• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi

Dalam lingkup global, hasil kajian Shiklomanov (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1995 dari total penyadapan (withdrawal) sebesar 3765 Km3/tahun, sekitar 66 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian. Jika ditinjau dari sisi penggunaannya (consumptive use), maka dari total penggunaan sekitar 2329 Km3/tahun, 86 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian1. Laju pertumbuhan kebutuhan sektor non pertanian yang lebih tinggi dari sektor pertanian (terutama untuk kebutuhan rumah tangga memperoleh prioritas utama) dalam 25 tahun menyebabkan pangsa sektor pertanian memang mengalami sedikit penurunan. Meskipun demikian, Shiklomanov memprediksi bahwa penyadapan dan penggunaan sektor pertanian masih akan mencapai 60 – 83 %. Estimasi Seckler et al (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1990 penggunaan air oleh sektor pertanian adalah sekitar 2084 Km3/tahun dan akan mencapai 3376 Km3/tahun; tetapi jika dapat dilakukan peningkatan efisiensi irigasi secara signifikan maka dapat ditekan menjadi 2432 Km3/tahun.

Terdapat dua sumber air yang lazim dimanfaatkan untuk irigasi yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang digunakan untuk irigasi berasal dari air limpasan curah hujan yang selanjutnya mengalir di sungai atau tersimpan dalam cekungan permukaan bumi seperti danau ataupun situ-situ. Air tanah terdiri dari dua kategori yakni yang berada di dalam celah bebatuan di bawah tanah (subsurface water) maupun dalam celah bebatuan yang sepenuhnya jenuh air (groundwater) (Hardjoamidjojo, 1999). Untuk memperoleh pasokan air irigasi dari air permukaan itu dilakukan pengumpulan dan penyimpanan (reservoir) dengan cara membangun waduk, atau dengan cara membendung sungai. Penyadapan air tanah untuk irigasi dilakukan dengan pemompaan. Lazimnya distribusi air irigasi (baik irigasi permukaan maupun air tanah) ke lahan pertanian memanfaatkan daya gravitasi melalui saluran air terbuka ataupun saluran tertutup.

1

Ada tiga istilah penting dalam konteks penggunaan air: water use, withdrawal, dan consumption use. Interpretasinya (Gleick, 1998) sebagai berikut. Water use merupakan istilah umum untuk penggunaan air, jadi dapat berupa withdrawal, gross water use, ataupun consumptive use. Withdrawal mengacu pada kegiatan penyadapan air dari suatu sumber untuk disimpan ataupun digunakan. Consumption use mengacu pada penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan untuk berlangsungnya suatu proses atau kegiatan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan kembali (reuse) dari (sebagian) air tersebut tidak dapat terjadi dengan segera.

Meskipun hasil estimasi para pakar bervariasi, tetapi ada 2 kesimpulan umum yang konvergen (Seckler et al, 1998; Shiklomanov, 1998). Pertama, penggunaan air masih belum efisien dan lebih rendah dari rata-rata agregat. Kedua, sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (50 – 90 %) dan diperkirakan masih akan tetap dominan sampai seperempat abad ke depan.

Para pakar dari International Water Management Institute (IWMI) mengemukakan bahwa salah satu strategi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi irigasi agar produksi pangan dapat ditingkatkan meskipun sumberdaya air semakin langka adalah dengan cara meningkatkan produktivitas air irigasi (Molden 1997; Molden et al, 2001; Barker and Kijne 2001). Gerakan "more crop per drop" yang dicanangkan oleh International Water Management Institute (IWMI) merupakan salah satu bentuk sosialisasi pendekatan tersebut di atas. Selain itu, diperlukan pula tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menghemat air yang tersedia misalnya dengan cara recycling, perbaikan kehandalan pasokan (reliability in supplies), irigasi tepat jumlah dan tepat waktu (precision on irrigation), aplikasi irigasi berbiaya murah di lahan tadah hujan (low-cost precision irrigation technologies for rain-fed areas), serta adanya dukungan kebijaksanaan, institusi dan sistem insentif untuk efisiensi irigasi (International Water Management Institute – IWMI, 2000).

Selain instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pelaku pengguna air irigasi berupaya meningkatkan efisiensi irigasi, upaya mewujudkan peningkatan produktivitas air irigasi membutuhkan pula perbaikan teknologi di bidang agronomi maupun pengelolaan irigasi. Di bidang agronomi, langkah-langkah yang perlu ditempuh antara lain adalah: (1) perbaikan varietas tanaman, terutama penciptaan dan penerapan varietas genjah unggul berdaya hasil tinggi, (2) perbaikan pola tanam, dengan cara mengutamakan komoditas tanaman pangan hemat air, dan (3) perbaikan teknik budidaya yang mencakup perbaiki pengolahan tanah, pemupukan, serta pemberantasan gulma dengan teknik yang memungkinkan konsumsi air lebih rendah. Di bidang pengelolaan air, langkah-langkah yang diperlukan adalah: (1) irigasi tepat waktu, (2) teknik irigasi yang efisien, misalnya dengan cara mengurangi praktek irigasi alir (flow irigation) atau dengan cara mengembangkan furrow irrigation, sprinkkler irrigation, maupun

drip irrigation jika layak, dan (3) realokasi air ke komoditi pertanian yang bernilai ekonomi bernilai tinggi.

Kini pakar-pakar internasional di bidang pangan dan irigasi semakin tertarik melakukan pengkajian tentang prospek pemanfaatan jenis-jenis tanaman yang hemat air sebagai sumber pangan masa depan. Dalam konteks demikian itu, usahatani padi konvensional cenderung menjadi inferior karena dengan teknologi yang selama ini diaplikasikan, termasuk kategori boros air. Beberapa hasil penelitian, misalnya Pimental et al. (1997) dan Tuong and Bhuiyan (1994) menyebutkan bahwa untuk menghasilkan 1 Kg padi, dibutuhkan air 1900 – 5000 liter. Angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan kebutuhan air untuk kentang, gandum, dan jagung yang masing-masing hanya berkisar pada 500 – 1500, 900 – 2000, dan 1000 – 1800 liter.

Salah satu implikasi pokok perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya adalah perlunya penyesuaian kebijaksanaan dan strategi pengembangan atau pengelolaan sumberdaya tersebut. Ini membutuhkan sejumlah pembaharuan yang seringkali bersifat sangat mendasar karena menyentuh langsung pilar-pilar pokok kerangka hukum (legal framework) yang selama ini dianut oleh suatu negara. Oleh karena itu proses penyesuaian/pembaharuan tersebut tidak mudah dilakukan. Sejumlah resistensi muncul karena khawatir pembaharuan – yang secara empiris memang disponsori oleh lembaga-lembaga internasional dan para pakar dari negara penganut paham liberal/kapitalis – itu pada akhirnya bermuara pada kepentingan kaum kapitalis.

Di Indonesia proses pembahasan pembaharuan kerangka hukum pengelolaan sumberdaya air juga telah dirintis sejak awal dasawarsa 90-an. Sampai tahun 1997 pembahasan konsep pembaharuan tersebut tidak mengalami kemajuan yang berarti, tetapi sejak tahun 1998 – seiring dengan reformasi politik dan ekonomi yang terjadi sejak krisis ekonomi melanda negeri ini – pembahasan dan perumusan konsep pembaharuan tersebut mengalami kemajuan nyata. Dengan adanya INPRES No. 3/1999, secara formal pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi dicanangkan; yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 77/2001. Selanjutnya diterbitkan Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 529

tahun 2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayan P3A.

Air adalah sumberdaya publik yang sangat vital. Oleh karena itu arah kebijakan di bidang irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan sosial politik. Sebagai contoh, hal ini tampak misalnya dari perbedaan yang terjadi antara strategi dan kebijakan keirigasian dari PP 77/2001 dengan arah dan strategi kebijakan yang dapat dirumuskan jika mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004. Pada PP 77/2001, orientasi untuk mengurangi peranan pemerintah dan meningkatkan kemandirian organisasi petani dalam pengelolaan irigasi lebih jelas dan terarah. Sementara itu, dari UU Nomor 7 Tahun 2004 tersirat bahwa semangat untuk memandirikan petani justru mengendur dan di sisi lain dominasi peranan pemerintah meningkat. Diduga, hal ini merupakan akibat dari kecenderungan untuk menciptakan kebijakan yang populis yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan dinamika politik terjadi sejak era reformasi terjadi di negeri ini.

Jika dikaitkan dengan esensi pokok dari sistem pengelolaan irigasi yang berazaskan efisiensi, pemerataan, keberlanjutan dan kemandirian maka orientasi kebijakan sebagaimana tersirat dalam PP 77/2001 tampaknya lebih sesuai. Berdasarkan justifikasi itu, tinjauan terhadap UU No. 7 Tahun 2004 berikut implikasinya terhadap kebijakan di bidang keirigasian tidak dibahas lebih lanjut. Selain itu, adalah fakta bahwa sampai saat ini proses perumusan kebijakan yang merupakan tindak lanjut UU tersebut belum selesai.

Secara umum dapat dikatakan adanya perubahan mendasar pada PP 77/2001 jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yakni PP 23/1982, terutama yang berkenaan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan irigasi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan pendapatan petani (pasal 2 dan pasal 6 ayat 2). Pasal-pasal ini juga menunjukkan bahwa orientasi pengelolaan irigasi tidak lagi untuk mendukung swasembada beras semata, tetapi sudah mengantisipasi munculnya diversifikasi tanaman seperti juga ditekankan dalam penjelasan umum PP 77/2001.

Jika pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi sebagaimana yang dimaksud dalam PP 77/2001 terwujud maka karakteristik irigasi akan berubah dari irigasi protektif ke arah irigasi produktif. Perbedaan karakteristik antara irigasi protektif dengan irigasi produktif adalah sebagai berikut (Wolter and Burt, 1987):

Tipe pengelolaan sistem irigasi Unsur pembeda

Irigasi protektif Irigasi produktif 1. Tujuan Menyelamatkan tanaman dari

kekurangan air akibat penyimpangan cuaca

Optimum kecukupan air untuk budidaya tanaman

2. Azas manajemen irigasi

Pemerataan perolehan air di seluruh petak yang dilayani

Nilai produktivitas lahan yang memperoleh layanan irigasi

3. Tanaman yang dibudidayakan

Tanaman pangan sebagai bagian dari subsistence farming

Tanaman niaga yang dibutuhkan pasar 4. Orientasi produksi Kepastian usahatani Produksi optimal

(keuntungan maksimum) 5. Status air irigasi Sebagai peredam risiko dalam

proses produksi

Sebagai modal usahatani dan sarana produksi 6. Sistem manajemen

yang dikehendaki

Penyebaran air di seluruh petak layanan

Pemberian air dengan produk-tivitas usahatani yang optimal

7. Hak atas air dan keadilan (equity)

Jatah pasokan ditentukan oleh volume maksimum untuk menghindari gagal panen

Jatah pasokan air ditentukan oleh nilai manfaat

Dalam PP 77/2001, upaya untuk mewujudkan good governance for irrigation ditempuh dengan melakukan pembagian peran yang lebih jelas antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah terdiri dari 4 fungsi yaitu: (1) sebagai regulator, (2) sebagai enabler, (3) sebagai fasilitator, dan (4) apabila masyarakat belum atau tidak mampu untuk melakukannya dapat bertindak sebagai penyedia barang dan jasa secara terbatas. Pelaksanaan manajemen irigasi bergeser dari joint management pemerintah – petani menjadi manajemen provisi dimana petani menjadi pelaku utama. Kesimpulannya, pada PP 77/2001 ini orientasi untuk lebih memberdayakan petani dalam pengelolaan irigasi telah dikondisikan dalam aturan main yang lebih jelas.