• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tingkat global, keputusan COP 16, FCCC/CP/2010/7/Add.1 atau Cancun Agreement telah membuat rumusan safeguards mengerucut. Cancun Agreement menempatkan safeguards sebagai salah satu elemen penting pelaksanaan REDD+. Lampiran I Cancun Agreement menyebutkan tujuh safeguards yang sebaiknya dipromosikan dan didukung oleh negara-negara berkembang ketika hendak menjalankan REDD+ (lihat Tabel 1).

5. Indonesia CSO’s Common Platform on Saving Indonesia’s Forest to Protect the Global Climate, October 2010. Lihat http://www.greenpeace.org/seasia/ id/PageFiles/110812/Indonesia-CSOs-common-platform-11OCT-en.pdf. Lihat juga Beyond Carbon: Rights-Based Safeguards Principles in Law, HuMa 2010. Lihat http://www.forestsclimatechange.org/fileadmin/downloads/norad2011/ HuMa_Social_Safeguard.pdf. Dokumen lain yang menyebut safeguards adalah Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Readiness Fund Common Environmental and Social Approach Among Delivery Partners, March 8, 2011, lihat http://www.forestcarbonpartnership.org/fcp/sites/forestcarbonpartnership. org/files/Documents/PDF/Mar2011/FCPF%20_WB%20IDB%20UNDP_%20 Common%20Approach%2003-08-11.pdf

6. Lihat Dokumen DKN dan UN-REDD Programme Indonesia, Maret 2011, Rekomendasi Kebijakan: Instrumen FPIC bagi masyarakat adat dan/atau masyarakat lokal yang akan terkena dampak dalam aktivitas REDD+ di Indonesia, http://www.redd-indonesia.org/pdf/FPICIndoversi.pdf. Lihat juga Patrick Anderson, February 2011, Free, Prior, and Informed Consent: Principles and Approaches for Policy and Project Development Bangkok, RECOFTC and GIZ. Lihat http://www.recoftc.org/site/uploads/content/pdf/ FPICinREDDManual_127.pdf

7. EMG Secretariat, 2010, Options for Environmental and Social Safeguards in the UN system: A preliminary view, Working Draft Prepared for the first EMG

Tabel 1: 7 Safeguards Cancun Agreement

1. Melengkapi atau konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional, konvensi dan kesepakatan internasional terkait.

2. Struktur tata-kelola hutan nasional yang transparan dan efektif, mempertimbangkan peraturan-perundangan yang berlaku dan kedaulatan negara yang bersangkutan. 3. Menghormati pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dengan

mempertimbangkan tanggung jawab, kondisi dan hukum nasional dan mengingat bahwa Majelis Umum PBB telah mengadopsi Deklarasi Hak Masyarakat Adat.

4. Partisipasi para pihak secara penuh dan efektif, khususnya masyarakat adat dan masyarakat lokal.

5. Konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati, menjamin bahwa aksi REDD+ tidak digunakan untuk mengkonversi hutan alam, tetapi sebaliknya untuk memberikan insentif terhadap perlindungan dan konservasi hutan alam dan jasa ekosistem, serta untuk meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan lainnya.

6. Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals). 7. Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi.

Berbagai peraturan, kebijakan maupun program nasional, baik yang secara langsung terkait dengan hutan maupun sektor lain yang berbasis lahan telah memiliki beberapa elemen yang berkaitan dengan Cancun Agreement. Antara lain: Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) telah mencantumkan upaya perlindungan lingkungan, pertimbangan aspek sosial dan proses yang terbuka dan partisipatif dalam setiap rencana aktivitas pembangunan maupun rencana ruang.8

Namun demikian, safeguards yang berkaitan dengan aspek sosial belum secara jelas disebutkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional. Karena itu, ada kebutuhan untuk merumuskan peraturan pelaksana dari berbagai instrumen hukum yang terkait aspek sosial, antara lain hak asasi manusia dan tata kelola pemerintahan yang baik dalam berbagai aktivitas pembangunan berbasis lahan.

Selain aspek sosial dan lingkungan, proyek-proyek yang berkaitan dengan pendanaan oleh lembaga-lembaga pemerintah juga menuntut jaminan akun-tabilitas dan transparansi pendanaan. Dalam hal ini fiduciary safeguards dalam proyek REDD+ sangat diperlukan untuk mencegah agar perencanaan,

8. Lihat UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

pengelolaan hingga pemantauan penggunaan dana tidak menjadi arena baru korupsi, kolusi dan nepotisme.

PRISAI dibentuk dengan dua tujuan utama sebagai berikut:

Mencegah pelaksanaan REDD+ dari resiko-resiko sosial dan lingkungan 1.

yang bisa mencederai semangat REDD+ sebagai mekanisme yang potensial menyelamatkan lingkungan hidup dan manusia

Mendorong terwujudnya perubahan kebijakan sumber daya alam, 2.

terutama hutan dan lahan gambut yang merealisasikan prinsip dan cara kerja tata kelola yang baik, prinsip hak-hak asasi manusia dan semangat demokrasi.

PRISAI disusun dengan mempertimbangkan pengalaman berbagai stan-dar yang telah ada, kerangka hukum nasional dan internasional serta me-lalui proses partisipatif dan konsultatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, bisnis, LSM, masyarakat, lembaga pendanaan, pengembang).

PRISAI bekerja pada tingkat tapak maupun kebijakan. Pencapaian indikator untuk di tingkat tapak merupakan tanggung jawab pelaksana REDD+. Sementara indikator kebijakan merupakan tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah. Untuk mencapai keduanya, maka PRISAI mengikuti tahapan pelaksanaan REDD+.

Artinya, pada tingkat tapak kriteria dan indikator tidak serta merta diterapkan pada waktu yang bersamaan. Sementara di sisi lain, kriteria dan indikator juga berkaitan dengan kondisi-kondisi awal atau kondisi pemungkin (enabling condition) yang lebih banyak berkaitan dengan aspek kebijakan yang mendukung pelaksanaan PRISAI. Artinya, indikator akan bisa diterapkan secara efektif dan menghasilkan perubahan signifikan yang permanen (melampaui BAU) jika didukung oleh kebijakan tertentu. Karena itu, PRISAI tidak hanya merupakan safeguards di tingkat tapak tetapi juga mendorong perubahan maupun memfungsikan beberapa kebijakan progresif yang sudah ada.

Dalam kerangka memastikan bahwa PRISAI dapat dilaksanakan dan dikembangkan, maka dibutuhkan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melihat kembali dan menguji sejauh mana dapat dilaksanakan oleh pemrakarsa kegiatan atau program penurunan emisi (REDD+).

153

PRISAI (Prinsip kriteria Indikator Safeguards Indonesia)

4.

Kerangka pengaman atau safeguards bukan merupakan kebutuhan di tingkat internasional semata, tetapi pertama-tama merupakan kebutuhan yang mendesak pada tingkat nasional maupun sub nasional. Dengan berkaca pada sejarah pembangunan nasional yang acapkali gagal menangkap maupun menjembatani kompleksitas sosial dan lingkungan, Pemerintah Indonesia memandang perlu mengembangkan kerangka pengaman dalam setiap proyek pembangunan, termasuk REDD+.

Sikap ini adalah bagian dari upaya progresif pemerintah untuk secara perlahan mengubah pendekatan pembangunan yang barangkali masih mewarisi semangat top-down dari masa lalu. Saat ini, Pemerintah Indonesia melalui UKP4/SATGAS REDD+ sudah menyusun safeguards berbasis proyek sebagai inisiatif awal untuk membentuk safeguards nasional REDD+ yang disebut dengan PRISAI (Prinsip kriteria, Indikator Safeguards Indonesia). Masukan atas PRISAI menghasilkan beberapa prinsip dasar safeguards sosial dan lingkungan dan fidusia. Lihat Tabel 2 dan 3 di bawah ini.

Tabel 2: 10 PRISAI Sosial dan Lingkungan

1. Memastikan status hak atas tanah dan wilayah

2. Melengkapi atau konsisten dengan target pengurangan emisi, konvensi dan kesepakatan internasional terkait

3. Memperbaiki tata kelola kehutanan

4. Menghormati dan memberdayakan pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal

5. Partisipasi para pemangku kepentingan secara penuh dan efektif dan mempertimbangkan keadilan gender

6. Memperkuat konservasi hutan alam, keanekaragaman hayati, jasa ekosistem 7. Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals)

8. Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi

9. Manfaat REDD dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan

Tabel 3: 7 PRISAI Fidusia

1. Asesmen resiko keuangan baik internal maupun eksternal 2. SOP keuangan yang memenuhi standar keuangan yang diakui

3. Audit keuangan yang independen oleh auditor eksternal yang memiliki Certified Public Accountant (CPA)

4. Laporan keuangan ke publik melalui media publik yang antara lain mencakup gambaran rencana dan pelaksanaan rencana keuangan