• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasca LoI, berbagai kementerian terkait membagi peran untuk me-nurunkan LoI dalam tingkat operasional. Penyusunan STRANAS REDD men jadi peran BAPPENAS, UKP4, Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke menterian Kehutanan. Namun untuk membuat proses ini bisa terkoordinasi dengan baik maka dibentuklah Satuan Tugas REDD+. Perpres No 19 tahun 2010 yang diperpanjang oleh Perpres No 25 tahun 2011 menjadi dasar pembentukan Satgas. Salah satu tugasnya adalah membentuk STRANAS REDD.

UKP4 menjadi koordinator tim Satgas REDD+ dalam proses pembentukan STRANAS REDD+. STRANAS mulai diinisiasi sejak pertengahan 2010. Pekerjaan ini didukung oleh beberapa donor antara lain UN-REDD. Konsultasi dilakukan di 7 regio (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, Jawa dan Jabotabek). Laporan UN-REDD et al (2011) menyebutkan bahwa secara keseluruhan proses konsultasi regional penyusunan STRANAS REDD diikuti 387 peserta, terdiri dari unsur pemerintah (46%), unsur CSO (42%), akademisi (9%), dan kalangan swasta (3%). Dari 163 peserta yang mewakili CSO, 14% merupakan wakil dari masyarakat adat dan 1% berasal dari lembaga/sektor yang fokus pada persoalan perempuan dan lingkungan. Menurut laporan ini, salah satu aspek yang dianggap maju dalam penyusunan STRANAS REDD+ adalah keterbukaan dalam proses perdebatan dan kesediaan pemerintah untuk mengakui dan membeberkan data atau informasi mengenai kondisi hutan dan kebijakan kehutanan yang amburadul. Juga kesediaan melakukan koreksi atau perbaikan kebijakan.41

Dari berbagai kompleksitas isu kehutanan, tenure bisa dikatakan se-bagai salah satu isu yang menjiwai pembentukan STRANAS. Dalam proses konsultasi publik di berbagai daerah, persoalan tenure meletup terutama menyangkut konflik klaim antara berbagai pihak dan menimbulkan korban

41. UN-REDD, FAO, UNDP&UNEP, 2011, Catatan Proses Penyusunan Rancangan Strategi Nasional REDD+ Indonesia, hal. 5-6

yang tidak sedikit. Masukan atas draft pertama bulan September 2010, misalnya, muncul dari delapan organisasi masyarakat sipil yang mengusul-kan agar visi STRANAS antara lain memastimengusul-kan adanya pengakuan hak masyarakat melalui penyelesaian masalah tenurial.42 Masukan lain datang dari Organisasi Masyarakat Sipil Papua tanggal 16 Oktober 2010 dengan mengambil judul “No Rights No REDD” (Tidak Ada REDD tanpa Pengakuan Hak). Mereka menegaskan kekhususan tenurial Papua dan mendorong perlu segeranya membentuk kebijakan pengakuan hak masyarakat adat dengan menggunakan pemetaan partisipatif sebagai instrumen identifikasinya. Konsultasi publik di berbagai daerah pun mengangkat isu ini. Di Sulawesi Tengah misalnya, masukan publik untuk segera menyelesaikan persoalan tenure menyeruak ke permukaan. Peserta dari berbagai komunitas adat mendorong agar free prior informed consent (Persetujuan dengan Informasi Awal tanpa Paksaan – PADIATAPA) harus diintegrasikan ke dalam STRANAS dan pada saat yang bersamaan segera menyelesaikan konflik penguasaan sumber daya alam.43

Masukan masyarakat sipil plus kesepakatan LoI dengan Pemerintah Norwegia menghasilkan STRANAS dengan lima pilar pelaksanaan, sebagai berikut:

Pilar kelembagaan, terdiri dari tiga komponen utama, yakni: 1) Pem-1.

bentukan lembaga REDD+, 2) Pembentukan instrumen pendanaan, 3) Pembentukan institusi MRV yang bertanggung jawab atas penguku-ran, pelaporan dan verifikasi emisi

Pilar kerangka hukum dan peraturan, terdiri dari beberapa komponen, 2.

yakni: 1) Meninjau hak-hak atas lahan dan mempercepat pelaksanaan tata ruang, 2) Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsi, 3) Menangguhkan izin baru untuk hutan dan lahan gambut selama 2 tahun, 4) Memperbaiki data tutupan dan perizinan di hutan dan lahan gambut dan 5) Memberikan insentif untuk sektor swasta Pilar program-program strategis terdiri dari tiga program pilihan 3.

dengan sub komponennya masing-masing. Pertama, konservasi & rehabilitasi pertanian. Program ini terdiri dari tiga sub aktivitas, yakni:

42. Surat tersebut dikirim pada tanggal 25 Oktober 2010 oleh Perkumpulan HuMa yang ditandatangani oleh delapan organisasi yakni HuMa, LBBT, CAPPA, KpSHK, DtE, BIC, AMAN, YMP

43. Konsultasi publik atas draft STRANAS versi 24 September di regio Sulawesi dilakukan di Hotel SwissBel Palu, pada tanggal 14–15 Oktober 2010

a) Memantapkan fungsi kawasan lindung, b) Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut dan c) Restorasi hutan rehabilitasi gambut. Kedua, kehutanan dan pertambangan yang berkelanjutan. Program ini terdiri dari empat sub kegiatan, yakni: a) Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan, b) Mengelola hutan secara lestari, c) Mengendalikan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan, d) Mengendalikan konversi lahan untuk tambang terbuka.

Ketiga, Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan. Program ini terdiri dari tiga kegiatan, yakni: a) Perluasan alternatif lapangan kerja yang berkelanjutan, b) Mempromosikan industri hilir dengan nilai tambah tinggi, c) Pengelolaan lanskap multifungsi.

Pilar perubahan paradigma dan budaya kerja, terdiri dari beberapa 4.

sub komponen, yakni a) Penguatan tata kelola kehutanan dan pemanfaatan lahan, b) Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan, c) Kampanye nasional untuk aksi “Penyelamatan Hutan Indonesia”.

Pilar pelibatan para pihak, terdiri dari tiga sub komponen kegiatan, 5.

yakni: a) Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok (pemerintah regional, sektor swasta, organisasi non pemerintah, masyarakat adat/ lokal dan internasional), b) Mengembangkan sistem pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan, c) Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adil.

Isu tenure secara konkret dijabarkan lebih lanjut dalam komponen pilar ke-2, khususnya bab yang membahas mengenai hak-hak atas lahan dan mempercepat pelaksanaan tata ruang. Di sana, disusun beberapa sub strategi untuk mengatasi persoalan tenure (lihat Tabel 1.5)

Tabel 1.5 Isu tenure dalam STRANAS

Kejelasan atas tata batas dan hak kelola masyarakat terhadap sumber daya alam adalah hak konstitusional. Penataan tenurial atau hak-hak atas lahan dilakukan dengan tujuan menciptakan prakondisi yang penting bagi keberhasilan pelaksanaan REDD+.

Penataan kondisi tenurial dilakukan melalui:

1. Pemerintah memberikan instruksi kepada Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melaksanakan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan lokal lainnya.

2. Mendukung BPN untuk memfasilitasi penyelesaian konflik tenurial yang dapat dilakukan melalui mekanisme penyelesaian konflik di luar pengadilan yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

3. Melakukan penyelarasan dan penyesuaian (revisi) dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan lain yang terkait secara langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk menginternalisasi prinsip dan menjalankan proses Persetujuan Dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dalam penetapan perizinan pemanfaatan sumber daya alam.

Isu tenure termasuk hak masyarakat adat juga dapat diperiksa di pilar lain. Dalam Pilar 5 “Pelibatan Para Pihak”, disebutkan kerangka pengaman sosial (social safeguards) sebagai instrumen yang bertujuan untuk memastikan landasan dan pemulihan hak-hak masyarakat dan proses tata kelola secara keseluruhan.44

Di samping itu, STRANAS juga mencantumkan free prior informed consent atau PADIATAPA sebagai prinsip yang mengawal proses REDD+ agar memastikan keadilan dan akuntabilitas dari pelaksanaan program/proyek/ kegiatan REDD+ bagi masyarakat adat/lokal yang kehidupan dan hak-haknya akan terkena pengaruh.45

Berbagai rumusan ini menunjukkan pergeseran REDD dari sekedar karbon menjadi melampaui karbon. Banyak persoalan kehutanan yang berkaitan dengan isu sosial dijawab dalam STRANAS. Salah satu di antaranya adalah penyelesaian konflik tenure di masa lalu. Hal ini dijembatani lewat diperkenalkannya strategi mekanisme penyelesaian konflik, review peraturan perundang-undangan dan perizinan, prinsip free prior informed consent dan moratorium. Multistrategi ini dikembangkan agar masalah kehutanan di masa lalu, termasuk persoalan tenure tidak menjadi beban yang terus membawa kegelapan konflik ke dalam rezim REDD+.

Terintegrasinya berbagai isu sosial ke dalam REDD merupakan refleksi dari berbagai kalangan bahwa persoalan yang dihadapi REDD hari ini, bukan terjadi begitu saja. Persoalan ini merupakan warisan kebijakan masa lalu

44. Strategi Nasional REDD+, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, Juni 2012, hal. 33

yang perlu diputus mata rantainya. Tanpa memeriksa dan mengambil sikap terhadap persoalan tersebut, REDD tidak akan berhasil.

Koentoro Mangkusoebroto, Ketua Satgas REDD+, bahkan menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan ini dalam keynote speech Konferensi Tenure di Lombok:

Konflik-konflik ini merupakan akumulasi persoalan masa lalu. Kita tidak boleh membiarkan ketakutan masa lalu menghalangi kita untuk mengambil sikap yang tegas dalam merancang langkah ke depan. Mengingat momentum tugas yang sudah ada di tangan, tidak akan mudah mengatasi persoalan-persoalan ini, tapi kita harus memulai di beberapa hal. 46

Sebagai langkah awal yang terkait dengan isu tanggung jawab pengurangan emisi dan mengatasi sumber emisi, maka STRANAS membuat sub strategi penangguhan izin selama 2 tahun. Dalam hal ini, Pemerintah telah menerbitkan Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang diterbitkan tanggal 20 Mei 2011 (Inpres Moratorium). Menurut STRANAS, tujuan moratorium adalah untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekonomi nasional dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor berbasis lahan melalui penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan APL. Perpres ini telah diperpanjang kembali selama dua tahun melalui Inpres No 6/2013, pada tanggal 13 Mei 2013. Sehingga total periode berlakunya moratorium kurang lebih empat tahun terhitung sejak moratorium pertama 20 Mei 2011 hingga berakhirnya moratorium kedua 13 Mei 2015.

Berdasarkan Inpres Moratorium, selama periode moratorium seharusnya tidak dikeluarkan izin baru di kawasan hutan dan lahan gambut, kecuali terkait empat hal:

Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri •

Kehutanan

Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: •

geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu

46. Versi aslinya “These conflicts are the result of an accumulation of past mistakes.

We cannot let fear of making another mistake from preventing us from taking bold steps forward. Given the momentous task at hand, it will not be easy, but we have

to start somewhere.” http://www.rightsandresources.org/documents/files/ doc_2483. pdf, download

Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan •

hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku dan

Restorasi ekosistem. •

Moratorium dimulai dengan sebuah peta kawasan hutan dan lahan gambut yang tidak boleh dibuka selama periode moratorium. Peta tersebut disesuaikan terus-menerus tiap periode enam bulan untuk mendapatkan update dari sektor terkait maupun fakta lapangan. Penyesuaian diperlukan karena data mengenai pemanfaatan kawasan hutan berbeda-beda antara masing-masing sektor (kehutanan, tambang, pekerjaan umum, dll). Dan juga berbeda antara fakta lapangan yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah dengan rencana yang diusulkan Pemerintah Pusat.

Terlepas dari empat pengecualian ini, di beberapa tempat Inpres Moratorium sudah menunjukkan implementasinya. Salah satu hasil dari implementasi Inpres 10/2011 adalah kemenangan pemerintah dalam kasus Rawa Tripa pada Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh. PT Kallista Alam yang mendapat izin kurang lebih seluas 1.605 hektar di Rawa Tripa membuka ke-bun sawit dengan cara membakar. Wilayah izin PT Kalista berlokasi di kawasan moratorium dimana PT tersebut seharusnya tidak beroperasi. Namun, aspek hukum yang digunakan sebagai dasar gugatan adalah tindakan pembukaan lahan dengan cara membakar yang berpotensi mengeluarkan emisi. Disini, UKP4 sebagai sekertariat Satgas REDD+ melakukan pemantauan. Berdasar-kan pantauan tersebut, UKP4 melaporBerdasar-kan pelanggaran PT Kalista kepada MENLH tertanggal 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasi-kan terjadinya dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT Kallista Alam (data hotspot tersebut bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA). Berdasarkan verifikasi lapangan dari Mei – Juni 2012 MENLH me-ngajukan gugatan perdata terhadap PT Kalista ke Pengadilan Negeri Meula-boh, Aceh (perkara nomor: 12/Pdt.G/2012/PN-MBO). Pada tanggal 8 Januari, 2014, Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh memutuskan MENLH menang da-lam perkara ter sebut dengan amar putusan antara lain berisi:

Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melanggar hukum. •

Menghukum tergugat membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp. •

114.333.419.000,- (Seratus Empat Belas Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga Juta Empat Ratus Sembilan Belas Ribu Rupiah).

Menghukum tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan •

Lima Puluh Satu Milyar Tujuh Ratus Enam Puluh Lima Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

Memerintahkan tergugat tidak menanam di lahan gambut seluas •

1000 ha.47

Dalam konferensi pers pada 13 Januari 2014, Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, mengatakan:

“Keberhasilan memenangkan gugatan perkara pembakaran lahan ini merupakan pembelajaran yang baik bagi kami bahwa prinsip “polluter pay principle” dapat berlaku. Pembayaran ganti rugi material dan pemulihan lingkungan sebesar lebih dari Rp. 300.000.000,- dapat menjadi efek jera bagi perusahaan perusak lingkungan lainnya….”48

Meskipun tidak secara eksplisit menyebut gugatan ini sebagai bagian dari aksi implementasi persiapan REDD, Menteri Lingkungan Hidup telah menghubungkan antara agenda REDD dengan penegakan hukum. Peran UKP4 yang menjadi sekretariat proses perancangan STRANAS juga sangat signifikan, terutama dalam hal pemantauan aktivitas PT Kalista Alam yang melanggar UU Lingkungan Hidup. UU ini merupakan salah satu rujukan hukum STRANAS REDD+.

Pendanaan dan Tanggung Jawab