• Tidak ada hasil yang ditemukan

I SI DAN S ISTIMATIKA B UKU INI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.6 I SI DAN S ISTIMATIKA B UKU INI

Buku ini disajikan dalam 11 bab dengan urutan topik setiap babnya dibuat sedemikian rupa sehingga memudahakan dalam pemahaman setiap aspek dan komponen yang ada pada sistem pengelolaan insiden berbasis sistem komando (ICS). Bab 1 merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, maksud dan tujuan, penjelasan singkat menegnai incident command system (ICS) dan penerapannya, serta sejarah ICS. Bab 2 membahas tentang persyaratan peraturan perundangan dan standar terkait yang terdiri atas Peraturan Perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Peraturan Perundangan Lingkungan Hidup, Peraturan Perundangan Lainnya, Persyaratan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) – ISO 14001, Persyaratan Sistem Manajemen K3 – ISO 45001, Persyaratan Process Safety Management (PSM), dan Persyaratan Lainnya. Bab 3 menguraikan bagaimana mengembangkan rencana penanggulangan keadaan darurat. Hal-hal yang diulas dalam bab 3 ini diantaranya adalah identifikasi dan analisa potensi keadaan darurat, rencana penanggulangan keadaan darurat, organisasi penanggulangan keadaan darurat, peralatan penanggulangan keadaan darurat, pelatihan, komunikasi, kerjasama dengan pihak luar, dan prosedur penanggulangan keadaan darurat. Bab 4 membahas konsep dan prinsip-prinsip ICS yakni penggunaan istilah-istilah yang baku (common terminology), organisasi yang bersifat modular (a modular organization), pengelolaan insiden berdasarkan tujuan (management by objectives), pengelolaan sumberdaya yang komprehensif (comprehensive resource management), rencana tindakan penanggulangan insiden gabungan (consolidated incident action plans/IAPS), rentang kendali yang dapat dikelola (a manageable span of control), penetapan lokasi dan fasilitas-fasilitas penanggulangan insiden (designated incident facilities and location), rantai komando dan sistem satu komando (chain of command and unity of command), sistem komunikasi yang terintegrasi (integrated communication), pembentukan dan peralihan komando (establishment and transfer of command), struktur komando yang disatukan (a unified command structure), pengelolaan informasi dan inteligen (information and intelligence management), Akuntabilitas (Accountability) dan penugasan/pengerahan (dispacht and deployment). Bab 5 membahas tentang organisasi incident command system (ICS) yang terdiri atas organisasi ICS (ICS organization), fungsi komando (the command function), seksi operasi (the operations section), seksi perencanaan (the planning section), seksi logistik (the logistic section), seksi keuangan/administrasi (the finance/administration section), peralihan komando (transfer of command) dan rencana tindakan penanggulangan insiden (incident action plan/IAP). Bab 6 membahas tentang tugas dan tanggung jawab setiap orang yang menempati posisi dalam organisasi ICS, mulai dari Incident Commander sampai Unit Leader di setiap fungsi yang ada. Bab 7 membahas tentang fasilitas penanggulangan insiden (incident facilities) yang terdiri atas pos komando penanggulangan insiden (incident command post), staging areas, bases dan fasilitas lainnya. Bab 8 membahas tentang pengelolaan sumberdaya penanggulangan insiden (incident resource management) yang terdiri atas sumberdaya untuk operasi, kategori sumberdaya, dan status sumberdaya Bab 9 membahas tentang penugasan

ICS (ICS assignment) yang terdiri atas kesiapan sebelum penugasan, prosedur penugasan, dan prosedur demobilisasi. Bab 10 membahas tentang sistem pengelolaan insiden mulai dari fase reaktif sampai pada fase proaktif. Fase reaktif berlangsung saat dilakukan operasi penanggulangan awal sampai operasi penanggulangan insiden sudah dapat dilakukan dengan perencanaan dan eksekusi yang terstruktur dan terukur. Pada bab ini juga diuraikan proses untuk pembuatan rencana tindakan penanggulangan insiden (IAP) sampai IAP tersebut dikumunikasikan dan disampaikan kepada setiap fungsi yang terlibat. Bab 11 membahas tentang prosedur pelaporan keadaan darurat dan prosedur menghadapi keadaan darurat. Prosedur pelaporan keadaan darurat menguraikan tentang laporan yang harus diberikan oleh orang yang pertama melihat kejadian keadaan darurat, apa yang dilakukan oleh operator atau bagian yang menerima laporan keadaan darurat, kepala departemen atau bagian di mana keadaan darurat terjadi, dan tindakan yang harus dilakukan oleh orang yang ditunjuk menjadi incident commander (orang yang diserahi tanggung jawab dalam mengendalikan operasi penanggulangan keadaan darurat. Prosedur penanggulangan keadaan darurat menguraikan tentang prosedur penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bencana alam, tumpahan bahan kima atau minyak, huru-hara atau pemogokan karyawan/massa, dan ancaman bom.

Prosedur penanggulangan keadaan darurat kebakaran mencakup prosedur umum, penanggulangan kebakaran yang terjadi di kantor, di ruang atau fasilitas produksi, kebakaran tanki, kebakaran di laboratorium, dan peledakan. Prosedur penanggulangan keadaan darurat bencana alam mencakup prosedur penanggulangan keadaan darurat gempa bumi, tanah lonsor, banjir, angin topan dan letusan gunung berapi.

BAB 2

PERSYARATAN PERATURAN PERUNDANGAN DAN STANDAR TERKAIT 2.1 Peraturan Perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Ada beberapa peraturan perundang-undangan keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatur dan memberikan pedoman dalam penanggulangan keadaan darurat di tempat kerja. Peraturan perundang-undangan tersebut di antaranya adalah sebagai berkut:

 Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

 Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 186 tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja

 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 187 tahun 1999, tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya Di Tempat Kerja

Isi peraturan perundangan tersebut di atas yang berhubungan dengan penanggulangan keadaan darurat adalah sebagaimana diuraikan sebagai berikut.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mengatur dan menetapkan syarat-syarat keselamatan kerja yang termasuk dalam hal ini mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya serta memberikan pertolongan pada kecelakaan.

Peraturan pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, pengusaha dalam melaksanakan rencana K3 harus melakukan kegiatan dalam pemenuhan persyaratan K3 yang salah satunya, rencana dan pemulihan keadaan darurat. Pelaksanaan dari kegiatan pemenuhan persyaratan tersebut juga diawasi oleh pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat, propinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai kewenangannya.

Lebih detil pada lampiran 1 peraturan pemerintah no 50 tahun 2012 tersebut dijelaskan pada bagian upaya menghadapi keadaan darurat dan bencana industri,

 Perusahaan harus memiliki prosedur sebagai upaya menghadapi keadaan darurat kecelakaan dan bencana industri yang meliputi penyediaan personil dan fasilitas P3K dengan jumlah yang cukup dan sesuai sampai mendapatkan pertolongan medik, dan proses perawatan lanjutan.

 Prosedur menghadapi keadaan darurat harus diuji secara berkala oleh personil yang memiliki kompetensi kerja, dan untuk instalasi yang memiliki bahaya besar harus berkoordinasi dengan instansi terkait yang berwenang untuk mengetahui kehandalan pada saat kejadian yang sebenarnya.

Juga diatur pada bagian rencana dan pemulihan keadaan darurat bahwa dalam melaksanakan rencana penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat setiap perusahaan harus memiliki rencana penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat secara cepat untuk mengembalikan pada kondisi yang normal dan membantu pemulihan tenaga kerja yang mengalami trauma.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 186 tahun 1999, tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja menjelaskan mengenai hal-hal sebagai berikut:

 Pengurus atau Perusahaan wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, latihan penanggulangan kebakaran di tempat kerja.

 Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja meliputi:

− Pengendalian setiap bentuk energi;

− Penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;

− Pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;

− Pembentukan unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja

− Penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;

− Memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.

 Pengendalian setiap bentuk energi, penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi serta pengendalian penyebaran asap, panas dan gas sebagaimana dimaksud dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

 Buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran memuat antara lain:

− Informasi tentang sumber potensi bahaya kebakaran dan cara pencegahannya;

− Jenis, cara pemeliharaan dan penggunaan sarana proteksi kebakaran di tempat kerja;

− Prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;

− Prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;

− Prosedur dalam menghadapi keadaan darurat bahaya kebakaran.

Pembentukan unit penanggulangan kebakaran dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran. Unit penanggulangan kebakaran tersebut terdiri dari:

 Petugas peran kebakaran;

 Regu penanggulangan kebakaran;

 Koordinator unit penanggulangan kebakaran;

 Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 187 tahun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di Tempat Kerja menjelaskan tentang hal-hal sebagai berikut:

 Dokumen pengendalian potensi bahaya besar sekurang-kurangnya memuat rencana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat;

 Petugas K3 Kimia mempunyai kewajiban memberikan petunjuk dalam prosedur penanggulangan keadaan darurat

 Ahli K3 Kimia sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf b mempunyai kewajiban mengusulkan pembuatan prosedur kerja aman dan penanggulangan keadaan darurat kepada pengusaha atau pengurus.

2.2 Peraturan Perundangan Lingkungan Hidup

Meskipun dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan tidak secara jelas diatur mengenai penanggulangan keadaan darurat terkait dengan pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi pada beberapa Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Undang-undang tersebut diatur tentang penanggulangan keadaan darurat yang berkaitan dengan:

 Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (PP No. 101 Tahun 2014)

 Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (PP No. 74 Tahun 2001)

 Pengendalian pencemaran udara (PP No. 41 Tahun 1999)

 Pengendalian pencemaran dan kerusakan laut (PP No. Tahun 1999

Berikut ini adalah kutipan dari isi peraturan pemerintah tersebut yang berkenaan dengan penanggulangan keadaan darurat.

Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun memberikan definisi Sistem Tanggap Darurat adalah sistem pengendalian keadaan darurat yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan kecelakaan serta pemulihan kualitas lingkungan hidup akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan Limbah B3.

Peraturan pemerintah ini mengatur lebih detil mengenai sistem tanggap darurat dalam pengelolaan limbah B3 sebagai berikut.

 Tempat penyimpanan limbah B3 harus memiliki peralatan penanggulangan keadaan darurat paling sedikit alat pemadam api dan alat penanggulangan keadaan darurat lain yang sesuai.

 Dokumen pengangkutan limbah B3 memuat prosedur penanganan limbah B3 pada kondisi darurat

 Fasilitas penimbunan limbah B3 harus memiliki peralatan dan perlengkapan untuk mengatasi keadaan darurat.

 Permohonan izin dumping (pembuangan) limbah B3 dilengkapi dengan rencana penanggulangan keadaan darurat yang paling sedikit harus memuat

− Organisasi;

− Identifikasi, pengaktifan, dan pelaporan;

− Prosedur penanggulangan; dan

− Jenis dan spesifikasi peralatan.

Sementara itu untuk ketentuan yang lebih lengkap dalam peraturan pemerintah ini mengenai sistem tanggap darurat dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sebagai berikut.

 Umum

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib memiliki Sistem Tanggap Darurat.

− Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3 terdiri atas:

 Penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3;

 Pelatihan dan geladi kedaruratan Pengelolaan Limbah B3; dan

 Penanggulangan kedaruratan Pengelolaan Limbah B3.

− Kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 meliputi:

 Keadaan darurat pada kegiatan Pengelolaan Limbah B3;

 Keadaan darurat Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota;

 Keadaan darurat Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi; dan

 Keadaan darurat Pengelolaan Limbah B3 skala nasional.

 Penyusunan Program Kedaruratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya.

− Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut Kepala BPBD kabupaten/kota menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.

− Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah provinsi yang selanjutnya disebut Kepala BPBD provinsi menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi.

− Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional yang selanjutnya disebut Kepala BNPB menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional.

− Dalam penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota, Kepala BPBD kabupaten/kota berkoordinasi dengan:

 Setiap Orang;

 Menteri;

 Gubernur;

 Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; dan

 Instansi terkait lainnya di kabupaten/kota.

− Dalam penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi, Kepala BPBD provinsi berkoordinasi dengan:

 Setiap Orang;

 Menteri;

 Instansi lingkungan hidup provinsi; dan

 Instansi terkait lainnya di provinsi.

− Dalam penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional, Kepala BNPB berkoordinasi dengan:

 Setiap Orang;

 Menteri; dan

 Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota merupakan bagian dari program penanggulangan bencana kabupaten/kota.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi merupakan bagian dari program penanggulangan bencana provinsi.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional merupakan bagian dari program penanggulangan bencana nasional.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 paling sedikit meliputi:

 Infrastruktur; dan

 Fungsi penanggulangan.

− Infrastruktur paling sedikit meliputi:

 Organisasi;

 Koordinasi;

 Fasilitas dan peralatan termasuk peralatan peringatan dini dan alarm;

 Prosedur penanggulangan; dan

 Pelatihan dan geladi keadaan darurat.

− Fungsi penanggulangan paling sedikit meliputi:

 Identifikasi, pelaporan, dan pengaktifan;

 Tindakan mitigasi;

 Tindakan perlindungan segera;

 Tindakan perlindungan untuk petugas penanggulangan keadaan darurat, pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup; dan

 Pemberian informasi dan instruksi pada masyarakat.

− Ketentuan lebih lanjut mengenai format program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 diatur dalam Peraturan Menteri.

 Pelatihan dan Geladi Kedaruratan

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 wajib dilaksanakan oleh Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 sesuai dengan kegiatan Pengelolaan Limbah B3 yang dilakukannya.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 wajib menyelenggarakan pelatihan dan geladi kedaruratan untuk kegiatan yang dilakukannya paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk memastikan Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 dapat dilaksanakan.

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Kepala BPBD kabupaten/kota dan dilaksanakan bersama dengan:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; dan

 Instansi terkait lainnya di kabupaten/kota,

berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.

− Kepala BPBD kabupaten/kota mengkoordinasikan pelatihan dan geladi kedaruratan secara terpadu sesuai dengan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 tingkat kabupaten/kota.

− Pelatihan dan geladi kedaruratan wajib diikuti oleh:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; dan

 Instansi terkait lainnya di kabupaten/kota.

 Pelatihan dan geladi kedaruratan diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun.

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi dikoordinasikan oleh Kepala BPBD provinsi dan dilaksanakan bersama dengan:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Instansi lingkungan hidup provinsi; dan

 Instansi terkait lainnya di provinsi,

berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi.

− Kepala BPBD provinsi mengordinasikan pelatihan dan geladi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 secara terpadu sesuai dengan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi.

− Pelatihan dan geladi keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diikuti oleh:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Instansi lingkungan hidup provinsi; dan

 Instansi terkait lainnya di provinsi.

− Pelatihan dan geladi kedaruratan diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 skala nasional dikoordinasikan oleh Kepala BNPB dan dilaksanakan bersama dengan:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Menteri; dan

 Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3.

− Kepala BNPB mengoordinasikan pelatihan dan geladi kedaruratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 secara terpadu sesuai dengan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional.

− Pelatihan dan geladi keadaan darurat wajib diikuti oleh:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Menteri; dan

 Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.

− Pelatihan dan geladi kedaruratan diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun.

 Penanggulangan Kedaruratan dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

− Penanggulangan kedaruratan dalam Pengelolaan Limbah B3 paling sedikit meliputi kegiatan:

 Identifikasi keadaan darurat dalam Pengelolaan Limbah B3;

 Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan

 Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup.

− Dalam melaksanakan penanggulangan kedaruratan Pengelolaan Limbah B3, Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib mengutamakan keselamatan jiwa manusia.

− Penanggulangan dilaksanakan sesuai dengan program kedaruratan Limbah B3.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 berdasarkan program kedaruratan sesuai dengan kegiatan Pengelolaan Limbah B3 yang dilakukannya wajib melaksanakan kegiatan penanggulangan kedaruratan jika terjadi keadaan darurat dalam Pengelolaan Limbah B3 yang dilakukannya.

− Pelaksanaan kegiatan penanggulangan kedaruratan wajib dilaporkan secara tertulis dan berkala setiap hari kepada menteri, gubernur, dan bupati/walikota.

− Kepala BPBD kabupaten/kota menginisiasi dan memimpin pelaksanaan penanggulangan kedaruratan jika terjadi kedaruratan skala kabupaten/kota.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan kedaruratan.

− Kepala BPPD provinsi menginisiasi dan memimpin pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat jika terjadi kedaruratan skala provinsi.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan kedaruratan.

− Kepala BNPB menginisiasi dan memimpin pelaksanaan penanggulangan kedaruratan jika terjadi keadaan darurat skala nasional.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan keadaan darurat.

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mengenai Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut:

 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menanggulangi terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3.

 Dalam hal terjadi kecelakaan dan atau keadaan darurat yang diakibatkan B3, maka setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mengambil langkah-langkah :

− Mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan;

− Menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur tetap penanggulangan kecelakaan;

− Melaporkan kecelakaan dan atau keadaan darurat kepada aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat; dan

− Memberikan informasi, bantuan, dan melakukan evakuasi terhadap masyarakat di sekitar lokasi kejadian.

 Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, setelah menerima laporan tentang terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3, wajib segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan.

 Kewajiban tersebut, tidak menghilangkan kewajiban setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 untuk :

− Mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat; dan atau

− Memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar; yang diakibatkan oleh B3.

Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air berkenaan Penanggulangan Darurat mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut:

 Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya.

 Dalam hal terjadi keadaan darurat, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menjelaskan tentang cakupan pengendalian pencemaran udara yang meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Pada bagian tentang Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara mengatur mengenai hal-hal berikut:

 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.

 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknikal penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara.

 Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya, maka :

− Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional;

− Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.

 Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media elektronik

 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran atau kerusakan laut tentang pemulihan mutu laut dan tentang keadaan darurat.

 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.

 Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

 Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila :

− Pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut.

− Pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf a disebabkan oleh adanya kerusakan pada peralatannya dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

 Dalam keadaan darurat, pemilik dan/atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab.

 Pemberitahuan wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.

 Pemberitahuan wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.