• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

6.2. Penggunaan, Harga Bayangan, dan Kurva Permintaan Air Irigasi

Pada solusi optimal penggunaan air irigasi di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 143, 327, dan 307 juta m3 per tahun (Tabel 23). Perbedaan volume penggunaan antar Sub DAS terutama disebabkan oleh perbedaan luas sawah, sedangkan perbedaan proporsi antar kelompok komoditas relatif kecil. Penggunaan terbesar adalah untuk usahatani padi (63 – 65 %). Penggunaan untuk usahatani palawija/hortikultur-1 dan palawija-hortikultur-2 masing-masing adalah sekitar 21 % dan % persen, sedangkan untuk usahatani tebu adalah sekitar 5 – 6 %. Informasi yang lebih rinci tertera dapat disimak pada Lampiran 14).

Distribusi temporal permintaan dan pasokan air irigasi pada solusi optimal tertera pada Gambar 17. Pada sisi permintaan, kebutuhan air tergantung pada jenis tanaman, evapotranspirasi potensial, laju perkolasi, kebutuhan air untuk pengolahan tanah, dan efisiensi irigasi. Selain itu, beberapa jenis tanaman tertentu (terutama padi) juga membutuhkan air untuk penggenangan. Sebagian dari kebutuhan itu terpenuhi dari curah hujan. Di sisi lain, curah hujan tersebut juga mempengaruhi pasokan air irigasi baik melalui saluran irigasi (karena penyalurannya menggunakan teknik alir berkesinambungan melalui sistem saluran terbuka) maupun langsung tercurah ke hamparan lahan sawah garapan. Akibatnya pada saat musim hujan pasokan air irigasi melimpah, sedangkan permintaannya justru turun; sebaliknya pada musim kemarau pasokan air irigasi sangat terbatas sedangkan permintaannya meningkat.

Tabel 23. Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada solusi optimal

Hulu Tengah Hilir

Kelompok komoditas Musim Periode usaha (106 m3) ( % ) (106 m3) ( % ) (106 m3) ( % ) MT I Okt-Jan 9.518 6.7 20.495 6.3 17.307 5.6 Nov-Feb 21.845 15.3 50.285 15.4 48.020 15.6 Des-Mar - - 12.317 3.8 4.723 1.5 Jan-Apr 6.313 4.4 1.734 0.5 9.873 3.2 MT II Feb-Mei 17.121 12.0 41.221 12.6 32.080 10.4 Mar-Jun 25.592 17.9 66.384 20.3 71.696 23.3 Apr-Jul 7.574 5.3 8.035 2.5 4.819 1.6 MT III Jun-Sep 4.572 3.2 10.671 3.3 - - Sep-Des - - 0.107 0.0 6.696 2.2 Padi Total 92.535 64.8 211.250 64.5 195.213 63.5 MT I Okt-Jan 0.936 0.7 3.091 0.9 2.220 0.7 Des-Mar 0.061 0.0 - 0.0 - - MT II Mar-Jun - - 1.282 0.4 - - Apr-Jul - - 10.571 3.2 2.812 0.9 Mei-Ags 8.575 6.0 2.409 0.7 13.947 4.5 MT III Jun-Sep 16.399 11.5 33.972 10.4 17.011 5.5 Jul-Okt - - 16.463 5.0 18.862 6.1 Sep-Des 4.404 3.1 2.310 0.7 10.358 3.4 Palawija/ hortikultur-1 Total 30.376 21.3 70.098 21.4 65.210 21.2 MT I Nov-Jan 0.258 0.2 0.661 0.2 0.445 0.1 MT II Mar-Mei 2.105 1.5 5.086 1.6 4.179 1.4 Apr-Jun - - - - 0.749 0.2 Mei-Jul 0.297 0.2 - - - - MT III Jun-Ags - - 5.467 1.7 16.246 5.3 Ags-Okt 5.824 4.1 - 0.0 - - Sep-Nov 4.358 3.1 17.067 5.2 5.966 1.9 Palawija/ hortikultur-2 Total 12.841 9.0 28.281 8.6 27.585 9.0 Tebu Setahun 7.081 5.0 17.739 5.4 19.346 6.3

Seluruh komoditas setahun 142.833 100.0 327.369 100.0 307.354 100.0

Pada Gambar 17 tampak bahwa senjang antara pasokan dan permintaan air irigasi pada musim hujan di Sub DAS Hulu lebih kecil daripada di Sub DAS lainnya. Senjang pasokan dan permintaan paling menyolok adalah dengan Sub DAS Tengah karena layanan irigasinya terluas. Pada dasarnya, untuk luas lahan yang sama pola distribusi pasokan dan permintaan antar Sub DAS tidak banyak berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pola tanam optimal antar Sub DAS maupun ketersediaan air irigasi per unit luas hamparan relatif kecil.

Gambar 17. Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi pada solusi optimal

Pola distribusi temporal seperti itu mempengaruhi harga bayangan air irigasi. Per definisi suatu sumberdaya mempunyai nilai ekonomi (harga bayangannya positif) jika pada solusi optimal sumberdaya tersebut tak tersisa. Dalam penelitian ini, pada periode Desember–Mei terjadi kelebihan pasokan sehingga harga bayangannya sama dengan nol. Sebaliknya, pada Bulan Juni – November, harga bayangan air irigasi positip. Pada periode ini harga terendah terjadi pada Bulan Juni, sedangkan yang tertinggi terjadi pada Bulan September. Untuk lingkup DAS Brantas, harga bayangan air irigasi pada Bulan September mencapai Rp. 58/m3. Mengikuti tingkat kelangkaannya, harga bayangan antar Sub DAS bervariasi. Sebagai contoh, pada bulan September harga bayangan air irigasi di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah sekitar Rp. 41/m3, Rp. 53/m3, dan Rp. 70/m3. Variasi temporal harga bayangan air irigasi untuk masing-masing wilayah dapat disimak pada Gambar 18.

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep 0.0

20.0 40.0 60.0 80.0

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

Bulan Pasokan Penggunaan Okt 11.391 11.391 Nov 15.184 15.184 Des 31.038 7.294 Jan 32.254 5.558 Feb 30.763 7.208 Mar 28.806 10.815 Apr 25.589 15.340 Mei 21.424 18.339 Jun 17.203 17.203 Jul 12.237 12.237 Ags 11.600 11.600 Sep 10.665 10.665

Bulan Pasokan Penggunaan Okt 24.547 24.547 Nov 34.912 34.912 Des 73.336 20.770 Jan 76.118 12.822 Feb 72.492 16.624 Mar 68.166 26.085 Apr 60.123 34.380 Mei 51.080 42.249 Jun 38.918 38.918 Jul 26.487 26.487 Ags 25.369 25.369 Sep 24.206 24.206

Bulan Pasokan Penggunaan Okt 24.134 24.134 Nov 33.452 33.452 Des 69.638 17.272 Jan 71.348 11.944 Feb 69.027 14.860 Mar 64.681 25.009 Apr 57.305 33.006 Mei 47.956 40.429 Jun 37.314 37.314 Jul 24.485 24.485 Ags 23.277 23.277 Sep 22.173 22.173 Juta m3 Juta m3 Juta m3

Gambar 18. Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas

Faktor yang menentukan harga bayangan air irigasi bukan hanya tingkat kelangkaan sumberdaya tersebut, tetapi juga keuntungan usahatani dari komoditas yang diusahakan di masing-masing Sub DAS tersebut. Oleh karena itu, produktivitas usahatani, harga-harga masukan, dan harga-harga keluaran komoditas pertanian sangat menentukan.

Meskipun harga bayangan air irigasi sangat berfluktuasi, seringkali dibutuhkan pula informasi tentang nilai rataannya. Dalam konteks ini disajikan dua jenis rataan dengan dua cara penghitungan: (1) rata-rata yang perhitungannya hanya didasarkan pada periode ketika air irigasi langka (harga bayangannya positif), dan (2) rata-rata dari seluruh periode termasuk periode ketika air irigasi tidak langka (harga bayangannya nol). Hasilnya disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya

( Rupiah / m3 ) Cakupan: periode air irigasi langka1) Cakupan: keseluruhan2) Cakupan Wilayah

Rata-rata Rataan terbobot Rata-rata Rataan terbobot

Sub DAS Hulu 26.13 24.28 13.06 13.30

Sub DAS Tengah 33.65 31.12 16.83 16.59

Sub DAS Hilir 44.01 40.39 22.00 21.65

Agregat DAS Brantas 36.43 33.62 18.22 18.04

1)

Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan pada periode Juni – November (6 bulan).

2)

Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan Oktober – September (satu tahun).

10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep 0.0 30.3 39.9 52.5 43.2 -18.0 22.8 29.6 24.7 -8.0 10.1 13.0 10.9 21.9 27.7 35.5 29.8 37.5 48.1 63.2 52.2 41.1 53.3 70.1 57.8 Sub DAS Hulu

Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas

Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas Rupiah/m3

Harga bayangan yang dihasilkan dari penelitian ini barangkali termasuk kategori moderat. Sebagai pembanding, hasil estimasi harga air irigasi dengan pendekatan dari sisi pasokan (supply side) yang dilakukan oleh Nippon Koei-Nikken Consultant (1998) untuk sistem irigasi Brantas menunjukkan bahwa untuk menutup seluruh biaya investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan (full cost recovery) maka harga air irigasi (menurut harga tahun 1997) adalah Rp. 25/m3. Akan tetapi jika sasarannya adalah untuk menutup biaya operasi dan pemeliharaan saja (operation and maintenance cost recovery), harganya sekitar Rp. 5/m3. Dalam penelitian itu disebutkan pula bahwa harga air (full cost recovery) untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik, domestik, dan industri masing-masing adalah Rp. 11/m3, Rp. 10/m3, dan Rp. 30/m3. Dalam praktek, harga air yang ditetapkan Perum Jasa Tirta I pada tahun 1997 itu untuk masing-masing sektor tersebut adalah Rp. 12/m3, Rp. 30/m3, dan Rp. 50/m3 (sampai saat ini Perum Jasa Tirta I belum memungut biaya air irigasi dari petani).

Dengan asumsi pola distribusi temporalnya tetap, rata-rata harga bayangan air irigasi semakin tinggi jika variasi pasokan antar tahun sangat semakin tinggi. Sebagai ilustrasi, jika variasi pasokan antar tahun berkisar antara 10 % di bawah normal sampai 10 % di atas normal maka rata-rata harga bayangan pada Bulan Agustus, September, dan Oktober masing-masing adalah Rp. 118/m3, Rp. 84/m3, dan Rp. 98/m3. Akan tetapi jika relatif stabil, misalnya variasi pasokan berkisar antara 2 % di bawah normal sampai 2 % di atas normal, maka rata-rata harga bayangan pada Agustus, September, dan Oktober masing-masing adalah sekitar Rp. 59/m3, Rp. 75/m3, dan Rp. 45/m3 (Gambar 19).

Tampak bahwa harga bayangan air irigasi yang paling sensitif terhadap perubahan pasokan air irigasi adalah untuk Bulan Agustus. Peringkat berikutnya adalah Juni dan Oktober. Fenomena paling menarik adalah bahwa harga bayangan air irigasi awal Musim Tanam III yakni Bulan Juni ternyata jauh lebih sensitif jika dibandingkan dengan Bulan Juli, meskipun pada kondisi normal harga air irigasi Bulan Juli lebih tinggi daripada Bulan Juni. Secara teoritis hal ini terkait dengan posisi strategis ketersediaan dan kebutuhan air irigasi pada Bulan Juni dimana faktor-faktor yang menentukan adalah: (1) kendala historis pola tanam, (2) rata-rata durasi pengusahaan komoditas dominan (padi), dan (3) distribusi temporal

pasokan air irigasi. Secara empiris, Bulan Juni sebagai awal Musim Tanam III adalah titik kritis dalam memilih pola tanam yang berisiko karena menghadapi kondisi pasokan air irigasi yang langka. Lebih dari itu, pilihan pola tanam yang diambil pada Musim Tanam III juga akan berdampak pada alternatif pilihan pola tanam pada musim hujan tahun berikutnya.

Gambar 19. Pengaruh variasi tahunan pasokan air irigasi terhadap harga bayangannya

Harga bayangan suatu sumberdaya pada dasarnya adalah produktivitas marginal sumberdaya tersebut. Oleh karena itu harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh produktivitas usahatani dan harga-harga masukan dan produksi pertanian. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui pengaruh perubahan harga komoditas dominan terhadap harga bayangan air irigasi.

Hasil analisis pasca optimal (post optimality analysis) menunjukkan bahwa pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi ternyata tidak linier. Hal ini disebabkan oleh:

1. Adanya kendala historis pola tanam dimana perbandingan proporsi luas tanam antar kelompok komoditas berada pada kisaran tertentu.

20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

0.0 0.90 - 1.10 108.8 30.5 - - - - - - 90.8 15.2 120.5 94.4 0.91 - 1.09 105.2 28.3 - - - - - - 85.0 14.5 117.8 94.9 0.92 - 1.08 100.8 25.5 - - - - - - 77.8 13.5 114.5 95.4 0.93 - 1.07 96.4 24.3 - - - - - - 71.6 14.4 110.5 94.7 0.94 - 1.06 91.2 23.1 - - - - - - 65.1 15.3 105.6 93.1 0.95 - 1.05 84.6 21.5 - - - - - - 56.1 16.6 98.9 90.8 0.96 - 1.04 75.1 19.1 - - - - - - 43.1 18.5 89.3 87.3 0.97 - 1.03 63.9 17.4 - - - - - - 31.8 20.2 76.1 78.8 0.98 - 1.02 49.6 15.0 - - - - - - 10.3 24.0 63.2 75.5 0.99 - 1.01 39.3 14.9 - - - - - - 10.6 25.1 44.2 50.0 Tetap 43.2 24.7 - - - - - - 10.9 29.8 52.2 57.8 Rupiah/m3

2. Perubahan harga gabah menyebabkan perubahan keuntungan usahatani padi dan posisi relatifnya terhadap kelompok komoditas yang lain.

3. Pada komoditas padi, posisi relatif keuntungan antar periode pengusahaan juga berubah karena adanya perbedaan harga gabah, biaya usahatani, maupun produktivitas usahatani padi.

Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi tidak linier. Hal ini disebabkan harga gabah hanya mempengaruhi keuntungan usahatani padi per hektar, sedangkan harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh keuntungan per hektar seluruh komoditas yang berarti dipengaruhi oleh harga keluaran seluruh komoditas. Pada level agregat (DAS Brantas), jika harga gabah turun 5 % maka harga bayangan air irigasi adalah Rp. 31/m3 dan meningkat lebih lanjut menjadi Rp. 46/m3 jika harga gabah turun 10%. Di sisi lain, jika harga gabah naik 5 % maka harga bayangan air irigasi meningkat menjadi Rp. 40/m3 dan meningkat lebih lanjut menjadi Rp. 70/m3 jika harga gabah meningkat 10 %. Kecenderungan ini terjadi di ketiga Sub DAS meskipun ada variasi (Tabel 25).

Tabel 25. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi Rupiah/m3 Harga Gabah Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas

Turun 10% 38.66 43.35 52.12 46.14

Turun 5% 21.97 28.17 36.81 30.59

Tetap 13.01 16.85 21.99 18.26

Naik 5% 33.38 40.62 41.05 39.59

Naik 10% 61.66 72.13 71.88 70.34

Fungsi permintaan (normatif) air irigasi dapat diperoleh dari post optimality analysis perubahan pasokan air irigasi (Young, 1996). Oleh karena hasil post optimality analysis berupa inverse demand function (Tsur et al, 2002) maka bentuk fungsi permintaan tersebut dapat diperoleh dari inversinya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan kuantitas air irigasi yang digunakan pada solusi optimal maupun harga bayangan air irigasi sangat bervariasi meskipun proporsi perubahan pasokan air irigasi diperlakukan konstan (Lampiran 15). Implikasinya, bentuk umum fungsi permintaannya tidak linier.

Permintaan cenderung sangat elastis pada tingkat harga yang sangat tinggi (karena pasokan air irigasi sangat terbatas) ataupun tingkat harga yang sangat rendah (pasokan air irigasi sangat melimpah).

Untuk cakupan agregat DAS Brantas, pada saat pasokan air irigasi sangat langka sehingga harga bayangannya lebih dari Rp. 84/m3 maka permintaannya sangat elastis. Selanjutnya permintaan tersebut menjadi tidak elastis pada selang harga Rp. 11/m3– Rp. 84/m3, dan kembali elastis pada harga di bawah Rp. 11/m3. Perilaku permintaan seperti itu diakibatkan oleh terjadinya perubahan alternatif pilihan komoditas yang memaksimalkan keuntungan yang dipengaruhi oleh kebutuhan air masing-masing komoditas (sifatnya khas), produktivitas usahatani, harga-harga masukan maupun keluaran, dan ketersediaan air irigasi (Gambar 20).

Gambar 20. Kurva permintaan normatif air irigasi di lahan sawah DAS Brantas

Meskipun sama-sama elastis, tetapi makna elastisitas permintaan pada tingkat harga tinggi dan tingkat harga yang sangat rendah sebenarnya berbeda. Sebagaimana diketahui, harga yang tinggi disebabkan tingkat kelangkaan air irigasi sangat tinggi. Nilai guna air irigasi pada level tersebut sangat tinggi. Oleh karena itu prosentase penurunan harga yang sedikit saja akan mendorong peningkatan kuantitas air irigasi yang diminta dalam proporsi yang sangat besar. Sebaliknya, tingkat harga yang rendah terbentuk akibat tingkat kelangkaannya

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 700 710 720 730 740 750 760 770 780 790 800 Rupiah/m3 106 m3

rendah dan karenanya nilai guna air irigasi bagi petani relatif rendah. Dalam kondisi demikian itu maka peningkatan harga pada proporsi sedikitpun akan mendorong penurunan kuantitas air irigasi yang diminta dalam proporsi yang sangat besar. Kesimpulannya, pada level harga tinggi maka makna dari elastisitas permintaan lebih relevan untuk skenario penurunan harga, sedangkan pada level harga yang sangat rendah lebih relevan untuk skenario peningkatan harga.

Permintaan air irigasi pada kondisi aktual berada pada segmen kurva permintaan yang tidak elastis. Ini merupakan fenomena yang lazim ditemukan pada permintaan air irigasi pada level harga rendah sebagaimana dinyatakan dalam Perry (2002). Implikasi dari sifat inelastis tersebat adalah bahwa peningkatan harga air irigasi kurang efektif sebagai instrumen untuk mendorong pengurangan penggunaan air irigasi. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa hal itu adalah fenomena jangka pendek. Secara teoritis permintaan jangka panjang adalah lebih elastis sehingga efektivitas harga sebagai instrumen pendorong efisiensi penggunaan air irigasi meningkat.

Dikaitkan dengan fenomena empiris perilaku seperti itu logis. Secara empiris diperlukan waktu yang relatif panjang untuk mengubah perilaku petani dalam pengelolaan air irigasi khususnya maupun dalam pengelolaan usahatani pada umumnya. Ini terkait dengan perilaku petani dalam pengelolaan irigasi yang dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang sifatnya teknis, ekonomi, maupun sosial budaya secara simultan. Mengubah perilaku yang determinannya berada dalam dimensi teknis atau ekonomi membutuhkan waktu relatif lebih pendek daripada faktor-faktor yang berada pada dimensi sosial budaya karena melibatkan nilai-nilai cenderung mengakar dalam kehidupan masyarakat.