeannie DeAngelis, Traveling is a Human Rights? ,http://www.americanthinker. com/blog/2010/04

Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, http://www.legalitas.org/

Kishore Shah, Jan Mc Harry and Rosalie Gardiner, 2002, Towards Earth Summit 2002, Sustainable Tourism-Turning The Tide, Briefing Paper, Economic Brieng No. 4,

Stakeholder Forum-UNEP, United Nations Foundation, www.eartsummit2002.org. Karen Roach, 2011, The International Year of Ecotourism : Tackling the Challenges of Global Regulation, Suffolk Transnational Law Review 191

Media Independen Online, Orang Belanda Berhak Berlibur 5 Minggu Dalam Setahun http://www.poskota.c0.id Matt Long, is Travel a Human Right?, (http://landlopers. com/2010/05/27

Navamin Chatarayamontri, 2009, Sustainable Tourism And The Law: Coping with Climate Change, Dissertation & Theses, Paper 6, http://digitalcommons.pace.edu/ lawdissertations/6

Philip Smet dan Jean van de Kok, Berlibur Hak Orang Belanda, Bojan Pancevski, 2010, Get packing: Brussels decrees holidays are a human right, http://www.timesonline.co.uk/ Tourism; Principles, Practices, Philosophes, Part one, www.mccoy.lib.siu.edu

Amnesty Basic Defi nition of Human rights”, Amnesty International, http://www.amnestyusa.

org/research/human-rights-basic

Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(21)

Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan ICESCR

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 Tetang Upah Minimum,

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, http:// allows.wordpress.com/2009/01/12/informasi

Universal Declaration of Human Right European Social Charter

American Convention on Human Right.

The ICCPR

The ICESCR

(22)

FUNGSI HUKUM PERJANJIAN BUILD OPERATE

AND TRANSFER (BOT) DALAM MELINDUNGI PEMBANGUNAN

PARIWISATA BALI Oleh

Desak Putu Dewi Kasih Ni Putu Purwanti Abstract

Innovation investment cooperation are able to combine a variety of different interests to be cooperative. The concept of BOT agreements is variety of types of project financing known as contractor provided financing. In the standard contracting company provided financing. A project entity may request proposals for construction of a project pursuant to the which the contractor will of not only provided the materials and services needed to complete the project but also provideorat least will arrange the necessary fi nancing. In the Build Operate and Transfer (BOT) contract for the variety provided financing, the contractor will also need to operate the project and use its cash fl ows to repay the debt it has in curred.

Key words : BOT agreements

I. PENDAHULUAN

Sektor pariwisata sampai saat ini masih diharapkan sebagai penghasil devisa yang andal untuk membangun perekonomian negara termasuk Indonesia. Tahun 2010 Indonesia kedatangan wisatawan mancanegara 6 juta orang, diantaranya 2,5 juta orang mengunjungi Bali, dengan meraih devisa sebesar 7.57 milyar dolar Amerika Serikat.1

Khusus ditinjau dari sisi ekonomi, sektor pariwisata telah diakui memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah atau negara sebagai suatu destinasi pariwisata. Bagi Indonesia sektor pariwisata masih menjadi salah satu sektor andalan dalam menghasilkan devisa setelah minyak dan gas.2

Dengan meningkatnya pembangunan kepariwisataan juga mengakibatkan kebutuhan akan sarana dan prasarana penunjang pariwisata juga ikut meningkat termasuk juga meningkatnya kebutuhan akan lahan-lahan strategis untuk tempat usaha. Fenomena ini menunjukkan bahwa kerjasama dengan model Build Operate and Transfer semakin dibutuhkan.

Lembaga Build Operate and Transfer (selanjutnya disebut BOT) sebagai bentuk kerjasama usaha kepariwisataan nampaknya masih jarang dikenal dalam masyarakat, sekilas tampak hubungan kerjasama model ini akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, karena pihak pemegang hak atas tanah yang tidak memiliki modal untuk membangun akan terbantu oleh investor (pemilik dana) yang berkepentingan akan lahan strategis untuk tempat usaha.3

Lebih lanjut guna memaksimalkan pembangunan pariwisata sebagai sektor andalan termasuk devisa negara sebagai dampak positif, pengembangan pariwisata di Bali serta meminmalisir dampak negatif dari pariwisata maka sangatlah penting untuk dibahas lebih lanjut tentang : Fungsi Hukum Perjanjian Build Operate and Transfer dalam melindungi Pembangunan

1 Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2010

2 Wardana, 2006, Pengaruh Lingkungan Budaya dan Strategi Pemasaran Terhadap Kinerja Pemasaran dan Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Provinsi Bali, Disertasi, Univ. Airlangga, Surabaya.

(23)

Pariwisata Bali.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman tentang pengaturan dan konstruksi hukum perjanjian Build Operate and Transfer dalam pengembangan pariwisata. Secara khusus penelitian ini dimaksudkan untuk, mengkaji dan menjelaskan keberlakuan hukum dalam menunjang kegiatan pariwisata dan konstruksi hukum perjanjian

Build Operate and Transfer, untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.

Untuk memperoleh pemecahan atau jawaban yang akurat atas pokok permasalahan penelitian ini, maka akan digunakan penalaran normatif untuk dapat menguraikan logika yang menjadi dasar dari proses penelitian.

Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan

(statue approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach).

II. PEMBAHASAN

Pembangunan pariwisata adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.

Dengan demikian dapat berarti bahwa pendekatan pariwisata berkelanjutan adalah upaya terkoordinasi dan terintegrasi dari pihak-pihak yang terkait untuk mengamankan sumber-sumber pariwisata secara berkelanjutan.

Pembangunan kepariwisataan menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan adalah :

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memerhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.

Batasan pengembangan pariwisata berkelanjutan dari WTO dicantumkan sebagai berikut:4

Sustainable tourism development meets the needs of present tourist and host regions while protecting and enhancing opportunities for the future. It is envisaged as leading to management of all resources in such a way that economic, social and aesthetic needs can be fulfilled while maintaining cultural integrity, essential ecological processes, biological diversity and life support systems.

Berdasarkan batasan di atas, maka pengembangan pariwisata berkelanjutan menetapkan tiga kondisi yaitu : 1) sumber-sumber lingkungan harus dilindungi; 2) masyarakat lokal harus memperoleh manfaat, baik secara ekonomi maupun manfaat dalam meningkatkan kualitas hidup dan 3) wisatawan harus mendapatkan pengalaman yang berkualitas.

Lebih lanjut di Indonesia khususnya di Bali, dalam melakukan kegiatan-kegiatan usaha kepariwisataan seringkali dilakukan dengan melakukan kerjasama baik dengan pihak domestik,

(24)

pihak asing maupun kerjasama untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan perusahaan. Hubungan-hubungan usaha demikian dilakukan dengan dilandasi oleh kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Secara pasti, tujuan dari diadakannya kerjasama adalah untuk memperoleh keuntungan maupun untuk mengatasi masalah permodalan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) adalah suatu perjanjian baru, dalam arti peraturan perundang-undangan secara khusus tidak ada mengatur masalah ini, namun secara faktual telah banyak dipraktekkan oleh pelaku-pelaku ekonomi di Indonesia.

1. Struktur Hukum Yang Berkaitan dengan Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT)

Perjanjian kerjasama dengan model BOT merupakan metode pembiayaan yang banyak diaplikasikan dalam kontrak konstruksi atau pembangunan infrastruktur dan sebagai salah satu bentuk kerjasama sektor pemerintah dengan swasta maupun antara swasta dengan swasta yang banyak dipraktekkan di kawasan Asia Pasifi k termasuk Indonesia.

Konsep perjanjian BOT menurut Clifford W. Garstang, adalah :5

Variety of type of project financing known as contractor provided financing. In the standard contractor provided financing. A project entity may request proposals for construction of a project pursuant to which the contractor will not only provided the materials and services needed to complete the project but will also provideorat least arrange-the necessary financing. In the Build Operate and Transfer (BOT) variety the contract for provided financing, the contractor will also need to operate the project and use its cash fl ows to repay the debt it has in curred.

Perjanjian Build Operate and Transfer (Build Operate and Transfer) adalah : suatu perjanjian baru, dalam arti peraturan perundang-undangan secara khusus tidak mengatur masalah ini, dimana pemilik hak eksklusif atau pemilik lahan menyerahkan studi kelayakan, pengadaan barang dan peralatan, pembangunan serta pengoperasian hasil pembangunannya kepada investor, dan investor ini dalam jangka waktu tertentu diberi hak mengopeasikan, memelihara serta mengambil manfaat ekonomi dari bangunan bersangkutan dengan maksud untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan investor dalam membangun proyek tersebut, kemudian setelah jangka waktu tersebut selesai bangunan beserta fasilitas yang melekat padanya diserahkan kepada pemilik hak eksklusif atau pemilik lahan. Yang dimaksud dengan pemilik hak eksklusif adalah pihak yang memiliki hak untuk mengoperasikan sesuatu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5 Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayan Proyek Insfratsuktur dengan Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Yogyakarta, h. 14.

(25)

Gambar 1 : Struktur Hukum Yang Berkaitan dengan Perjanjian Build Operate and Transfer

Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan dapat ditemukan beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan sebagai landasan hukum oleh para pihak untuk membuat perjanjian Build Operate and Transfer di ini antara lain :

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu :

- Dalam pasal 1233 sampai dengan pasal 1403 KUH Perdata yang mengatur mengenai perjanjian pada umumnya.

- Dalam pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUH perdata yang mengatur mengenai perjanjian sewa menyewa.

b. Peraturan Perundang-undangan yang menjadi landasan hukum Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Perusahaan Daerah yaitu :

- Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). - Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).

- Inpres No. 5 Tahun 1988 tentang Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

- Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO). - Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (PERUM). - Keputusan Menteri Keuangan RI No. 740/KMK.00/1989, tentang Peningkatan

Efi siensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1989 tentang Bentuk-bentuk Penyertaan Modal Daerah pada swasta

- Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Bentuk-bentuk Kerjasama yang dapat Dilaksanakan Antara Perusahaan Daerah dan Swasta.

c. Peraturan Perundang-undangan di bidang Investasi (Penanaman Modal) Undang-undang No. 1 Tahun 1967 yang telah diperbaharui dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2007,

Gambar

Tabel 2 : Rencana Berwisata tidak terlaksana/terlaksana Sebagian
Gambar 1 : Struktur Hukum Yang Berkaitan dengan Perjanjian Build Operate and Transfer
Gambar 3 : Pihak-pihak Dalam  Perjanjian Kerjasama Build Operate and Transfer
Tabel 1 DATA KUNJUNGAN PARIWISATA ASING  KE BALI SEJAK TAHUN 2005 S/D 2009
+5

Referensi

Dokumen terkait

Maka secara umum dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh secara simultan antara Kualitas Produk dan Promosi terhadap Keputusan Pembelian Air Minum Dalam Kemasan

The main purpose of this four-year study (a dissertation project at the University of Twente) is to develop a rich learning environment in the form of a Web site and a

Berdasarkan hasil data dan grafik hambatan dan kecepatan yang sudah disatukan dalam untuk ketiga bentuk haluan kapal yaitu bentuk haluan miring, bulbows bow dan x-bow sebagaimana

Hasil seminar proposal akan menentukan rekomendasi apakah penelitian yang diusulkan akan diberi dukungan dana atau tidak dan juga untuk menentukan besaran

Penelitian ini tidak sesuai dengan Teori Tira (2019) dan peneliti berpendapat bahwa terdapat hubungan antara penggunaan media sosial terhadap pengetahuan remaja

Berdasarkan surat Penetapan Pemenang Seleksi Sederhana nomor 11/SPP/JK-SS/PKJ-ULP/VII/2016 tanggal 1 Juli 2016 untuk Paket Pekerjaan Perencanaan Pembangunan Sarana

PERINDUSTRIAN DAN ENERGI INDUSTRY

Diberikannya kebebasan oleh Spanyol kepada Rusia untuk turut serta mengembangkan sektor wisatanya yang dirancang dalam kerengka kerja strategic partnership tersebut juga merupakan