• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iuran irigasi berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi pendekatan dan analisis faktor faktor yang mempengaruhi implementasinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Iuran irigasi berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi pendekatan dan analisis faktor faktor yang mempengaruhi implementasinya"

Copied!
304
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN

DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA

Oleh

SUMARYANTO

SEK OLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa semua pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS SEBAGAI INSTRUMEN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 2006

Sumaryanto 965010

(3)

SUMARYANTO. Crop Based Pricing As An Instrument for Improving Irrigation Water Use Efficiency: Approach and Analysis of Factors Affecting Its Implementation (BONAR M. SINAGA as Chairman, PANTJAR SIMATUPANG, KOOSWARDHONO MUDIKDJO and YUSMAN SYAUKAT as Members of the Advisory Committee).

In line with population growth, economic development, and higher competition of water utilization among sectors, it is urgently required to improve irrigation water use efficiency. To meet the need, there are strong incentives to place emphasis on water-demand management. Theoretically, water pricing has potential not only to influence users' behaviors towards water saving, but it also contributes reallocation of water towards more profitable crops or other uses. Pricing water is also a way to recover part of the costs incurred by irrigation infrastructure and its operation. This study is aimed to valuate irrigation water, to determine crop based pricing, and to assess factors affecting its implementation. Determination of the crop based pricing utilized shadow price of the irrigation water. The valuation utilized change in net income (CINI) method using mathematical programming. Factors that can affect the implementation of crop based pricing are identified indirectly using ordered logit model. The study is conducted in Brantas Irrigation Area, East Java. Results of the study show that shadow price of irrigation water were equal to zero on December–May and positive on June–November. Within the positive period, the lowest and highest prices were taken place on June (Rp. 11/m3) and September (Rp. 58/m3) respectively. In the crop based pricing indexed, average cost of irrigation water of paddy farming on first cropping season (wet season), second cropping season (first dry season), and third cropping season (second dry season) are 1, 2, and 10 respectively. In the same order, the cost of irrigation water of secondary crop cultivation are 0.3, 0.6 and 5.0. Irrigation water demand function is non linear and in general is inelastic. The demand is elastic if the price level is higher than Rp. 84/m3. Crop diversification as well as crop based pricing was potential to improve both farm's income and irrigation efficiency, but disincentive to increase rice production. Positive factors for implementing the crop based pricing are consolidated land management, higher average farm size, available agricultural labor, sufficiency of capital for farming, significant contribution of wetland farming to household economy, and better performance of the organization of Water User's Association in irrigation management.

(4)

SUMARYANTO. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi: Pendekatan dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasinya (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, PANTJAR SIMATUPANG, KOOSWARDHONO MUDIKDJO dan YUSMAN SYAUKAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan kompetisi penggunaan air antar sektor maka peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi semakin dirasakan urgensinya. Strategi yang dipandang sesuai adalah melalui pengelolaan permintaan. Secara teoritis, penerapan harga air bukan hanya potensial untuk mendorong efisiensi penggunaan air, tetapi juga dapat berkontribusi pada realokasi penggunaan air irigasi ke komoditas pertanian yang lebih menguntungkan atau penggunaan lainnya, dan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Penelitian ini ditujukan untuk melakukan valuasi air irigasi, menentukan iuran irigasi berbasis komoditas dan menganalisis faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi prospek implementasinya. Penentuan iuran irigasi berbasis komoditas didasarkan atas harga bayangan air irigasi yang dihasilkan dari valuasi sumberdaya tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam valuasi adalah salah satu varian dari Residual Imputation Approach yakni Change In Net Income (CINI) dengan pemrograman matematis. Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi implementasi iuran irigasi berbasis komoditas diidentifikasi dengan cara tidak langsung dengan model ordered logit. Penelitian dilakukan pada sistem irigasi teknis di Daerah Irigasi Brantas, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Desember – Mei harga bayangan air irigasi sama dengan nol, sedangkan pada Juni – November positif. Pada periode positif, harga terendah terjadi pada Bulan Juni (Rp. 11/m3), sedangkan yang tertinggi pada Bulan September (Rp. 58/m3). Dengan sistem indeks, biaya irigasi untuk usahatani padi pada Musim Tanam I (Musim Hujan), Musim Tanam II (Musim Kemarau-1), dan Musim Tanam III (Musim Kemarau-2) masing-masing adalah 1, 2, dan 10. Dengan urutan yang sama, untuk usahatani palawija adalah sekitar 0.3, 0.6, dan 5.0. Fungsi permintaan air irigasi tidak linier dan secara umum tidak elastis. Permintaan elastis jika tingkat harga lebih tinggi dari Rp. 84/m3. Diversifikasi usahatani dan iuran irigasi berbasis komoditas potensial untuk meningkatkan pendapatan usahatani, tetapi tidak kondusif untuk meningkatkan produksi padi. Faktor-faktor positif untuk implementasi iuran irigasi berbasis komoditas adalah: lahan sawah garapan usahatani lebih terkonsolidasi, rata-rata luas garapan tidak terlalu kecil, tenaga kerja pertanian cukup tersedia, kemampuan permodalan petani memadai, peranan usahatani dalam ekonomi rumah tangga petani cukup besar, dan kinerja pengurus Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan irigasi lebih baik.

(5)

Hak cipta dilindungi

(6)

PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA

Oleh

SUMARYANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Pendekatan dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasinya

Nama : Sumaryanto

NRP : EPN 965010

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua

Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU Anggota

Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

Penulis adalah putra dari Atmosukarto dan Kemidjem. Penulis dilahirkan di Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 1 November 1958; merupakan anak keempat dari 9 bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1971 di SD Negeri Selo. Lulus dari pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II Wates pada tahun 1974, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Wates. Pada tahun 1978, melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat, Proyek Perintis II) diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor (IPB). Lulus dari Fakultas Pertanian (Departemen Agronomi) IPB tahun 1982, kemudian bekerja pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (kini bernama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 1984 melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) atas biaya dari Badan Litbang Pertanian dan lulus pada tahun 1988. Tahun 1996, dengan biaya sendiri penulis melanjutkan studi S3 pada Program Studi Ilmu ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(9)

Segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya. Sesuai dengan profesi, sedikit-demi sejak tahun 1995 penulis secara konsisten menekuni penelitian di bidang pengelolaan sumberdaya lahan dan air, terutama di bidang irigasi. Menyadari bahwa semakin banyak yang diketahui semakin banyak pula yang masih belum diketahui, dalam disertasi ini penulis mengkaji nilai ekonomi air irigasi dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya tersebut melalui pendekatan pengelolaan permintaan.

Adalah fakta bahwa penyelesaian disertasi ini berkat dorongan, arahan, dan bimbingan dari Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan rasa terima kasih yang sangat mendalam kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing.

2. Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

4. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup.

6. Prof. (R) Dr. Effendi Pasandaran, APU selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka.

7. Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, MSc. selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka.

8. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

9. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta seluruh pihak pengelola atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti program studi.

(10)

12. Dr. Ir. Achmad Suryana, APU selaku Kepala Badan Litbang Pertanian atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan sambil tetap bekerja.

13. Rekan-rekan kerja di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, yakni lembaga penelitian tempat penulis bekerja.

14. Jajaran Direksi Perum Jasa Tirta I beserta seluruh staf atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mark W. Rosegrant, PhD; Charles Rodgers, PhD; dan Claudia Ringler, PhD dari International Food Policy Research Institute (IFPRI) atas masukan dan bantuan kepada penulis, terutama pada saat kerjasama penelitiannya dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dimana penulis merupakan salah satu anggota tim penelitian tersebut.

Sudah barang tentu, terima kasih yang sangat mendalam penulis sampaikan kepada istri tercinta Ir. Anggraini Sukmawati, MM atas semua kebaikan, bantuan, dan dorongan semangat, serta doanya; dan juga kepada anak-anakku tercinta Mita, Arif, dan Ajeng. Kiranya pada tempatnya pula penulis mengenang Almarhumah Ir. Puti Rosmeilisa Budi Savithry atas semua kebaikan, kesabaran, dorongan semangat dan doanya selama Almarhumah mendampingi penulis. Semoga Allah SWT memberinya tempat yang mulia di sisi-NYA.

Kepada semua pihak yang selama ini secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dan tak dapat disebutkan namanya satu per satu di sini, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga semuanya itu bernilai sebagai ibadah.

Penulis telah berusaha maksimal untuk menghasilkan karya ini. Meskipun demikian, sesuai dengan keterbatasan penulis tentu masih banyak kekurangannya. Terlepas dari segala kekurangan itu, semoga disertasi ini bermanfaat.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Permasalahan ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Signifikansi Penelitian ... 8

1.5. Keterbatasan Penelitian ... 9

1.6. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air Untuk Pertanian ... 11

2.1.1. Ketersediaan Sumberdaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya ... 11

2.1.2. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air ... 15

2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi ... 20

2.1.4. Implikasi Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan .. 25

2.2. Pemberlakuan Pungutan Air Irigasi Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Melalui Pendekatan Permintaan ... 29

2.3. Valuasi Air Irigasi ... 34

2.3.1. Permasalahan Konseptual Dalam Spesifikasi Fungsi Produksi .... 37

2.3.2. Pendekatan Kuantitatif Untuk Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI ... 39

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ... 40

3.1. Kerangka Pemikiran ... 40

3.2. Landasan Teori Valuasi Air Irigasi ... 45

(12)

v

Pemodelan ... 52

3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pasokan dan Permintaan Air Irigasi ... 52

3.4.2. Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya ... 55

3.4.3. Distribusi Temporal Air Irigasi dan Implikasinya ... 63

3.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ... 65

3.5.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam ... 66

3.5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam Membayar Iuran Irigasi ... 70

3.5.3. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Untuk Berdiversifikasi dan Membayar Iuran Irigasi ... 71

IV. METODE PENELITIAN ... 73

4.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 73

4.2. Formulasi Fungsi Tujuan, Kendala, dan Asumsi Dalam Pemodelan 75 4.2.1. Fungsi Tujuan dan Aktivitas ... 76

4.2.2. Kendala Sumberdaya ... 81

4.2.3. Kendala Historis Pola Tanam ... 89

4.2.4. Kebutuhan Sumberdaya ... 92

4.3. Spesifikasi Model ... 98

4.4. Formulasi Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ... 110

4.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan ... 111

4.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam ... 111

4.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam Pembayaran Iuran Irigasi ... 113

4.5.3. Identifikasi Faktor-faktor Strategis ... 114

4.5.4. Pemilihan Variabel Penjelas ... 116

4.6. Lokasi Penelitian dan Prosedur Pengambilan Contoh ... 123

4.6.1. Lokasi Penelitian ... 123

4.6.2. Pengambilan Contoh ... 124

(13)

vi

KERAGAAN USAHATANI DI DAERAH IRIGASI BRANTAS ... 128

5.1. Keragaan Umum Daerah Aliran Sungai Brantas ... 128

5.2. Sumberdaya Air ... 129

5.3. Pasokan Air Irigasi ... 132

5.4 Kelembagaan Pengelolaan Irigasi ... 135

5.5. Keragaan Umum Rumah Tangga Petani di Daerah Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas ... 139

5.5.1. Penguasaan Lahan ... 139

5.5.2. Pengusahaan Tanaman Padi di Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas ... 144

5.5.3. Penggunaan Masukan dan Produktivitas Usahatani Komoditas Utama ... 145

5.5.4. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani ... 148

VI. VALUASI AIR IRIGASI DAN PENENTUAN IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS USAHATANI ... 152

6.1. Pola Tanam dan Keuntungan Usahatani Pada Solusi Optimal ... 152

6.2. Penggunaan, Harga Bayangan, dan Kurva Permintaan Air Irigasi .... 155

6.3. Pengaruh Perubahan Pasokan Air Irigasi Terhadap Diversifikasi ... 163

6.4. Pengaruh Penghematan Konsumsi Air Irigasi ... 166

6.5. Potensi Kerugian Akibat Luas Tanam Padi Tidak Optimal ... 169

6.6. Fungsi Penawaran Normatif Komoditas Padi ... 170

6.7. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ... 172

6.7.1. Penyederhanaan Sistem Iuran Berbasis Komoditas ... 177

6.7.2. Sinergi Diversifikasi dan Sistem Iuran Berbasis Komoditas Untuk Mendorong Efisiensi Penggunaan Air Irigasi ... 183

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS ... 189

7.1. Keragaan Diversifikasi Usahatani di Pesawahan Irigasi DAS Brantas ... 189

7.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Untuk Berdiversifikasi ... 192

7.2.1. Ketersediaan Tenaga Kerja Untuk Usahatani ... 195

(14)

vii

7.2.4. Kualitas Lahan Sawah ... 198

7.2.5. Pemilikan Peralatan Untuk Mengatasi Kekeringan ... 198

7.2.6. Fragmentasi Lahan Garapan ... 199

7.2.7. Tingkat Kerawanan Terhadap Kekeringan ... 200

7.2.8. Akses Lahan Sawah Terhadap Prasarana Distribusi Air Irigasi ... 201

7.2.9. Karakteristik dan Kapabilitas Managerial Dalam Usahatani 203 7.2.10. Luas dan Status Garapan ... 203

7.2.11. Probabilitas Petani Untuk Berdiversifikasi ... 204

7.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Partisipasi Petani Membayar Iuran Irigasi ... 205

7.3.1. Indeks Diversitas ... 207

7.3.2. Kontribusi Usahatani Padi Terhadap Total Pendapatan Usahatani di Lahan Sawah ... 208

7.3.3. Kualitas Lahan Sawah Garapan ... 209

7.3.4. Intensitas Tanam ... 209

7.3.5. Kinerja Pengurus HIPPA ... 210

7.3.6. Status Garapan ... 212

7.3.7. Jarak Persil Sawah Garapan Dari Pintu Tertier ... 213

7.3.8. Pemilikan Pompa Irigasi ... 214

7.3.9. Probabilitas Petani Berpartisipasi Dalam Iuran Irigasi ... 214

7.4. Identifikasi Faktor-faktor Strategis ... 215

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN ... 219

8.1. Kesimpulan ... 219

8.2. Implikasi Kebijakan ... 223

8.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan ... 224

DAFTAR PUSTAKA ... 225

(15)

viii

Nomor Halaman

1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM ... 61

2. Pengelompokan komoditas usahatani yang diterapkan dalam pemodelan ... 79

3. Sebaran temporal aktivitas di setiap Sub DAS yang tercakup dalam model ... 80

4. Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di masing-masing Sub DAS Brantas ... 82

5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin untuk usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi ... 85

6. Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 86

7. Ketersediaan tenaga kerja di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 88

8. Nilai Rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar kelompok komoditas menurut musim tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada periode 1990 – 2000 ... 91

9. Blok Tertier dan Rumah Tangga Contoh di Lokasi Penelitian ... 127

10. Kapasitas tampung beberapa dam besar di DAS Brantas, 1999 ... 130

11. Prasarana sumberdaya air di Daerah Irigasi Brantas dan pemanfaatannya ... 131

12. Rata-rata penggunaan air yang dikelola Perum Jasa Tirta I di DAS Brantas ... 132

13. Luas Areal Irigasi di DAS Brantas, 1999/2000 ... 132

14. Efisiensi irigasi pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, 1992 ... 135

15. Rata-rata pemilikan lahan rumah tangga petani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 2000 ... 140

(16)

ix

18. Produksi dan penggunaan input per hektar usahatani padi dan palawija di pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 ... 146

19. Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 149

20. Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok pemilikan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 150

21. Pola tanam optimal di areal pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ... 153

22. Keuntungan usahatani pada pola tanam optimal di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ... 154

23. Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada solusi optimal ... 156

24. Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya .. 158

25. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi ... 161

26. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap intensitas tanam ... 165

27. Pengaruh penghematan konsumsi air dalam usahatani padi terhadap indeks pertanaman ... 167

28. Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani .. 170

29. Nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani dirinci menurut kelompok komoditas dan periode pengusahaannya ... 173

30. Nilai air irigasi yang digunakan pada usahatani solusi optimal ... 175

31. Biaya irigasi di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 176

32. Biaya irigasi pada usahatani padi di Daerah Irigasi Brantas, 1999/2000 ... 177

33. Skenario penyederhanaan perhitungan komponen pokok iuran irgasi berbasis komoditas berdasarkan jadwal tanam padi MT I ... 179

(17)

x

sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas ... 181

36. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas ... 181

37. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas ... 182

38. Indeks biaya irigasi berbasis komoditas untuk usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ... 182

39. Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas . 185

40. Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di wilayah pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah ... 187

41. Pola tanam dominan di wilayah pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 ... 189

42. Luas areal tanam di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 . 191

43. Sebaran petani menurut pola tanam dan indeks diversitasnya di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 193

44. Sebaran petani menurut jumlah jenis komoditas yang diusahakan di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 193

45. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas untuk berdiversifikasi ... 194

46. Sebaran petani menurut jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 195

47. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 196

48. Sebaran petani menurut pola tanam dan kemampuan permodalan, 1999/2000 ... 197

49. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah menurut pola tanam yang diterapkan terhadap pendapatan rumah tangga, 1999/2000 . 197

(18)

xi

tanam, 1999/2000 ... 199

52. Sebaran petani menurut jumlah persil garapan dan pola tanam, 1999/2000 ... 200

53. Rata-rata proporsi luas lahan yang mengalami kekeringan dan durasi kekeringan untuk masing-masing kategori pola tanam, 1999/2000 ... 201

54. Sebaran petani menurut pilihan pola tanam dan akses lahan garapannya terhadap air irigasi dari saluran kuarter, 1999/2000 ... 202

55. Probabilitas petani memilih pola tanam dalam usahatani di lahan sawah ... 205

56. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani membayar iuran irigasi ... 206

57. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan pola tanam ... 207

58. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan kontribusi usahatani padi, 1999/2000 ... 208

59. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan kelas lahan garapannya, 1999/2000 ... 209

60. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan intensitas tanam yang diterapkan, 1999/2000 ... 210

61. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan persepsinya terhadap pengurus HIPPA ... 211

62. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan status garapan usahatani, 1999/2000 ... 213

63. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi dan pemilikan pompa irigasi ... 214

(19)

xii

Nomor Halaman

1. Sistematika pendekatan penelitian ... 44

2. Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air ... 46

3. Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk seluruh komoditas yang tercakup ... 47

4. Harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III ... 48

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai harga bayangan air irigasi ... 53

6. Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan MDM ... 62

7. Implikasi pola distribusi temporal kebutuhan dan pasokan air irigasi terhadap harga bayangannya ... 64

8. Skema konsep estimasi kebutuhan air irigasi ... 94

9. Prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk tanaman ... 95

10. Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian ... 125

11. Pola curah hujan tahunan di DAS Brantas dari 1956 – 1999 ... 129

12. Pola sebaran curah hujan bulanan di DAS Brantas ... 130

13. Perkembangan alokasi air untuk irigasi 1978 – 1996 ... 133

14. Pola curah hujan bulanan dan alokasi air irigasi ... 134

15. Kurva Lorenz pemilikan lahan sawah di DAS Brantas ... 142

16. Proporsi luas areal tanam padi di masing-masing Sub DAS ... 144

17. Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi pada solusi optimal ... 157

18. Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ... 158

(20)

xiii

21. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap diversifikasi ... 164

22. Pengaruh pasokan air irigasi terhadap keuntungan bersih usahatani ... 166

23. Pengaruh penghematan konsumsi air irigasi pada usahatani padi terhadap keuntungan bersih usahatani ... 168

24. Fungsi penawaran normatif komoditas padi ... 171

25. Sebaran bulanan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani pada solusi optimal ... 175

26. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi .. 203

27. Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam .... 204

28. Hubungan antara Pr_1, Pr_2, Pr_3, dan Pr_4 dalam partisipasi membayar iuran irigasi ... 215

(21)

xiv

Nomor Halaman

1. Operasi dan pemeliharaan irigasi ... 237

2. Rata-rata penerimaan, biaya, dan laba usahatani di lahan pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 245

3. Lokasi penelitian dalam Peta Daerah Aliran Sungai Brantas ... 248

4. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hulu untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya ... 249

5. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Tengah untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya ... 250

6. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hilir untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya ... 251

7. Kebutuhan modal tunai usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 252

8. Kebutuhan tenaga kerja usahatani untuk setiap kelompok komoditas di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 253

9. Pemrograman linier untuk valuasi air irigasi dengan metode CINI ... 254

10. Estimasi Efisiensi Teknis Usahatani Padi dengan Pendekatan Fungsi Produksi Frontier Stokastik ... 261

11. Statistik deskriptif indeks diversitas usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ... 263

12. Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Brantas, 1955 – 1999 ... 264

13. Solusi optimal yang diperoleh dari model valuasi air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ... 265

14. Penggunaan air irigasi di lahan sawah irigasi contoh DAS Brantas pada solusi optimal ... 274

(22)

xv

17. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di Sub DAS Brantas Tengah ... 279

18. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di Sub DAS Brantas Hilir ... 280

(23)

1.1. Latar Belakang

Lingkaran permasalahan ketahanan pangan – kemiskinan – pelestarian lingkungan adalah persoalan klasik. Fenomena yang menarik adalah bahwa di tengah perubahan lingkungan strategis yang di era globalisasi ini dinamikanya sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan liberalisasi perdagangan internasional, permasalahan tersebut merupakan salah satu topik yang banyak dibahas di forum-forum kerjasama internasional. Hal ini terkait dengan paradoks yang kini terjadi bahwa di tengah meningkatnya kemakmuran negara-negara maju ternyata banyak negara-negara kurang berkembang yang semakin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, pasokan pangan domestik tidak cukup, dan laju degradasi lingkungan berlangsung semakin cepat. Dalam konteks itu, persoalan tentang kemampuan suatu negeri untuk memenuhi kebutuhan pangannya sangat penting karena terkait langsung dengan kebutuhan dasar manusia.

Pasokan pangan sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi. Faktanya, secara global dari seluruh lahan yang dapat digarap, 18 % atau sekitar 237 juta hektar diantaranya dimanfaatkan untuk pertanian beririgasi dan menghasilkan lebih dari 33 % produk pertanian. Dari seluruh areal pertanian beririgasi tersebut, 71 % berlokasi di LDC dimana 60 % diantaranya berlokasi di Asia (Postel, 1994).

(24)

Di sebagian besar negara berkembang, melambatnya laju investasi irigasi disebabkan oleh berkurangnya pinjaman internasional untuk pembangunan irigasi. Sebagai contoh, dalam periode 1978 – 1992 rata-rata pinjaman World Bank untuk proyek irigasi turun sekitar 50 % (Wichelns, 1998).

Meningkatnya biaya investasi per unit luas areal irigasi dapat disimak dari beberapa hasil penelitian berikut. Dalam Sampath (1992) maupun Rosegrant and Svendsen (1993) dinyatakan bahwa dibandingkan tahun 1970, biaya riil investasi irigasi di Srilangka menjadi 3 kali lipat; di India dan Indonesia menjadi dua kali lipat; di Filipina meningkat sekitar 50 %; dan di Thailand sekitar 40 %.

Permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam bidang penyediaan air untuk pertanian (irigasi) bukan hanya biaya investasi yang makin mahal, tetapi juga kinerja irigasi yang telah ada ternyata semakin menurun. Kemunduran kinerja itu disebabkan oleh degradai fungsi infrastruktur dalam sistem irigasi maupun manajemen operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi. Degradasi fungsi infrastruktur antara lain disebabkan oleh kerusakan infrastruktur, sedimentasi di dalam sistem jaringan irigasi, meluasnya tanaman pengganggu di saluran-saluran distribusi maupun saluran drainase, serta perubahan permukaan air tanah yang berlebihan. Di sisi lain, seringkali manajemen OP tidak memiliki kapabilitas yang memadai untuk sekedar mempertahankan kinerja fungsi irigasi seperti disain semula. Ini disebabkan oleh banyak faktor dan beragam diantaranya: (1) disain kelembagaan irigasi yang tidak sesuai dengan aspirasi pengguna, (2) sistem kelembagaan yang tidak efisien karena perilaku free rider dan praktek-praktek rent seeking, dan (3) degradasi kemandirian komunitas petani dalam pengelolaan irigasi akibat kooptasi yang berlebihan dari pemerintah dalam pengembangan irigasi. Degradasi fungsi irigasi tersebut cenderung berlanjut jika kemampuan petani untuk ikut membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi tidak dikembangkan. Ini dilatar belakangi fakta bahwa di sebagian besar negara berkembang, anggaran riil yang dapat disediakan pemerintah untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi semakin menurun (Rosegrant et al, 2002).

(25)

peranannya relatif terbatas pada proses produksi yang telah dipilih, peranan air irigasi mempunyai dimensi yang lebih luas. Sumberdaya ini tidak hanya mempengaruhi produktivitas tetapi juga mempengaruhi spektrum pengusahaan komoditas pertanian. Oleh karena itu kinerja irigasi bukan hanya berpengaruh pada pertumbuhan produksi pertanian tetapi juga berimplikasi pada strategi pengusahaan komoditas pertanian dalam arti luas.

Di sisi lain, permintaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, bahkan juga untuk memelihara keberlanjutan fungsi sumberdaya air itu sendiri (misalnya penggelontoran sungai), semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan perluasan perkotaan. Dengan demikian kompetisi penggunaan air antar sektor meningkat.

Resultante dari faktor-faktor tersebut adalah meningkatnya kelangkaan air yang tersedia untuk pertanian. Pemecahan masalah yang diakibatkan oleh meningkatnya kelangkaan itu membutuhkan pendekatan multi disiplin. Hal ini disebabkan penegakan hak-hak atas air (water rights) tidak sepenuhnya dapat dilakukan sehingga pengalokasian secara efisien melalui pendekatan parsial (misalnya dengan mengandalkan prinsip-prinsip ekonomi saja), seringkali sulit diimplementasikan, bahkan di negara-negara maju sekalipun (Hellegers, 2002).

Bagi negara-negara berkembang, meningkatnya kelangkaan sumberdaya air diprediksikan akan menyebabkan turunnya pertumbuhan produksi pangan. Hal ini disebabkan oleh: (1) makin terbatasnya kemampuan untuk melakukan perluasan lahan irigasi karena invesatasi irigasi semakin mahal sedangkan kemampuan anggaran makin terbatas, (2) sumberdaya lahan dan air yang layak dikembangkan untuk pertanian beririgasi makin terbatas, (3) kebutuhan air untuk sektor lain (rumah tangga, industri) semakin tinggi sehingga kompetisi penggunaan antar sektor meningkat, dan (4) pada sistem irigasi yang telah ada, terjadi kemunduran kinerja manajemen sistem irigasi dalam skala yang luas (World Bank, 1993; Oi, 1997; Rosegrant et al, 2002).

(26)

irigasi (Rosegrant et al, 2002, Pasandaran, 2005). Pada tingkat ketersediaan tertentu, produktivitas air irigasi harus ditingkatkan (Molden, 2002; Barker and Kijne, 2001). Sistem pengelolaan irigasi harus diubah dari karakteristik protektif ke karakteristik produktif (Wolter and Burt, 1997). Jika disarikan, orientasi dari semua pendekatan tersebut ternyata konvergen yaitu peningkatan efisiensi irigasi. Dalam konteks itu sebagian besar pakar menyatakan bahwa peningkatan efisiensi irigasi dengan mengandalkan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management) tidak lagi memadai. Seiring dengan meningkatnya kelangkaan sumberdaya air dan kompetisi penggunaan antar sektor, pengelolaan permintaan (demand management) yang berorientasi pada peningkatan efisiensi semakin dirasakan urgensinya (Winpenny, 1994; Grimble, 1999; Rosegrant et al, 2002).

1.2. Rumusan Permasalahan

Di Indonesia pada saat ini ada dua agenda pokok permasalahan yang saling terkait dan perlu segera dipecahkan secara simultan yaitu: (1) peningkatan efisiensi atau produktivitas irigasi dan (2) peningkatan kemampuan petani untuk berkontribusi dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Peningkatan efisiensi irigasi harus dilakukan karena:

1. Air irigasi semakin langka.

2. Potensi untuk meningkatkan efisiensi cukup terbuka karena yang dicapai masih sangat rendah.

3. Dampak positif peningkatan efisiensi irigasi terhadap ketersediaan air untuk kepentingan yang lebih luas akan sangat nyata karena pangsa penggunaan air untuk irigasi sangat besar.

4. Perluasan lahan irigasi baru (new construction) hanya dapat dilakukan dalam skala yang sangat terbatas.

(27)

Sejak sepuluh tahun terakhir ini kinerja ketersediaan air irigasi semakin tidak kondusif untuk mendukung keberlanjutan produktivitas usahatani yang tinggi. Insiden banjir dan kekeringan semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena semakin meluas (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1996; Sumaryanto dan Friyatno, 1999). Menurunnya kinerja irigasi pada umumnya terlihat dari: (1) pada musim kemarau, luas areal layanan irigasi cenderung menyusut dari tahun ke tahun, (2) pada areal yang terairi itu, ketersediaan air yang cukup di musim kemarau cenderung semakin pendek rentang waktunya, dan (3) pada musim hujan hamparan sawah layanan irigasi semakin rentan terhadap banjir. Penyebab utama menurunnya kinerja irigasi adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya.

Memburuknya kinerja jaringan irigasi selain disebabkan oleh disain jaringan irigasi yang tidak tepat (Arif, 1996), juga disebabkan oleh sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau kombinasi dari keduanya (Osmet, 1996). Sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang tidak memadai itu antara lain disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang tersedia. Sebagaimana dinyatakan dalam Syarif (2002), meskipun sejak 1987 anggaran yang disediakan untuk kegiatan O&P mencapai $ 70 – 80 juta/tahun, namun alokasinya sebagian besar (60-85 %) habis untuk membayar gaji pegawai dan biaya administrasi. Sisanya, yakni sekitar (15-40 %) pada umumnya hanya cukup untuk membiayai perbaikan-perbaikan yang bersifat mendesak agar air dapat disalurkan ke tempat yang memerlukan sehingga pemeliharaan rutin seringkali tidak dapat tercukupi.

Penurunan sumber pasokan air irigasi terutama disebabkan oleh menurunnya fungsi sungai yang dicirikan oleh stabilitas debit yang semakin rendah. Hal ini terkait dengan degradasi lingkungan daerah tangkapan air (catchment area) yang ternyata sampai saat ini sulit diatasi.

(28)

Meskipun demikian, mengingat bahwa: (1) air irigasi yang tersedia makin langka, (2) upaya untuk menambah ketersediaannya semakin sulit, dan (3) kompetisi penggunaan sumberdaya air antar sektor semakin tinggi, maka pendekatan tersebut tidak memadai untuk mendorong efisiensi irigasi dan atau produktivitas irigasi. Pendekatan lain yang diharapkan cukup efektif adalah melalui pengelolaan permintaan (demand management).

Strategi untuk meningkatkan efisiensi irigasi melalui pendekatan pengelolaan permintaan dapat ditempuh melalui dua jalur. Jalur pertama adalah melalui maksimisasi output. Artinya, berbasis pada air irigasi yang tersedia diupayakan agar diperoleh output atau pendapatan yang maksimal. Jalur kedua adalah melalui minimisasi input. Artinya, untuk memproduksi sejumlah output tertentu atau memperoleh sejumlah keuntungan tertentu diupayakan agar kuantitas air irigasi yang digunakan diminimalkan. Jika sasaran utama efisiensi irigasi adalah untuk mendukung realokasi air ke sektor lain, maka strategi kedua yang lebih harus diterapkan. Sebaliknya jika realokasi air irigasi ke sektor lain tidak mendesak maka strategi pertama yang harus ditempuh. Mengacu pada kondisi empiris, dapat dinyatakan bahwa bagi Indonesia yang saat ini harus diprioritaskan adalah efisiensi irigasi melalui strategi maksimisasi. Instrumen untuk mendorong efisiensi irigasi dan sekaligus juga kondusif untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi dalam pendekatan pengelolaan permintaan melalui strategi maksimisasi produktivitas itu harus memenuhi kriteria: (1) sesuai dengan azas pengelolan irigasi partisipatif, dan (2) sistem kelembagaannya efisien.

(29)

Penerapan model tersebut membutuhkan kajian melalui pendekatan normatif maupun positif. Pendekatan normatif berupa valuasi air irigasi untuk mengetahui nilai produktivitas marginal atau harga bayangan air irigasi yang selanjutnya dipergunakan untuk merumuskan sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas. Dari pendekatan normatif ini juga dihasilkan pola tanam optimal, yakni pola tanam yang menghasilkan keuntungan usahatani maksimal. Prospek penerapan model tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam mendayagunakan faktor-faktor yang mempengaruhi arah perubahan menuju sosok normatif tersebut. Faktor-faktor positif (kondusif) maupun yang sifatnya negatif terhadap peluang pengembangan diversifikasi usahatani dan tingkat partisipasi petani dalam pembayaran iuran pelayanan irigasi perlu diidentifikasi. Ini dapat dikaji dengan pendekatan positif berdasarkan kondisi empiris di lapangan.

Secara teoritis sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas potensial untuk mendorong efisiensi irigasi. Dalam batas-batas tertentu, dengan menerapkan sistem ini maka jumlah biaya yang harus dikeluarkan petani untuk irigasi adalah proporsional dengan kuantitas air irigasi yang dipergunakan. Oleh karena itu ada insentif untuk meningkatkan efisiensi irigasi dan kondusif untuk mendorong diversifikasi usahatani. Sebaliknya, dengan berdiversifikasi ke komoditas pertanian hemat air maka biaya irigasi yang harus ditanggung petani juga menjadi lebih rendah. Jadi, ada hubungan sinergis antara sistem iuran berbasis komoditas dengan diversifikasi usahatani.

(30)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mempelajari kemungkinan penerapan sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas dan pengembangan diversifikasi usahatani dalam rangka meningkatkan produktivitas air irigasi serta mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan sistem iuran tersebut. Secara rinci tujuan penelitian adalah:

1. Melakukan valuasi air irigasi dan optimasi pola tanam di lahan irigasi.

2. Memformulasikan sistem iuran irigasi berbasis komoditas.

3. Mengkaji prospek penerapan iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas dengan cara tidak langsung melalui estimasi probabilitas petani untuk berdiversifikasi dan kualitas partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk berdiversifikasi dan kualitas partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi.

1.4. Signifikansi Penelitian

Di Indonesia, meningkatnya kelangkaan air irigasi dan implikasinya terhadap sistem pengelolaan irigasi belum memperoleh perhatian yang memadai. Selama ini, sebagian besar penelitian empiris yang telah dilakukan pada umumnya terfokus pada aspek kelembagaan ataupun keteknikan dan orientasinya berkisar pada perbaikan sistem pengelolaan irigasi berbasis pasokan. Penelitian empiris di bidang sosial ekonomi tentang peningkatan efisiensi irigasi dengan pendekatan permintaan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini masih sangat langka.

(31)

1.5. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian merupakan implikasi pendekatan yang digunakan dan sejumlah penyederhanaan yang secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan ketersediaan data. Keterbatasan yang dimaksud adalah:

1. Keterbatasan yang terkait dengan implikasi dari pendekatan yang digunakan untuk valuasi air irigasi dengan pemrograman linier dimana harga-harga masukan maupun harga keluaran usahatani diperlakukan sebagai variabel eksogen. Secara teoritis, model non linier dengan memperlakukan harga-harga tersebut sebagai variabel endogen mungkin lebih sesuai dengan dunia empiris.

2. Keterbatasan yang muncul sebagai implikasi dari pendekatan normatif dan bersifat deterministik sehingga pengaruh acak dari kesalahan pengukuran ataupun galat yang sifatnya stokastik tidak dapat dikaji dengan baik.

3. Keterbatasan yang terkait dengan penyederhanaan tujuan petani. Pemodelan didasarkan atas asumsi bahwa tujuan petani adalah tunggal yaitu memaksimumkan keuntungan usahatani; padahal sangat mungkin tujuan petani dalam berusahatani adalah bersifat jamak.

4. Keterbatasan yang terkait dengan ruang lingkup dalam pemodelan dimana faktor yang diperhitungkan mempengaruhi ketersediaan dan permintaan air irigasi hanya curah hujan. Pengaruh alokasi air untuk pemenuhan kebutuhan lain (industri, kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya) tidak diperhitungkan.

5. Keterbatasan yang terkait dengan disagregasi kebutuhan maupun ketersediaan air irigasi yaitu: (1) disagregasi spatial disederhanakan hanya menjadi tiga sub wilayah irigasi, dan (2) disagregasi temporal adalah bulanan. Secara teoritis, hasil estimasi akan lebih akurat jika tingkat disagregasi lebih rinci.

6. Keterbatasan yang terkait dengan agregasi komoditas. Basis pengagregasian komoditas difokuskan pada keserupaan komoditas dalam konteks kebutuhan tanaman terhadap air irigasi. Implikasinya, mungkin ada sifat-sifat khusus lainnya yang secara teoritis terabaikan.

(32)

1.6. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan positif. Dari pendekatan normatif akan dihasilkan tiga informasi penting yaitu: harga bayangan air irigasi, iuran irigasi berbasis komoditas, dan pola tanam optimal. Dari pendekatan positif akan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi.

Harga bayangan air irigasi bukan hanya berguna untuk menentukan besaran dari iuran irigasi berbasis komoditas. Dalam konteks yang lebih luas, pengetahuan tentang nilai (kelangkaan) ekonomi air irigasi sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Bagi pemerintah, dapat dimanfaatkan dalam merumuskan kebijaksanaan pengelolaan irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya. Bagi petani ataupun masyarakat pada umumnya, pengetahuan tentang nilai kelangkaan air irigasi dapat meningkatkan apresiasi terhadap sumberdaya ini sehingga kondusif untuk mewujudkan sistem pemanfaatan yang sesuai dengan azas-azas efisiensi dan kelestarian.

Selain kondusif untuk meningkatkan produktivitas air irigasi, penerapan iuran irigasi berbasis komoditas juga sangat potensial untuk meningkatkan kemampuan Organisasi Petani Pemakai Air (P3A) dalam membiayai operasi dan pengelolaan irigasi. Oleh karena itu sesuai untuk menjawab tantangan yang dihadapi P3A dalam era pembaharuan pengelolaan irigasi.

Sesuai dengan makna yang terkandung dalam konsep pola tanam, informasi tentang pola tanam optimal menyajikan sosok normatif tentang komoditas pertanian apa, kapan, seberapa banyak, dan dimana sebaiknya diusahakan. Selain itu, pola tanam optimal juga bermanfaat sebagai acuan dalam evaluasi kondisi aktual sehingga arah perbaikan menjadi lebih jelas.

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air untuk Pertanian

Perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya air merupakan salah satu topik yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap strategi pembangunan pertanian, khususnya sub sektor pangan. Hal ini disebabkan: (1) sektor pertanian merupakan pengguna terbesar sumberdaya air, dan (2) pengembangan sumberdaya air untuk pertanian merupakan determinan dari keberhasilan pengembangan produksi pangan. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negara-negara berkembang dalam memacu pasokan pangan bagi penduduknya ditentukan oleh ekskalasi pendayagunaan sumberdaya air, khususnya pengembangan irigasi yang terjadi sejak revolusi hijau mendunia (Rosegrant and Svendsen, 1993; World Bank, 1982; Gleick, 1998; Gleick, 2000; Johansson, 2000).

Latar belakang perubahan paradigma terkait dengan upaya menghindari skenario buruk dari arah perkembangan yang mungkin terjadi apabila kecenderungan permintaan dan ketersediaan air tetap seperti sekarang ini (business as usual). Rosegrant and Hazell (2000) menyatakan bahwa tanpa adanya perubahan yang nyata dalam pengelolaan irigasi, penyediaan pangan di negara-negara berkembang akan sangat rawan karena pasokan air untuk pertanian akan terus berkurang. Hal itu juga terkait dengan fakta bahwa sampai saat ini kemampuan memitigasi anomali perilaku iklim masih belum handal sehingga banjir dan kekeringan masih merupakan salah satu ancaman paling nyata terhadap usahatani (Bouman, 2003; Katumi et al, 2002; Molden, 2002).

2.1.1. Ketersediaan Sumbedaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya

(34)

teknologi memungkinkan peningkatan persentase air yang dapat diekstraksi, diperkirakan bahwa RFW yang tersedia secara relatif tidak akan mengalami perubahan yang sangat besar. Sementara itu populasi dunia yang pada tahun 1998 adalah sekitar 5.93 milyar, diproyeksikan pada tahun 2025 akan mencapai 8.039 milyar dan pada tahun 2050 akan mencapai 9.367 milyar jiwa (World Resources Institute, 1998). Berdasarkan angka-angka itu diperkirakan air tawar yang tersedia pada tahun 1998, 2025 dan 2050 adalah sekitar 6 918, 5 103 dan 4 380 m3 per orang per tahun; yang berarti pasokan air per kapita akan semakin berkurang.

Rata-rata kebutuhan minimum air tawar di negara maju adalah sekitar 1000 m3/tahun. Dengan teknologi dan manajemen yang sangat canggih (seperti di Israel misalnya), bagi negara-negara di wilayah semi-arid kebutuhan itu dapat ditekan menjadi 500 m3/kapita/tahun (Gleick, 1998). Angka 500 m3/kapita/tahun merupakan standard minimal untuk kehidupan (Seckler et al, 1998).

Sejak 30 tahun terakhir ini, perilaku iklim global cenderung berubah. Hal itu berimplikasi pula terhadap ketersediaan air tawar per kapita. Pola sebaran curah hujan antar tempat dan waktu mengalami perubahan-perubahan yang besar. Insiden banjir akibat curah hujan yang ekstrim tinggi terjadi di beberapa wilayah permukaan bumi, sementara itu di sisi lain curah hujan yang sangat sedikit dan musim kering yang berkepanjangan semakin banyak terjadi di berbagai tempat. Meskipun berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, ternyata masih belum memadai untuk secara tepat memprediksi perilaku iklim dalam suatu periode yang cukup untuk melakukan berbagai tindakan mitigasi yang baik.

Diduga perubahan perilaku iklim itu disebabkan oleh peningkatan suhu global yang terkait dengan fenomena efek rumah kaca (greenhouse gases) akibat meningkatnya konsentrasi CO2, gas Methane, Nitrous Oxide, dan CFC-11.

(35)

Distribusi air tawar antar tempat dan antar waktu sangat bervariasi sehingga sebaran manfaat yang dirasakan oleh setiap komunitas juga bervariasi antar tempat dan waktu. Pada tahun 1994, 26 negara mengalami kekurangan pasokan untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk di wilayahnya. Persoalan itu di beberapa negara, terutama di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin kompleks karena dibarengi pula oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi (Gleick, 1998; Postel, 1994).

Meskipun secara agregat ketersediaan air tawar per kapita di Benua Asia di masa mendatang masih melimpah (tahun 2025 diperkirakan masih mencapai 2400 m3/kapita), tetapi di sejumlah negara atau wilayah di benua ini diprediksikan akan mengalami kekurangan air tawar yang serius. Sebagai ilustrasi, pada 2050 ketersediaan air tawar di India adalah sekitar 1207 m3/kapita/tahun; bahkan di Negara Bagian Tamil Nadu diperkirakan hanya sekitar 490 m3/kapita/tahun yang berarti di bawah ambang batas minimum (Seckler et al, 1998).

Di Indonesia, berkurangnya ketersediaan air tawar juga semakin nyata. Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk pertanian seperti di Nusa Tenggara Timur dan beberapa kabupaten di bagian selatan Pulau Jawa sering terjadi. Di beberapa wilayah pedesaan, kegagalan panen akibat kekeringan semakin sering terjadi dan dalam lima belas tahun terakhir kekurangan air irigasi di musim kemarau cenderung semakin dini (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1996). Meluasnya areal irigasi yang keandalan pasokannya menurun juga tampak dari ekskalasi kekeringan akibat pengaruh El Nino, seperti pada kejadian tahun 1997 yang menyebabkan produksi padi anjlok.

(36)

air menjadi 5 kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan aman. Diperoleh kesimpulan bahwa dari seluruh (28) DAS utama di Pulau Jawa ternyata 3 DAS termasuk kategori sangat tinggi, 8 termasuk kategori tinggi, 3 termasuk kategori sedang, 7 termasuk rendah dan hanya 3 yang masih termasuk kategori aman.

Jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Ciri utama DAS kritis adalah kadar sedimen tinggi, perbedaan debit maksimum – minimum sangat tinggi, waktu untuk mencapai permulaan puncak banjir maupun surut kembali sangat cepat. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang diamati terdapat 22 DAS kritis. Tahun 1990, meningkat menjadi 35 DAS yang kritis dan pada tahun 1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS yang kritis bahkan 20 diantaranya terkategorikan sangat kritis. DAS-DAS tersebut terutama berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Proses degradasi terus berlanjut, bahkan makin parah sejak terjadinya krisis ekonomi. Menurut data dari Departemen Kehutanan, pada tahun 2005 terdapat 76 DAS yang kondisinya sangat kritis. Dari jumlah itu, 16 DAS terdapat di P. Jawa dan 60 DAS di luar P. Jawa. Rincian menurut wilayah adalah di Jawa Barat (6), Jawa Tengah (3), Daerah Istimewa Yogyakarta (1), Jawa Timur (6), Sumatera (16), Sulawesi (12), Nusa Tenggara Barat dan Bali (1), Nusa Tenggara Timur (5), Kalimantan (4), Maluku (2), dan Papua (4).

(37)

2.1.2. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air

Air adalah unsur pendukung utama dasar kehidupan. Eksistensi makhluk hidup tergantung pada sumberdaya ini sehingga peranannya sangat strategis. Secara historis, ketersediaan sumberdaya air merupakan salah satu determinan pertumbuhan ekonomi dan wilayah. Dalam konteks ini, peranan sungai sangat besar. Ketika eksploitasi sumberdaya alam belum intensif, sungai merupakan pemasok kebutuhan air paling dominan. Di masa lampau, ketika kondisi debit air sungai masih normal, cukup banyak sungai yang berfungsi pula sebagai jalur transportasi yang murah. Oleh sebab itu secara historis lokasi-lokasi pusat pertumbuhan ekonomi ataupun pusat-pusat peradaban di masa lampau seringkali berada di dekat sungai. Di era modern, meskipun konstelasi nilai dalam pembangunan peradaban mengalami perubahan, sumberdaya air masih tetap berperan besar sebagai determinan keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyak contoh menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negara agraris menghindarkan diri dari ekskalasi kelaparan ditentukan oleh keberhasilan investasi dalam pengembangan sumberdaya air (irigasi).

Peran strategis sumberdaya air tampak pula dari keterkaitannya yang sangat erat dalam kancah konflik. Secara historis, perebutan sumberdaya air sering menjadi obyek pemicu konflik. Sebaliknya, dalam rangka melumpuhkan lawan, (prasarana) sumberdaya air sering dijadikan sasaran penghancuran. Beberapa kasus menonjol dapat disimak misalnya dalam Gleick (1998) sebagai berikut. Dalam penggal waktu antara 3000 SM – 323 SM tercatat ada 15 peristiwa konflik antar negara ataupun antar komunitas yang melibatkan kekuatan militer. Kemudian sejak abad XV – sekarang tercatat ada 37 peristiwa konflik. Dari jumlah itu terdapat 28 peristiwa konflik yang melibatkan kekuatan militer baik dalam bentuk perang (23 kasus) maupun sekedar manuver ancaman (5 kasus).

(38)

IRB (Wolf et al, 1999 dalam Gleick, 2000). Jumlah IRB terbanyak adalah di Benua Afrika. Dari keseluruhan IRB, terdapat 19 IRB dimana jumlah negara pemanfaatnya lebih dari 5 negara per IRB tersebut. Sebagai ilustrasi, di Benua Asia terdapat 5 IRB dengan karakteristik seperti itu yakni: Tarim yang cakupan wilayahnya meliputi suatu kawasan sangat luas yang otoritasnya berada di 7 negara yang berbeda (China, Kyrgizstan, Pakistan, Tajikistan, Kazakhstan, Afganistan, dan India); Ganges/Brahmaputra/Meghna yang mencakup wilayah yang termasuk dalam 6 negara (India, China, Nepal, Bangladesh, Buthan, dan Myanmar); Jordan (Jordania, Israel, Syria, West Bank, Lebanon, dan Mesir); Tigris-Euphrat/Shatt al Arab (Irak, Turki, Iran, Syria, Jordan, dan Saudi Arabia); Mekong (Laos, Thailand, China, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar).

Paradigma yang berkembang pada masa yang lampau, yakni ketika kelangkaan dan degradasi sumberdaya air belum menampakkan sosoknya; adalah bagaimana mengembangkan rekayasa teknik-sosial-budaya dalam rangka mengeksploitasi sumberdaya air sedemikian rupa sehingga kebutuhan terpenuhi. Muatan dimensi lingkungan dalam strategi investasi pengembangan sumberdaya air sangat kurang, dan pendekatannya seringkali mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Fokus sasaran pengembangan adalah bagaimana memaksimalkan keuntungan ekonomi secara agregat dan cenderung bersifat jangka pendek. Strategi pendayagunaan sumberdaya air yang tercipta dari paradigma seperti itu termanifestasikan secara jelas dalam perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan dam-dam raksasa dan sistem irigasi skala besar yang menjadi trend di hampir semua negara berkembang bersamaan dengan berlangsungnya revolusi hijau. Secara ringkas, paradigma tersebut mendorong pengembangan sumberdaya air berbasis pengelolaan pasokan (supply management)

(39)

kasus-kasus tertentu terjadi pemindahan komunitas setempat secara paksa. Di sisi yang lain, keberhasilan peningkatan produksi pangan yang terfokus pada jenis-jenis komoditas pangan tertentu (terutama beras) mendorong pula terjadinya perubahan menu konsumsi masyarakat yang berujung pada meningkatnya ketergantungan yang terlampau tinggi pada komoditas tertentu dan kurang terdiversifikasi. Pada akhirnya yang terjadi – terutama di negara berkembang – adalah perlombaan antara laju pertumbuhan kebutuhan pangan dan laju pertumbuhan pasokan; dimana laju pertumbuhan pasokan semakin melambat seiring dengan degradasi fungsi dam-dam tersebut sebagai akibat dari terabaikannya prinsip-prinsip pelestarian. Di beberapa negara berkembang di wilayah arid dan semi-arid dam-dam raksasa dan sistem-sistem irigasi skala besar itu fungsinya semakin tidak memadai; dan karenanya manfaat investasi tidak sesuai harapan semula (Postel 1992 dalam Gleick, 1998).

Di masa mendatang pengembangan sistem irigasi besar dengan dukungan dam-dam raksasa semakin tidak populer. Alasannya adalah investasi yang dibutuhkan sangat besar, sementara itu berbagai keberatan yang berkaitan dengan efektivitas pembiayaannya, masalah lingkungan, dan gejolak sosial yang timbul akibat pemindahan komunitas lokal tampaknya terlampau kuat untuk dipatahkan oleh argumen yang berpijak pada manfaat ekonomi yang diharapkan dapat dipetik. Dengan kata lain, semakin sulit untuk memperoleh bantuan pinjaman dari lembaga donor internasional apabila suatu negara mengembangkan investasi di bidang sumberdaya air dengan orientasi seperti masa lampau yang umumnya kurang mengedepankan aspek pelestarian lingkungan dan prinsip demokrasi.

(40)

Pada prinsipnya, paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah bagaimana mendayagunakan sumberdaya tersebut secara bijaksana dengan cara mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya alam, hak-hak asasi manusia, demokrasi, dan efisiensi sedemikian rupa sehingga kemakmuran dan keadilan yang tercipta dapat dinikmati oleh semua; untuk generasi sekarang dan generasi mendatang.

Dalam paradigma baru, kuatnya komitmen untuk mengimplementasikan prinsip hak-hak asasi manusia dilandasi pertimbangan bahwa air merupakan unsur utama pendukung kehidupan sehingga akses tiap individu terhadap air harus dapat dijamin. Komitmen tersebut semakin relevan pula untuk mengkondisikan perdamaian mengingat secara empiris di dunia ini terdapat ratusan IRB. Penegasan prinsip demokrasi dan pelestarian sumberdaya alam merupakan konsekuensi logis dari sistem pengelolan sumberdaya alam yang berkelanjutan, sedangkan efisiensi merupakan jawaban terhadap meningkatnya kelangkaan.

Upaya-upaya memasyarakatkan paradigma baru tersebut kepada masyarakat global tidak dapat dipisahkan dari suatu deklarasi yang disebut "Dublin Principle". Pada Bulan Januari 1992, sekitar 500 wakil dari 100 negara, 80 LSM internasional dan berbagai organisasi non pemerintah lainnya bertemu di Dublin, Irlandia dalam rangka persiapan Earth Summit di Rio de Janeiro, Bulan Juni 1992. Pada waktu itu dirumuskan empat pedoman yang terkenal dengan nama "Dublin Principle" yakni: (1) Fresh water is a finite and vulnerable resource, essential to sustain life, development and environtment, (2) Water development and management should be based on a participatory approach, involving users, planners and policy-makers at all levels, (3) Women play a central part in the provision, management and safeguarding of water, and (4) Water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic goods.

(41)

World Bank (WB), International Association on Water Quality (IAWQ), International Water Supply Association (IWSA), United Nations Development Programme (UNDP), The World Conservation Union (WCU), dan The Water Supply and Sanitation Collaborative Council (WSSCC).

Markas besar WWC adalah di Marseilles, Perancis. Lembaga ini dirancang untuk berfungsi sebagai "the world's water-policy thinktank". Salah satu keluaran yang telah dihasilkan forum pertemuan WWC adalah "Vision for Water, Life, and the Environtment" yang sasarannya adalah untuk melakukan analisis dan pengintegrasian berbagai aktivitas terkait yang mempengaruhi kehidupan manusia dan ekosistemnya dan dimaksudkan untuk opsi-opsi kebijakan yang berkenaan dengan pemantapan ketahanan pangan melalui aquakultur, lahan kering, dan pertanian beririgasi, penyediaan pasokan air dan jasa sanitasi, pengelolaan sumberdaya air untuk fungsi-fungsi ekonomi termasuk produksi listrik, dan proteksi lingkungan termasuk kawasan pantai dan lahan basah.

(42)

2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi

Dalam lingkup global, hasil kajian Shiklomanov (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1995 dari total penyadapan (withdrawal) sebesar 3765 Km3/tahun, sekitar 66 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian. Jika ditinjau dari sisi penggunaannya (consumptive use), maka dari total penggunaan sekitar 2329 Km3/tahun, 86 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian1. Laju pertumbuhan kebutuhan sektor non pertanian yang lebih tinggi dari sektor pertanian (terutama untuk kebutuhan rumah tangga memperoleh prioritas utama) dalam 25 tahun menyebabkan pangsa sektor pertanian memang mengalami sedikit penurunan. Meskipun demikian, Shiklomanov memprediksi bahwa penyadapan dan penggunaan sektor pertanian masih akan mencapai 60 – 83 %. Estimasi Seckler et al (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1990 penggunaan air oleh sektor pertanian adalah sekitar 2084 Km3/tahun dan akan mencapai 3376 Km3/tahun; tetapi jika dapat dilakukan peningkatan efisiensi irigasi secara signifikan maka dapat ditekan menjadi 2432 Km3/tahun.

Terdapat dua sumber air yang lazim dimanfaatkan untuk irigasi yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang digunakan untuk irigasi berasal dari air limpasan curah hujan yang selanjutnya mengalir di sungai atau tersimpan dalam cekungan permukaan bumi seperti danau ataupun situ-situ. Air tanah terdiri dari dua kategori yakni yang berada di dalam celah bebatuan di bawah tanah (subsurface water) maupun dalam celah bebatuan yang sepenuhnya jenuh air (groundwater) (Hardjoamidjojo, 1999). Untuk memperoleh pasokan air irigasi dari air permukaan itu dilakukan pengumpulan dan penyimpanan (reservoir) dengan cara membangun waduk, atau dengan cara membendung sungai. Penyadapan air tanah untuk irigasi dilakukan dengan pemompaan. Lazimnya distribusi air irigasi (baik irigasi permukaan maupun air tanah) ke lahan pertanian memanfaatkan daya gravitasi melalui saluran air terbuka ataupun saluran tertutup.

1

(43)

Meskipun hasil estimasi para pakar bervariasi, tetapi ada 2 kesimpulan umum yang konvergen (Seckler et al, 1998; Shiklomanov, 1998). Pertama, penggunaan air masih belum efisien dan lebih rendah dari rata-rata agregat. Kedua, sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (50 – 90 %) dan diperkirakan masih akan tetap dominan sampai seperempat abad ke depan.

Para pakar dari International Water Management Institute (IWMI) mengemukakan bahwa salah satu strategi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi irigasi agar produksi pangan dapat ditingkatkan meskipun sumberdaya air semakin langka adalah dengan cara meningkatkan produktivitas air irigasi (Molden 1997; Molden et al, 2001; Barker and Kijne 2001). Gerakan "more crop per drop" yang dicanangkan oleh International Water Management Institute (IWMI) merupakan salah satu bentuk sosialisasi pendekatan tersebut di atas. Selain itu, diperlukan pula tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menghemat air yang tersedia misalnya dengan cara recycling, perbaikan kehandalan pasokan (reliability in supplies), irigasi tepat jumlah dan tepat waktu (precision on irrigation), aplikasi irigasi berbiaya murah di lahan tadah hujan (low-cost precision irrigation technologies for rain-fed areas), serta adanya dukungan kebijaksanaan, institusi dan sistem insentif untuk efisiensi irigasi (International Water Management Institute – IWMI, 2000).

(44)

drip irrigation jika layak, dan (3) realokasi air ke komoditi pertanian yang bernilai ekonomi bernilai tinggi.

Kini pakar-pakar internasional di bidang pangan dan irigasi semakin tertarik melakukan pengkajian tentang prospek pemanfaatan jenis-jenis tanaman yang hemat air sebagai sumber pangan masa depan. Dalam konteks demikian itu, usahatani padi konvensional cenderung menjadi inferior karena dengan teknologi yang selama ini diaplikasikan, termasuk kategori boros air. Beberapa hasil penelitian, misalnya Pimental et al. (1997) dan Tuong and Bhuiyan (1994) menyebutkan bahwa untuk menghasilkan 1 Kg padi, dibutuhkan air 1900 – 5000 liter. Angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan kebutuhan air untuk kentang, gandum, dan jagung yang masing-masing hanya berkisar pada 500 – 1500, 900 – 2000, dan 1000 – 1800 liter.

Salah satu implikasi pokok perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya adalah perlunya penyesuaian kebijaksanaan dan strategi pengembangan atau pengelolaan sumberdaya tersebut. Ini membutuhkan sejumlah pembaharuan yang seringkali bersifat sangat mendasar karena menyentuh langsung pilar-pilar pokok kerangka hukum (legal framework) yang selama ini dianut oleh suatu negara. Oleh karena itu proses penyesuaian/pembaharuan tersebut tidak mudah dilakukan. Sejumlah resistensi muncul karena khawatir pembaharuan – yang secara empiris memang disponsori oleh lembaga-lembaga internasional dan para pakar dari negara penganut paham liberal/kapitalis – itu pada akhirnya bermuara pada kepentingan kaum kapitalis.

(45)

tahun 2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayan P3A.

Air adalah sumberdaya publik yang sangat vital. Oleh karena itu arah kebijakan di bidang irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan sosial politik. Sebagai contoh, hal ini tampak misalnya dari perbedaan yang terjadi antara strategi dan kebijakan keirigasian dari PP 77/2001 dengan arah dan strategi kebijakan yang dapat dirumuskan jika mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004. Pada PP 77/2001, orientasi untuk mengurangi peranan pemerintah dan meningkatkan kemandirian organisasi petani dalam pengelolaan irigasi lebih jelas dan terarah. Sementara itu, dari UU Nomor 7 Tahun 2004 tersirat bahwa semangat untuk memandirikan petani justru mengendur dan di sisi lain dominasi peranan pemerintah meningkat. Diduga, hal ini merupakan akibat dari kecenderungan untuk menciptakan kebijakan yang populis yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan dinamika politik terjadi sejak era reformasi terjadi di negeri ini.

Jika dikaitkan dengan esensi pokok dari sistem pengelolaan irigasi yang berazaskan efisiensi, pemerataan, keberlanjutan dan kemandirian maka orientasi kebijakan sebagaimana tersirat dalam PP 77/2001 tampaknya lebih sesuai. Berdasarkan justifikasi itu, tinjauan terhadap UU No. 7 Tahun 2004 berikut implikasinya terhadap kebijakan di bidang keirigasian tidak dibahas lebih lanjut. Selain itu, adalah fakta bahwa sampai saat ini proses perumusan kebijakan yang merupakan tindak lanjut UU tersebut belum selesai.

(46)

Jika pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi sebagaimana yang dimaksud dalam PP 77/2001 terwujud maka karakteristik irigasi akan berubah dari irigasi protektif ke arah irigasi produktif. Perbedaan karakteristik antara irigasi protektif dengan irigasi produktif adalah sebagai berikut (Wolter and Burt, 1987):

Tipe pengelolaan sistem irigasi Unsur pembeda

Irigasi protektif Irigasi produktif

1. Tujuan Menyelamatkan tanaman dari kekurangan air akibat

penyimpangan cuaca

Optimum kecukupan air untuk budidaya tanaman

2. Azas manajemen irigasi

Pemerataan perolehan air di seluruh petak yang dilayani

Nilai produktivitas lahan yang memperoleh layanan irigasi

3. Tanaman yang dibudidayakan

Tanaman pangan sebagai bagian dari subsistence farming

Tanaman niaga yang dibutuhkan pasar

4. Orientasi produksi Kepastian usahatani Produksi optimal (keuntungan maksimum) 5. Status air irigasi Sebagai peredam risiko dalam

proses produksi

Sebagai modal usahatani dan sarana produksi 6. Sistem manajemen

yang dikehendaki

Penyebaran air di seluruh petak layanan

Pemberian air dengan produk-tivitas usahatani yang optimal

7. Hak a

Gambar

Gambar 1. Sistematika pendekatan penelitian
Gambar 3.    Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk seluruh komoditas yang tercakup
Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga bayangan air irigasi
Tabel 1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintah daerah diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sebagaimana diamatkan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, yang berbunyi "susunan dan tata

Dengan menggunakan protocol routing OSPF maka jaringan yang saling terhubung tidak akan mengakibatkan looping, dikarenakan ketika jalur utama dan terbaik telah

Ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran berbicara dengan mengunakan media gambar tokoh idola siswa kelas VII B

[r]

tanggapan personal tentang buku yang dibaca juga dibuat sebagai pilihan (tidak diwajibkan). Pemberian tugas seperti membuat ringkasan cerita akan menghilangkan sifat kegiatan

Berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Dengan ini strategi yang dapat digunakan pada PT AJS Bumiputera, KPS Medan yaitu

Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kebersihan, Ketertiban, dan Keindahan diharapkan mampu menjadi payung hukum terkait masalah kebersihan

Apabila Perseroan tidak dapat atau terlambat menerbitkan Sertifikat Jumbo Obligasi dan/atau memberi instruksi kepada KSEI untuk mengkreditkan Obligasi pada