• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alam Semesta

B. Yerusalem Baru

III. Tujuan Sosial

Pernikahan dalam PL umumnya memiliki tujuan sosial.

Pemakaian kata Ibrani yang sama untuk pengantin pria dan menantu pria (Kel. 4:25-26; 19:12 ḥatan), juga untuk pengantin perempuan dan menantu perempuan (Yes. 49:18; 1Taw. 2:4 kalla), secara tak langsung mengindikasikan pernikahan adalah penyatuan dua keluarga yang tadinya berbeda, sehingga restu orang tua jadi penting (Eskenazi and Weiss, xlii).

A. Endogami

Karena juga berarti perluasan klan atau suku, pernikahan juga urusan keluarga besar (orang tua, kerabat). Fenomena orang tua terlibat langsung dengan pernikahan anaknya adalah biasa, seperti juga didapati pada masyarakat tradisional. Yitro memutuskan untuk memberikan putrinya sebagai istri Musa (Kel.

2:21). Inisiatif pernikahan bisa saja datang dari pihak anak, tetapi

152 orang tuanya tetap penentu urusan pernikahan anak. Sikhem orang Hewi meminta ayahnya untuk mengurus proses melamar Dina (Kej. 34:1-10). Simson meminta orang tuanya meminang gadis yang disukainya (Hak. 14:2-3, 10).

Orang tua dalam PL bisa mencarikan jodoh dari kerabat sendiri (endogami).16 Maksud pernikahan sekerabat atau sesuku agar tanah keluarga tidak jatuh ke orang luar. Abraham dan Yehuda mencarikan jodoh untuk putra mereka masing-masing (Kej. 24; 38:6). Satu-satunya contoh ibu mertua dalam PL mencarikan jodoh untuk menantu perempuannya adalah Naomi (Rut 3:1), yang sudah menjanda tanpa anak dan sudah menganggap Rut sebagai anak sendiri (bdk. Rut 1:16-17). Ke dalam contoh endogami mungkin bisa dimasukkan kasus Rahel dan Lea, kakak beradik yang menikahi laki-laki yang sama (sororal polygyny). Pernikahan demikian dimaksudkan supaya komitmen suami kepada istrinya lebih besar, tetapi baru kemudian hukum Taurat melarang pernikahan seperti itu (Im.

18:18).

Ada empat kasus dalam PL yang tergolong endogami meski tak begitu lazim. Tiga kasus pada Kitab Kejadian dan satunya lagi dalam kasus Amnon dan Tamar (2Sam. 13). Ketika bapak leluhur Israel mengungsi ke negeri asing untuk bertahan hidup, mereka menyuruh istri mereka mengaku statusnya sebagai adik, bukan istri, kepada penduduk lokal karena mereka (kepala keluarga, pembawa nama keluarga) takut dibunuh penduduk lokal yang tertarik kepada istri mereka (Kej. 12:10-20 Abraham di Mesir;

20:1-18 Abraham di Gerar; 26:1-11 Ishak di Filistin). Dari ketiga kasus itu, hanya dalam satu kasus sang suami terpaksa menegaskan dirinya tak berbohong. Abimelekh, raja Gerar, menuduh Abraham berbohong tetapi menurut Abraham, Sara memang adiknya, seayah lain ibu (Kej. 20:12 ’aḥoti “saudaraku”).

Ada yang berpendapat, Abraham tidak sedang berdusta terkait

16 Esau berinisiatif memperistri dua perempuan Het (eksogami), tindakan yang menyusahkan hati orang tuanya (Kej. 26:34-35). Mungkin itu membuat Ribka merasa Esau tak pantas dengan hak kesulungannya (Kej. 27:1-40).

Mungkin juga nasihatnya untuk Yakub agar menikahi perempuan di Padan-Aram, tanah kelahiran Ribka (Kej. 27:46-28:5), sebagian agar tak mencontoh pernikahan eksogami kakaknya.

153 hubungan sebenarnya dengan Sara dan pada masa itu pernikahan dengan saudara sekandung seperti itu belum dianggap inses meski kemudian pernikahan seperti itu kian kurang populer (Sarna 1989, 95, 143). Penjelasan lain datang dari Yosefus, Sara adalah anak Haran (Antiq. 1.6.5), yang berarti masih keponakan Abraham (Kej. 11:27). Namun, catatan Alkitab hanya menyebut Milka dan Yiska sebagai dua putri Haran (Kej. 11:29). Justru, Nahor,17 saudara Abraham yang lain (Kej. 11:26-27; Yos. 24:2), yang mengawini Milka binti Haran, keponakannya (Kej. 11:29).

Karena tak ada catatan Alkitab tentang status Sara baik sebagai adik maupun keponakan Abraham, narator memersepsikan Abraham berdusta (Rashkow, 47). Namun, dusta atau zina merupakan pelanggaran norma sosial yang lebih serius daripada inses pada zaman itu (Brenner, 93-98). Jangan-jangan ’aḥoti dimaknai sebagai sapaan mesra suami kepada istri (Kid. 4:9, 10, 12 “dinda”), dan kebetulan juga dinda atau adinda adalah “kata sapaan hormat untuk adik” (KBBI, 10). Kalau begitu, menurut Alkitab, Abraham dan Sara bisa jadi sekampung halaman, tetapi bukan adik atau keponakan dalam arti sebenarnya.

Contoh inses adalah Amnon (anak sulung Daud dari Ahinoam) dan Tamar (2Sam. 13). Tamar juga anak Daud, tampaknya dari Maakha, berarti seibu dengan Absalom (ay. 1, 4;

bdk. 2Sam. 3:2-3; 1Taw. 3:1), sebab di antara para saudara laki-laki, reaksinya paling keras (ay. 20, 22).18 Sebelum terjadi pemerkosaan itu, Tamar sempat menyarankan kakaknya agar bicara saja kepada ayah mereka untuk menikahi dirinya (ay. 12-13; bdk. Yeh. 22:11). Nikah di antara sesama saudara tiri tampaknya masih dimungkinkan sampai masa Daud. Dasar nasihat Tamar itu adalah status Amnon sebagai putra mahkota sekaligus anak kesayangan Daud (ay. 21). Secara eksplisit, tindakan paksa yang dilakukan Amnon saat itu adalah nĕbala (ay.

12; TNK “a vile thing”; ay. 13 pelakunya adalah nabal), sebuah pelanggaran tabu yang melindungi struktur masyarakat (McCarter, 323). Istilah nĕbala dipakai untuk kejahatan

17 Dibedakan dari Nahor, paman Abraham (Kej. 11:24; 1Taw. 1:26).

18 Beberapa putra Daud yang lain dari istri berbeda adalah Kileab dari Abigail, Adonia dari Hagit, Sefaca dari Abital, Yitream dari Egla (2Sam. 3:3-5).

154 memerkosa (Hak. 19:23; 20:6, 10), membohongi suami dengan berpura-pura masih gadis padahal sudah bersetubuh dengan laki-laki lain (Ul. 22:21), dan berzina (Yer. 29:23). Secara eksplisit, nĕbala yang dimaksud Tamar adalah pemerkosaan dan itu juga alasan Absalom membenci Amnon (ay. 12, 22). Menurut Athalya Brenner (h. 98-100), isu di dalam cerita ini bukan inses melainkan pemerkosaan. Namun, apabila pemerkosaan untuk wanita yang belum bertunangan, hukuman bagi pelakunya adalah mengawini wanita itu dengan membayar 50 syikal perak kepada ayah si gadis dan seumur hidupnya istri itu tak boleh diceraikan (Ul. 22:28-29). Dalam kasus Tamar, pemerkosaan tak sederhana karena faktor inses (McCarter, 324). Pembaca diarahkan untuk melihat pelanggaran seksual itu lebih serius dengan melihatnya dalam konteks hubungan adik dan kakak (ay. 2 “Tamar saudaranya”; ay. 4 “saudaraku”; ay. 5, 6 “adikku Tamar”; ay. 11

“adikku”; ay. 7 “Amnon, kakakmu”; ay. 8, 10 “Amnon kakaknya”;

ay. 12, 16 “kakakku”; ay. 20 “kakakmu”).

Dalam perkembangan kodifikasi hukum Taurat, ada larangan untuk menikahi saudara perempuan sendiri, baik seibu ataupun tidak (Im. 18:9, 11; 20:17; Ul. 27:22). Namun, dalam perspektif monogenesis PL, perkawinan di antara keturunan Adam dan Hawa pada awalnya belum bisa disebut inses sebab “belum melanggar adat, hukum, atau agama” (KBBI, 539).

Tujuan sosial pernikahan adalah untuk keberlanjutan nama keluarga dalam konteks klan atau suku (Matthews, 20-26).

Memiliki keturunan adalah tujuan penting pernikahan. Apabila suami meninggal tanpa anak, saudara kandungnya (Kej. 38) atau kerabat terdekat bisa menjadi pengganti almarhum suami untuk memberikan keturunan (bdk. Rut 4:9-10). Garis keturunan diteruskan dari laki ke laki, dari ayah kepada anak laki-laki. Maka, wajib hukumnya keluarga punya anak laki-laki dalam rangka tanggung jawab horizontal (meneruskan garis keturunan) dan tanggung jawab vertikal (menjadi ahli waris tanah leluhur).

Tanpa anak laki-laki, meski ada anak perempuan, sama seperti tidak punya anak. Menyadari bahwa Daud, bukan putranya sendiri, yang akan jadi raja, Saul minta Daud agar tidak balas dendam menghabisi semua keturunannya (1Sam. 24:22).

155 Pembunuhan politik sapu bersih seperti itu biasa dalam konteks persaingan antardinasti. Cerita rekaan perempuan bijak dari Tekoa kepada Daud juga dalam cara pikir serupa (2Sam. 14:5-11).

Perempuan itu pura-pura minta perlindungan raja dan mengarang cerita bahwa putra satu-satunya yang tersisa akan dihukum mati, keluarga tanpa penerus nama suami dan ahli waris tanah.19

Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga disebut bet

’ab (har. “rumah ayah”), dengan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Lingkaran kekerabatan yang lebih besar daripada keluarga adalah kaum (klan) dan selanjutnya suku. Semua garis keturunan dalam lingkup kekerabatan itu disusun menurut silsilah keturunan laki-laki.

Awalnya, seorang bapak memiliki kekuasaan tak terbatas sebagai kepala keluarga. Kemudian, ketika orang Ibrani mulai menetap dalam permukiman dengan tempat tinggal permanen di desa atau kota, wilayah kekuasaan bapak berkurang (bdk. Ul. 21:18-21).

Namun, perubahan itu hanya memindahkan kekuasaan bapak kepada pranata maskulin lain seperti tua-tua kota (Ul. 22:16;

25:7-9; Rut 4:2) atau raja (bdk. 2Sam. 14:4-11; 1Raj. 3:16-28).

Pascapembuangan, jemaat Yahudi menjadi institusi pengganti pranata maskulin yang tetap didominasi kaum laki-laki (bdk. Ezr.

10:1-14).

B. Poligami

Poligami setua peradaban dan tak ada larangan eksplisit PL untuk itu (Rogerson, 164). Lamekh, insan PL, yang tercatat pertama kali berpoligami (Kej. 4:19). Abraham, bapak orang beriman, memiliki istri lain bernama Ketura dan beberapa gundik (Kej. 25:1, 6). Poligami di antara raja-raja sangat biasa. Daud dengan beberapa istri dan gundik (2Sam. 5:13; 3:2-5), Salomo dengan 700 istri dan 300 gundik (1Raj. 11:3), Rehabeam dengan 18 istri dan 60 gundik (2Taw. 11:21), Abia dengan 14 istri (2Taw.

13:21).

19 Secara harfiah, [kabah] gaḥelet (ay. 7) adalah memadamkan bara api yang merupakan kiasan untuk harapan memiliki keturunan (BDB, 161).

156 Poligami merupakan salah satu konsekuensi masyarakat patrilineal yang meniscayakan kehadiran anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan suami (bdk. 1Sam. 1:2).20 Takdir istri dalam masyarakat seperti itu adalah melahirkan untuk suami dan keluarga besarnya. Karena keterbatasan pengetahuan medis pada zaman dulu, ada tidaknya keturunan sepenuhnya soal istri (Hak.

13:2; Luk. 1:7). Berkat kemajuan dunia medis, sekarang suami bisa didiagnosis mandul atau bermasalah, tetapi dulu tidak demikian.

Poligami tanpa poliandri adalah buah ketidaksetaraan gender. Istri dituntut setia secara eksklusif, tetapi suami tidak.

Poligami berakar pada posisi lemah perempuan dalam patriarki.

Tak ada teks PL yang mengkritik praktik poligami, malah praktik itu diatur hukum Taurat (Ul. 21:15-17). Talmud menetapkan syarat bahwa suami harus membuktikan kemampuannya memenuhi kewajibannya dalam pernikahan pertama sebelum diperbolehkan mengambil istri kedua. Suami tak boleh mengabaikan keberatan istri pertama untuk dimadu. Apabila monogami menjadi kebiasaan suatu tempat, istri di situ biasanya keberatan dimadu. Yahudi Rabinik memandang poligami bukan ideal pernikahan. Sedikit sekali rabi yang memiliki istri lebih dari satu.

Dalam praktiknya, orang Yahudi cenderung monogami dan suami dipersulit untuk berpoligami dengan prosedur amat rumit yang nyaris mustahil dipenuhi (ODJR, 540). Pada abad ke-10, sebuah peraturan di antara kaum Yahudi Askenazi secara resmi melarang poligami, kecuali orang mengantongi persetujuan seratus rabi yang berasal dari tiga negara atau distrik. Istri pertama dapat meminta pengadilan agama (bet din) memaksa suami menceraikan istri kedua. Gereja sering merujuk beberapa teks PL sebagai landasan monogami (Kej. 2:24; Mal. 2:14-15).

Sebenarnya, Paulus sendiri pada tahap itu baru menjadikan monogami sebagai salah satu kualifikasi pengurus gereja (1Tim.

3:2, 12; Tit. 1:6). Dalam perkembangan kemudian, barulah gereja

20 Zakharia tentu istimewa karena rela tak punya anak sampai tua (tidak berpoligami), akhirnya secara ajaib punya anak yang kemudian dikenal sebagai Yohanes Pembaptis (Luk. 1:5-25, 57-66).

157 mengambil monogami sebagai posisi moral-teologis yang berlaku sampai sekarang.21

Meski istri mandul dalam masyarakat kuno Israel kurang dihargai, PL mengaitkan kontrol Tuhan atas kehamilan sebagai konsekuensi teologis hubungan Sang Pencipta dengan fungsi prokreatif rahim (Kronholm, 457).22 Tuhan digambarkan dengan aktivitas buka tutup rahim seorang istri, membuatnya hamil atau mandul, tanpa dikaitkan dengan kutuk atau berkat.23 Dalam budaya yang mengambinghitamkan istri untuk pasangan tanpa keturunan, PL secara tersirat mengatakan, “Jangan salahkan istri untuk soal kesuburan karena bukan dia yang berkuasa atas rahimnya, melainkan Tuhan. Kalau mau, salahkan Tuhan.” Dan, tidak ada tokoh Alkitab yang menyalahkan Tuhan untuk soal kemandulan. Di Alkitab, motif istri mandul yang kemudian melahirkan secara tersirat mengatakan bahwa anak itu pemberian Tuhan (Sara, Rahel, istri Manoah, Hana, Elisabet).