• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.2. Formulasi Fungsi Tujuan, Kendala, dan Asumsi Dalam Pemodelan Dengan asumsi bahwa peranan air irigasi dalam usahatani merupakan Dengan asumsi bahwa peranan air irigasi dalam usahatani merupakan

4.2.2. Kendala Sumberdaya

Dalam konteks spatial, terdapat dua kategori sumberdaya yaitu: (1) bersifat spesifik wilayah, dan (2) bersifat lintas wilayah. Suatu sumberdaya dikategorikan bersifat spesifik wilayah jika mobilitas spatialnya sangat kecil atau nol, dan dikategorikan bersifat lintas wilayah jika mobilitas spatialnya sangat tinggi. Sifat lintas wilayah dapat dipilah lebih lanjut: (1) satu arah (misalnya air irigasi), dan (2) dua arah (misalnya tenaga kerja). Dalam penelitian ini ada 4 macam sumberdaya yang tercakup sebagai kendala dalam maksimisasi keuntungan usahatani yaitu lahan, air irigasi, modal, dan tenaga kerja. Rincian masing-masing kendala tersebut adalah sebagai berikut.

4.2.2.1. Lahan

Kendala sumberdaya lahan bersifat spesifik wilayah karena mobilitas spatialnya dianggap nol. Dalam model yang diterapkan pada penelitian ini terdapat dua jenis kendala yaitu: (1) ketersediaan sumberdaya, dan (2) definisi. Lahan yang tersedia adalah luas lahan sawah yang berada dalam cakupan layanan irigasi (command area). Kendala definisi berupa persamaan yang mengekspresikan persyaratan bahwa aktivitas pada waktu t dapat dilakukan jika aktivitas pada waktu t-1 telah selesai siklusnya sehingga ada lahan yang tersedia. Ketersediaan sumberdaya lahan di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 12 321 hektar, 28 904 hektar, dan 27 362 hektar.

4.2.2.2. Air Irigasi

Secara teoritis kendala air irigasi tidak bersifat spesifik lokal per Sub DAS karena pasokan air irigasi di Sub DAS hulu (yang lebih atas) mempengaruhi pasokan air irigasi di Sub DAS yang lebih bawah dalam suatu yang sifatnya hubungan rekursif. Mengingat bahwa model merupakan penyederhanaan dan abstraksi dunia nyata (Sinaga, 1997) maka model yang baik harus semaksimal mungkin dapat merefleksikan kondisi empiris.

Secara empiris, alokasi spatial air irigasi pada Sistem Irigasi Teknis DAS Brantas menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management – SM) dengan pendekatan sistem jatah. Di sisi lain, pada penelitian ini alokasi

spatial air irigasi menggunakan pendekatan pengelolaan permintaan yang dimodifikasi (modified demand management – MDM) yang dalam penelitian dianggap relevan sebagai transisi dari pendekatan SM ke pendekatan DM (demand management). Sebagaimana dijelaskan di muka, data yang dibutuhkan dalam pendekatan MDM ada dua jenis yaitu: (1) kuantitas air irigasi yang dapat digunakan sebagai perkiraan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS, dan (2) ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub DAS.

Data tersebut diperoleh dari data "Dasarian" yang tercatat di Seksi-seksi Cabang Pengairan dimana blok-blok tertier contoh berlokasi. Agar representatif untuk menggambarkan kondisi "normal" maka yang digunakan adalah rata-rata pasokan air irigasi dari data deret waktu selama 10 tahun terakhir. Pada data yang tersedia, satuannya adalah dalam liter per detik per hektar yang dalam penelitian ini dikonversikan dalam m3/bulan. Ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub DAS tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di masing-masing Sub DAS Brantas

(106 m3/Bulan)

Air irigasi yang tersedia di setiap wilayah contoh*) Kebutuhan minimum**) Bulan

Sub DA Hulu (12 321 Ha)

Sub DAS Tengah (28 904 Ha)

Sub DAS Hilir (27 362 Ha)

Hulu Tengah Hilir

Oktober 26.188 – A10 21.499 + c10.A10– B10 17.907 + g10.B10 11.391 24.405 23.091 November 29.655 – A11 31.918 + c11.A11– B11 26.958 + g11.B11 15.184 34.918 32.142 Desember** 41.406 65.560 61.862 - - -Januari** 42.622 68.342 63.572 - - -Februari** 41.131 64.716 61.251 - - -Maret** 39.174 60.390 56.905 - - -April** 35.957 52.347 49.529 - - -Mei** 31.792 43.304 42.772 - - -Juni 31.405 – A6 34.745 + c6.A6– B6 31.822 + g6.B6 16.673 38.919 36.591 Juli 26.684 – A7 22.423 + c7.A7– B7 18.749 + g7.B7 12.236 26.490 23.907 Agustus 26.077 – A8 21.205 + c8.A8– B8 17.862 + g8.B8 11.600 24.542 23.280 September 25.186 – A9 20.491 + c9.A9– B9 16.498 + g9.B9 10.665 23.438 21.656 Keterangan:

At = air yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah pada waktu-t

ct = efisiensi penyaluran At dimana ct < 1

Bt = air yang ditransfer dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir pada waktu-t

gt = efisiensi penyaluran Bt dimana gt < 1

* = sebagian ditransfer ke wilayah lain

** = estimasi kebutuhan minimum air irigasi untuk Bulan Desember – Mei tidak diperlukan karena secara empiris air irigasi tidak menjadi pembatas.

4.2.2.3. Modal Tunai Untuk Usahatani

Modal tunai dibutuhkan untuk membeli sarana produksi, membayar tenaga kerja upahan, menyewa lahan (jika lahan garapannya berstatus sewa), dan sebagainya. Sewa lahan ternyata bervariasi, ada yang per musim tanam ataupun per tahun (lintas musim tanam). Untuk sewa lahan yang sifatnya lintas musim tanam diasumsikan nilai sewa antar musim adalah sama sehingga nilai sewa per hektar per musim tanam sama dengan total nilai sewa lahan dibagi dengan frekuensi pengusahaannya (musim tanam).

Secara empiris modal tunai merupakan salah satu kendala yang dihadapi petani dalam berusahatani. Petani yang kemampuan permodalannya sangat terbatas cenderung menerapkan pola tanam yang hemat kapital. Oleh karena itu partisipasi petani miskin dalam mengusahakan komoditas-komoditas bernilai ekonomi tinggi pada umumnya sangat rendah karena pengusahaan komoditas seperti itu cenderung padat modal meskipun sebenarnya secara potensial dapat memberikan keuntungan yang lebih besar.

Data tentang ketersediaan modal tunai usahatani pada suatu wilayah tidak dapat digali secara langsung sehingga perlu diestimasi dengan pendekatan tidak langsung. Dalam estimasi itu diperlukan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan kondisi empiris dan kerangka pikir teoritis.

Kondisi empiris yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan metode estimasi antara lain adalah:

1. Sebagian besar petani mengandalkan cara swadana untuk memenuhi kebutuhan modal usahataninya. Hal ini antara lain disebabkan akses petani terhadap lembaga perkreditan formal pada umumnya sangat rendah. Di pihak lain lembaga perkreditan formal di pedesaan pada umumnya lebih tertarik melayani kredit untuk usaha non pertanian seperti industri kerajinan rakyat, perdagangan, ataupun jasa-jasa lainnya.

2. Oleh karena sebagian besar petani mengandalkan sumber permodalan untuk usahatani dari modal sendiri maka kemampuan permodalan usahatani tergantung pada pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Jadi, kemampuan permodalan berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita.

3. Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usahatani tetapi juga berasal dari bekerja dan atau berusaha pada kegiatan non usahatani seperti berburuh tani, berburuh/bekerja di sektor non pertanian (termasuk pula jika yang bersangkutan menjadi pegawai swasta/negeri), berdagang, usaha industri kecil, dan lain sebagainya; bahkan termasuk pula kiriman dari anggota rumah tangganya yang bekerja di kota/luar negeri sebagai migran sirkuler.

4. Dalam mengalokasikan pendapatan rumah tangga tidak ada pemilahan eksklusif. Dengan demikian, anggaran yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan modal usahatani tidak hanya berasal dari penerimaan usahatani.

5. Sebagian besar petani yang tidak dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya cenderung meminjam dari petani lainnya (sebagai implikasi dari definisi petani maka pedagang saprodi atau pedagang hasil-hasil pertanian juga merupakan anggota populasi petani jika mereka mengelola usahatani).

6. Dalam transaksi kredit, faktor yang berpengaruh adalah lokasi (jarak). Petani mengandalkan sumber pinjaman dari petani lain yang lokasinya lebih dekat.

Terkait dengan ketersediaan modal tunai untuk usahatani tersebut diasumsikan bahwa:

1. Jika air irigasi tidak menjadi kendala maka pola tanam yang diterapkan hanya dibatasi oleh modal yang tersedia.

2. Pengetahuan dan kemampuan teknis petani dalam berusahatani homogen.

3. Mobilitas modal usahatani dalam satu Sub DAS sempurna, sedangkan antar Sub DAS mobilitasnya dianggap nol karena jarak antar Sub DAS relatif jauh (Peta wilayah pada Lampiran 3).

4. Jika petani tidak dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya maka sumber pinjaman yang dapat diakses adalah dari petani lain yang tidak miskin.

5. Petani contoh yang dijadikan responden mewakili populasi petani di lokasi penelitian.

Berdasarkan pertimbangan kondisi empiris (butir 1 sampai 6) dan asumsi (butir 1 sampai 5) tersebut di atas maka maksimum modal usahatani yang tersedia

dapat diproksi dari rata-rata biaya per hektar yang dikeluarkan oleh petani yang berada di atas garis kemiskinan pada usahatani di persil-persil lahan sawah yang tidak mengalami kendala air irigasi. Dengan demikian dapat dipresentasikan sebagai berikut: R R R R L G C M   dimana  R

M modal tunai usahatani yang tersedia di Sub DAS R contoh

R

C rata-rata modal usahatani per tahun yang dikeluarkan petani tidak miskin (di atas garis kemiskinan) pada persil-persil sawah garapan di Sub DAS R contoh yang tidak mengalami kendala air irigasi.

R

G rata-rata luas sawah garapan tersebut pada CR

R

L total luas sawah di Sub DAS R contoh

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah petani tidak miskin yang menguasai persil-persil sawah garapan dengan pasokan air irigasi cukup (air irigasi tidak menjadi kendala) di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing adalah 37, 22, dan 34 %. Rata-rata luas garapan maupun rata-rata biaya usahatani tunai yang dikeluarkan pada persil-persil lahan sawah tersebut dapat disimak pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin untuk usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi

Jumlah petani Rata-rata biaya usahatani (Rp.103/Th) Wilayah

n (%)

Garapan (Ha)

( = GR ) Total ( = CR ) Per hektar

Sub DAS Hulu 44 36.67 0.826 5 949.8 7 203.2

Sub DAS Tengah 44 22.00 1.447 10 712.6 7 403.3

Sub DAS Hilir 55 34.38 1.038 7 473.7 7 200.1

Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, maka perkiraan modal tunai untuk usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS adalah sama dengan hasil pembagian kolom 5 dengan kolom 4 pada Tabel 5 dikalikan dengan luas lahan sawah di masing-masing Sub DAS tersebut. Hasil estimasi modal tunai usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

Modal tunai yang tersedia (Rp.106/Th)

Wilayah Total luas

sawah (Hektar) Total Per Hektar

Sub DAS Brantas Hulu 12 321 88 747.1 7.203

Sub DAS Tengah 28 904 213 988.4 7.403

Sub DAS Hilir 27 362 196 998.8 7.200

4.2.2.4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dipilah menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja manusia dan tenaga kerja mesin. Tenaga kerja manusia dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua jenis yaitu pria dan wanita. Dalam penelitian ini diasumsikan substitusi tenaga kerja manusia antar kategori adalah sempurna sehingga tenaga kerja wanita yang tersedia dapat dikonversikan dalam unit pengukuran untuk tenaga kerja pria. Faktor konversi adalah perbandingan total tingkat upah (termasuk upah dalam bentuk natura) tenaga kerja wanita terhadap total tingkat upah tenaga kerja pria.

Ketersediaan tenaga kerja manusia diestimasi dengan cara berikut. Langkah pertama adalah menentukan populasi rumah tangga yang bekerja dalam aktivitas usahatani. Diasumsikan bahwa rumah tangga yang bekerja di usahatani hanya terdiri dari dua: (1) rumah tangga petani, dan (2) buruh tani murni. Langkah kedua, mengestimasi pasokan tenaga kerja per rumah tangga untuk aktivitas usahatani yang diproksi dari rata-rata jumlah tenaga kerja per rumah tangga yang bekerja dan atau membantu bekerja di usahatani. Oleh karena tenaga kerja rumah tangga juga dialokasikan pada kegiatan di luar usahatani lahan sawah, maka rata-rata Hari Orang Kerja (HOK) yang tersedia per musim tanam untuk usahatani di lahan sawah diasumsikan sama dengan pangsa HOK pada usahatani di lahan sawah terhadap total HOK rumah tangga yang dicurahkan untuk seluruh aktivitas ekonomi dikalikan dengan 90 (asumsi HOK efektif per musim tanam). Bobot untuk anggota rumah tangga usia kerja yang statusnya bekerja di usahatani adalah satu, sedangkan yang statusnya membantu bekerja adalah setengah.

Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa mobilitas spatial tenaga kerja adalah sempurna. Di sisi lain, fakta memperlihatkan bahwa di pedesaan terdapat variasi musiman dalam ketersediaan tenaga kerja, terutama tenaga kerja manusia.

Hal ini disebabkan adanya migrasi tenaga kerja ke kota yang sifatnya musiman. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pada penelitian ini ketersediaan tenaga kerja tidak dipilah menurut Sub DAS tetapi hanya dipilah berdasarkan musim tanam. Terkait dengan potensi intensitas tanam yang dapat diterapkan, di wilayah pertanian beririgasi teknis dikenal tiga musim tanam yaitu: (1) Musim Tanam (MT) I yang umumnya berlangsung pada periode Oktober – Januari, (2) MT II (Februari – Mei), dan (3) MT III (Juni – September). Selain itu, meskipun sesungguhnya tidak akurat Musim Tanam I seringkali juga disebut usahatani Musim Hujan (MH), sedangkan MT II dan MT III masing-masing disebut pula usahatani Musim Kemarau-1 (MK-1) dan Musim Kemarau-2 (MK-2).

Populasi rumah tangga petani di masing-masing region diestimasi dari data primer, sedangkan estimasi populasi rumah tangga buruh tani murni diperoleh dari data sekunder yang dikumpulkan dari desa-desa lokasi penelitian dengan sejumlah penyesuaian. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

3 1 R Rm m TKTAN TKTAN dimana: Rm R R Rm Rm TKWTAN UPAHP UPAHW TKPTAN TKTAN   

 

m Rm Rm R R R R Rm HOKEF HOKPTOT HOKPUSH JARPBK JARPK l L TKPTAN   0.5  

 

m Rm Rm R R R R Rm HOKEF HOKWTOT HOKWUSH JARWBK JARWK l L TKWTAN   0.5   dimana:

TKTANRm = jumlah tenaga kerja untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia

TKPTANRm = jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia

TKWTANRm = jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia

LR = luas lahan sawah di Sub DAS R

R

l = rata-rata luas pemilikan sawah di Sub DAS R

R

R

JARPBK = rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria berstatus membantu kerja

R

JARWK = rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita yang bekerja

R

JARWBK = rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita berstatus membantu kerja

Rm

HOKPUSH = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk usahatani

Rm

HOKPTOT = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk kegiatan ekonomi

Rm

HOKWUSH = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani

Rm

HOKWTOT = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani

m

HOKEF = jumlah hari orang kerja (HOK) efektif per musim (sebagaimana dijelaskan di atas adalah 90 HOK) R = 1, 2, dan 3 masing-masing melambangkan Sub DAS Brantas Hulu Sub DAS Brantas Tengah, dan Sub DAS

Brantas Hilir.

m = 1, 2, dan 3 masing-masing adalah MH, MK-1 dan MK-2 Di lapangan, tenaga kerja mesin yang paling penting adalah untuk kegiatan pengolahan tanah. Berdasarkan pertimbangan itu, dalam penelitian ini tenaga kerja mesin yang diperhitungkan adalah traktor. Estimasi ketersediaan tenaga kerja traktor didasarkan atas data dan atau informasi yang diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lokasi Penelitian (Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Sidoarjo). Berdasarkan data dan informasi yang tersedia, dapat diestimasi kapasitas kerja (pengolahan) dari traktor yang tersedia. Satuan kapasitas olah adalah dalam hektar. Konversi ke satuan Hari Kerja Traktor (HKT) dilakukan dengan cara mengalikan kapasitas kerja tersebut dengan rata-rata kebutuhan per hektar tenaga kerja traktor untuk pengolahan tanah. Hasil estimasi ketersediaan tenaga kerja mesin dan tenaga kerja manusia tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Ketersediaan tenaga kerja di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000

Kategori Tenaga kerja Satuan MT I (MH) MT II (MK-1) MT III (MK-2) 1. Manusia 103 HOKP 12 300.5 12 291.4 11 201.9 2. Mesin (Traktor) 103 HKT 193.0 193.0 193.0

HOKP = Hari Orang Kerja (setara) Pria (rata-rata 8 jam kerja per hari) HKT = Hari Kerja Traktor (rata-rata 10 jam kerja per hari)