• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Kerangka Pemikiran

Air adalah sumberdaya vital yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Oleh karena itu, kebutuhan air akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan ekonomi, dan perkembangan peradaban. Di sisi lain meskipun pada hakekatnya kuantitas air di bumi adalah tetap, akan tetapi ketersediaan air yang layak dikonsumsi semakin langka. Meningkatnya kelangkaan yang dialami oleh setiap individu/kelompok individu bervariasi tergantung pada waktu dan tempat karena distribusi spatial dan temporal dari air yang tersedia maupun kebutuhan bervariasi. Meningkatnya kelangkaan juga dipercepat oleh terjadinya degradasi lingkungan di wilayah-wilayah tangkapan air maupun kerusakan sarana/prasarana pendayagunaan air. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, pembangkit listrik, aktivitas sosial, dan irigasi semakin langka.

Secara teoritis, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah kelangkaan sumberdaya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya tersebut. Dalam konteks itu, peningkatan efisiensi irigasi mempunyai peran yang sangat strategis karena:

1. Sektor pertanian merupakan pengguna terbesar (lebih dari 80 %) sehingga dampaknya terhadap keseluruhan sektor pengguna air sangat tinggi.

2. Secara teoritis peluang peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor pertanian cukup terbuka karena sampai saat ini tingkat efisiensi yang dicapai masih rendah (kurang dari 70 %).

Peningkatan efisiensi irigasi dapat ditempuh melalui dua pendekatan secara parsial maupun secara simultan yaitu: (1) melalui pengelolaan pasokan (supply management), dan (2) melalui pengelolaan permintaan (demand management). Secara historis, selama ini pendekatan yang digunakan adalah pengelolaan pasokan (sistem gilir, intermittent, low flow management, dan sebagainya). Akan tetapi pendekatan pengelolaan saja tidak memadai. Seiring dengan makin ketatnya kompetisi penggunaan antar sektor dan meningkatnya

kelangkaan air irigasi, pendekataan pengelolaan permintaan dipandang lebih efektif untuk menjawab permasalahan (Winpenny 1994; Hellegers 2002).

Sebagaimana dinyatakan di muka, penelitian ini difokuskan untuk memformulasikan dan menentukan besaran iuran irigasi berbasis komoditas yang diharapkan efektif sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Selanjutnya, agar hasil penelitian mempunyai kemampuan penerapan yang lebih baik maka dilakukan pula kajian tentang prospek penerapan sistem iuran tersebut.

Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jumlah iuran irigasi yang ditanggung petani terdiri dari dua komponen yaitu:

1. Komponen utama/pokok yang nilainya kurang lebih setara dengan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani. Perhitungannya didasarkan atas perkiraan volume kebutuhan air irigasi masing-masing komoditas tersebut dikalikan harga bayangan air irigasi. Oleh karena itu nilainya bervariasi antar jenis komoditas, antar wilayah maupun antar waktu karena: (1) harga bayangan air irigasi antar tempat dan antar waktu bervariasi, (2) air irigasi yang dibutuhkan untuk setiap tanaman bervariasi.

2. Komponen penunjang yaitu biaya pelayanan irigasi yang nilai per hektarnya tetap (area based) yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan petani dalam rapat pleno P3A. Komponen penunjang diperuntukkan sebagai insentif pengumpulan iuran irigasi. Jumlah komponen penunjang harus lebih kecil daripada komponen pokok, karena secara teoritis semakin kecil nilai komponen penunjang maka semakin besar efek komponen pokok untuk mendorong peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.

Volume air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani ditentukan oleh: (1) jenis atau kelompok jenis komoditas, (2) periode pengusahaan, dan (3) adanya pasokan air dari sumber lain, terutama curah hujan. Kebutuhan air antar komoditas pertanian berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi berbeda, (2) adanya perbedaan kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pesemaian, dan bahkan untuk jenis komoditas tertentu (misalnya padi) membutuhkan penggenangan. Pada jenis komoditas yang sama, air yang dibutuhkan juga tidak sama jika periode pengusahaannya berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi dipengaruhi oleh

temperatur dan kelembaban udara, dan (2) adanya perbedaan kebutuhan air antar fase pertumbuhan tanaman.

Secara teoritis, harga bayangan air irigasi ditentukan oleh kelangkaannya. Semakin langka, semakin tinggi nilainya. Pada hakekatnya kelangkaan adalah suatu ukuran relatif dalam arti ditentukan oleh perbandingan relatif antara kebutuhan terhadap ketersediaan. Dalam kondisi optimal, jika kebutuhan lebih tinggi daripada ketersediaan sehingga seluruh air irigasi yang tersedia terpakai habis maka harga bayangannya positif. Sebaliknya jika pada kondisi optimal tersebut kebutuhan lebih kecil dari ketersediaan sehingga air irigasi yang tersedia itu tersisa maka harga bayangannya adalah nol.

Dalam sistem irigasi permukaan, pasokan air irigasi yang tersedia untuk tanaman tidak ajeg. Ini disebabkan oleh: (1) adanya fluktuasi debit air irigasi yang dialirkan dari reservoir, (2) adanya kehilangan air irigasi dalam proses penyaluran dan pada saat pemberian air ke tanaman, dan (3) adanya tambahan air irigasi di sepanjang saluran ketika musim hujan karena sistem penyaluran menggunakan saluran terbuka (Sosrodarsono dan Takeda, 1978).

Dengan asumsi bahwa petani berusaha memaksimumkan keuntungan usahatani maka secara teoritis pola tanam optimal mengarah pada meningkatnya proporsi komoditas pertanian yang kebutuhan air irigasi per unit luas usahatani lebih sedikit tetapi menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Diperkirakan hal itu menyebabkan berkurangnya proporsi areal tanam padi dan meningkatnya proporsi areal tanam palawija dan sayuran di lahan sawah irigasi teknis yang berarti pola tanam di lahan tersebut lebih berdiversifikasi. Dengan pola tanam seperti itu per unit air irigasi yang tersedia dapat dihasilkan lebih banyak produksi pertanian dan keuntungan usahatani. Jadi, terjadi peningkatan produktivitas air irigasi yang berarti terjadi peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.

Mengingat bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas selama ini belum dikenal maka prospek implementasinya hanya dapat dikaji melalui pendekatan tidak langsung. Dalam pendekatan tidak langsung ini landasan pemikiran yang dianut adalah sebagai berikut. Logikanya, petani dapat menekan biaya irigasi dan atau meningkatkan pendapatan usahataninya jika pola tanam lebih berdiversifikasi

ke komoditas hemat air yakni komoditas selain padi. Sementara itu, hambatan penerapan iuran irigasi berbasis komoditas semestinya lebih kecil jika sebelumnya petani telah berpengalaman dalam penerapan iuran irigasi meskipun dalam bentuk yang lain. Dengan demikian ada dua substansi permasalahan pokok yang menentukan prospek penerapan sistem itu:

1. Partisipasi petani untuk melakukan diversifikasi usahatani. Perubahan ke arah bentuk pola tanam yang mendekati pola optimal lebih mudah diwujudkan jika jika selama cukup banyak petani yang telah berpengalaman dalam menerapkan pola tanam diversifikasi. Semakin tinggi partisipasi petani untuk berdiversifikasi, semakin kondusif suasana yang tercipta untuk penerapan sistem iuran berbasis komoditas.

2. Partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Kemungkinan untuk dapat mengadopsi sistem iuran irigasi yang baru lebih terbuka jika secara empiris kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi pada sistem yang selama ini berlaku sangat baik. Kesesuaian antara faktor-faktor positif yang mendorong partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi yang selama ini telah berlaku dengan faktor-faktor kondusif yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam membayar iuran irigasi berbasis komoditas dapat dimanfaatkan untuk merancang strategi penerapan sistem iuran tersebut.

Berlandaskan kerangka pemikiran tersebut di atas maka penelitian ini perlu menggunakan pendekatan normatif dan positif yang dilakukan dalam dua tahapan. Pendekatan normatif digunakan dalam valuasi air irigasi untuk mengetahui nilai produktivitas marginal (harga bayangan) air irigasi. Hasil valuasi merupakan input utama untuk mengestimasi nilai air irigasi berbasis komoditas yaitu dengan menggandakan harga bayangan tersebut dengan taksiran kebutuhan air irigasi untuk masing-masing kelompok komoditas yang dirinci menurut periode pengusahaannya. Pendekatan positif ditujukan untuk mengkaji kemungkinan penerapan sistem iuran berbasis komoditas tersebut. Dalam konteks ini, model yang dikembangkan dalam pendekatan positif mengacu pada hasil ataupun implikasi dari pendekatan normatif. Secara ringkas sistematika pendekatan penelitian dapat dipresentasikan dalam skema pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistematika pendekatan penelitian

Kebutuhan air meningkat:

- non irigasi (rumah tangga, industri, pembangkit listrik, dan lain-lain) - pertanian (irigasi)

Ketersediaan air menurun: - iklim makin tidak stabil - DAS, fungsi sungai, prasarana (waduk) mengalami degradasi

Efisiensi penggunaan air irigasi harus ditingkatkan

i j ij ij y i u p Pr( )Pr1x  1 , ) exp( 1 ) exp( 1 , ) exp( 1 1 ) Pr( 2 i jika i jika i y p k m j i j k m m j j ij x x x Faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas

Kesimpulan dan Saran

: pendekatan normatif : pendekatan positif u m p a n b a li k

Peningkatan efisiensi melalui pengelolaan permintaan (demand management) Situasi dan kondisi sosial ekonomi yang

mempengaruhi efisiensi irigasi di level pengguna utama air irigasi (petani)

  n i k j ij ijX Maks 1 1 Z s . t B X A Harga bayangan air irigasi

Pola tanam optimal: - jenis komoditas - skala pengusahaan - waktu tanam

Sistem iuran irigasi berbasis komoditas

Keterangan :

Pendekatan pengelolaan

pasokan

Kelangkaan air irigasi meningkat

Kinerja O & P irigasi buruk Dana O&P irigasi

sangat terbatas

Kemampuan P3A membiayai O&P irigasi

Sebagai sosok normatif, sistem iuran irigasi berbasis komoditas sangat dipengaruhi oleh simpul strategis seperti dikemukakan di atas. Kajian tentang prospek penerapannya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui dua tahapan berikut. Pertama, kajian yang ditujukan untuk memahami partisipasi petani untuk melakukan diversifikasi dalam usahatani sehingga pola yang diterapkannya mendekat ke arah pola tanam optimal. Kedua, kajian tentang partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi khususnya partisipasinya untuk membayar iuran irigasi sesuai dengan ketentuan yang disepakati.

Kedua aspek strategis tersebut dapat dikaji melalui pendekatan positif dengan memanfaatkan data sosial ekonomi di tingkat usahatani. Model analisis yang akan digunakan diharapkan menghasilkan informasi tentang: (1) probabilitas petani untuk berdiversifikasi dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi, dan (2) keragaan tentang partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi, terutama identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk memilih kualitas partisipasi yang baik dalam membayar iuran irigasi.

Sintesis dari butir-butir pokok kesimpulan yang diperoleh dari kedua pendekatan tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab tujuan penelitian ini. Sudah barang tentu, dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan disertakan pula sejumlah saran untuk penelitian lanjutan.