• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketersediaan Sumbedaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya Diperkirakan bahwa ketersediaan air tawar terbarukan (renewable fresh

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Ketersediaan Sumbedaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya Diperkirakan bahwa ketersediaan air tawar terbarukan (renewable fresh

water - RFW) di bumi ini adalah sekitar 47000 Km3/tahun. Dari jumlah itu, sekitar 41000 Km3 diantaranya potensial untuk dieksploitasi/didayagunakan. Kebutuhan manusia saat ini berkisar antara 38 – 64 % dari jumlah potensial tersebut (Gleick, 1998). Walaupun dalam jangka panjang berbagai kemajuan

teknologi memungkinkan peningkatan persentase air yang dapat diekstraksi, diperkirakan bahwa RFW yang tersedia secara relatif tidak akan mengalami perubahan yang sangat besar. Sementara itu populasi dunia yang pada tahun 1998 adalah sekitar 5.93 milyar, diproyeksikan pada tahun 2025 akan mencapai 8.039 milyar dan pada tahun 2050 akan mencapai 9.367 milyar jiwa (World Resources Institute, 1998). Berdasarkan angka-angka itu diperkirakan air tawar yang tersedia pada tahun 1998, 2025 dan 2050 adalah sekitar 6 918, 5 103 dan 4 380 m3 per orang per tahun; yang berarti pasokan air per kapita akan semakin berkurang.

Rata-rata kebutuhan minimum air tawar di negara maju adalah sekitar 1000 m3/tahun. Dengan teknologi dan manajemen yang sangat canggih (seperti di Israel misalnya), bagi negara-negara di wilayah semi-arid kebutuhan itu dapat ditekan menjadi 500 m3/kapita/tahun (Gleick, 1998). Angka 500 m3/kapita/tahun merupakan standard minimal untuk kehidupan (Seckler et al, 1998).

Sejak 30 tahun terakhir ini, perilaku iklim global cenderung berubah. Hal itu berimplikasi pula terhadap ketersediaan air tawar per kapita. Pola sebaran curah hujan antar tempat dan waktu mengalami perubahan-perubahan yang besar. Insiden banjir akibat curah hujan yang ekstrim tinggi terjadi di beberapa wilayah permukaan bumi, sementara itu di sisi lain curah hujan yang sangat sedikit dan musim kering yang berkepanjangan semakin banyak terjadi di berbagai tempat. Meskipun berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, ternyata masih belum memadai untuk secara tepat memprediksi perilaku iklim dalam suatu periode yang cukup untuk melakukan berbagai tindakan mitigasi yang baik.

Diduga perubahan perilaku iklim itu disebabkan oleh peningkatan suhu global yang terkait dengan fenomena efek rumah kaca (greenhouse gases) akibat meningkatnya konsentrasi CO2, gas Methane, Nitrous Oxide, dan CFC-11. Beberapa pakar menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi dan durasi El Nino berkaitan dengan meningkatnya suhu global (Trenberth and Hoar, 1996). Pada sektor pertanian, El Nino berdampak negatif karena mengacaukan proses dan siklus produksi pertanian. Secara umum anomali perilaku iklim cenderung berdampak negatif terhadap semua aspek kehidupan karena kemampuan untuk mengantisipasi dan memitigasi anomali tersebut pada umumnya kurang memadai.

Distribusi air tawar antar tempat dan antar waktu sangat bervariasi sehingga sebaran manfaat yang dirasakan oleh setiap komunitas juga bervariasi antar tempat dan waktu. Pada tahun 1994, 26 negara mengalami kekurangan pasokan untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk di wilayahnya. Persoalan itu di beberapa negara, terutama di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin kompleks karena dibarengi pula oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi (Gleick, 1998; Postel, 1994).

Meskipun secara agregat ketersediaan air tawar per kapita di Benua Asia di masa mendatang masih melimpah (tahun 2025 diperkirakan masih mencapai 2400 m3/kapita), tetapi di sejumlah negara atau wilayah di benua ini diprediksikan akan mengalami kekurangan air tawar yang serius. Sebagai ilustrasi, pada 2050 ketersediaan air tawar di India adalah sekitar 1207 m3/kapita/tahun; bahkan di Negara Bagian Tamil Nadu diperkirakan hanya sekitar 490 m3/kapita/tahun yang berarti di bawah ambang batas minimum (Seckler et al, 1998).

Di Indonesia, berkurangnya ketersediaan air tawar juga semakin nyata. Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk pertanian seperti di Nusa Tenggara Timur dan beberapa kabupaten di bagian selatan Pulau Jawa sering terjadi. Di beberapa wilayah pedesaan, kegagalan panen akibat kekeringan semakin sering terjadi dan dalam lima belas tahun terakhir kekurangan air irigasi di musim kemarau cenderung semakin dini (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1996). Meluasnya areal irigasi yang keandalan pasokannya menurun juga tampak dari ekskalasi kekeringan akibat pengaruh El Nino, seperti pada kejadian tahun 1997 yang menyebabkan produksi padi anjlok.

Prediksi Soenarno dan Syarif (1994) menunjukkan bahwa secara agregat air yang tersedia pada tahun 1995 diperkirakan masih lebih tinggi dari pada kebutuhan (122 697 versus 63 720 juta m3/tahun). Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut ternyata ada 3 tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah mengalami defisit (kebutuhan lebih tinggi dari ketersediaan) yaitu di DAS Cisadane-Ciliwung (3 406 vs 4 471 juta m3/tahun), DAS Citarum Hilir (6 619 vs 7 670 juta m3/tahun), dan DAS Brantas Hilir (4 637 vs 4 788 juta m3/tahun). Kajian tersebut juga membuat pemilahan DAS utama di Jawa berdasarkan tingkat kekritisan sumber

air menjadi 5 kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan aman. Diperoleh kesimpulan bahwa dari seluruh (28) DAS utama di Pulau Jawa ternyata 3 DAS termasuk kategori sangat tinggi, 8 termasuk kategori tinggi, 3 termasuk kategori sedang, 7 termasuk rendah dan hanya 3 yang masih termasuk kategori aman.

Jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Ciri utama DAS kritis adalah kadar sedimen tinggi, perbedaan debit maksimum – minimum sangat tinggi, waktu untuk mencapai permulaan puncak banjir maupun surut kembali sangat cepat. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang diamati terdapat 22 DAS kritis. Tahun 1990, meningkat menjadi 35 DAS yang kritis dan pada tahun 1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS yang kritis bahkan 20 diantaranya terkategorikan sangat kritis. DAS-DAS tersebut terutama berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Proses degradasi terus berlanjut, bahkan makin parah sejak terjadinya krisis ekonomi. Menurut data dari Departemen Kehutanan, pada tahun 2005 terdapat 76 DAS yang kondisinya sangat kritis. Dari jumlah itu, 16 DAS terdapat di P. Jawa dan 60 DAS di luar P. Jawa. Rincian menurut wilayah adalah di Jawa Barat (6), Jawa Tengah (3), Daerah Istimewa Yogyakarta (1), Jawa Timur (6), Sumatera (16), Sulawesi (12), Nusa Tenggara Barat dan Bali (1), Nusa Tenggara Timur (5), Kalimantan (4), Maluku (2), dan Papua (4).

Degradasi sumberdaya air tidak hanya teramati dari menurunnya fungsi sungai, tetapi juga menyangkut kondisi air tanah (groundwater). Di beberapa lokasi yang intensitas penggunaan pompa irigasinya sangat padat (Nganjuk, Jombang, Kediri), derajat interferensi sumur pompa dengan sumur penduduk semakin meningkat. Di perkotaan, debit dan mutu air sumur penduduk semakin menurun. Di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sebagaimana sering diberitakan di berbagai media massa, lebih dari 80 % sumur penduduk telah tercermar bakteri E. Colli. Di Bandung, seretnya aliran air PDAM di musim kemarau dan semakin dalamnya permukaan air sumur sudah sejak lama diketahui. Di Kalimantan, pada Musim Kemarau di beberapa kawasan Sungai Barito dan Sungai Sampit semakin sering dijumpai adanya beberapa perahu yang kandas karena susut volume air sungai melampui ambang batas normal. Kesemuanya itu menunjukkan bukti-bukti bahwa ketersediaan sumberdaya air semakin langka.