• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alam Semesta

B. Yerusalem Baru

VI. Integrasi Teologi Penciptaan

Dibuka dengan penciptaan langit dan bumi, Alkitab ditutup dengan “langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu” (Kej. 1-2; Why. 21-22). Kebaruan digambarkan dengan keadaan tanpa laut dan gelap (Why. 21:1, 25; bdk. Kej. 1:2). Kalimat pertama Pengakuan Iman Rasuli “aku percaya kepada Allah, Bapa yang mahakuasa, khalik

117 langit dan bumi” bukan ungkapan kristologis-soteriologis, melainkan pengalimatan ulang Kejadian 1:1. Yang menjadikan langit dan bumi juga identitas Bapa yang disapa Yesus (Seitz, 177-90).

the faith of the Christian church is not built upon Jesus of Nazareth who had a Jewish background, but its faith is directed to God, the God of Israel, Creator of the world, the Father of our Lord Jesus Christ. (Childs 1970, 217)

Kendati demikian, di antara gereja-gereja dalam praktiknya terfokus pada tema-tema keselamatan (kristologi, soteriologi, eklesiologi) secara dikotomis. Keselamatan jiwa (individual) ditekankan dengan mengabaikan teologi penciptaan (karena dipandang sebagai bentuk lain teologi alam). Penciptaan tak penting pada dirinya sendiri, hanya pendukung aktivitas Tuhan dalam sejarah (menyelamatkan manusia, mengarahkan jalan sejarah agar sesuai rencana-Nya). Tema keselamatan di luar horizon penciptaan yang hanya menjadi sarana atau panggung tindakan penyelamatan dari Tuhan. Tak hanya kontras dengan wahyu umum, wahyu khusus juga superior.

Ada yang memandang tema penciptaan dalam PL sebagai unsur asing (bukan bagian integral dari iman Ibrani), bagian kepercayaan orang Kanaan. Unsur alam dari kepercayaan Kanaan diadopsi orang Israel dan menjadi teologi penciptaan, tetapi inti iman Israel tetap Yahwisme atau keselamatan dalam arti pemilihan bapak leluhur, Eksodus, Perjanjian Sinai, kelahiran Israel sebagai umat, dan pemberian tanah. Tuhan pertama-tama dan terutama Penyelamat, bukan Pencipta. Penciptaan dibaca dalam konteks relasi Tuhan (yang menebus) dengan Israel (yang ditebus). Sebelum 1970, jarang sekali teolog Kristen menerima penciptaan sebagai unsur integral iman Ibrani (Simkins, 1f).

Gereja pun lebih nyaman melangsungkan diskursus penciptaan dari perspektif teologi sistematika, bukan teologi PL, sampai muncul perhatian serius untuk teologi penciptaan yang alkitabiah.71

71 Bdk. Bellinger; Brueggemann 1996A.

118 Gerhard von Rad juga mendikotomikan alam dan wahyu.72 Meski tak mempersoalkan Israel mengimani Tuhan lebih dulu sebagai Penyelamat atau Pencipta, baginya tema penciptaan mendukung tema keselamatan. Memang basis kitab-kitab hikmat adalah teologi penciptaan, tetapi tiada rujukan peristiwa-peristiwa keselamatan dalam kitab-kitab itu. Karena itu, para ahli PL pernah menganggap hikmat PL diadopsi dari tradisi Mesir, bukan bagian integral iman Ibrani, hanya respons Israel kepada Tuhan. Von Rad pun membahas hikmat PL secara terpisah dalam buku lain, bukan sebagai bagian dari magnum opus teologi PL-nya. Subordinasi teologi penciptaan mengaburkan signifikansi hikmat.

Sejak von Rad, Ulangan 26:5-9 sering disebut sebagai teks kredo paling awal orang Israel bahwa Tuhan dengan tangan kuat telah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir.73 Itulah peran besar Tuhan dalam sejarah umat (Barth, II.12). Tema penciptaan hanya pelengkap dan penjelasan bagi tema keselamatan (Barth, I.26-29). Namun, konteks (Ul. 26:1-11) tampaknya tak mendukung pembacaan teks itu sebagai kredo (Craigie 1976, 321). Umat Israel mempersembahkan hasil pertama panen sekaligus mengakui Tuhan telah membawa mereka keluar dari Mesir untuk masuk ke “tanah yang dijanjikan”.74 Dengan mempersembahkan hasil pertama panen, mereka tidak melupakan Tuhan (Ul. 8:11-20; 32:15-18), mengakui Tuhan sebagai sumber kesuburan tanah dan pemilik sejati seluruh hasil tanah (Tigay, 237f). Itulah inti monoteisme.

Tuhan diakui berkuasa baik di balik realitas sejarah maupun hasil tanah, menolak klaim seperti dalam kepercayaan orang Kanaan bahwa kesuburan tanah adalah domain eksklusif Ba‘al. Alih-alih

72 von Rad, I.136-53; 1984, 53-64.

73 von Rad, I.122, 297; 1966A, 3-8. Kredo (Lat. credo “aku percaya”), kata pertama Pengakuan Iman Rasuli (Kredo Nicea), adalah genre Kristen untuk serangkaian keyakinan iman yang paling dasar.

74 Frasa “tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah [kepada nenek moyangmu]” hanya empat kali dalam PL (Ul. 11:9, 21; 28:11; 30:20 ha’adama

’ašer nišba‘ yhwh; bdk. Ibr. 11:9). Tak seperti frasa “tabut perjanjian” (’aron habběrit), terjemahan “tanah perjanjian” tak dipakai PL karena tak sesuai konstruksi bahasa Ibraninya dan juga agar tak menjadi sebuah nama tanah yang sekali dimiliki seterusnya jadi milik.

119 kredo yang tiada hubungannya dengan realitas sejarah, teks itu, seperti dijelaskan Aerled Cody, merupakan memori kolektif bangsa dalam bentuk ritual (anamnesis).

Claus Westermann (1974, 3f) mengkritik subordinasi teologi penciptaan dan penekanan berlebihan pada keselamatan jiwa.

Teologi yang terlalu menekankan keselamatan (pengampunan, pembenaran) memosisikan manusia berurusan dengan Tuhan hanya dalam soal keselamatan jiwa. Tuhan dianggap tak peduli dengan pemanasan global. Itulah kritik Westermann terhadap pemahaman teologis bahwa Tuhan melakukan apa saja untuk keselamatan jiwa tetapi tak peduli dengan dunia. Akibatnya, sains modern menguasai dunia sebagai wilayah yang ditinggalkan iman, mendesak Sang Pencipta ke luar dari wilayah itu, bahkan dengan klaim “Allah sudah mati” atau kata “Allah” sudah tak bermakna lagi. Padahal, Sang Pencipta peduli dunia. Dengan melihat tema penciptaan sebagai bagian integral iman Ibrani, Westermann (1982) menentang kategori teologi either-or model von Rad. Meski Westermann memandang penciptaan dan keselamatan berasal dari tradisi teologis yang sama, kedua tema itu dilihatnya selalu dalam ketegangan dan penyelamatan dibedakan dari penciptaan. Rolf Rendtorff, setelah lama berpandangan sama seperti von Rad, berbalik mengkritik gurunya itu dan mempromosikan keutamaan teologi penciptaan.75

Ada sikap ambigu PL terhadap alam (baik tetapi bisa menyusahkan), meski secara keseluruhan sikapnya positif.

Beberapa mazmur dan bagian kitab-kitab hikmat mengangkat tema keindahan alam. Tuhan juga sering digambarkan dengan metafora alam. Iman Ibrani juga terkait sejarah, kontras dengan agama-agama kuno lain di Timur Tengah yang ahistoris. Alih-alih dipuja, alam dalam PL memang punya tempat penting, sebab langit dan bumi adalah ciptaan Tuhan, sekaligus “yang empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya”

(Mzm. 24:1). Meski dosa merusak tata cipta, Tuhan mengadakan perjanjian dengan Nuh (representasi umat manusia) untuk memelihara tata cipta seberapa pun rusaknya, sebuah perjanjian

75 Rendtorff 1993, 92-113; 2005, 721-24.

120 yang berlaku turun-temurun secara universal (Kej. 9). Sejarah keselamatan mulai dengan panggilan kepada Abraham (Kej. 12), tetapi diletakkan sesudah sejarah penciptaan (Kej. 1-11). Dengan asumsi ciptaan sudah rusak karena dosa, keselamatan merupakan penciptaan kembali, pemulihan tata cipta sesuai desain awal penciptaan. Penciptaan merupakan horizon keselamatan. Dalam cara pikir kuno Timur Tengah, tata cipta meliputi hukum-hukum dalam dunia alam, moral, dan politik, semua itu terkait satu sama lain. Efek pelanggaran hukum moral berdampak pada alam (kekeringan, kemarau) atau politik (ancaman musuh). Dipandang dari perspektif keselamatan, kerusakan tata cipta dipulihkan melalui hukuman. Keselamatan berurusan dengan keutuhan hidup. Kata Ibrani ṣedeq atau ṣědaqa berkonotasi keselamatan secara komprehensif, seperti halnya kata Jerman Heil dalam korelasinya dengan adjektiva heil (sehat, harmonis, sempurna, menyeluruh). Mengimani Sang Pencipta sekaligus Sang Penopang tata cipta seharusnya sebuah tema penting dalam teologi biblika, apalagi umat PL dan PB menghayati hidup mereka dari perspektif itu. Karena itu, dunia sehari-hari menjadi horizon berteologi biblika. Dengan penciptaan sebagai tema integral PL, kajian tentang hikmat mendapat perhatian serius. Alih-alih pepatah kuno, hikmat PL ketika diamalkan menjamin harmoni dengan tata cipta.

Alkitab memakai gambaran monarkis-organis untuk relasi Tuhan-dunia. Gambaran monarkis menekankan diskontinuitas (transendensi Tuhan sebagai penyebab dan bukan bagian dari dunia). Gambaran organis menekankan kontinuitas (relasi timbal balik Tuhan-dunia). Para teolog PL tradisional cenderung menekankan gambaran monarkis, meski gambaran organis lebih menonjol dalam PL (Fretheim, 35). Dunia tak hanya bergantung pada Tuhan tetapi dalam arti tertentu Tuhan juga bergantung pada dunia. Dunia tak hanya sebagai efek Tuhan ada tetapi dalam arti tertentu efek dunia ada berpengaruh pada cara berada Tuhan. Tuhan yang mahakuasa membatasi kekuasaan-Nya dengan memberi kuasa dan kebebasan kepada manusia. Tuhan transenden tetapi tak terisolasi dalam relasi-Nya dengan dunia.

Tuhan tahu semua yang harus diketahui-Nya tentang dunia,

121 tetapi tidak harus tahu sesuatu yang tidak harus diketahui-Nya.

Sebagai penguasa waktu dan sejarah, Tuhan memilih untuk dibatasi waktu dan sejarah. Kesatuan relasional Tuhan-dunia membentuk relasi otentik antara manusia dan Tuhan, komitmen dari kedua belah pihak untuk melepaskan sebagian dari miliknya demi relasi seperti itu. Komitmen mengandaikan pembatasan kebebasan. Kebebasan sebelum dan sesudah komitmen tidak sama. Ketika Tuhan berjanji melakukan sesuatu, dengan sendirinya janji itu membatasi tindakan yang akan dilakukan-Nya. Ia akan melakukan apa yang dijanjikan-dilakukan-Nya. Ia selalu setia sebab melakukan sesuatu yang melanggar janji-Nya sendiri adalah bertentangan dengan diri-Nya (2Tim. 2:13).

Tidak seperti filsafat yang mendefinisikan penciptaan secara abstrak (keniscayaan logika), penciptaan dalam PL untuk diimani.

Eksklusivitas Tuhan tak berarti dikotomi (menerima yang satu berarti menolak yang lain) antara wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum merefleksikan kesempurnaan dan hikmat Tuhan (Yer. 10:12; Mzm. 104:24). Hidup dalam dunia yang relatif teratur, dengan musim-musim dan hukum-hukum alam, iman manusia dapat terarah kepada Sang Pencipta (Mzm. 19:2; Rm.

1:20), tetapi tidak otomatis, karena itu diperlukan wahyu khusus (dalam sejarah Israel dan diri Yesus). Subordinasi teologi penciptaan tak sesuai karakteristik mite kuno Timur Tengah.

Yang menjadikan langit dan bumi disembah dengan berbagai sebutan. Di Kanaan, El dikenal sebagai “bapak umat manusia”,

“pencipta semua makhluk”, atau “pencipta bumi” (Waschke, 575f). Di Mesir, dewa matahari (Amon, Re, Aton/Atum) dikenal sebagai pencipta alam semesta dan manusia. Di Mesopotamia, Enlil, Marduk, atau dewa-dewa lain biasa disebut “pencipta langit dan bumi”. Mite memaknai realitas penting di luar akal dengan penjelasan nonilmiah (bdk. Schmid), biasanya dinarasikan ulang dalam ritual, paling sering Perayaan Tahun Baru (menandai awal perjalanan hidup pada tahun yang baru, kesuburan alam), bukan terutama untuk mengenang sepak terjang para dewa di alam mite, melainkan untuk menghadirkan daya cipta baru yang memperbarui kehidupan komunitas atau memulihkan tata cipta.

122 Dalam perspektif mite, wajarlah narasi penciptaan sebagai bagian integral iman Ibrani.

Mengingat proses rumit komposisi PL, tak bisa dipastikan apakah iman Ibrani lebih dulu mengimani Tuhan sebagai Pencipta atau Penyelamat. Tema penciptaan berkelindan dengan tema keselamatan (Childs 1986, 32f). Dikotomi keduanya tak berlaku dalam Nyanyian Ratapan Komunal dan Nyanyian Puji-pujian bertema penciptaan atau keselamatan (Clifford 1992). Dalam Mazmur 136, misalnya, pemazmur merayakan Tuhan itu baik (ay. 1 ki-ṭob), alusi untuk evaluasi baik Tuhan atas hasil ciptaan-Nya (Kej.

1:4, 10, 12, 21, 25, 31 ki-ṭob). Seorang diri dilakukan-Nya

“keajaiban-keajaiban besar” (ay. 4), yakni penciptaan alam (ay. 5-9) dan keselamatan Israel (ay. 10-22).76 Penciptaan (dari tohu wabohu ke tata cipta) merupakan sebentuk ḥesed Tuhan (memelihara perjanjian), kasih setia yang tiada berkesudahan.

Alih-alih subordinasi teologi penciptaan, PL memperlihatkan tema penciptaan penting dan mendahului tema keumatan (Dyrness, 48). Pertama, teks-teks terkait kelahiran Israel meminjam kosakata penciptaan.77 Lima teks PL memakai qnh untuk Tuhan menciptakan (Kej. 14:19, 22; Ul. 32:6; Ams. 8:22;

*Mzm. 139:13). Bani Israel yang selamat menyeberangi Laut Teberau disebut “umat yang Kauperoleh” (Kel. 15:16 qnh), yang Kaulahirkan dalam arti yang Kaujadikan. Beberapa teks puisi lain juga menggambarkan Tuhan qnh Israel (Mzm. 74:2; 78:54; Yes.

11:11). Tak heran relasi Tuhan-Israel memakai metafora relasi orang tua dengan anaknya (Kel. 4:22 “anak-Ku yang sulung”).

Berdasarkan prinsip metafora (gagasan konkret mendahului gagasan abstrak), gagasan primer qnh dalam bahasa-bahasa Semit adalah melahirkan dan gagasan sekundernya adalah memperoleh, bandingkan seperti kata Inggris beget dan get.78 Kedua, penciptaan pada awal Kitab Taurat mengindikasikan semua hal selanjutnya dibaca dari perspektif penciptaan. Ketiga,

76 TB memulai setiap ayat dengan huruf besar, sementara beberapa versi Alkitab lain memulai ay. 10 dengan huruf kecil (“kepada Dia yang memukul mati anak-anak sulung Mesir”), menandai ayat itu dan seterusnya merupakan kelanjutan ay. 9 (N/RSV, NIV).

77 Durham, 208; kontra Lipiński, XIII.59.

78 Stadelmann, 6; bdk. Lipiński, XIII.60f.

123 penebusan Israel dari pembuangan dilihat dari perspektif penciptaan (Otzen, 263). Yang menjadikan (‘ośe) Israel juga yang menebusnya (Yes. 54:5 go’el).

124

5 Manusia

26wayyo’mer ’elohim na’aśe ’adam bĕṣalmenu kidmutenu wĕyirdu ... ‘al-ha’areṣ

27wayyibra’ ’elohim ’et-ha’adam bĕṣalmo bĕṣelem ’elohim bara’ ’oto zakar unĕqeba bara’ ’otam

28wayĕbarek ’otam ’elohim wayyo’mer lahem ’elohim pĕru urĕbu umil’u

’et-ha’areṣ wĕkibšùha urĕdu ... ‘al-ha’areṣ

26Allah berfirman

“Marilah Kita menjadikan manusia menurut gambaran dan rupa Kita supaya mereka berkuasa ... di bumi

27Allah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya menurut gambaran Allah diciptakan-Nya dia laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka

28Allah memberkati mereka dan Allah berfirman kepada mereka

“Beranakcuculah ... bertambahlah banyak … penuhilah bumi ...

taklukkanlah dan berkuasalah ... di bumi.” (Kej. 1:26-28)

Meski hanya sedikit sekali disinggung (Kej. 1:26-27; 5:1; 9:6), tema manusia tercipta menurut gambaran Allah menjadi ajang spekulasi teologis karena Alkitab tak mendefinisikan gambar Allah yang dimaksud. Menurut seorang teolog Yahudi, gambar Allah tidak merujuk kebertubuhan Tuhan (seperti pada patung sembahan), melainkan persepsi intelektual manusia (Maimonides, 13f).

Menurut seorang teolog sistematika, jiwa manusia merupakan pusat kedudukan gambar Allah yang representasinya dalam bentuk hati nurani, kebenaran asal, akal, benih kekekalan, perasaan moral, dan kapasitas untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Semua kapasitas spiritual manusia merefleksikan kemuliaan Tuhan, sekaligus membuatnya berbeda dari dan mengungguli hewan, kemuliaan yang tak lagi terpancar sesudah kejatuhan ke dalam dosa (Calvin, I.I.XV.3-4). Menurut seorang teolog PL, gambar Allah merujuk kesadaran diri dan kapasitas manusia untuk mengambil keputusan (Eichrodt, II.122-34).

125 I. Menurut Citra Allah

“Ya, mengapalah di dunia masih ada orang yang menamakan manusia ini makhluk yang tertinggi?” (Pramoedya, Mereka yang Dilumpuhkan, 91)

TB “gambar” untuk kata Ibrani ṣelem (LXX eikon;1 Ing. image) bisa berarti tiruan sesuatu yang dibuat dengan alat tulis. TB

“rupa” untuk děmut (LXX homoiosis; Ing. likeness) bisa berarti penampakan lahiriah, roman muka, bentuk, atau wujud, memberi kesan Tuhan berciri fisik. Distingsi antara tercipta menurut ṣelem dan děmut Allah pun berkembang dalam tafsir (Wenham 1987, 29), sehingga yang pertama merujuk kualitas kodrati manusia (nalar, kepribadian, emosi, dst.) dan yang kedua merujuk kualitas adikodratinya (moral atau yang membuatnya seperti Tuhan).

Kata Ibrani ṣelem memang untuk rupa konkret (*1Sam. 6:5

“tiruan”; Yeh. 23:14 “gambar”; Bil. 33:52; 2Raj. 11:18 “patung”;

bdk. Rm. 1:23 eikon “gambaran”), tetapi dua kali dipakai dalam arti bayangan (Mzm. 39:7; 73:20, NAB). Arti kata děmut (2Taw.

4:3 “gambar”) lebih seragam untuk keserupaan (Yes. 40:18

“serupa”; Yeh. 1:26; 23:15 “menyerupai”; 2Raj. 16:10 “bagan”), sebab verbanya dama juga berarti begitu (Mzm. 102:7

“menyerupai”; Kid. 2:9 “serupa”). Kitab Kejadian memakai kedua kata tersebut sebagai pasangan kata tanpa urutan tetap untuk manusia (Kej. 1:26 bĕṣalmenu kidmutenu; 5:3 bidmuto kĕṣalmo), tetapi yang dipakai bisa salah satunya saja (Kej. 1:27 bĕṣelem

’elohim; 5:1 bidmut ’elohim). Distingsi kedua kata tersebut asing bagi Kitab Kejadian, untuk tidak mengatakannya sebagai sinonim (Berkhof, 202f), dan mungkin děmut ditambahkan untuk

1 Dalam PB, manusia disebut “rupa (homoiosis) Allah” (Yak. 3:9), tetapi jauh lebih sering untuk Yesus “gambaran (eikon) Allah” (2Kor. 4:4), “gambar (eikon) Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15), “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud (charakter tes hupostasis) Allah” (Ibr. 1:3), “rupa (morphe) Allah” (Flp. 2:6), sebagai penyataan sempurna (Kol. 2:9 “dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keilahian”), penyataan definitif (Ibr. 1:1-2 “setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya”). Tak seorang pun pernah melihat Tuhan, tetapi Yesus “menyatakan-Nya” (Yoh. 1:18; bdk. 14:9). Mereka yang di dalam Kristus dimaksudkan untuk “serupa dengan gambaran (eikon) Anak-Nya, supaya Ia ... menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm.

8:29).

126 menerangkan nuansa persis ṣelem dalam konteks ini (Wenham 1987, 30), mencegah identifikasi ṣelem Allah sebagai sesuatu yang konkret (Preuss, III.259). Di lingkungan non-Katolik, lebih populer terjemahan “gambar Allah”, sementara di lingkungan Katolik sudah lama pemakaian ungkapan “citra Allah” (Lat. imago Dei) yang menurut hemat saya juga lebih tepat. Manusia tercipta menurut citra Allah adalah gambaran tentang manusia karena keterhubungannya dengan Allah tanpa keserupaan dengan Allah dalam arti apa pun.

Kesan bahwa manusia serupa Tuhan memang sengaja dihindari Kitab Kejadian dengan pemakaian preposisi kě (“menurut”) dan bě (5:3 bidmuto kěṣalmo “menurut rupa dan gambarnya”), dua preposisi bukan sinonimi tetapi dapat ditukarpakaikan (Wenham 1987, 28f, 127), untuk menegaskan kesesuaian dengan suatu standar.2 Preposisi bě pada běṣalmenu (ay. 26, 27 běṣalmo) bukan beth essentiae (menerangkan jenis), manusia bukan (dalam kapasitas) citra Allah, hanya tiruannya.3 Biasanya beth essentiae menjelaskan ciri subjek, tetapi di sini ciri objek verba bara’. Monoteisme PL tak memberi ruang untuk gagasan keserupaan kodrati manusia dengan Tuhan. Dengan manusia tercipta menurut citra Allah, tertutup deifikasi (pengilahian) manusia. Pemazmur mengakui keistimewaan manusia yang tercipta “hampir sama seperti Allah ... betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm. 8:6, 10), tetapi Sang Penciptalah (bukan manusia) yang sedang dimuliakan.

Secara sintaktis, kohortatif na‘aśe (“marilah Kita menjadikan”) mengindikasikan keinginan kuat untuk menjadikan manusia (bdk. Kej. 11:7 nerda wĕnabla), diikuti yusif wĕyirdu menyatakan tujuan (“supaya mereka berkuasa”) manusia dijadikan (von Rad 1972, 59f). Tercipta menurut citra Allah didefinisikan secara fungsional, bukan substansial, agar manusia

2 IBHS, 203; bdk. 2Raj. 11:14; 2Taw. 30:16; Mzm. 51:3.

3 Wenham 1987, 32; Hamilton 1990, 136f. Konstruksi paling dekat dengan Kejadian 1:26-27 adalah Kemah Suci dibuat “menurut (bě) contoh yang telah ditunjukkan” Tuhan kepada Musa (Kel. 25:40; bdk. Kel. 6:3 bě’el šadday

“sebagai Allah Yang Mahakuasa”).

127 berkuasa atas bumi4. Kontras dengan tradisi-tradisi kuno Timur Tengah yang hanya memandang raja sebagai representasi dewa di bumi (Eskenazi and Weiss, 8). Berkuasa atas bumi merupakan konsekuensi manusia tercipta menurut citra Allah. Tentunya untuk itu, manusia harus memiliki berbagai kapasitas hidup (intelektual, estetis, moral, spiritual, dst.). Dengan begitu, definisi substansial citra Allah dalam teologi sistematika dapat dipandang sebagai pelengkap definisi fungsional tercipta menurut citra Allah.

Tradisi gereja membaca “kita” sebagai rujukan paling awal Trinitas dalam PL (Calvin, I.I.XIII. 24). Atau, tiga person Tuhan dibaca tanpa hierarki dan secara kooperatif menciptakan manusia sebagai komunitas harmonis dalam kesetaraan gender (bdk. J. Johnson). Secara linguistik, kekitaan Tuhan bisa menyatakan kebesaran-Nya (bandingkan pada akhir surat pribadi penulis menyebut “hormat kami”), tetapi plural of majesty tak lazim dalam bahasa Ibrani. Philo membaca “kita” sebagai Tuhan dalam dewan ilahi dikelilingi para malaikat sebagai lawan bicara-Nya, semacam panteon versi Israel (Sarna 1989, 12). Ada kecenderungan teologi biblika kontemporer memaknai sufiks jamak pada ’elohim (Allah) sebagai rujukan untuk dewan ilahi (Dever, 263). Namun, manusia tercipta menurut citra gabungan (Tuhan dan makhluk-makhluk surgawi) bertentangan dengan monoteisme PL yang tegas memisahkan antara Tuhan dan non-Tuhan. Perlu dipertimbangkan plural of deliberation yang menggambarkan kekitaan itu sebagai dialog batin Tuhan yang terungkap dalam suatu keputusan.5 Kekitaan Tuhan dalam Kitab Kejadian selalu dalam momen menentukan bagi eksistensi manusia (1:26 menjelang diciptakan; 3:22 menjelang diusir dari Taman Eden; 11:7 menjelang diceraiberaikan). Tampaknya fungsi cara ungkap itu untuk menandai batas ontologis antara (transendensi, keberlainan) Tuhan dan manusia, ketika manusia merasa seperti atau bisa menyaingi Tuhan (bdk. Eslinger).

4 Langit pada masa Alkitab baru menjadi objek kekaguman dan refleksi teologis (bdk. Mzm. 8:4-5), belum sebagai objek eksplorasi antariksa.

5 GKC, § 124g2; Trible 1978, 13, 15.

128 II. Kedudukan Manusia di Alam

Apabila kodrat manusia menurut mite-mite Sumeria dan Babilonia adalah pelayan dewa yang menjadikannya, kodrat manusia tercipta menurut citra Allah adalah berkuasa atas alam, menegaskan kedudukannya yang unik di alam. Kekuasaan seorang raja di luar wilayah kerajaannya pada waktu itu biasanya ditandai dengan panji kerajaan di wilayah taklukan, bisa juga dalam bentuk gambar, patung, atau simbol lain, pokoknya merepresentasikan kerajaan penakluk. Manusia juga representasi kehadiran Tuhan di bumi dan perlu menaklukkan alam untuk kelangsungan dan kemajuan hidupnya, bukan dalam kapasitas sebagai penguasa alam (bdk. Mzm. 24:1), ungkapan yang terlalu maskulin (bdk. Kej. 3:16), melainkan sebagai sahabat alam, penatalayannya (bdk. Hall), mitra Tuhan.6 Sejak 1970-an, alam sudah menjadi salah satu tema penting dalam teologi biblika.

Dalam prinsip antropik7 yang dicetuskan astrofisikawan teoritis Brandon Carter (1973), takdir manusia adalah saksi alam, untuk mengagumi keindahan dan kemegahannya. Berhadapan dengan mikrokosmos, pemazmur berseru, “Ajaib apa yang Kaubuat dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mzm. 139:14), begitu juga berhadapan dengan makrokosmos.

Sembahan dalam politeisme diidentifikasi dengan fenomena alam. Alam bernuansa magis. Hutan, bahkan pohon, ada penunggunya dan karena itu tidak boleh diganggu. Namun, PL memaknai alam sebagai terpisah dan sangat berjarak dari Tuhan (bdk. Assmann). Alam dan Tuhan terhubung hanya dalam penciptaan. Manusia juga sangat berjarak dari alam sehingga bisa berkuasa atasnya. Dua verba terkait manusia berkuasa atas alam (rada “berkuasa”; kabaš “menaklukkan”) pada dasarnya sinonim.

Verba rada (+ preposisi bĕ) paling banyak dikaitkan dengan raja berkuasa, dalam beberapa contoh memerintah atau menaklukkan dengan paksa (1Raj. 9:23//2Taw. 8:10 “memerintah”; *Yes. 14:6

“menginjak-injak”; *41:2 “menaklukkan”). Dalam beberapa ayat, kabaš juga berarti menundukkan dengan paksa seperti dalam

6 F. Schaeffer, 69; Preuss, III.259.

7 Alam semesta ada sebagaimana mestinya agar dapat memungkinkan penciptaan manusia sebagai pengamat.

129 pemerkosaan (Est. 7:8; Yer. 34:16). Bahasa penaklukan dipakai narasi penciptaan untuk menggambarkan kerasnya upaya menyelidiki dan mengeksplorasi alam, mempelajari hukum-hukumnya dan memberlakukannya dalam teknologi. Eksplorasi.

Yes! Eksploitasi. No! Harmoni tata cipta tidak hanya menggoda manusia untuk bersusah payah menguak misteri alam, tetapi juga menaklukkannya. Penaklukan menjadi bagian alam bawah sadar manusia modern, termasuk model berteologinya. Alam ada untuk ditaklukkan. Dalam esainya yang terkenal tentang akar sejarah krisis lingkungan (1967), Lynn White, ahli sejarah Abad Pertengahan, mengakui agama Kristen telah mendorong perkembangan ilmu dan teknologi di Barat tetapi harus dibayar mahal dengan eksploitasi alam sehingga menuduhnya sebagai agama paling antroposentris. Harvey Cox (h. 19-21) juga menuduh PL melegitimasi eksploitasi alam. Sebagai ganti sikap

Yes! Eksploitasi. No! Harmoni tata cipta tidak hanya menggoda manusia untuk bersusah payah menguak misteri alam, tetapi juga menaklukkannya. Penaklukan menjadi bagian alam bawah sadar manusia modern, termasuk model berteologinya. Alam ada untuk ditaklukkan. Dalam esainya yang terkenal tentang akar sejarah krisis lingkungan (1967), Lynn White, ahli sejarah Abad Pertengahan, mengakui agama Kristen telah mendorong perkembangan ilmu dan teknologi di Barat tetapi harus dibayar mahal dengan eksploitasi alam sehingga menuduhnya sebagai agama paling antroposentris. Harvey Cox (h. 19-21) juga menuduh PL melegitimasi eksploitasi alam. Sebagai ganti sikap