• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu kesepakatan LoI yang telah terintegrasi dalam STRANAS adalah adanya provinsi percontohan. Saat ini, Indonesia telah mempunyai 11 Provinsi Percontohan yakni: 1) Aceh, 2) Jambi, 3) Riau, 4) Sumatera Barat, 5) Sumatera Selatan, 6) Kalimantan Barat, 7) Kalimantan Tengah, 8) Kalimantan Timur, 9) Sulawesi Tengah, 10) Papua, 11) Papua Barat. Penentuan provinsi percontohan ini dilakukan berdasarkan nota kesepahaman antara Satuan Tugas REDD+ yang diwakili ketuanya, Kuntoro Mangkusubroto, dengan tiap-tiap Pemerintah Provinsi yang diwakili oleh Gubernur. Bagian ini akan mengupas secara khusus kerja sama Satgas REDD+ dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Pembahasan Kalteng menjadi sangat penting terutama karena Kaltenglah yang pertama kali menjadi Provinsi Percontohan REDD+. Kalteng juga mewakili kompleksitas isu REDD yang merupakan kombinasi antara persoalan lingkungan dengan masalah sosial. Laporan Beukering et al (2008) menyebutkan bahwa 50% total lahan gambut tropis dunia berada di Kalteng. Lahan gambut Kalteng mengalami tekanan yang sangat serius dari eksploitasi. Laporan lain dari Hooijer et al (2010) menunjukkan bahwa pada 2006, 82% emisi CO2 di Asia

Tenggara yang berasal dari pembusukan dan pengeringan gambut bersumber dari Kalimantan dan Sumatera.

Laporan di tingkat regional ini dipertajam oleh analisis Carlson et al (2012) yang menemukan beberapa fakta eksploitasi sekaligus kerusakan hutan dan lahan gambut Kalimantan yang mencengangkan. Disebutkan bahwa dari 1990 sampai 2010, 90% lahan yang dikonversikan menjadi perkebunan sawit adalah kawasan berhutan. 47% di antaranya merupakan hutan yang masih utuh, 22% adalah hutan yang telah ditebang dan 21% merupakan agroforestry. Pada tahun 2010, 87% dari wilayah perkebunan sawit (31.640 km2 atau 3.164.000 hektar) berada di lahan bergambut dan perkebunan ini berkontribusi terhadap 65 – 75% dari emisi bersih sawit pada periode 1990-2010. Perkebunan sawit telah berekspansi 278% dari 2000 ke 2010. Namun 79% dari lahan yang telah diperuntukkan masih belum dikelola. Pada tahun 2020, diperkirakan pengembangan izin kebun sawit Kalimantan akan mencapai 93.844 km2 atau setara dengan 9.384.400 hektar. Dari luas ini, 90% merupakan wilayah berhutan di mana 41% di antaranya merupakan hutan yang utuh. Kebun sawit, menurut Carlson et al, akan menguasai 34% dataran rendah di luar kawasan lindung. Ekspansi perkebunan sawit di Kalimantan saja diproyeksikan akan berkontribusi terhadap 18 – 22% emisi karbon Indonesia pada tahun 2020. Namun masih banyak alokasi untuk sawit yang belum terdokumentasikan.51

Dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca tahun 2012 menkonfirmasi berbagai laporan di atas. Dokumen ini menyebutkan bahwa 95,78% – 98,35% emisi GRK Kalteng berasal dari sektor berbasis lahan sebagai akibat perubahan tutupan lahan di tanah mineral dan lahan gambut.Perubahan tersebut diduga karena adanya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi alokasi lain dan kebakaran gambut.52

Menurut laporan SEKALA, SATGAS REDD dan Pemerintah Provinsi Kalteng (2012), total wilayah yang telah diberikan izin di Kalteng untuk pemanfaatan hutan, pengembangan perkebunan dan pertambangan sebesar 12,1 juta hektar atau setara dengan 78% dari wilayah Kalteng (15,3 juta hektar). Izin-izin ini terdiri dari 5,1 juta hektar Izin-izin pemanfaatan hutan produksi termasuk hutan tanaman industri, 3,4 juta hektar izin perkebunan dan 3,5 juta hektar

51. Carlson, Kimberly M., Curran, Lisa M., Asner, Gregory P., Pittman Alice McDonald, Trigg, Simon N. and Adeney, J. Marion , 2012, carbon emissions from forest conversion by Kalimantan oil palm plantations, lihat www.nature.com/ natureclimatechange, October, 2012, Macmillan Publishers Limited.

52. Peraturan Gubernur Kalteng No. 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD – GRK)

izin pertambangan.53 Data ini hampir mirip dengan laporan Rompas dan Waluyo dari WALHI Kalimantan Tengah (2011) yang mencatat hingga 2011 sudah terdapat 12,7 juta hektar lahan atau 87% wilayah Kalteng telah diberikan izin untuk IUPHHK HA/HTI, sawit dan pertambangan.54

Di sisi lain, konflik sumber daya alam seringkali menjadi menu utama di berbagai media massa Kalteng. Laporan lapangan maupun media massa yang dikelola HuMa (2013), menunjukkan jumlah konflik sumber daya alam di Kalimantan Tengah terbanyak dibandingkan daerah lain.55 Selama 2006-2012, HuMa mendokumentasikan konflik sumber daya alam di 22 Provinsi. Tercatat 232 kasus, 62 di antaranya terjadi di Kalimantan Tengah (lihat Figur 3). Menurut laporan HuMa, sebanyak 85% dari kasus di Kalimantan Tengah terjadi di sektor perkebunan. Sedangkan 10% merupakan konflik di sektor kehutanan.56

Laporan HuMa juga diperkuat oleh beberapa laporan lembaga lain. Dewan Adat Dayak (2013) menyampaikan bahwa konflik antara masyarakat

53. Satgas REDD+, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Sekala, Februari 2013, Baseline Data for REDD+ in Central Kalimantan, Report No. 2, hal. 63 54. Rompas, Arie dan Waluyo, Aryo Nugroho, 2013, Laporan Pemantauan Kejahatan

Sektor Kehutanan di Wilayah Moratorium Kalimantan Tengah, Palangkaraya: WALHI Kalteng, hal. 6

55. HuMa, 2012, Outlook Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria 2012, Lihat http:// huma.or.id/pusat-database-dan-informasi/outlook-konflik-sumberdaya-alam-dan-agraria-2012-3.html, dilihat pada 23 Maret 2013

dengan perkebunan mendominasi berbagai kasus pertanahan yang diterima Dewan Adat Dayak.57

Menengok fakta-fakta di atas, penunjukan Kalteng tentu akan berhadapan dengan kompleksitas persoalan ini. Karena itu, kerja sama Satgas REDD dengan Pemerintah Provinsi Kalteng mencakup beberapa kegiatan yang ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas. Cakupan kerja sama Satgas REDD+ dengan Pemerintah Provinsi adalah sebagai berikut:58

Pengembangan dan pembentukan institusi dan proses dalam rangka •

mempersiapkan Kalteng untuk menerapkan program REDD+ secara komprehensif

Pengembangan dan perbaikan berbagai aturan dan kebijakan pada •

tingkat lokal yang diperlukan untuk membentuk kerangka hukum penerapan REDD+ di Kalteng

Pengembangan berbagai aktivitas strategis untuk menerapkan REDD+ •

secara komprehensif

Pergeseran paradigma dan budaya kerja di semua elemen pemangku •

kepentingan terkait di Kalteng yang diperlukan untuk menyukseskan REDD+

Pelibatan multipihak dalam perencanaan, penerapan dan pemantauan •

REDD+

Kerja sama ini sebetulnya sudah dimulai sejak awal 2011. Namun nota kesepahaman baru ditandatangani pada tanggal 16 September 2011. Beberapa tindakan konkret sudah dilakukan untuk mengoperasionalkan kerja sama ini. Dua di antaranya dibahas sekilas di bawah ini, yakni pembentukan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ di tingkat Provinsi atau SRAP REDD dan implementasi moratorium.

SRAP REDD