• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

5.4. Kelembagaan Pengelolaan Irigasi

Pengelolaan irigasi, terutama pada sistem irigasi skala besar seperti Brantas ataupun Jatiluhur membutuhkan perangkat kelembagaan yang tidak sederhana. Latar belakangnya sebagai berikut. Di satu sisi, betapapun majunya tetapi rekayasa teknik untuk menciptakan suatu sistem irigasi yang efisien harus tetap berlandaskan pada hukum-hukum hidrologi karena tidak mungkin menghindar dari karakteristik intrinsik sumberdaya air. Di sisi lain, perilaku partisipan (pengguna) sumberdaya air tentu saja tidak selalu dipengaruhi oleh

variabel-variabel yang sesuai dengan persyaratan teknis keirigasian. Bahkan secara empiris lebih banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang kadang-kadang justru berseberangan dengan persyaratan teknis tersebut. Sebagai ilustrasi dapat disebutkan misalnya dalam pengelolaan sumberdaya air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut acuan teknis, batas yurisdiksi pengelolaan sumberdaya air adalah DAS. Akan tetapi secara empiris batas yurisdiksi berbagai macam bentuk kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya, termasuk pengelolaan sumberdaya air justru lebih sering mengacu pada cakupan wilayah administratif pemerintahan yang sayangnya secara historis sangat jarang memperhitungkan implikasi dari karakteristik sumberdaya air. Bukan hanya itu, ternyata juga sangat sering menggunakan pendekatan parsial dan melupakan hakekat interdependensi antar partisipan. Kondisi demikian itu pada akhirnya menyebabkan semangat dan aksi kolektif untuk mendayagunakan sumberdaya air secara efisien dan berkelanjutan sulit diwujudkan.

Garis besar kelembagaan pengelolaan irigasi di DAS Brantas adalah sebagai berikut. Secara keseluruhan pengelolaan air Sungai Brantas dan anak-anak sungainya telah terintegrasi dalam satu lembaga (Perum Jasa Tirta I). Tugas dan fungsi utama lembaga ini adalah melakukan pengelolaan air untuk memenuhi kebutuhan sektor pertanian (irigasi) maupun sektor-sektor lain (rumah tangga, industri, pembangkit listrik, fasilitas sosial, penggelontoran sungai, dan sebagainya) di DAS Brantas. Dalam melaksanakan fungsinya, Perum Jasa Tirta I berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Sebagai ilustrasi, dalam mengelola pasokan air untuk irigasi, Jasa Tirta I berkoordinasi dengan Dinas Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA), dan dengan lembaga suprastrukturnya di jajaran kementerian yang mengurusi sumberdaya air yakni Departemen Pekerjaan Umum.

Mengingat bahwa pengelolaan air irigasi pada dasarnya merupakan bagian integral dari pengelolaan sumberdaya dalam keseluruhan, maka dilakukan koordinasi yang sifatnya lintas sektoral. Untuk itu dibentuk suatu forum koordinasi antar instansi terkait yang disebut Panitia Irigasi. Ketua Panitia Irigasi adalah Kepala Wilayah Pemerintahan, baik di Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, maupun di tingkat Kecamatan.

Mekanisme distribusi air irigasi mulai dari sumber air (reservoir) sampai ke hamparan sawah adalah sebagai berikut. Dari reservoir air dialirkan melalui saluran primer untuk selanjutnya dibagi lebih lanjut melalui saluran-saluran yang lebih kecil (saluran sekunder). Penyampaian air irigasi dari saluran sekunder ke hamparan lahan pertanian menggunakan saluran tertier, dan karenanya hamparan lahan tersebut lazim disebut Petak Tertier atau Blok Tertier. Luas satu blok tertier bervariasi, mulai dari hanya 40 Ha sampai 300 Ha, tergantung pada topografi lahan dan disain debit air irigasi di saluran tertier. Untuk menjangkau persil-persil lahan yang berada di tengah atau di belakang, seringkalipara petani secara berkelompok membangun saluran-saluran yang lebih kecil (saluran kwarter). Agar kehilangan air di saluran primer, sekunder, dan tertier dapat ditekan maka saluran-saluran tersebut dibuat kedap air dengan cara disemen. Saluran kwarter pada umumnya tidak disemen karena secara teknis langsung berada di areal hamparan tertier dan secara finansial lebih murah.

Pada sistem irigasi teknis, pengelolaan irigasi menggunakan kombinasi pendekatan dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom up). Penyelenggaraan pendekatan tersebut diwujudkan dalam sistem perencanaan yang dibuat oleh Panitia Irigasi. Lazimnya, Panitia Irigasi mengadakan rapat koordinasi menjelang musim tanam. Dari atas, Panitia Irigasi memperoleh informasi tentang program pemerintah dalam peningkatan produksi pangan, prediksi iklim (curah hujan), dan proyeksi pasokan air. Dari bawah, Panitia Irigasi memperoleh informasi tentang pola tanam yang ingin dilakukan oleh petani. Berdasarkan pengkajian terhadap informasi dari kedua belah pihak itu kemudian disusun "rencana pemberian air irigasi" per musim tanam yang didalamnya mencakup volume maupun waktu pengaliran air ke petak-petak tertier yang berada di wilayah kerja Panitia Irigasi yang bersangkutan. Sudah barang tentu kebutuhan dan persediaan air irigasi tidak dapat dihitung dengan tepat. Oleh sebab itu pada musim kemarau dikenal istilah "Gadu Ijin"dan "Gadu Tidak Ijin". Gadu Ijin mengacu pada usahatani padi di musim kemarau yang menurut perhitungan Panitia Irigasi akan memperoleh air irigasi yang cukup dan karenanya masuk dalam Ketetapan Rencana Pola Tanam, sedangkan "gadu tidak ijin" atau kadang-kadang diistilahkan "gadu paksa" mengacu pada usahatani padi yang keterjaminan pasokan air irigasinya tidak

meyakinkan sehingga tidak tercakup dalam Ketetapan Rencana Pola Tanam. Secara normatif, lahan garapan yang termasuk dalam kategori Gadu Tidak Ijin tidak memperoleh hak untuk menuntut kepada Dinas Pengairan apabila pasokan air irigasi ke lahannya tidak mencukupi.

Agar kesenjangan antara pasokan dan permintaan air irigasi dapat ditekan serendah mungkin, "rencana pemberian air" tersebut dituangkan dalam suatu pola tanam anjuran (luas tanam menurut jenis komoditas dan musim tanam) yang kadang – kadang disebut pula dengan istilah Rencana Tata Tanam atau Pedoman Pola Tanam yang disusun bersama-sama antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Dinas Pengairan. Selanjutnya agar lebih mengikat, hal tersebut diformalkan melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Wilayah (Gubernur, Bupati/Walikota).

Pemantauan dan pelaksanaan pengaturan pasokan air berada di bawah tanggung jawab Dinas Pengairan setempat. Pelaksana langsung di lapangan adalah Juru Pengairan yang dibantu oleh petugas-petugas penjaga pintu air. Lazimnya, wilayah kerja seorang Juru Pengairan (wilayah kerjanya disebut Kejuron) mencakup 5 – 10 Blok Tertier, tergantung luas Blok-Blok Tertier dan konfigurasi jaringan irigasi. Koordinasi antar Juru Pengairan berada di bawah Cabang Seksi pengairan, dan Cabang Seksi pengairan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Pengairan Kabupaten yang bersangkutan.

Tampaknya pendekatan yang digunakan dalam alokasi air irigasi adalah Supply management. Dapat dikatakan demikian karena meskipun dalam perencanaan distribusi antar waktu maupun antar tempat mengacu pula kepada permintaan dari petani akan tetapi pola dasar yang diterapkan adalah sistim penjatahan pasokan. Pendekatan demand management masih sulit diterapkan karena: (a) kesulitan yang dihadapi dalam mengestimasi permintaan secara akurat (jumlah petani sangat banyak, pola tanam sangat beragam), (b) teknik irigasi yang diterapkan untuk tanaman yang terbanyak memerlukan air (padi) adalah sistim alir terus-menerus (continuous flow) dan di dalam blok tertier cukup banyak petani yang mempraktekkan pengaliran air irigasi antar petakan sawah menggunakan sistem alir langsung melalui saluran-saluran kecil yang seringkali hanya dilakukan dengan melubangi batas petakan sawah tersebut ("galengan").

Pengelolaan irigasi di tingkat petani dilakukan secara kolektif. Dalam pengelolan usahatani, kelompok terkecil yang ada di pedesaan adalah Kelompok Tani. Agar sesuai dengan tuntutan kelayakan teknis dan ekonomi dalam pengelolaan irigasi kelompok-kelompok petani tersebut berasosiasi (atas kemauan sendiri maupun karena bentukan pemerintah) membentuk suatu lembaga atau organisasi yang disebut Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A). Di Jawa Timur istilah yang dipakai adalah Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA).

Lazimnya, wilayah kerja HIPPA mencakup satu jaringan tertier dan secara empiris pada sistem irigasi teknis yang investasinya dilakukan oleh pemerintah, pembentukan dan pengembangan awal kelembagaannya dilakukan pemerintah. Untuk menghindari terjadinya konflik dengan kelembagaan pengelolaan irigasi tradisional yang yang berbasis pedesaan maka wilayah kerja HIPPA pada akhirnya disesuaikan pula dengan wilayah administratif tersebut (desa).

5.5. Keragaan Umum Rumah Tangga Petani di Daerah Pesawahan Irigasi