• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam tindak pidana perusakan daya tarik fi sik pariwisata.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN FISIK DAYA TARIK WISATA

3. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam tindak pidana perusakan daya tarik fi sik pariwisata.

Ketentuan Pidana UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan hanya menentukan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hal terjadi pelanggaran atas Pasal 27 ayat (1) dan (2) adalah “setiap orang”. Rumusan demikian jelas pertanggungjawaban pidana dibatasi pada orang pribadi, bukan korporasi atau suatu badan. Dengan demikian di dalam UU No. 10 Tahun 2009 masih ada kekosongan norma tentang korporasi, sebagai subyek tindak pidana.

Dengan belum tercovernya korporasi sebagai subyek tindak pidana, padahal dalam aktivitas pariwisata, pelaku pariwisata lebih banyak dalam bentuk korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Dalam hal korporasi telah dimasukkan sebagai subyek hukum, persoalan lain juga akan muncul, yakni bagaimana mengkonstruksi kesalahan korporasi berupa kesengajaan dan kealpaan, karena unsur kesalahan ini adalah syarat untuk adanya pertanggungjawaban korporasi. Di mana kesalahan hanya dapat dilakukan oleh manusia dan 6 Barda Nawawi Arief 1982, ”Masalah Pemidanaan Sehubungan Dengan Perkembangan Krirninalitas dan Perkembangan Delik-delik Khusus dalarn Masyarakat Modern”. Makalah dalam Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalaini Modernisasi, Bina Cipta, Bandung. hal.18-19.

7 Ibid

dapat dipertanggungjawabkan. Dalam mengkonstruksi adanya kesalahan maka disyaratkan adanya unsur kesengajaan, di mana pelaku memang memiliki keinginan untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu. Oleh karena itu, unsur kesalahan hanya dapat dipenuhi oleh orang (naturlijk persoon). Bagi korporasi, unsur kesalahan ini sulit apabila diterapkan, karena korporasi bukanlah manusia. Ia tidak memiliki jiwa dan karena itu sulit untuk mengetahui sifat serta mengukur kedewasaannya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan terjadi impunitas terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.

Pemidanaan terhadap korporasi adalah penting, walaupun korporasi telah banyak mendorong kemajuan ekonomi. Atas dasar moralitas dan tingkat kejahatan yang dilakukan, maka layaklah kejahatan korporasi, dapat dipidana. Kejahatan yang dilakukan korporasi begitu professional dengan struktur organisasi yang begitu luas, menjadi ruang yang potensial munculnya kejahatan sehingga sulit untuk diberikan batasan apakah yang dilakukan korporasi sebagai kejahatan ataukah tidak. Hal ini di ungkapkan oleh Michael B. Blankenskip, to examine stematically the problem of corporate criminality, specifically addressing the evolution and liminations involved in understanding this genre of crime. The study of corporate criminality also provides us whit the opportunity to explore larger issues, such as social justice. The weight of the evidence strongly suggests that the notion of the rule of law as a prevailing principle of justice as a cruel eupheinism for hegemony 8 Dalam perkembangannya

kejahatan dilakukan secara terorganisir dalam perwujudan korporasi, banyak istilah atau pengertian kejahatan korporasi sering terjadi kerancuan dalam membedakan mana sebenarnya kejahatan korporasi baik dan pelaku maupun karakteristik dan kejahatan tersebut. Maka untuk memperjelas masalah tersebut, bisa dijelaskan dengan beberapa batasan pengertian kejahatan kaitannya dengan korporasi diantaranya adalah :

1. Crime for Corporation:

Merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi itu sendiri bukan untuk kepentingan individu atau pelaku. ini dilakukan oleh organ korporasi (pengurus) semata-mata hanya untuk keuntungan korporasi.

2. Crime Againt Corporation:

Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan individu yang sering dilakukan oleh pekerja korporasi (employee crime) terhadap korporasi tersebut, inisalnya penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan dan korporasi itu sendiri.

3. Criminal Corporation:

Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan kejahatan, kedudukan korporasi disini hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, korporasi hanya sebagai topeng dan tujuan jahatnya 9

Pembedaan diatas semakin menunjukkan, kejahatan tidak hanya dilakukan secara personal akan tetapi sudah begitu profesional dalam suatu wadah organisasi, crime for corporation adalah merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dengan tujuan semata-mata untuk mencari keuntungan ekonomi, atas dasar motif ekonomi ini maka korporasi sering melakukan pelanggaran hukum.

8 Michael B. Blankenskip 1993. Understanding Corporate Criininality, New York : Garland Publishing,. hal. xx.

9 H. Setiyono 2002. Kejahatan Korporasi-Analisa Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang : Averroes Press,. hal. 16-18.

Belum tercovernya korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 10 Tahun 2009 bukan berarti korporasi lepas dari pertanggungjawaban pidana dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perusakan fi sik daya tarik wisata, karena terhadapnya dapat diberlakukan UU No. 23

Tahun 1997. Pentingnya pemidanaan terhadap korporasi tidak dapat dilepaskan dengan konsep pemikiran serta argumen yang melatarbelakngi perlunya pemidanaan terhadap korporasi.

Dalam perkembangan kejahatan korporasi ini, dapat di inventarisir beberapa bentuk kejahatan dan korban kejahatan korporasi antara lain, pelanggaran terhadap konsumen, pencemaran lingkungan, pelanggaran adminisratif, fi nansial, perburuhan, manufakturing serta

persaingan dagang yang tidak sehat. Oleh karena itu kejahatan korporasi menurut pandangan Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeagar menyatakan bahwa : “A Corpotrate crime is any act cominited by corporation that punished by the state, regardies or whether is it punished under adininistrative, or criinina law” 10

Gejala pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi seperti diatas mempunyai dampak negatif yang resikonya sangat luas terhadap kehidupan sosial, atas dasar ini maka badan hukum mulai menjadi sorotan perhatian para pakar hukum agar badan hukum tidak hanya menjadi subjek hukum perdata akan tetapi juga dapat menjadi subjek hukum pidana sehingga dapat dituntut dan dijatuhi pidana. Faktor yang mempengaruhi pergeseran badan hukum sebagai subjek hukum pidana adalah terutama karena perkembangan ekonomi. Selain itu juga karena tuntutan pembangunan hukum itu sendiri yang menurut Satjipto Raharjo ada dua aspek yang mempengaruhinya yaitu : Pertama modernisasi hukum, yaitu tuntutan dalam memperbaharui hukum positif sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kedua adalah fungsionalisasi hukum dengan memberikan peran pada hukum di dalam mengadakan perubahan pada masa pembangunan 11

Ada beberapa alasan yang cukup mendasar dalam perkembangan hukum pidana mengapa badan hukum atau korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidaa menurut Hamdan adalah sebagai berikut :

Karena perkembangan pembangunan dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, bahwa ternyata untuk beberapa tindak pidana tertentu, hanya ditetapkan pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidaklah cukup sementara keuntungan yang didapat dalam kejahatan tersebut juga banyak dinikmati oleh badan hukum. Sisi lain adalah jika pengurus tersebut terbukti melakukan tindak pidana yang berakibat pada tercemarnya atau bahkan rusaknya lingkungan hidup, maka akan lebih besar kerugian yang diderita negara atau masyarakat (korban) jika dibandingkan dengan denda yang dijatuhkan sebagai pidana terhadap pengurus badan hukum tersebut. Selain denda dipidananya (penjara) pengurus, tidak memberikan jaininan yang cukup bahwa badan hukum tidak akan lagi melakukan tindak pidana, dengan kata lain detterent effect dan perbuatan tersebut tidak dapat diharapkan apabila hanya pengurus saja yang dipidana 12

Ternyata memidana pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan upaya represif terhadap tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan hukum, oleh karena itu sangat penting juga untuk dimungkinkan pertanggungjawaban pidana dengan 10 Clinard, Marshall B & Peter C.Yeagar 1980. Corporate Crime, New York : The Free Press,. hal. 16.

11 Satjipto Raharjo 1983. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, hal.231. 12 M.Hamdan, Op. cit, hal. 81-82.

memidana korporasi dan pengurus atau pengurus saja, artinya bahwa siapa yang melakukan tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan untuk dijatuhi sanksi pidana. Untuk memperjelas pandangan tentang penjatuhan pidana ada tiga teori yang membenarkan penjatuhan hukum pidana menurut H.L.Packer yaitu :

1. Teori retribution (teori pembalasan), bahwa hakikat dan pembenaran dan pemidanaan itu adalah pembalasan. Seorang yang telah melakukan kejahatan harus dibals dengan hukuman penderitaan yang setimpal sebagai tebusan dan kejahatan yang telah dilakukannya.

2. Teori utilitarian (teori manfaat), bahwa hakikat dan pembenaran dan pemidanaan itu adalah terletak pada menfaat bagi si pelaku kejahatan agar ia tidak berbuat lagi, di samping bermanfaat bagi orang lain/masyarakat guna mencegah mereka supaya tidak melakukan kejahatan.

3. Teori behavioral (teori prilaku), bahwa pembenaran dan pemidanaan itu adalah melalui pendekatan penilaku manusia atau orang yang melakukan kejahatan. Dengan mengetahui sebab-sebab orang berpenilaku jahat, maka kita akan mengetahui bagaimana cara menyelesaikannya apakah dengan cara melumpuhkannya atau mengasingkannya ke dalam penjara atau dengan cara membinanya supaya dia tidak melakukan kejahatan lagi 13

Dari pandangan pemidanaan diatas, pemidanaan terhadap korporasi lebih tepat kiranya digunakan teori utilitarian, dengan dasar bahwa dengan cara menerapkan sanksi pidana dalam UUPLH terhadap badan hukum atau korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan hidup, agar badan hukum itu tidak lagi melakukan pencemaran, sekaligus bermanfaat mencegah badan hukum yang lain agar tidak melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup.

Di lihat dari resiko yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi tidak berlebihan kiranya teori pemidanaan Cesare Beccaria dalam bukunya “on crime and punishment” sumbangan terbesarnya dalam hukum pidana adalah konsepsinya bahwa pidana harus cocok dengan kejahatan yang dilakukan “punishment schuld fi t the crime”.14 Pandangan ini rasanya lebih

mendekati rasa keadilan masyarakat atas dampak kerugian yang diderita atas tindak pidana pencemaran/perusakan lingkungan hidup. Lain halnya dengan Hegel dalam teori absolutnya yang dikenal dengan “quasi-mathematic” mengatakan; “Wrong being (crime) is the nagation of right and punisment is the negation of that negation”. Pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan, karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dan cita-cita susila, maka pidana merupakan “negation der negation” (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran) 15

Dalam UUPLH mengenai pertanggungawaban pidana badan hukum pencemar/perusak lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UUPLH yakni mereka yang bertindak sebagai peinimpin dalam suatu perbuatan tindak pidana dan badan hukum maupun ataupun kedua-duanya. Dengan demikian dan uraian bunyi Pasal 46 UUPLH apabila suatu korporasi melakukan tindak pidana ada kemungkinan yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah ; pengurus korporasi, korporasi dan pengurusnya dan terakhir korporasi itu sendiri.

Tentang pertanggungjawaban korporasi apabila melakukan tindak pidana, masalah yang akan muncul adalah apakah asas-asas umum dalam hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana manusia pribadi (naturlijk person), juga berlaku terhadap badan hokum. Sebab 13 M. Hamdan, Op. cit, hal.37-58.

14 Barda Nawawi Arif & Muladi; 1992, Teori-teori Kebijakan Pidana dan Pemidanaan. Bandung : Alumni,. hal. 27. 15 Ibid. hal 12

bagaimanapun badan hukum tidak sama dengan manusia yang meiniliki sikap batin. S.T. Reid menyatakan bahwa : “The law requires criininal intent, or mens rea , the element required to establish culpability. This element is extremely importtant, for in many cases it will be the critical factor in determining whether an act was or was not a crime” 16

Asas umum yang masih dianut oleh KUHP kita adalah bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia alainiah (naturlijk persoon), tindak pidana dilakukan secara

sik dan asas tiada pidana tanpa kesalahan serta adanya alasan yang mengecualikan hukuman

(kejiwaan). Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Berdasarkan hal tersebut Vos tentang pengertian kesalahan mempunyai tiga ciri khas yaitu

a) kemampuan bertanggungjawab dan orang yang melakukan perbuatan

b) hubungan batin tertentu dan orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan

c) tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya. 17

Tentang kesalahan, Roeslan Saleh mengatakan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan 18 Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana,

tergantung kepada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Jadi dalam hal perbuatan pidana, disyaratkan adanya peraturan atau undang-undang yang melarang perbuatan tertentu, maka disini berlaku apa yang dinamakan asas legalitas: “Nullurn Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang berarti bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipidana atau tidak, hal ini bergantung kepada apakah ia mempunyai kesalahan. Sebab di dalam hukum pidana berlaku asas “Geen Straf Zonder Schuld” yang berarti tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Untuk memperjelas arti tentang kesalahan, yang merupakan syarat menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain :

a) Pompe mengatakan antara lain: Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatanya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dan dua sudut: menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) dan menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (verinijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum.

b) Mezger mengatakan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana (Schuldist der Erbegrifff der vorraussezugen, die aus de Straftat einen personlichen Verwurfgegen dan tater begrunden).

c) Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “Social-ethisch” dan mengatakan antara lain: Sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dan si pembuat dan hubungannya terhadap berlaku apa yang 16 Sui Titus Reid 1985. Crime and Criininology, HoIa-Rreinhard & Winston. hal.7.

17 Leden Marpaung. Op.cit. hal. 28.

18 Roeslan Saleh 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta : Aksara Baru, hal. 75.

dinamakan asas legalitas: “Nullum Delicturn Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang berarti bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali telah ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan : “Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipidana atau tidak, hal ini bergantung kepada apakah ia mempunyai kesalahan. Sebab di dalam hukum pidana berlaku asas “Geen Straf Zonder Schuld” yang berarti tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “Social-ethisch” dan mengatakan antara lain: Sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dan si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat 19.

d) Pandangan lebih khusus dan H.L.Packer tentang adanya kesalahan terhadap seseorang haruslah terlebih dahulu disyaratkan adanya pembuktian ”a person is not to be held quality of crime merely on a showing that in all probability, based upon reliable evidence, he did factually what he is said to have done”20

Pandangan yang berbeda tentang kesalahan sebagai syarat dan adanya penjatuhan pidana terhadap korporasi tidak mutlak adanya kesalahan. Pandangan ini dikemukakan oleh Roeslan Saleh yang berpandangan dualistis atas hal tersebut; Membedakan dapat dipidananya perbuatan dengan dapat dipidanya orang yang melakukan perbuatan, atau membedakan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti yang selauas-luasnya, asas geen straf .zoder schuld tidak mutlak berlaku. Artinya untuk mempertanggungjawabkan korporasi tidak selalu harus memperhatikan kesalahan pembuat. Tetapi cukup mendasarkan adagium res loquitur (fakta sudah bicara sendiri). Karena realitas dalam masyarakat menunjukkan bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh perbuatan-perbuatan korporasi sangat besar, baik kerugian yang bersifat fi sik, ekonomi, maupun sosial (sosial cost). Disamping itu yang menjadi

korban bukan hanya perorangan, melainkan juga masyarakat dan negara 21

Dalam menentukan kesalahan dan korporasi yang melakukan tindak pidana pencemaran/ perusakan lingkungan tidaklah gampang, aparat penegak hukum dalam hal ini sening mengalami kesulitan bagaimana menentukan kesalahan korporasi yang melakukan tindak pidana pencemaran/ kerusakan lingkungan disebabkan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki aparat penegak hukum sementara resiko dan pencemaran/kerusakan lingkungan begitu sangat tinggi. Sehingga dalam hal ini telah terjadi pergeseran dan perubahan konsep tanggungjawab (liability concepts) dan konsep mengenai kesalahan kearah konsep tentang resiko yang kemudian melahirkan “strict liability”. James E. Krier menyatakan The Doktrine of Strict Liability can be of the great aid and comfort in environmental litigation because many of the activities whicht exprerience has shows to be frequent causes injury to the environment have been held to be ultrahazardous for purposes of application of a rule of liability without fault22

Pandangan yang lebih konkrit dan Reksodipuro, bahwa dalam hal “Public Welfare Offences” untuk memidana badan hukum janganlah terlalu menekankan pada kesalahan, cukup 19 Hamdan, Op. cit, hal. 73-74.

20 Herbert L.Packer, Op.cit, hal. 166. 21 H.Setyono, Op.cit,. hal. 131.

22 Suprapto Wijoyo 2003. Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Diputes Resolution), Surabaya : Airlangga Press, hal.28.

apabila telah ada unsur melawan hukun badan hukum tersebut 23 Di Indonesia menurut Hamdan

jika badan hukum dituduh berbuat delik yang termasuk dalam “Public Welfare Offences” maka harus digunakan ajaran “fait materiel” di mana tidak diperlukan adanya kesalahan 24 Pendapat

lain dan Muladi menyatakan doktnin tentang adanya kesalahan dikecualikan untuk tindak pidana tertentu yaitu doktrin “strict liability” dan doktrin “vicarious liability

Dalam tindak pidana yang menimbulkan resiko yang besar seperti digambarkan diatas bahwa memang tidak mutlak adanya kesalahan, cukup bukti yang memperlihatkan bahwa telah terjadi bahaya besar yang diakibatkan oleh korporasi, maka atas dasar tersebut korporasi juga harus bertanggungjawab atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan, Muladi memberikan alasan kenapa korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana, yaitu karena

a) atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan sosial.

b) atas dasar asas kekeluargaan

c) untuk memberantas anomie of succes (sukses tanpa aturan) d) untuk perlindungan konsumen

e) untuk kemajuan teknologi.25

Dari pandangan-pandangan di atas tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat diperjelas dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana dikemuakan Barda Nawawi Arief, sebagai berikut :

1. Direct Liability Doctrine, dalam teori ini ditegaskan perbuatan/kesalahan oleh pejabat senior “senior offi cer” di indentifi kasi sebagai kesalahan korporasi.

2. Vicarius Liability, bahwa majikan (employer,) adalah penanggung jawab utama perbuatan para buruh/karyawan.

3. Strict Liability, adalah teori tanggung jawab mutlak adalah doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang 26

Dari beberapa doktrin tentang korporasi dapat pertanggungjawaban menurut hukum pidana, telah cukup dijadikan suatu titik tolak pemidanaan terhadap korporasi, khususnya juga terhadap korporasdi yang melakukan tindak pidana perusakan fi sik daya tarik wisata.

4. Penutup.

Bertolak dari rumusan masalah serta hasil penelitian serta pembahasan yang telah dipaparkan dalam Bab sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan dan saran sebagai berikut : 1. Simpulan

a. Perumusan pasal tentang merusak fi sik pariwisata di dalam UU No 10 Tahun 2009,

merupakan perumusan delik materiil, dalam artian terjadinya tindak pidana merusak

sik daya tarik wisata dapat terjadi dengan timbulnya akibat yang dilarang dalam

23 Mardjono Reksodipuro 1982. Tinjauan Terhadap Perkembangan Delikdelik Khusus dalam Masyarakat yang Mangalami Modernisasi, Bandung : Binacipta,. hal. 53.

24 M. Hamdan, Op.cit. hal. 97.

25 Dwidja Priyatno 2004. Kebijakan Legslasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung : CV.Utomo, hal.58

26 Barda Nawawi Arief 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,. hal. 233-238.

perumusan delik. Kosekuensi dari perumusan tindak pidana merusak fi sik daya tarik

wisata secara materiil akan menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

b. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, belum mengatur tentang korporasi sebagai subyek tindak pidana, padahal dalam aktivitas pariwisata, lebih banyak melibatkan korporasi. Namun demikian, dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perusakan fi sik daya tarik wisata, dapat diberlakukan undang-undang tentang

pengelolaan lingkungan. 2. Saran

a. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan perlu ditinjau kembali, terutama di dalam kebijakan formulasi delik tentang perusakan daya tarik fi sik pariwisatanya.

b. Mengingat aktivitas pariwisata banyak melibatkan korporasi, maka ke depan korporasi perlu dimasukkan juga sebagai subyek tindak pidana dalam pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana perusakan daya tarik fi sik pariwisata.

DAFTAR PUSTAKA