• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Asma Tuhan

III. Nama Yesus

Dalam literatur intertestamental Yahudi, nama YHWH tak disebut langsung melainkan dengan sebutan-sebutan pengganti seperti Yang Mahakuasa, Yang Kudus, Tuhan, atau Nama Itu (Newman, 603). Dalam gereja PB yang masih kental dengan keyahudian, nama YHWH juga tak disebut. Untuk kutipan teks PL yang mengandung nama itu, para penulis PB cukup memakai ungkapan Yunani ho theos (Mat. 4:4Ul. 8:3 “Allah”), kurios (Ul. 6:4

 Mrk. 12:29 “Tuhan”), atau kurios ho theos (Kis. 3:22  Ul. 18:15;

Why. 4:8  Yes. 6:3; 22:5  Yes. 60:19; 19:6  Mzm. 93:1, 97:1, 99:1

“Tuhan Allah”).

Ada indikasi jemaat PB Kristen-Yahudi mengalihkan status YHWH kepada Yesus Kristus. Kali pertama pewahyuan nama YHWH, dalam teofani di Gurun Sinai, frasa Yunani ego eimi sejajar dengan kata Ibrani ’ehye (Kel. 3:14).

’ehye ’ašer ’ehye ... ’ehye šĕlaḥani ’alekem (TM)

ego eimi ho on ... ho on apestalken me pros humas (LXX)

Dalam PL, terutama Deutero-Yesaya, frasa ego eimi (LXX; ’ani hu’;

TM ’ani hu’) adalah identifikasi diri YHWH sejajar dengan frasa

50 Ibrani.42 Dalam PB, frasa itu menjadi identifikasi diri Yesus terutama di hadapan orang Yahudi (bdk. Ball). Frasa ego eimi dalam tujuh ujaran Yesus dalam arti tertentu merujuk YHWH (Morris 1971, 365).43 Karena itu, alih-alih mewartakan nama YHWH, jemaat di Yerusalem mewartakan Yesus, “nama ... yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis. 4:12), “nama di atas segala nama ... dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit ... di atas bumi ... di bawah bumi” (Flp. 2:9-10). Gereja tetap mengakui YHWH sebagai Tuhan, tetapi objek penyembahannya kini Yesus. Keutamaan Yesus dihubungkan dengan nama Iesous (Yun.), yang umum dipakai di lingkungan Yahudi Palestina abad pertama. Yosefus mencatat setidaknya 19 orang dengan nama itu (Grant, 869). Nama Ibrani Yesus adalah yĕhošu‘a (Yos. 1:1 “Yosua”; LXX Iesous), artinya

“YHWH keselamatan” atau “YHWH (akan) menyelamatkan” (bdk.

Mat. 1:21 “... engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka”).

Sebagai orang Yahudi, Yesus tak pernah menyatakan diri keluar dari agama Yahudi. Sosok dan pengajaran-Nya tak bisa dilepaskan dari agama leluhur padanya Ia berakar kuat. Ia sama sekali tak bermasalah dengan otoritas PL (bdk. Mat. 5:21, 27, 31, 33, 38, 43

“kamu telah mendengar firman ...”). Para penulis PB memahami kelahiran dan kehadiran-Nya sebagai realisasi janji-janji Tuhan kepada umat PL, membuktikan kesetiaan Tuhan menyertai manusia, memberkati semua suku bangsa. Oleh orang Yahudi pada zaman-Nya, Yesus dipanggil “rabi” (Ibr. rabbi)44 yang berarti guru (Yoh. 1:38).45 Rabi bukan panggilan untuk jabatan formal melainkan panggilan terhormat untuk ahli Taurat yang layak jadi panutan.

42 Yes. 41:4; 43:10, 13; 46:4 “Aku tetap Dia”; 48:12 “Akulah yang tetap sama”;

52:6 “Akulah Dia”; 43:25 ’anoki ’anoki hu’ “Aku, Akulah Dia” (LXX ego eimi ego eimi); Ul. 32:39 ’ani ’ani hu’ “Aku, Akulah Dia” (LXX ego eimi).

43 Yoh. 6:35; 8:12; 10:9, 11; 11:25; 14:6; 15:5 “Akulah roti hidup ... terang dunia ... pintu ... gembala yang baik ... kebangkitan dan hidup ... jalan dan kebenaran dan hidup ... pokok anggur”; ego eimi (“Akulah Dia”) saja dalam 4:26; 8:24, 28; 13:19; 18:5-6, 8; Mrk. 13:6; 14:62; bdk. Luk. 13:19.

44 Oleh para murid (Mat. 26:25, 49; Mrk. 9:5; 11:21; 14:45; Yoh. 1:49; 4:31; 9:2;

11:8), orang banyak (Yoh. 6:25), ahli Taurat dan orang Farisi (Yoh. 8:4; 3:2 Nikodemus).

45 Dua kali Yesus disapa dengan sebutan “rabuni” oleh Maria Magdalena (Yoh.

20:16) dan Bartimeus yang buta (Mrk. 10:51), sebuah varian sebutan tanpa perbedaan signifikan (Lohse, VI.964).

51 Yesus mengkritik para ahli Taurat dan orang Farisi yang suka dihormati dan dipanggil rabi (Mat. 23:7).

Sebagai rabi (ahli Taurat), Yesus tidak dalam posisi membatalkan hukum Taurat yang dianggap sempurna oleh orang Yahudi melainkan menggenapinya.

janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan (kataluo) hukum Taurat atau kitab para nabi ... melainkan untuk menggenapinya (pleroo) ... sesungguhnya selama belum lenyap (parerchomai) langit dan bumi ini, satu iota46 atau satu titik pun tidak (ou me) akan ditiadakan (parerchomai) dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi; siapa yang meniadakan (luo) salah satu perintah hukum Taurat ... dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga;

tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga. (Mat. 5:17-19)

Padanan Ibrani untuk kata Yunani pleroo adalah qiyyam (Yeh. 13:6

“menggenapi”; Mzm. 119:106 “menepati”; ay. 28 “meneguhkan”).

Penidakan dengan partikel ingkar ganda Yunani ou me menegaskan hukum Taurat tetap berlaku bagi Yesus (kemudian juga bagi para murid-Nya yang Yahudi). Kunci nas ini adalah kata Yunani kataluo

“meniadakan” (TB) atau “menghapuskan” (BIMK). Kata kataluo dipakai dalam arti “(me)lenyap(kan)” dalam konteks gerakan sosial (Kis. 5:38-39). Padanan akar Semitnya adalah bṭl dalam bahasa Ibrani (Pkh. 12:3 “berhenti”) atau Aram (Ezr. 4:21, 23

“menghentikan”; 4:24 “terhenti”; 5:5 “berhenti”; 6:8 “bertangguh”).

Makna dasarnya adalah berhenti (menjadi tak efektif). Sesudah kanon tanakh terbentuk, akar bṭl sering dipakai dalam tafsir hukum Taurat. Apabila tafsir hukum Taurat tepat, barulah isi hukum itu terlaksana (diteguhkan, digenapi). Apabila tafsir tak tepat, isi hukum tak terlaksana. Hukum tak efektif, sama seperti tidak ada hukum. Nuansa kataluo ini hilang dalam versi terjemahan Alkitab (Young 1995, 264-69). Yesus ketika di bumi menggenapi hukum Taurat melalui kehidupan dan pengajaran-Nya yang sesuai hukum

46 Iota huruf terkecil alfabet Yunani, tetapi di sini maksudnya yod huruf terkecil alfabet Ibrani.

52 Taurat (Morris 1992, 108). Kalaupun Ia terlibat polemik dengan ahli Taurat dan orang Farisi, itu karena Ia sedang memberikan alternatif tafsir (Mat. 5:21-48). Ia mengkritik mental legalistis para pemuka agama pada waktu itu yang berlindung di balik pelaksanaan hukum (benar secara prosedural), tetapi abai jiwa hukum yakni keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan, “yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat. 23:23). Karena Yesus tidak hanya melaksanakan hukum tetapi juga menjiwainya dengan kasih,

“kegenapan (pleroma) hukum Taurat” (Rm. 13:10). Injil Matius secara keseluruhan menekankan hukum Taurat dan pelaksanaannya (perbuatan baik) yang berarti kesalehan (Holwerda, 113-45). Syarat masuk Kerajaan Surga adalah kesalehan seperti dimiliki ahli Taurat dan orang Farisi (Mat. 5:20)47 dan melakukan kehendak Bapa di surga, bukan bernubuat dalam nama Yesus, mengusir setan, atau melakukan mukjizat (Mat. 7:21-23).

Itulah kehidupan yang mengutamakan Kerajaan Surga serta kebenarannya (Mat. 6:33), berbuat baik hingga orang lain memuliakan Bapa di surga (Mat. 5:16), menjadi sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48). Kerajaan Surga dimiliki bangsa yang menghasilkan “buah kerajaan” (Mat. 21:43), “menjalankan perintah-perintah Allah” (BIMK).

Sekalipun seratus persen Yahudi dan tak pernah menyatakan diri keluar dari agama leluhur, Yesus, para murid dan penulis PB tidak lagi menyebut nama YHWH sebagai konsumsi publik. Praktik keagamaan itu sejalan dengan tradisi Yahudi yang sudah berlangsung beberapa abad sebelum mereka dan juga setelah itu.

Alih-alih menyangkal agama leluhur, mereka menafsir ulang dalam realitas perjanjian yang baru yang diinisiasi Yesus. Karena itu, janggal sikap sebagian orang Kristen masa kini yang lebih Yahudi daripada Yesus, para rasul, para penulis PB, dan jemaat Kristen-Yahudi abad pertama.

Gerakan kembali ke akar Yahudi dalam bentuk penyebutan nama YHWH sebenarnya inkonsisten, mengecam tradisi yang tak menyebut nama itu, yang justru konsisten dengan tradisi Yahudi (Wahyu, 198f). Ini juga sebuah kegagalan sebagian orang Kristen

47 Yosefus membandingkan ketatnya disiplin hidup beragama orang Farisi seperti sekte Stoa (Life 2).

53 untuk membaca Alkitab lepas dari pengaruh diskursus teologi (sayangnya sebuah gerakan sempalan) yang berkembang di Barat (Wahyu, 48). Di depan umum, menyalahkan orang Kristen yang memakai kata “Allah” atau tak memakai kata “Yahweh” berpotensi merusak keutuhan Tubuh Kristus dan secara tak langsung juga kerukunan dengan umat Islam, melanggar kepatutan beragama Kristen di Indonesia.48 Jangan sampai muncul persepsi keliru bahwa orang Kristen juga menyembah Tuhan Yahudi, memberi legitimasi keliru bahwa orang Kristen pro-Zionis. Justru, wajib secara moral bagi Kristen di Indonesia mengikuti politik negara yang memihak perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka. Gerakan kembali ke akar Yahudi barulah produktif apabila tujuannya adalah menelusuri akar Ibrani teks-teks PB, tetapi bukan mengadopsi cara hidup orang Yahudi, sesuatu yang sudah diputuskan para rasul pada abad pertama sebagai tak berlaku bagi orang Kristen non-Yahudi.

Keadaan itu diteguhkan dengan berlakunya kanon PB, yang berarti kitab suci Kristen tidak hanya PL. Agama Kristen bukan agama Yahudi, bukan kelanjutannya, bukan mazhab atau sempalannya. Itu dua tradisi keagamaan yang berbeda meski sama-sama berakar pada tradisi Ibrani. Bukankah yang terpenting dalam menyapa Tuhan adalah yang bersangkutan merasa disapa (bdk. Yes. 29:13

“bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku”)?

48 Bdk. Soesilo; Setyabudi; Karman (2006).

54

3