• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, rancangan FREDDI saat ini mencakup berbagai komponen yang membutuhkan kerangka hukum & kebijakan yang dapat menjadi dasar. Pada bagian ini dilakukan analisa mengenai kerangka hukum & kebijakan yang saat ini telah tersedia untuk masing-masing komponen tersebut.

kerangka Hukum Pendirian FREDDI 1.

Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, FREDDI dirancang untuk didirikan sebagai suatu Lembaga Wali Amanat (LWA) berdasarkan PerPres 80/2011. Pembentukan FREDDI sebagai suatu instrumen pendanaan yang khusus menangani implementasi REDD+ juga diperkuat melalui ketentuan Perpres 62/2013. Pasal 5 huruf d Perpres 62/2013 menjelaskan bahwa salah satu fungsi yang dimiliki BP REDD+ adalah untuk melaksanakan penyiapan dan pengoordinasian instrumen dan mekanisme pendanaan serta distribusi manfaat bagi pelaksanaan REDD+ sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku60. Sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Perpres 80/2011, Lembaga Wali Amanat dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Bappenas dan Menteri Keuangan61. Berdasarkan pasal ini, FREDDI dirancang untuk dibentuk oleh Kepala Badan Pengelola REDD+ dan diletakkan sebagai bagian dari struktur Badan Pengelola REDD+.

Rancangan FREDDI saat ini meletakkan FREDDI sebagai satuan kerja yang dibentuk Badan Pengelola REDD+. Hal ini dianggap paling efektif, oleh karena kegiatan REDD+ yang bersifat multistakeholders dan cross-sectoral sehingga dibutuhkan fleksibilitas dalam hal 1) Penetapan kegiatan dan 2) Pelaksanaan kegiatan. Perlu digarisbawahi pula bahwa pembentukan FREDDI oleh dan langsung berada di bawah Badan Pengelola REDD+ bertujuan untuk dapat mengoptimalisasi dana hibah untuk dialokasikan sesuai dengan strategi, kebijakan dan kebutuhan yang ditetapkan oleh Badan Pengelola REDD+ yang berdasar pada Stranas REDD+.

60. Supra, no. 14 61. Supra no. 42

Secara prosedural, kerangka hukum yang dibutuhkan untuk menjadi dasar pembentukan FREDDI sesuai dengan rancangan di antaranya adalah:

Pertimbangan dari Kementerian Keuangan dan BAPPENAS yang a.

menyepakati pembentukan FREDDI

Peraturan Kepala Badan Pengelola REDD+ tentang Pembentukan b.

Lembaga Wali Amanat REDD+Indonesia (Fund for REDD+ Indonesia)

Keputusan Kepala Badan Pengelola REDD+ tentang Pengangkatan c.

Anggota Majelis Wali Amanat FREDDI

Keputusan Majelis Wali Amanat tentang Pengangkatan Pengelola d.

Dana Amanat

Peraturan Kementerian Keuangan tentang Pengelolaan Hibah LOI e.

melalui FREDDI

Keputusan Kepala Badan Pengelola REDD+ tentang pejabat f.

berwenang dalam pengelolaan hibah LOI melalui FREDDI. Kerangka Hukum Peran Bank Umum Sebagai Pengelola Dana Amanat

kerangka Hukum Peran Bank umum Sebagai Pengelola Dana 2.

Amanat

Dalam rancangan tata kelola FREDDI, diharapkan bahwa suatu Bank Umum di Indonesia dapat mengambil peran sebagai Pengelola Dana Amanat FREDDI. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia 14/17/ PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust)62, Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional di Indonesia dapat melakukan kegiatan berupa penitipan dengan pengelolaan (Trust). Kegiatan Trust tersebut adalah kegiatan penitipan dengan pengelolaan atas harta milik settlor berdasarkan perjanjian tertulis antara Bank sebagai trustee dengan settlor untuk kepentingan beneficiary yang meliputi peran sebagai63:

Agen pembayar (

paying agent); yang dimaksud dengan “agen

pembayar (paying agent)” adalah kegiatan menerima dan melakukan pemindahan uang dan/atau dana, serta mencatat arus kas masuk dan keluar untuk dan atas nama Settlor

62. Peraturan Bank Indonesia 14/17/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust). Jakarta: Bank Indonesia, 2012.

Agen investasi dana secara konvensional dan/atau berdasarkan

prinsip syariah; yang dimaksud dengan “agen investasi dana dan/

atau investasi dana berdasarkan prinsip syariah” adalah kegiatan menempatkan, mengkonversi, melakukan lindung nilai (hedging) dan mengadministrasikan penempatan dana untuk dan atas nama Settlor

Agen peminjaman (

borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah, untuk dan atas nama Settlor sesuai perjanjian Trust; yang dimaksud dengan “agen peminjaman

(borrowing agent) dan/atau agen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” adalah kegiatan perantara dalam rangka mendapatkan sumber-sumber pendanaan antara lain dalam bentuk pinjaman/ pembiayaan.

Peran/fungsi tersebut secara garis besar telah memenuhi peran Pengelola Dana Amanat dibawah FREDDI. Akan tetapi, dalam pasal 20 disebutkan bahwa, settlor wajib memenuhi kriteria sebagai nasabah korporasi. Menjadi pertanyaan apakah FREDDI, sebagai dana perwalian di bawah Badan Pengelola REDD+ memenuhi kriteria sebagai nasabah korporasi sehingga dapat menitipkan hartanya untuk dikelola oleh suatu Bank Umum yang menyediakan jasa Trust. Klarifikasi mengenai hal tersebut menjadi kunci untuk mendapatkan kerangka hukum yang diperlukan dalam hal penunjukan Bank Umum sebagai Pengelola Dana Amanat. Perlu juga ditelaah lebih lanjut, bentuk klarifikasi apa yang cukup kuat untuk menjadi dasar hukum bagi FREDDI untuk dapat menunjuk Bank Umum sebagai Pengelola Dana Amanat. Kerangka Hukum Mekanisme Pendanaan REDD+

Kerangka Hukum Mekanisme Pendanaan REDD+ 3.

Seperti diuraikan sebelumnya, rancangan FREDDI disusun sesuai dengan pengaturan Perpres 80/2011 yang menyatakan bahwa dana perwalian dapat disalurkan kepada berbagai pelaksana kegiatan baik kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah maupun lembaga swasta. Selain penyebutan mekanisme APBN, Perpres 80/2011 tidak mengatur secara spesifik mengenai mekanisme penyaluran pendanaan yang dapat digunakan untuk masing-masing pelaksana kegiatan64. Karenanya, rancangan FREDDI harus mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kerangka hukum penyaluran pendanaan yang saat ini tersedia, khususnya dalam hal penyaluran pendanaan pada pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188 Tahun 2012 tentang Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah65 diterbitkan untuk memberikan pengaturan yang jelas dan akomodatif terhadap kebutuhan penyaluran pendanaan hibah pada Pemerintah Daerah66. Penyaluran pendanaan melalui Kementerian/ Lembaga juga diatur dalam beberapa mekanisme di antaranya Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang saat ini diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156 Tahun 2008 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan67. Akan tetapi, untuk rancangan penyaluran pendanaan dalam Dana Perwalian seperti FREDDI masih terdapat beberapa permasalahan dari kerangka hukum yang ada, yakni:

Hibah pada Pemerintah Daerah harus diberikan melalui a.

Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Hal ini akan menyulitkan kebutuhan pendanaan68

Penyaluran hibah yang harus sesuai dengan siklus anggaran pe-b.

merintah akan menyulitkan proses perencanaan dan pengangga-ran terutama karena hibah seringkali memiliki variasi yang tinggi

65. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah. Jakarta: Republik Indonesia, 2012. Lihat juga : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188 Tahun 2012 tentang Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2012.

66. Direktorat Pendanaan Luar Negeri Multilateral - BAPPENAS. Ringkasan: Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Hibah Daerah Untuk Hibah Luar Negeri Multilateral. Jakarta: BAPPENAS, 2012.

67 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Jakarta: Republik Indonesia, 2008. Lihat juga: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2008 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2010.

68 Ibid. Lihat juga: Direktorat Pendanaan Luar Negeri Multilateral – BAPPENAS, Op.Cit, hal. 1

Kerangka hukum yang ada tidak secara langsung mengatur c.

mekanisme yang berlaku untuk pelaksana kegiatan non-pemerintah.

Sebagai tindak lanjut dari identifikasi permasalahan tersebut dibutuh-kan kerangka hukum pendukung yang mampu memberidibutuh-kan fleksibili-tas pendanaan yang tinggi dengan tetap memperhatikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana perwalian itu sendiri. Salah satu pedoman yang paling mendesak saat ini adalah Petunjuk Teknis (Juknis) dari Perpres 80/2011 terutama berkenaan dengan pedoman mekanisme penyaluran dana pada masing-masing kategori pelaksana kegiatan.

kerangka Hukum Mekanisme Distribusi Manfaat REDD+ 4.

Kerangka hukum terkait REDD+ di Indonesia pada umumnya belum menyentuh mekanisme distribusi manfaat. Salah satu contoh peraturan yang berupaya untuk mengatur distribusi manfaat adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (“Permenhut 36/2009”)69. Dalam Permenhut 36/2009, penerima manfaat didefinisikan dalam beberapa kelompok yakni 1) Pemerintah (terbagi menjadi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota), 2) Swasta/ Pengembang dan 3) Masyarakat70. Permenhut 36/2009 kemudian secara eksplisit mengatur persentase distribusi manfaat yang harus dilakukan oleh pemegang izin/pengembang kepada kelompok-kelompok tersebut sesuai dengan izin yang dimiliki. Pendekatan yang diambil dalam Permenhut 36/2009 ini mendapat penolakan secara resmi dari Kementerian Keuangan karena Permenhut tersebut dianggap telah melampaui kewenangan Kementerian Kehutanan. Untuk mendapatkan kerangka hukum yang dibutuhkan untuk dapat menerapkan elemen mekanisme distribusi manfaat REDD+ sesuai dengan rancangan yang ada saat ini, dibutuhkan pengaturan mengenai aspek-aspek sebagai berikut :

Definisi secara hukum dari manfaat REDD+, baik dari sisi karbon a.

maupun non-karbon. Hingga saat ini, belum ada kerangka hukum

69 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Jakarta: Kementerian Kehutanan, 2009.

di Indonesia yang secara spesifik memberikan kejelasan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup saat ini dalam proses harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang berupaya mendefinisikan pembayaran jasa lingkungan71 akan tetapi hingga saat ini, belum ada definisi spesifik mengenai apa yang dimaksud dengan keuntungan karbon maupun non-karbon dari REDD+

Status hukum hak atas manfaat REDD+ baik dari sisi karbon b.

maupun non-karbon. Perlu dicatat bahwa Peraturan Menteri

Kehutanan P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaran Karbon Hutan telah mengatur bahwa pemerintah berhak memperoleh pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari kegiatan perdagangan karbon hutan72. Akan tetapi, peraturan tersebut tidak secara langsung menyatakan status hukum maupun pengaturan hak atas karbon hutan itu sendiri

Mekanisme distribusi manfaat REDD+.

c. Permenhut 36/2009

secara tegas mengatur proporsi distribusi manfaat bagi kelompok pemangku kepentingan dalam bentuk persentase akan tetapi menuai banyak kritik tajam atas pendekatan tersebut termasuk dari sisi Kementerian Keuangan. Perlu dikaji pendekatan yang dapat diimplementasikan secara efektif untuk dapat kemudian didukung dengan kerangka hukum yang tepat. Suatu konsep yang dirasa dapat dikembangkan lebih lanjut adalah mekanisme Regional Incentives Mechanism yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2009 di mana mekanisme transfer fiskal diposisikan sebagai suatu sistem pembagian manfaat yang dikelola secara nasional guna mendukung aksi perubahan iklim oleh pemerintah daerah73

Status tenurial.

d. Kepastian hukum dari sisi kejelasan aspek tenurial

menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan REDD+ yang erat terkait dengan distribusi manfaat

71 Kementerian Lingkungan Hidup. “Media Briefing Pembayaran Jasa Lingkungan.” Menlh.go.id, 2014. Web. 23 Juni 2013.<http://www.menlh.go.id/media-briefing-pembayaran-jasa-lingkungan/>.

72 Peraturan Menteri Kehutanan P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaran Karbon Hutan. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2012.

73 Ministry of Finance Green Paper: Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Australia Indonesia Partnership, 2009, hal. 12 - 13

Kesimpulan

5.

Pembentukan instrumen pendanaan untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia merupakan langkah maju yang dibutuhkan Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa dana REDD+ dapat dikelola, disalurkan dan dimobilisasi lebih lanjut secara transparan, akuntabel dan efektif. Rancangan FREDDI yang dikembangkan oleh satgas REDD+ merupakan titik awal yang masih membutuhkan kerangka hukum dan kebijakan pendukung. Dengan dorongan untuk pelaksanaan REDD+ yang berkembang sangat pesat, Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah nyata untuk memastikan kerangka hukum dan kebijakan untuk instrumen pendanaan REDD+ segera tersedia baik dari sisi pembentukan, operasionalisasi maupun mekanisme distribusi manfaat.

DAFTAR PuSTAkA