• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

6.5. Potensi Kerugian Akibat Luas Tanam Padi Tidak Optimal

Padi adalah komoditas utama dalam sistem usahatani di lahan sawah. Posisinya sangat strategis dalam kehidupan keseharian masyarakat. Bahkan secara nasional bukan hanya strategis dari sudut pandang ekonomi tetapi juga politik sehingga dalam batas-batas tertentu mendorong terjadinya bias kebijakan di bidang pangan. Oleh karena telah berjalan demikian lama, beberapa kelemahan akibat pengistimewaan komoditas ini telah membentuk persepsi umum bahwa perluasan secara berlebihan komoditas padi tidak berdampak negatif terhadap keuntungan usahatani di lahan sawah. Sebagai ilustrasi, dalam beberapa tahun yang lalu oleh karena pasokan padi domestik menipis maka dilancarkan program intensitas penanaman padi 3 kali per tahun (IP Padi 300). Ketika itu cukup banyak pakar yang sebenarnya tidak sepaham dengan program ini dengan alasan: (1) khawatir terjadi eksplosi serangan hama dan penyakit tanaman padi khususnya maupun untuk tanaman pangan pada umumnya, (2) degradasi kesuburan fisik dan kimia tanah, serta (3) potensi kerugian yang dihadapi oleh petani.

Melalui analisis pasca optimal dapat dihitung kerugian ekonomi yang terjadi akibat penerapan luas tanam padi yang tidak optimal. Dalam penelitian ini, untuk mempermudah komputasi maupun interpretasi hasil maka dibuat beberapa skenario luas tanam padi. Hasil analisis menunjukkan jika luas tanam padi lebih rendah 10 % dari optimal maka keuntungan bersih usahatani turun dari 1.73 juta rupiah per hektar menjadi 1.67 juta rupiah per hektar (3 %). Sebaliknya, jika lebih tinggi 10 % dari luas tanam optimal maka keuntungan usahatani juga turun menjadi 1.64 juta rupiah per hektar (5 %). Kerugian semakin besar jika bias luas tanam terhadap kondisi optimal semakin lebar. Dalam ukuran per hektar perbedaan itu relatif kecil, akan tetapi untuk total luas lahan sawah 68 587 hektar (luas lahan dalam model) kerugiannya cukup besar (Tabel 28).

Indeks pertanaman padi (CI) kondisi aktual adalah 156.4, sedangkan solusi optimal adalah 148.3. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, keuntungan bersih yang terjadi pada konsisi aktual adalah sekitar 9.6 % lebih rendah jika dibandingkan dengan keuntungan bersih yang diperoleh pada kondisi optimal.

Tabel 28. Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani

Keuntungan bersih (Rp.106 / tahun) Luas tanam padi dibanding

kondisi optimal Total *) Per hektar

Selisih terhadap kondisi optimal (%) Lebih rendah 20 % 108 581.4 1 583.1 -8.30 Lebih rendah 15 % 112 132.6 1 634.9 -5.31 Lebih rendah 10 % 114 871.0 1 674.8 -2.99 Lebih rendah 5 % 117 209.2 1 708.9 -1.02 Optimal 118 414.8 1 726.5 -Lebih tinggi 5 % 116 779.4 1 702.6 -1.38 Lebih tinggi 10 % 112 555.3 1 641.1 -4.95 Lebih tinggi 15 % 107 857.7 1 572.6 -8.92 Lebih tinggi 20 % 101 426.8 1 478.8 -14.35

*) Total luas sawah adalah 68 587 hektar.

Pelajaran yang dapat dipetik dari analisis tersebut adalah: jika luas tanam padi yang dilakukan petani saat itu lebih kecil dari pola optimal maka peningkatan produksi padi sinergis dengan peningkatan pendapatan. Akan tetapi jika luas tanam padi yang diterapkan petani lebih besar dari pola optimal maka peningkatan luas tanam padi justru menyebabkan keuntungan usahatani yang diperoleh menurun. Persoalannya adalah bahwa secara empiris proporsi luas tanam optimal itu tidak diketahui sehingga secara pragmatisme yang dapat ditempuh hanyalah fenomena yang sifatnya ekstrim. Dalam kaitan itu, jelas bahwa potensi kerugian akibat penerapan IP Padi 300 cukup besar.

6.6. Fungsi Penawaran Normatif Komoditas Padi

Perilaku penawaran padi sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan harga gabah. Pendekatan yang paling lazim ditempuh untuk memperoleh fungsi penawaran adalah ekonometrik. Secara teoritis pendekatan ini sangat elegan karena memperhitungkan pengaruh faktor-faktor yang sifatnya stochastic dan validasi empirisnya lebih mudah dilakukan. Akan tetapi pendekatan ekonometrik membutuhkan data yang jumlah observasinya memadai agar derajat bebas yang diperlukan untuk uji nyata terpenuhi. Selain itu, jika pengaruh perubahan ketersediaan sumberdaya terhadap spektrum pilihan komoditas diperhitungkan maka modelnya menjadi sangat rumit. Sebagai contoh adalah ketersediaan air untuk usahatani. Secara empiris perubahan ketersediaan air tidak hanya

mempengaruhi total produksi yang dihasilkan tetapi juga jumlah jenis komoditas yang (layak) diproduksi. Artinya pengaruh ketersediaan sumberdaya sumberdaya ini tidak hanya sebatas pada perubahan besaran tetapi juga perubahan jumlah anggota himpunan keluaran. Persoalan seperti ini lebih mudah dipecahkan dengan pendekatan normatif. Sudah barang tentu, sebagai implikasi dari asumsinya yang ketat maka penerapan hasil pendekatan normatif relatif lebih terbatas.

Fungsi penawaran padi dapat diperoleh melalui post optimality analisis perubahan harga padi. Dalam hal ini, skenario kenaikan ataupun penurunan harga padi dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dibuat sampai 10 %. Agar memperoleh hasil yang teliti, analisis dilakukan untuk setiap perubahan 1 persen.

Hasil analisis menunjukkan bahwa elastisitas penawaran padi tidak tetap dan karenanya kurva penawaran padi tidak linier (Gambar 24). Pada skenario penurunan harga ternyata fungsi penawarannya elastis, sedangkan pada skenario kenaikan harga adalah bersifat tidak elastis. Dengan metode komputasi elastisitas busur (diskrit) rata-rata elastisitas untuk skenario penurunan harga adalah 1.32. Artinya, setiap penurunan harga 1 % (ceteris paribus) mengakibatkan produksi turun 1.32 %. Di sisi lain, rata-rata elastisitas untuk skenario kenaikan harga adalah 0.29. Artinya, setiap kenaikan harga gabah sebesar 1 % hanya meningkatkan produksi 0.29 %. Secara keseluruhan, rata-rata elastisitas untuk rentang perubahan harga gabah – 10 % sampai dengan + 10 % adalah sekitar 0.82.

Gambar 24. Fungsi penawaran normatif komoditas padi 440 460 480 500 520 540 560 580 600 890 940 990 1040 1090 Ribu ton GKP Rp./Kg GKP

Secara umum fungsi penawaran padi adalah kurang elastis. Dengan metode pengukuran elastisitas busur (diskrit) rata-rata elastisitasnya adalah 0.82. Artinya, peningkatan harga gabah sepuluh persen mendorong petani untuk menanam lebih banyak padi sehingga produksi padi meningkat sekitar 8.2 %.

Sebagaimana tampak pada Gambar 23, ada tiga segmen dalam kurva penawaran padi yaitu: (1) segmen inelastis pada tingkat harga rendah, (2) segmen yang lebih elastis pada selang harga di atasnya, dan (3) segmen inelastis pada tingkat harga tinggi. Pada tingkat harga di bawah Rp. 1020/Kg GKP elastisitas penawaran adalah sekitar 0.14. Pada selang harga Rp.1020/Kg – Rp.1055/Kg elastisitasnya adalah sekitar 0.42, artinya jika harga naik 10 % maka produksi padi meningkat 4.2 %. Di atas tingkat harga Rp.1055/Kg GKP elastisitasnya menurun kembali menjadi hanya 0.13. Perilaku penawaran pada segmen ini sangat menarik karena secara teoritis keuntungan komparatif padi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga. Akan tetapi secara empiris ada beberapa jenis komoditas yang lebih sedikit mengkonsumsi air irigasi tetapi keuntungan relatifnya lebih tinggi daripada padi, bahkan seandainya harga padi meningkat dua kali lipat. Dengan demikian logis jika elastisitasnya turun kembali dan kemudian sama sekali inelastis karena air irigasi tidak cukup tersedia untuk menambah luas tanam padi tanpa mengorbankan jenis-jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi yang lebih menguntungkan daripada padi.