• Tidak ada hasil yang ditemukan

REDD mulai berkembang sebagai suatu diskusi publik di Indonesia pada tahun 2006. Diskusi tersebut merupakan proses persiapan menuju COP 13 di Bali tahun 2007. Sebagai tuan rumah COP 13 dan juga pemilik hutan tropis ke-3 terbesar di dunia, Indonesia harus mempersiapkan diri dengan menyusun dokumen skenario REDD ala Indonesia. Karena itu, pada tahun 2006 sebuah forum yang disebut IFCA dibentuk. Peran IFCA adalah mempersiapkan dokumen REDD versi Pemerintah Indonesia yang akan dibawa ke perundingan COP 13. Secara khusus IFCA dibentuk untuk menganalisa mengenai bagaimana sebuah skema REDD dapat beroperasi sebagai mekanisme konkrit atas pengurangan emisi karbon (IFCA, 2007).

Dokumen REDD IFCA disusun sejak Juli 2006 hingga Juni 2008. Di tengah proses tersebut berlangsung COP 13. Dalam sesi paralel COP inilah, tanggal 6 – 7 Desember 2007, Kemenhut mempresentasikan hasil IFCA sebagai kesiapan Indonesia terhadap REDD. Ada sejumlah donor yang terlibat mendukung persiapan ini, yakni DFID, World Bank, PROFOR, Pemerintah Inggris, Australia dan Jerman (GTZ). Ada dua orang pakar yang membantu memfinalisasi laporan yakni Rizaldi Boer dan Jim Davie.34 Menurut laporan IFCA dan Kementerian Kehutanan, IFCA pada dasarnya adalah kelompok studi yang terdiri dari pakar berbagai kementerian dan peneliti dari lembaga-lembaga nasional maupun internasional. Di samping itu, penyusunan dokumen REDD juga mempertimbangkan konsultasi publik dengan pemangku kepentingan kehutanan.

IFCA menghasilkan rencana tiga tahapan REDD untuk Indonesia, yakni35: Fase 1: Persiapan (2007).

Pada tahap ini dikembangkan berbagai kebijakan yang akan membantu pelaksanaan REDD

34. Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, 2008, Consolidation Report Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation In Indonesia, hal 5-9. Lihat juga IFCA and the Ministry of Forestry Republic of Indonesia, 2007, REDD Methodology and Strategies: Summary for Policy Makers, hal. 1-5

35. http://www.dephut.go.id/uploads/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengantar.htm, dibaca 3 Januari 2009

Fase 2: Transisi/Pilot Activities (2008-2012) •

Pada tahap ini berbagai jenis kegiatan uji coba dijalankan untuk mencari tahu kesulitan dan peluang menerapkan REDD

Fase 3: Implementasi Penuh (mulai 2012 atau lebih awal sesuai hasil •

COP).

Fase ini merupakan tahapan di mana REDD sudah menuai manfaat melalui pelaksanaan sejumlah aktivitas yang secara nyata merupakan tindakan REDD. Tahap ini juga akan berkaitan dengan sumber pendanaan termasuk skema pasar yang sangat serius dibahas dalam forum IFCA. Skema ini diuraikan di bagian berikut tulisan ini.

Tiga fase ini menjadi posisi Pemerintah Indonesia yang di bawa ke dalam COP 13 di Bali.

Dalam rangka memilah dan mengelompokkan berbagai aktivitas REDD di tiap tahapan maka IFCA mendiagnosa elemen kunci REDD yang mencakup lima hal, yakni:

Sebuah baseline (rujukan) yang merupakan dasar bagi pengurangan 1.

deforestasi dan degradasi

Strategi untuk mengurangi emisi dan menjamin pengurangan secara 2.

tetap permanen (permanence)

Cara-cara melakukan monitoring dan memverifikasi pengurangan 3.

emisi dan mencegah kebocoran emisi (leakage) Pasar REDD/pendanaan

4.

Mekanisme untuk mengatur dan mendistribusikan pembayaran 5.

kepada orang-orang yang menanggung biaya akibat menghindari deforestasi dan degradasi.

Untuk mengoperasionalkan elemen-elemen kunci di atas, IFCA secara khusus mendalami pendanaan berbasis pasar karbon. Dalam hal ini, total 60 pakar nasional dan internasional terlibat dalam penyusunan paper teknis yang mengupas elemen yang terkait supply chain yang diperlukan untuk memproduksi kredit karbon dari aktivitas proyek REDD. Laporan IFCA menegaskan bahwa produksi kredit karbon memerlukan langkah-langkah yang akan bekerja pada tingkat nasional dan sub nasional. Karena itu, IFCA memperkenalkan empat langkah yang diperlukan REDD sebagai alat untuk mengintegrasikan upaya-upaya pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan di semua level.

Pengembangan infrastruktur organisasi maupun managemen yang 1.

memiliki kemampuan berikut: a) Merancang baseline dengan mana rujukan emisi tahunan akan diukur, b) Kapasitas untuk memantau perubahan emisi dengan ketepatan yang memadai untuk memberi keyakinan dan kualitas atas kredit karbon yang diperdagangkan, c) Sebuah struktur melalui mana kredit karbon dapat diatur, d) Sebuah struktur dengan mana pendapatan dari perdagangan karbon dapat didistribusikan ke institusi maupun grup yang bertanggung jawab untuk mencapai pengurangan emisi

Identifikasi atas aktivitas-aktivitas tersebut atau perubahan organisasi 2.

dan industri yang diperlukan untuk mencapai pengurangan atas emisi

Pengembangan sistem pasar karbon yang memiliki kemampuan dalam 3.

menangani perdagangan, terutama mengakui watak dan sumber pembeli potensial

Sebuah sistem tata kelola yang menjamin bahwa hukum ditegakkan; 4.

bahwa isu sistematik tata kelola seperti transparansi diatasi dan transaksi karbon dilindungi.

Dalam laporan yang sama, IFCA juga berambisi agar berbasis pada pekerjaan IFCA lah Indonesia dapat memimpin dalam menerapkan percontohan REDD. Petikan pelajaran dari proyek percontohan REDD dapat ditampilkan pada 2008 yang akan digunakan untuk memperbaiki struktur REDD dan sistem untuk penerapannya sebelum diadopsi secara penuh pada 2012.36

Terkait isu tanggung jawab pengurangan emisi, IFCA mengakui perlunya mengatasi persoalan pemicu deforestasi. Pada saat yang sama IFCA juga mengusulkan agar perundingan UNFCCC menciptakan pasar internasional dan protokol yang baru sebagai isu yang sama pentingnya dengan pemicu emisi. Ada dua kategori penyebab deforestasi yang teridentifikasi yakni pemicu yang terencana dan pemicu tidak terencana. Keduanya perlu diperlakukan secara berbeda. Selanjutnya, IFCA mengusulkan model penentuan baseline emisi antara yang merupakan perpaduan antara deforestasi terencana dan tidak terencana. Dalam hal ini, IFCA mengakui bahwa proporsi deforestasi/degradasi terencana dan tidak terencana berbeda di masing-masing pulau tergantung kondisi bio fisik dan sosial ekonomi. Model ekonomi dapat digunakan untuk memproyeksi deforestasi berdasarkan pembangunan terencana (misalnya,

36. Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, 2008, op cit dan IFCA and the Ministry of Forestry Republic of Indonesia, 2007 op cit

konversi jadi HTI maupun sawit) dan mempertimbangkan perbedaan di masing-masing wilayah dan juga ekonomi global terkait penawaran dan permintaan hasil komiditi (IFCA, 2007, MoF, 2008)

Untuk deforestasi tidak terencana, proyeksi masa depan akan memotret mengenai di mana deforestasi nampaknya akan terjadi berdasarkan pola masa lalu. Dalam hal ini, Indonesia dapat menggunakan model spasial. Misalnya, alat seperti GEOMOD (sebuah model yang terdapat dalam software GIS IDRISI yang komersial)37 telah digunakan untuk memicu di mana dan seperti apa rata-rata lahan yang dikonversikan dari hutan menjadi tidak berhutan, dan untuk memberi gambaran atas lokasi yang spesifik.

Dari aspek pendanaan, seperti yang telah dipaparkan di atas, IFCA sangat berkonsentrasi pada sumber dana berbasis pasar. Dana tersebut akan digunakan untuk memberikan insentif yang dihubungkan dengan pelaku deforestasi di berbagai level pemerintahan, tergantung besaran dampak REDD. Dalam salah satu slide tim Studi IFCA (2007) yang memaparkan mengenai apa yang seharusnya dibangun oleh Indonesia terkait isu REDD, orientasi pendanaan berbasis pasar karbon sangat gamblang. (lihat Figur 2)

Figur 2: Apa yang harus dibangun Indonesia menurut IFCA

Sumber: IFCA , 2007

Nampak jelas dari Figur 2 bahwa pembentukan baseline, penurunan emisi hingga monitoring akan terkait dengan pendanaan pasar karbon. Hasil akhirnya adalah sejumlah uang yang akan dibagikan ke pelaku penurunan emisi. Integrasi pasar ke dalam mata rantai pembentukan REDD harus diperiksa lebih jeli dalam kaitannya dengan isu tanggung jawab yang merupakan isu utama dalam REDD. Isu tanggung jawab mengaitkan dengan jelas antara isu

37. Penjelasan mengenai apa itu GEOMOD, dapat dilihat di http://environment.yale. edu/gisf/programs/private-forests/dynamic-models-of-land-use-change/geomod

REDD dengan kerangka kebijakan, yakni bahwa REDD sebagai obyek yang menimbulkan kewajiban harus terkait dengan subyek yang bertanggung jawab terhadap kewajiban tersebut.

IFCA pada dasarnya sepakat dengan gagasan bahwa pelaku deforestasilah yang bertanggung jawab terhadap pengurangan emisi sekaligus menyediakan pendanaan. Namun penekanan berlebihan terhadap pasar membuat IFCA tidak konsisten dalam menghubungkan antara pelaku pelepasan emisi (drivers of deforestation) dengan konsep tanggung jawab pengurangan emisi. IFCA mengalihkan tanggung jawab dari pelaku emisi termasuk pelaku deforestasi terhadap pasar. Sebagai sumber emisi, pelaku pelepasan emisilah yang harus bertanggung jawab. Dalam hal ini, IFCA gagal menghubungkan prinsip pencemar harus membayar (polluters pay) yang telah ada dalam UU Lingkungan Hidup dengan konsep tanggung jawab dalam isu perubahan iklim.38

Dalam isu pendanaan, IFCA telah menjadi dokumen pemerintah yang pertama kali mempromosikan REDD sebagai sumber uang baru melalui pasar karbon. Pasca dokumen ini, banyak sosialisasi REDD mempropagandakan REDD akan menghasilkan uang. Hal ini memicu banyak ekspektasi rente dari REDD yang eksesif di tingkat provinsi dan kabupaten dan menimbulkan rentetan tuntutan terhadap “uang REDD” yang sampai kini tak kunjung datang.39

IFCA bahkan tidak secara spesifik menyebut siapa pelaku deforestasi. Pelepasan emisi yang berasal dari kerusakan hutan belum memperhitungkan analisis aktor sebagai basis perhitungan emisi. Karena itu, berdasarkan laporan IFCA, semua tindakan perusakan hutan adalah perilaku deforestasi. Pelakunya akan dibebani tanggung jawab yang sama tanpa memperhitungkan skala kerusakannya. Konsekuensi lebih lanjut dari kedangkalan analisis aktor adalah persoalan ketidakadilan beban antara pelaku kecil dan besar deforestasi. Kelompok petani maupun masyarakat adat yang membuka hutan skala kecil akan mendapat beban yang sama dengan pelaku usaha skala besar.

38. Pasal 34, 35 dan 36 UU No 23 Tahun 1997. Lihat juga pasal 87 dan 88 UU No 32 Tahun 2009

39. Steni, Bernadinus, 2010, Suara Masyarakat Soal REDD, Pertemuan Kamar Masyarakat DKN 2 – 4 Agustus 2010 Rumah Kost 678, Kemang Selatan. Lihat juga Chris Lang, 9 Maret 2012, Wawancara dengan Teguh Surya, WALHI: “Kami menolak REDD. Kami menolak perdagangan karbon”. Lihat http://www. downtoearth-indonesia.org/id/story/wawancara-dengan-teguh-surya-walhi-kami-menolak-redd-kami-menolak-perdagangan-karbon

Pendekatan Indonesia ala IFCA yang tidak sungguh-sungguh memper-hatikan tanggung jawab historis dan skala rata-rata pelepasan emisi masing-masing pelaku merupakan kecenderungan banyak negara pemilik hutan tropis. Watak netral pendekatan seperti ini membangkitkan kritik tajam dari berbagai gerakan masyarakat sipil yang melihat strategi REDD sarat dengan ketidakadilan, manipulasi bahkan potensi kekerasan. Kelompok Climate Jus-tice misalnya melihat fenomena REDD sebagai bentuk baru ketidakadilan antara yang kaya dengan miskin. REDD yang semata-mata karbon menjadi ajang rebutan pasar akan merugikan masyarakat adat dan komunitas lokal. Sebagaimana dikatakan Dooely (2010):

Kami melihat bahwa dominasi pendekatan pasar terhadap tata kelola lingkungan sebagaimana nampak dalam tawaran yang ada saat ini bakal menyulitkan kita untuk menyepakati sebuah mekanisme yang mempromosikan keadilan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal. Sebagaimana dikatakan Corbera et al (2007) bahwa pendekatan berbasis pasar “…dapat mereproduksi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku proyek…”40.

Watak pasar yang tidak bisa dikontrol plus para pemburu saham yang tidak punya parameter keadilan, demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan lain-nya justru membuat perdagangan emisi menjadi ajang perampasan baru atas sumber daya. Pemain besar semakin merajalela menggunakan kesempatan dan pengetahuan mereka untuk membodohi rakyat biasa (Lohmann, 2006).

Dalam kenyataannya, ekspektasi Indonesia terhadap pasar terlalu berlebihan jika melihat fakta kontribusi pasar terhadap pendanaan iklim selama ini. Laporan Buchner et all dari Climate Policy Initative (2011) menyebutkan sumber pendanaan berbasis pasar sebetulnya sangat kecil dibandingkan dengan sumber lainnya. Dari 97 milyar US$ pendanaan iklim global, 55 milyar US$ disediakan oleh sektor swasta dan kurang lebih 21 milyar US$ disumbang oleh dana publik. Pendanaan swasta lainnya yang wujudnya berupa investasi utang maupun perdagangan saham disumbang oleh lembaga perbankan yang mencapai 20 milyar US$. Kurang dari 3 milyar US$ disumbang oleh pasar karbon dan kontribusi sukarela lembaga filantropi.

40. Rumusan aslinya adalah “….We noted that the dominance of market-based approaches

to environmental governance as manifested in the available offerings might make it difficult to agree a mechanism that can promote justice for indigenous peoples and local communities, and as Corbera et al. (2007, p. 378) note, ‘‘market-based approaches. . . can reproduce unequal power relations between project actors.’’

Lihat Dooley, Kate and Okereke, Chukwumerije, 2010, Kate Dooley Principles of justice in proposals and policy approaches to avoided deforestation:Towards a post-Kyoto climate agreement, Global Environmental Change 20 (2010) 82–95

Nilai ini hanya 3% dari total pendanaan iklim global. Sementara pendanaan swasta yang mencapai 77% pendanaan iklim selama ini justru sama sekali belum digarap dalam IFCA.

Beberapa pemikir sosial juga melihat REDD+ secara kritis. McCarthy et all (2012) melihat REDD yang lapar karbon sebagai suatu era baru perampasan lahan. Persenyawaan antara agenda hijau internasional dan berbagai institusi nasional-lokal, penataan pedesaan dan penyusunan kerangka pengaturan, sangat mungkin menimbulkan bentuk perampasan tanah berbasis isu hijau yang lebih kejam (McCarthy et all, 2012).

STRAnAS REDD – Strategi nasional Reducing Emissions from