• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mohamad Nasir

Latar Belakang

1.

Kesatuan Pengelolaan Hutan (selanjutnya ditulis KPH) merupakan konsep perwilayahan pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Konsep KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang pada masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan. Dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengurusan Hutan Negara yang sebaik-baiknya, maka dibentuk Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuan-kesatuan Pengusahaan Hutan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri. Penjelasan ayat tersebut menyatakan untuk menjamin tercapainya efisiensi pengurusan hutan, maka wilayah hutan dibagi dalam Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuan-kesatuan Pengusahaan Hutan sebagai suatu unit pengurusan/pengusahaan.

Pada awal tahun 1990-an, dengan konsep yang sama (dengan nama yang berbeda), Pemerintah menerbitkan beberapa peraturan menteri yang mengatur Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi atau KPHP yang secara substansi kebijakan tersebut juga dimaksudkan sebagai pengelolaan hutan lestari. Dalam perkembangannya di luar Jawa, KPH juga pernah diujicobakan, baik dalam konteks “pengusahaan” maupun “pengelolaan”. Sekitar tahun 1994-1998, misalnya, beberapa pihak melakukan inisiatif bekerja sama dengan Departemen Kehutanan untuk membangun model pengelolaan hutan lestari.1 Namun, tidak terlalu jelas sejauh mana hasil dari inisiatiftersebut menjadi bahan masukan bagi kebijakan nasional dan pembelajaran bagi daerah lain, karena tidak terlihat diikuti dengan implementasi nyata di lapangan.

1. Misalnya, ODA dengan dukungan Pemerintahan Inggris dengan lokasi modelnya di Jambi dan Kalimantan Tengah, dan Swedforest International/PT Wahanabhakti Persadajaya dengan lokasi modelnya di Kalimantan Timur. Lihat Putu Oka Ngakan, Heru Komarudin dan Moira Moeliono, “Menerawang Kesatuan Pengelolaan Hutan di Era Otonomi Daerah”, Governance Brief, Januari 2008 Nomor 38 (Center for International Forestry Research [CIFOR], 2008) hlm. 2

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, konsep ini kembali dimunculkan yang kemudian diikuti dengan aturan pedoman pembentukannya seperti tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Kementerian Kehutanan sendiri mengemukakan beberapa alasan mengapa konsep mengenai KPH memiliki nilai penting dalam pengelolaan hutan di Indonesia, yaitu:2

Deforestasi dan degradasi hutan 1.

Secara umum deforestasi di Indonesia terjadi akibat konversi hutan untuk berbagai peruntukan, baik yang sudah direncanakan maupun yang tidak direncanakan. Sementara itu degradasi hutan terjadi sebagai akibat dari pengelolaan hutan yang dilaksanakan secara tidak lestari oleh para pemegang izin (IUPHHK) Hutan Alam atau karena penebangan yang dilakukan oleh para pihak yang tidak memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Kegiatan ini menyebabkan kondisi tegakan hutan mengalami kerusakan dan terdegradasi, sehingga cadangan biomass atau karbon mengalami penurunan karena laju pemanenan kayu lebih besar dari pertumbuhan (riap) pohon. Persoalannya, kerusakan hutan dan pembangunan di atasnya dilaksanakan belum berdasarkan prinsip keadilan. Misalnya, sampai akhir 2009, izin-izin dan hak sumber daya hutan bagi masyarakat lokal kurang dari 400.000 ha, sementara itu alokasi izin bagi usaha besar pernah mencapai angka 60 juta ha pada tahun 1990-an, kini sekitar 36 juta ha.

Rendahnya kinerja 2.

Saat ini semua hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang masih berhutan seluas 22,7 juta ha tetap cenderung akan dikonversi dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Hal ini sejalan dengan usulan 15 Provinsi untuk mengkonversi kawasan hutan seluas 15,6 juta ha Sementara itu, potensi dan produksi kayu bulat dari hutan alam terus menurun. Berdasarkan pengalaman selama ini, kemampuan menanam dalam pembangunan HTI rata-rata seluas 150.000 Ha per tahun. Laju penanaman melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa sekitar 5 ribu ha per tahun. Penanaman melalui program GERHAN

2. Hariadi Kartodihardjo, Bramasto Nugroho, dan Haryanto R Putro, Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi (Jakarta: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH) FORCLIME Forests and Climate Change Programme, 2011) hlm. 14-22

selama peride 2003-2008, rata-rata realisasi penanaman hampir mencapai 300.000 ha per tahun. Dengan demikian kemampuan menanam dengan berbagai skema seluas rata-rata 455.000 ha per tahun. Kinerja demikian itu cukup jauh untuk memenuhi peran bidang kehutanan bagi pemasok kebutuhan bahan baku industri, keadilan alokasi manfaat hutan bagi masyarakat maupun pengendalian perubahan iklim.

Keterkaitan antara pembangunan kehutanan dan pembangunan 3.

nasional.

Rendahnya kinerja tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kepastian hak atas kawasan hutan, kelembagaan pembangunan kehutanan dan isi peraturan-perundangan serta penetapan nilai tambah sektor kehutanan. Akar masalah pembangunan di bidang kehutanan ini berkelindan erat dengan kebijakan pembangunan nasional. Aktualisasi respon pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dengan pembangunan kehutanan dan perubahan iklim misalnya, akan tergantung pada penyelesaian akar masalah ini.

Pengaturan kewenangan 4.

Kewenangan bidang kehutanan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam PP tersebut, kehutanan dapat dipilih oleh Pemda tertentu sebagai urusan pemerintahan pilihan atau tidak dipilih. Pembagian kewenangan tersebut pada dasarnya merupakan “struktur” yang menentukan distribusi dan penggunaan sumber daya ekonomi, politik dan administrasi yang membentuk kepemerintahan kehutanan. Bentuk struktur seperti itu sangat tidak efisien dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi, berorientasi jangka pendek dan konflik. Output kepemerintahan ini sebagaimana diuraikan di atas, telah menyebabkan kerusakan hutan dan ketimpangan alokasi manfaat hutan.

Perizinan dan penggunaan 5.

Bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan lebih menitikberatkan pada pengelolaan hutan oleh pemegang izin, sehingga Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak mempunyai informasi, mekanisme kontrol maupun dasar penetapan alokasi pemanfaatan hutan secara memadai. Calon pemegang izin harus mendapat sendiri informasi mengenai kawasan dan potensinya dan berupaya mendapat rekomendasi izin dari Pemerintah Daerah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak

mempunyai dasar yang pasti di mana izin sebaiknya diletakkan dan kepada siapa diberikan, sehingga mekanisme perizinan dikuasai oleh pemodal kuat—yaitu yang dapat membayar biaya transaksi tinggi— dan pihak-pihak yang mempunyai jaringan dengan kekuasaan. Realitas di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan, baik mempertahankan hutan alam yang tersisa maupun membangun hutan tanaman baru dan diharapkan berhasil, diperlukan prioritas kegiatan teknis sekurang-kurangnya mencakup:

Penyelesaian masalah kawasan hutan yang telah terjadi dan 1.

menghindari terjadinya masalah baru di masa depan serta meningkatkan kapasitas pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung

Mempermudah akses bagi penerima manfaat atau dapat menekan 2.

terjadinya ekonomi biaya tinggi serta terdapat landasan kuat untuk mengalokasikan manfaat hutan secara adil

Menyediakan infrastruktur sosial maupun ekonomi bagi penguatan 3.

kelembagaan lokal terutama yang mendapat akses pemanfaatan sumber daya hutan, peningkatan efisiensi ekonomi maupun pengembangan nilai tambah hasil hutan.

Ketiga kegiatan teknis tersebut harus dilakukan dan berorientasi pada perencanaan secara spasial dengan memperhatikan situasi sosial ekonomi lokal serta menyatukan arah pelaksanaan kegiatan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk keperluan inilah pembangunan KPH menjadi solusi strategis yang tidak dapat dihindari.3

Dalam konteks REDD+, kelembagaan KPH merupakan salah satu instrumen penting bagi implementasi REDD+ pada suatu wilayah kabupaten. Urgensi kelembagaan tersebut misalnya terlihat dalam Strategi Nasional REDD+ Indonesia, disebutkan bahwa prasyarat utama dalam pengurangan emisi hutan dan lahan adalah jaminan atas pengelolaan hutan dan lahan gambut yang sistematis serta memungkinkan pengelolaan secara berkelanjutan. Pengelolaan yang dilakukan atas hutan dan lahan gambut harus dilakukan melalui pendekatan ekosistem, sehingga tidak terbatas pada batas administratif kawasan. Untuk dapat mewujudkan kondisi tersebut, perlu dilakukan, antara lain, adalah percepatan pembentukan lembaga pelaksana pengelola hutan dan lahan di tingkat tapak/lapangan (Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH).4 Hal yang senada juga kembali ditegaskan dalam

3. Ibid, hlm 22 4. Ibid, hlm. 21-22

program strategis pengelolaan landskap berkelanjutan. Pendekatan ini berbasis pada sistem pengelolaan lanskap yang memadukan beberapa sektor dan kepentingan dalam jangka panjang. Tujuan pembangunan secara terpadu di berbagai sektor, khususnya industri, kehutanan, agroforestri, pertanian dan pertambangan, adalah menuju ekonomi hijau (green economy) yang menghasilkan emisi karbon rendah. Pendekatan ini diterapkan, antara lain, melalui akselerasi pembentukan organisasi dan operasional KPH.5 Pada tingkat Provinsi Kalimantan Timur, juga telah ditetapkan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) implementasi REDD+ Kaltim, di mana dalam mengatasi isu illegal logging strategi yang dipilih adalah akselerasi pembentukan KPH.

Di wilayah Kalimantan Timur, dalam rangka penetapan wilayah KPH, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah mengajukan usulan penetapan wilayah KPHL dan KPHP Provinsi yang terdiri dari 4 KPHL dan 32 KPHP. Dari 36 unit KPHL/KPHP tersebut telah diidentifikasi untuk dijadikan model sampai dengan tahun 2012 sebanyak 4 (empat) unit yaitu:6

Kota Tarakan 1.

Kabupaten Berau 2.

Kabupaten Malinau dan 3.

Kabupaten Bulungan 4.

Keempat daerah tersebut merupakan bagian target pembangunan KPH nasional sampai dengan Tahun 2014 yaitu beroperasinya 120 KPH. Dalam perkembangan pembangunan KPH di Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Malinau berencana untuk membentuk KPH dalam bentuk UPTD pada Dinas Kehutanan Kabupaten Malinau. Jika merujuk pada Permendagri No. 61 tahun 2010 tentang Organisasi Tata Kerja KPHL dan KPHP di daerah maka bentuk kelembagaan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Akan tetapi persoalan yang muncul kemudian adalah pembentukan SKPD pada tingkat kabupaten dilakukan melalui peraturan daerah sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama dan pada derajat tertentu memiliki muatan politis.

5. Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia, Strategi Nasional REDD+, 2012. hlm. 24-25

6. http://bpkh4.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=59&I temid=136

Sekilas tentang REDD+