• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

5.5.1. Penguasaan Lahan

Informasi tentang struktur penguasaan tanah bukan hanya bermanfaat dalam menentukan implementasi water pricing, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Sebagian pakar memanfaatkannya sebagai dasar telaah tentang stereotipe masyarakat pertanian dan pedesaan pada umumnya (Van de Kroef, 1984; Wiradi dan Makali, 2000). Di Indonesia telah banyak hasil penelitian yang menganalisis hubungan antara struktur penguasaan tanah dengan sistem usahatani dan pendapatan rumah tangga petani.

Meskipun beragam, kesimpulan umum dari beberapa studi menunjukkan bahwa di pedesaan, struktur penguasaan tanah merupakan faktor terpenting dinamika pertanian karena transformasi pertanian ke industri berjalan lambat. Selain itu, struktur penguasaan tanah juga merupakan determinan distribusi pendapatan. Ini dapat dilihat misalnya pada Sumaryanto dan Rusastra (1999), Nurmanaf (2001) ataupun Susilowati et al, (2001).

Pengertian penguasaan lahan (tenancy) mencakup status kepemilikan maupun penggarapan. Dalam penelitian ini tidak ada pembedaan antara status

milik yang dilengkapi bukti pemilikan (sertifikat) ataupun yang belum dilengkapi sertifikat. Dalam transaksi penggarapan pada umumnya juga tidak disertai dengan perjanjian tertulis, tetapi hanya didasarkan atas kepercayaan dari masing-masing pihak yang berkepentingan.

Satuan luas lahan yang populer di DAS Brantas adalah 'ru', dimana 700 ru setara dengan 1 hektar. Istilah lain yang juga populer adalah "banon" yang merupakan "penghalusan" dari istilah "bata". Jika petani menyebut "Banon 100" maka hal itu berarti lahan tersebut luasnya adalah 100 "ru" atau sekitar 1400 m2.

Ditinjau menurut penggunaannya, lahan pertanian dapat dipilah menjadi: sawah, tegal, kebun, pekarangan dan lain-lain (kolam, tambak, dan sebagainya). Lahan sawah seringkali dipilah lebih lanjut berdasarkan kualitas prasarana penunjang irigasinya yaitu sawah irigasi teknis, semi teknis, sederhana, dan tadah hujan. Secara teoritis, kualitas ketersediaan air yang terbaik adalah lahan beririgasi teknis karena diperlengkapi dengan prasarana pengatur pasokan air irigasi (debit) yang memadai, meskipun dalam praktek sering pula dijumpai bahwa lahan sawah pada sistem irigasi sederhana kecukupan airnya lebih baik dari pada irigasi teknis. Pemilahan lain adalah berdasaran tingkat kecukupan air irigasi dalam satu tahun untuk menanam padi. Menurut pemilahan ini dikenal istilah sawah yang dapat ditanami padi dua kali, satu kali, dan sebagainya.

Jika disederhanakan menjadi dua jenis pemanfaatan lahan yaitu Sawah dan Lainnya (bukan sawah), rata-rata pemilikan lahan rumah tangga petani adalah 0.43 hektar, terdiri dari Sawah 0.34 hektar dan Lainnya 0.09 hektar (Tabel 15). Sejajar dengan kepadatan agrarisnya, rata-rata pemilikan lahan di wilayah yang lebih hilir cenderung lebih kecil.

Tabel 15. Rata-rata luas pemilikan lahan rumah tangga petani di wilayah pesawahan irigasi teknis di DAS Brantas, 2000.

Lingkup wilayah Sawah Lainnya Total

Sub Das Hulu 0.401 0.163 0.564

Sub DAS Tengah 0.328 0.081 0.409

Sub DAS Hilir 0.307 0.049 0.355

Di Sub DAS Hulu, sebagian besar dari jenis lahan yang tercakup dalam kelompok Lainnya adalah tegalan dan kebun, sedangkan di Sub DAS Tengah dan di Sub DAS Hilir adalah pekarangan. Tanaman utama di tegalan adalah palawija seperti jagung, kedele, kacang tanah, ubi jalar, dan sebagainya. Di kebun dan pekarangan komoditas yang paling banyak diusahakan adalah kelapa, pisang, rambutan, mangga, dan lain-lain. Sebagian besar dari usahatani di lahan kebun dan pekarangan yang dilakukan oleh petani di wilayah DAS Brantas adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten).

Petani yang tidak memiliki sawah sehingga seluruh sawah garapannya berasal dari sewa atau bagi hasil adalah sekitar 23 %. Bahkan lebih dari separuh rumah tangga petani (53.5 %) hanya memiliki lahan sawah dengan luas rata-rata sekitar 0.26 hektar. Jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan sawah antara 1 – 1.5 hektar adalah 4.2 % dengan rata-rata pemilikan sekitar 1.2 hektar, sedangkan yang memiliki sawah lebih dari 1.5 hektar hanya 1.5 % dengan rata-rata luas pemilikan sekitar 2.5 hektar (Tabel 16).

Tabel 16. Rata-rata pemilikan lahan sawah di daerah pesawahan DAS Brantas menurut kelompok pemilikan sawah, 1999/2000.

Petani Sawah milik

Kelompok pemilikan sawah

n % Jumlah persil Luas (Ha)

L = 0 111 23.13 0.0 0.000 0 < L =< 0.5 257 53.54 1.7 0.255 0.5 < L =< 1.0 85 17.71 3.5 0.647 1.0 < L =< 1.5 20 4.17 4.4 1.213 L > 1.5 7 1.46 4.3 2.546 Rata-rata 480 100.00 1.8 0.339

Distribusi pemilikan lahan sawah relatif timpang dengan Gini indeks 0.554. Sebagaimana tampak dalam kurva Lorentz (Gambar 15), luas kumulatif pemilikan sawah dari 50 % rumah tangga tani dari lapisan terbawah hanya mencapai 12 %, sebaliknya 50 % petani lapisan atas menguasai 55 %. Dapat pula disimak bahwa 10 % populasi petani lapisan teratas menguasai lahan sawah milik sekitar 37 % dari total lahan sawah di lokasi tersebut.

Angka indeks Gini1 pemilikan sawah di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing adalah: 0.437, 0.589, dan 0.570. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan terendah adalah di Sub DAS Brantas Hulu, sedangkan tingkat ketimpangan distribusi di Sub DAS Tengah dan Hilir tidak banyak berbeda.

Hampir semua petani yang memiliki sawah menggarap sendiri lahan sawah miliknya. Petani yang tidak memiliki lahan sawah memperoleh lahan garapan dengan menyewa ataupun bagi hasil (menyakap). Dalam kenyataannya yang menggarap persil-persil sawah dengan status sewa ataupun bagi hasil tidak hanya petani yang tidak memiliki sawah tetapi juga petani yang telah memiliki sawah. Hal ini antara lain disebabkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah pada umumnya sempit sehingga petani-petani tersebut berusaha memperluas lahan garapannya agar dapat memperoleh pendapatan usahatani yeng lebih banyak.

Gambar 15. Kurva Lorenz pemilikan lahan sawah di DAS Brantas

1

Formula Gini Indeks adalah:

n i i L L n n G 1 2 2 1 1 G = Gini indeks i

L= luas lahan petani ke-i

i = nomor petani (diurut dari yang pendapatan terbesar ke yang terkecil). n = jumlah petani

L adalah rata-rata luas lahan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 L u a s k u m u la ti f s a w a h m il ik ( % ) Ju m l a h k u m u l a t i f p e t a n i ( % )

Nilai sewa lahan sawah bervariasi tergantung produktivitas dan kelas lahan. Rataan agregat adalah Rp. 4.8 juta/tahun dengan kisaran antara 3.4 – 5.6 juta. Sistem penyewaan beragam: per musim, per tahun, bahkan ada pula yang menyewakan lahan sawahnya untuk jangka waktu lebih dari satu tahun (jual tahunan). Secara empiris yang lazim adalah sewa per tahun. Tingkat partisipasi garapan sewa terbanyak adalah di Sub DAS Tengah khususnya di Mrican Kiri yang secara administratif adalah termasuk dalam wilayah Kabupaten Nganjuk.

Pada sistem bagi hasil, yang terbanyak dipraktekkan adalah sistem "maro" atau 1:1. Artinya, bagian produksi pemilik tanah sama dengan yang diterima penggarap. Tergantung kesuburan tanah dan kesepakatan dari kedua belah pihak, ternyata ada penggarap yang diwajibkan menanggung 100 persen biaya tenaga kerja dan 50 persen biaya sarana produksi lainnya, ada pula yang seluruh biaya produksinya ditanggung oleh penggarap. Pada saat panen, setelah bagian hasil (kompensasi) untuk sarana produksi disisihkan dan dikembalikan kepada masing-masing pihak yang mengeluarkannya kemudian produksi dibagi dua.

Sesuai dengan ketersediaan air irigasinya, luas lahan sawah yang digarap pada musim kemarau umumnya lebih rendah daripada musim hujan. Rata-rata luas sawah garapan pada musim hujan, musim kemarau-1 dan musim kemarau-2 adalah 0.33, 0.32 dan 0.23 hektar. Sejajar dengan luas pemilikan, semakin ke hilir rata-rata luas garapan cenderung semakin sempit (Tabel 17).

Tabel 17. Rata-rata luas sawah garapan per musim, 1999/2000.

Luas garapan per musim (Hektar) Wilayah

MH MK-1 MK-2

Sub DAS Hulu 0.383 0.357 0.249

Sub DAS Tengah 0.319 0.303 0.256

Sub DAS Hilir 0.311 0.307 0.173

DAS Brantas 0.332 0.318 0.227

Berkembangnya transaksi garapan sewa dan sakap dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan berhasil mengurangi tingkat ketimpangan penguasaan lahan garapan. Ini tercermin dari Gini indeks pemilikan yang lebih besar daripada Gini indeks penguasaan garapan (0.554 vs 0.405).

5.5.2. Pengusahaan Tanaman Padi di Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas