• Tidak ada hasil yang ditemukan

mempersiapkan Kalteng untuk menerapkan program REDD+ secara komprehensif

Pengembangan dan perbaikan berbagai aturan dan kebijakan pada •

tingkat lokal yang diperlukan untuk membentuk kerangka hukum penerapan REDD+ di Kalteng

Pengembangan berbagai aktivitas strategis untuk menerapkan REDD+ •

secara komprehensif

Pergeseran paradigma dan budaya kerja di semua elemen pemangku •

kepentingan terkait di Kalteng yang diperlukan untuk menyukseskan REDD+

Pelibatan multipihak dalam perencanaan, penerapan dan pemantauan •

REDD+

Kerja sama ini sebetulnya sudah dimulai sejak awal 2011. Namun nota kesepahaman baru ditandatangani pada tanggal 16 September 2011. Beberapa tindakan konkret sudah dilakukan untuk mengoperasionalkan kerja sama ini. Dua di antaranya dibahas sekilas di bawah ini, yakni pembentukan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ di tingkat Provinsi atau SRAP REDD dan implementasi moratorium.

SRAP REDD

13.

Pada Mei 2012, Gubernur Kalteng telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 10/2012 tentang Strategi Daerah dan Rencana Aksi Reducing Emissions From Degration And Deforestation-Plus Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam pasal 9 disebutkan bahwa peraturan ini mulai berlaku sejak diundangkan, yakni pada tanggal 15 Mei 2012. Namun Pergub ini sama sekali

57. Wawancara dengan informan dari Dewan Adat Dayak, 14 Maret 2014

58. Press Release UKP4 16 September 2011, Task Force REDD+ and Central Kalimantan Signs Cooperation On Redd+ Implementation

tidak berisi SRAP atau Strategi Daerah REDD+ (STRADA). Pergub ini hanya menyebut sistematika SRAP/STRADA.

Pada bulan yang sama, Gubernur juga mengeluarkan Pergub 36/2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK (RAD-GRK). Rencana ini disusun untuk perencanaan kegiatan penurunan emisi GRK hingga 2020. Terdapat lima elemen penting, yang disebut Pergub 36/2012 sebagai substansi inti RAD GRK Kalteng, yakni:

Sumber dan potensi penurunan emisi GRK. Elemen ini mencakup 1.

identifikasi atas bidang dan kegiatan yang berpotensi sebagai sumber/ serapan emisi GRK, berdasarkan pada cakupan, kondisi wilayah, kegiatan dan produksi emisi sektoral dan karakteristik daerah. Baseline BAU (Business As Usual) emisi GRK yang merupakan 2.

perkiraan tingkat emisi dan proyeksi GRK dengan skenario tanpa intervensi kebijakan dan teknologi mitigasi dari bidang-bidang yang telah diidentifikasi dalam kurun waktu yang disepakati yakni tahun 2010-2020.

Usulan Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK (mitigasi), baik berupa 3.

kegiatan inti maupun kegiatan pendukung. Kegiatan-kegiatan ini antara lain: a) Usulan-usulan aksi mitigasi yang berpotensi dapat menurunkan emisi GRK dari bidang/sub bidang terpilih dari kegiatan yang sudah ada maupun yang baru, b) Potensi reduksi emisi baseline dari tahun 2010 sampai tahun 2020 untuk setiap aksi/kelompok aksi mitigasi yang diusulkan, c) Perkiraan biaya mitigasi dan biaya penurunan per ton emisi GRK untuk setiap aksi yang diusulkan, d) Jangka waktu pelaksanaan setiap aksi mitigasi yang diidentifikasi. Usulan prioritas/skala prioritas dari usulan-usulan aksi mitigasi 4.

terpilih.

Lembaga pelaksanaan dan pendanaan kegiatan yang sudah diidenti-5.

fikasi melaksanakan pengukuran dan pemantauan program/kegiatan RAD-GRK di daerah.

Hubungan antara SRAP/STRADA dengan RAD GRK seharusnya jelas, yakni bahwa RAD GRK akan menetapkan angka pengurangan emisi kehutanan dan lahan gambut yang seharusnya dikontribusikan oleh SRAP/STRADA. Namun, kedua proses ini berjalan terpisah. Koordinasi penyusunannya pun di tingkat nasional berada di dua lembaga yang berbeda. RAD GRK dikoordinasikan BAPPENAS. Sementara SRAP/STRADA REDD berada di bawah komando Satgas REDD+.

Penyusunan SRAP seharusnya sudah final pada bulan Desember 2012. Namun dalam lokakarya pengalaman dan hasil proses penyusunan SRAP 11 Provinsi pada tanggal 8 November 2012, Kalteng belum mempresentasikan dokumen SRAP yang final. Ketidakcocokan antara Tim Provinsi dan Satgas REDD+ ditengarai membuat proses ini berlarut-larut. Beberapa isu sensitif termasuk distribusi dana penyusunan SRAP dari pusat ke provinsi juga turut berhembus dalam proses ini. Hingga Januari 2014, dokumen tersebut tak kunjung final. Kecuali Kalimantan Barat, provinsi-provinsi percontohan lainnya di luar Kalteng telah menyelesaikan SRAP pada tahun 2013.

Saat ini, SRAP Kalteng telah selesai. Melalui SRAP, Provinsi Kalimantan Tengah hendak berkontribusi 14% pengurangan emisi dari skenario nasional 26% - 41% di tahun 2020. Angka 14% tersebut berasal dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Meski demikian, angka ini belum menunjukkan persentase kontribusi masing-masing sektor pemberi izin. Karena itu, Kalteng masih harus mengembangkan target persentase pengurangan masing-masing emisi sektor berbasis lahan yang merupakan tindak lanjut dari angka 14%. Di samping itu, peran dan tanggung jawab kabupaten dalam mencapai angka 14% perlu diidentifikasi dan diinventarisasi secara jelas.

Moratorium

14.

Moratorium Kalteng secara formal telah berjalan. Peta moratorium senantiasa diupdate tiap enam bulan. Kementerian Kehutanan mencatat secara rutin beberapa perusahaan yang ditolak usulan izinnya karena merupakan izin baru yang tumpang tindih dengan wilayah moratorium.59 Meski demikian, beberapa pemantauan menunjukkan bahwa pembukaan lahan baru tidak berada di bawah kontrol hukum tapi dilakukan secara ilegal.

Pemantauan WALHI di 10 titik peta moratorium di 5 Kabupaten (Pulang Pisau, Kapuas, Katingan, Kotawaringin Timur dan Seruyan) menemukan pelanggaran oleh perusahaan terhadap peta moratorium. Misalnya, PT Pagatan Usaha Makmur mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 525/229/KPT/VII/2011 di Kecamatan Katingan Kula, Kabupaten Katingan. Perusahaan ini mendapat izin lokasi dari Bupati No. 500/224/KPTS/VIII pada tahun 2011 tanggal 9 Agustus. Kurang lebih 5.154 ha wilayah operasinya masuk dalam peta moratorium (Rompas dan Waluyo, 2013).

Laporan lainnya ditampilkan dari Telapak dan EIA (2013). Laporan ini menyebutkan bahwa tepat pada saat Presiden Indonesia mendeklarasikan moratorium, EIA dan Telapak menemukan bukti bahwa sebuah perusahaan perkebunan sawit yakni PT Menteng Jaya Sawit (MJS) menggunduli hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur secara ilegal. PT MJS, sebuah anak perusahaan dari Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK) beroperasi tanpa izin di wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan moratorium (EIA dan Telapak, 2013). Secara hukum, pengecualian moratorium terhadap beberapa kategori perizinan juga mendukung potensi drivers skala besar. Salah satunya adalah MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). MP3EI merupakan sebuah program andalan pemerintah untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7 – 9 persen per tahun secara berkelanjutan.

Pelaksanaan MP3EI dilakukan untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 (delapan) program utama yang terdiri dari 22 (dua puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan 3 (tiga) elemen utama yaitu: 1) Mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 (enam) Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku, 2) Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected), 3) Memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.

Banyak kritik menunjukkan bahwa MP3EI disusun tanpa mempertimbangkan isu lingkungan dan sosial. Salah satu contoh program MP3EI saat ini dalah proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Merauke, Papua. Di Kalimantan, MIFEE diturunkan melalui Perpres No. 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan. Menurut Perpres ini, penataan ruang Pulau Kalimantan bertujuan, antara lain mewujudkan pusat pertambangan mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi di Pulau Kalimantan dan pusat perkebunan kelapa sawit, karet dan hasil hutan secara berkelanjutan. Tidak ada ketentuan dalam Perpres ini yang memberikan batasan maupun kuota terhadap perkebunan sawit maupun

pertambangan yang merupakan pemicu utama deforestasi di Kalteng. Karena itu, Perpres ini memberikan kesempatan yang sama bagi hutan, perkebunan maupun pertambangan untuk berkompetisi. Patut diangkat, pengalaman selama ini bahwa kompetisi tersebut selalu mengorbankan hutan.

Terkait isu sosial, Fauzi et all (2011), membedah MIFEE yang merupakan salah satu pionir proyek MP3EI di Merauke, Papua. Mereka menemukan bahwa MIFEE mempromosikan keamanan pangan tapi pada saat yang sama justru merampas hak atas pangan masyarakat adat Malind dengan mengambil alih tanah adat lebih dari 1 juta hektar. Krisis energi dan pangan, dalam hal ini, digunakan untuk membenarkan perampasan lahan. Ujung-ujungnya, warga miskinlah yang paling menderita dan bahkan acapkali berkonflik satu sama lain. Sebagaimana observasi atas MIFEE yang secara tajam diungkapkan Zakaria, et all (2011):

“….ulah perusahaan masuk ke kampung-kampung itu memang kerap kali menyulut pertengkaran sesama warga kampung. Dalam FGD yang dilaksanakan di Kampung Zenegi, misalnya, sempat terjadi perdebatan antara Kepala Marga dengan sejumlah kaum muda..” Sementara dalam isu lingkungan, Steni (2013) melihat gagasan MP3EI berseberangan dengan target pengurangan deforestasi yang dicanangkan pemerintah sejak Presiden SBY mengeluarkan komitmen pengurangan emisi 26% sebagai usaha sendiri dan 41% atas bantuan asing.

Berkaca pada uraian di atas, tantangan utama REDD+ ke depan memang berasal dari kebijakan pemerintah. Karena itu, intervensi hukum yang didorong dalam STRANAS REDD merupakan sebuah langkah awal bagi REDD+. Meski demikian, isu-isu mendasar dalam REDD+ pun perlu dijawab secara tuntas. Dua isu yang digarisbawahi di sini adalah mengenai tanggung jawab dan pendanaan serta hubungan antara keduanya. Baik REDD di tingkat internasional maupun nasional belum memberikan jawaban yang utuh dan tegas terhadap isu mendasar ini. Intervensi kepentingan politik yang mengganggu kesepakatan ini sangat potensial menjadi langkah mundur bagi proses negosiasi hingga implementasi REDD+ ke depan.

Lampiran 1: Tujuh Safeguards Cancun AgreementLampiran 1: Tujuh Safeguards Cancun Agreement

Isi

1. Melengkapi atau konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional, konvensi dan kesepakatan internasional terkait

2. Struktur tata-kelola hutan nasional yang transparan dan efektif, mempertimbangkan peraturan perundangan yang berlaku dan kedaulatan negara yang bersangkutan 3. Menghormati pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dengan

mempertimbangkan tanggung jawab, kondisi dan hukum nasional dan mengingat bahwa Majelis Umum PBB telah mengadopsi Deklarasi Hak Masyarakat Adat

4. Partisipasi para pihak secara penuh dan efektif, khususnya masyarakat adat dan masyarakat lokal

5. Konsisten dengan konservasi hutan alam dan keanekaragaman hayati, menjamin bahwa aksi REDD+ tidak digunakan untuk mengkonversi hutan alam, tetapi sebaliknya untuk memberikan insentif terhadap perlindungan dan konservasi hutan alam dan jasa ekosistem, serta untuk meningkatkan manfaat sosial dan lingkungan lainnya

6. Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals) 7. Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi