• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanggulangan Keadaan Darurat dengan Sistem Komando Insiden

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Penanggulangan Keadaan Darurat dengan Sistem Komando Insiden"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ... 1

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN ... 1

1.3 INCIDENT COMMAND SYSTEM (ICS) DAN PENERAPANNYA... 2

1.4 SEJARAH ICS ... 2

1.5 SIAPA YANG MEMERLUKAN BUKU INI ... 3

1.6 ISI DAN SISTIMATIKA BUKU INI ... 4

BAB 2 PERSYARATAN PERATURAN PERUNDANGAN DAN STANDAR TERKAIT ... 6

2.1 PERATURAN PERUNDANGAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ... 6

2.2 PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP ... 8

2.3 PERATURAN PRESIDEN NO.1 TAHUN 2019 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB) ... 14

2.4 PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN ... 21

2.5 PERSYARATAN SISTEM MANAJEMEN LINGKUNGAN (SML)–ISO14001 ... 24

2.6 PERSYARATAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (SMK3)–ISO 45001 ... 26

2.7 PERSYARATAN PROCESS SAFETY MANAGEMENT (PSM) ... 27

BAB 3 PENGEMBANGAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT ... 29

3.1 IDENTIFIKASI DAN ANALISA POTENSI KEADAAN DARURAT ... 29

3.2 RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT... 30

3.3 PELAPORAN KEADAAN DARURAT DAN NOMOR YANG DAPAT DIHUBUNGI DALAM KEADAAN DARURAT ... 31

3.4 ORGANISASI PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT ... 31

3.5 PERALATAN PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT ... 32

3.6 PELATIHAN DAN LATIHAN PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT ... 34

3.7 KOMUNIKASI ... 36

3.8 KERJASAMA DENGAN PIHAK LUAR ... 37

3.9 PROSEDUR PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT ... 37

BAB 4 KONSEP DAN PRINSIP-PRINSIP ICS ... 39

4.1 PENGGUNAAN ISTILAH YANG BAKU (COMMON TERMINOLOGY) ... 39

4.2 ORGANISASI BERSIFAT MODULAR (AMODULAR ORGANIZATION) ... 40

4.3 PENGELOLAAN INSIDEN SESUAI TUJUAN (MANAGEMENT BY OBJECTIVES) ... 40

4.4 PENGELOLAAN SUMBERDAYA YANG KOMPREHENSIF (COMPREHENSIVE RESOURCE MANAGEMENT) ... 40

4.5 RENCANA TINDAKAN PENANGGULANGAN INSIDEN GABUNGAN (CONSOLIDATED IAPS) ... 41

(4)

4.6 RENTANG KENDALI YANG DAPAT DIKELOLA (AMANAGEABLE SPAN OF CONTROL) ... 41

4.7 PENETAPAN LOKASI DAN FASILITAS PENANGGULANGAN INSIDEN (DESIGNATED INCIDENT FACILITIES AND LOCATIONS) ... 42

4.8 SISTEM KOMUNIKASI YANG TERINTEGRASI (INTEGRATED COMMUNICATION) ... 42

4.9 PEMBENTUKAN DAN PERALIHAN KOMANDO (ESTABLISHMENT AND TRANSFER OF COMMAND) 42 4.10 STRUKTUR KOMANDO YANG DISATUKAN (AUNIFIED COMMAND STRUCTURE) ... 42

4.11 RANTAI KOMANDO DAN SATU KOMANDO (CHAIN OF COMMAND AND UNITY OF COMMAND) . 43 4.12 AKUNTABILITAS (ACCOUNTABILITY) ... 43

4.13 PENUGASAN/PENGERAHAN (DISPATCH/DEPLOYMENT) ... 43

4.14 MANAJEMEN INFORMASI DAN INTELIJEN (INFORMATION AND INTELLIGENCE MANAGEMENT) .. 43

BAB 5 ORGANISASI ICS ... 44

5.1 ORGANISASI ICS ... 44

5.2 FUNGSI KOMANDO (THE COMMAND FUNCTION) ... 45

5.3 SEKSI OPERASI (THE OPERATIONS SECTION) ... 47

5.4 SEKSI PERENCANAAN (THE PLANNING SECTION) ... 48

5.5 SEKSI LOGISTIK (THE LOGISTIC SECTION) ... 49

5.6 SEKSI KEUANGAN/ADMINISTRASI (THE FINANCE/ADMINISTRATION SECTION) ... 50

5.7 PERALIHAN KOMANDO ... 51

5.8 RENCANA TINDAKAN PENANGGULANGAN INSIDEN (INCIDENT ACTION PLAN/IAP) ... 51

BAB 6 TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB DALAM ICS ... 53

6.1 KOMANDO INSIDEN (INCIDENT COMMAND) ... 53

6.2 SEKSI OPERASI (OPERATIONS SECTION) ... 56

6.3 SEKSI PERENCANAAN (PLANNING SECTION) ... 58

6.4 LOGISTICS SECTION ... 63

6.5 SEKSI KEUANGAN (FINANCE SECTION) ... 69

BAB 7 FACILITAS PENANGGULANGAN INSIDEN (INCIDENT FACILITIES) ... 72

7.1 POS KOMANDO PENANGGULANGAN INSIDEN (INCIDENT COMMAND POST/ICP) ... 72

7.2 STAGING AREAS ... 73

7.3 BASE ... 74

7.4 FASILITAS LAINNYA ... 75

BAB 8 PENGELOLAAN SUMBER DAYA PENANGGULANGAN INSIDEN (INCIDENT RESOURCE MANAGEMENT) ... 76

8.1 SUMBER DAYA UNTUK OPERASI ... 76

8.2 KATEGORI SUMBER DAYA... 77

8.3 PENELUSURAN STATUS SUMBER DAYA (TRACKING RESOURCES STATUS) ... 78

BAB 9 PENUGASAN ICS (ICS ASSIGNMENT) ... 79

9.1 KESIAPAN SEBELUM PENUGASAN... 79

(5)

9.2 PROSEDUR PENUGASAN ... 80

9.3 PROSEDUR DEMOBILISASI ... 81

BAB 10 PROSEDUR PELAPORAN DAN PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT ... 82

10.1 PELAPORAN KEADAAN DARURAT ... 82

10.2 PROSEDUR MENGHADAPI DAN PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 101

TENTANG PENULIS ... 102

(6)

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, buku sederhana mengenai Pengelolaan Peanggulangan Keadaan Darurat dengan Sistem Komando in yang dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan Incident Command System (ICS) – Based Emergency Response Management ini dapat dirampungkan oleh penulis.

Buku ini ditulis dengan maksud untuk menyediakan bahan bacaan berbahasa Indonesia untuk membantu para praktisi keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan hidup di seluruh Indonesia dalam memfasilitasi pengembangkan dan pelaksanaan rencana peanggulangan keadaan darurat yang diperlukan untuk usaha-usaha pencegahan dan mitigasi dampak yang ditimbulkan oleh kejadian keadaan darurat secara cepat, efektif dan selamat. Penyusunan buku ini dibuat sedemikian rupa sehingga lebih tepat disebut sebagai panduan praktis karena pembahasannya langsung saja pada butir-butir penting untuk setiap topik yang dibahas. Penulis menggunakan referensi utama National Incident Management System (NIMS) yang dikeluarkan oleh Federal Emergency Management Agency (FEMA) di bawah Department Homeland Security Amerika Serikat dan referensi lainnya yang dicantumkan pada daftar pustaka dan berbagai artikel di situs internet tentang Incident Command System (ICS) dipadu dengan pengalaman dan pemikiran penulis sebagai praktisi di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan. Buku ini bukan merupakan saduran dari panduan ataupun prosedur yang ada di tempat-tempat kerja di mana penulis pernah dan sedang bekerja. Bila ada beberapa hal yang sama ini tidak lain dan tidak bukan karena kebetulan belaka saja mengingat ilmu dan pengetahuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja ini sifatnya umum dan digunakan di berbagai tempat kerja atau berasal dari sumber referensi yang sama pula.

Tentunya buku ini masih banyak kekurangannya yang perlu diperbaiki di kemudian hari sesuai dengan masukan dari kawan-kawan praktisi dan pemerhati keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan hidup. Penulis mengharapkan ada masukan dan saran- saran yang membangun untuk penyempurnaan buku ini di masa yang akan datang agar mendatangkan manfaat yang lebih banyak lagi bagi kita semua.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih pada istri tercinta Anita Januaris Setyawati Aribowo dan anak-anak kami Aditya Pratama Ardinal, Azizah Puspitasari Ardinal, Alya Putri Ardinal dan Athaya Pramana Ardinal yang telah mendukung dalam penulisan buku ini dan mengikhlaskan waktu yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih pada semua kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang ikut membantu dan berkontribusi terhadap penulisan buku ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terimakasih penulis sampaikan pada Mas Robi Ardiyan yang sudah membantu merancang tampilan halaman muka dan merapikan buku ini sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh berbagai praktisi dan pemerhati keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan hidup di seluruh Indonesia.

Jakarta, Mei 2020 Penulis

(7)
(8)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dari tahun ke tahun kita melihat perkembangan yang menggembirakan dalam pelaksanaan pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan hidup di berbagai industri di tanah air. Hal ini dapat kita lihat dari makin bertambahnya jumlah perusahaan yang mendapatkan sertifikat Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan penghargaan Nihil Kecelakaan (Zero Accident Award/ZAA) setiap tahunnya. Ini semua merupakan langkah maju dalam usaha- usaha pencegahan kecelakaan kerja baik kecelakaan yang mengakibatkan cedera pada manusia, kerusakan pada harta benda maupun pencemaran pada lingkungan hidup sekitar.

Di sisi lain, kita juga masih mengalami beberapa kejadian kecelakaan dan bencana yang harus mendapatkan penanggulangan segera, baik berupa kecelakaan yang terjadi di industri seperti kebakaran, ledakan, tumpahan minyak, maupun bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, banjir, tanah longsor, kabut asap karena kebakaran hutan dan sebagainya. Ada juga bencana yang terjadi tersebut merupakan perbuatan yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu seperti ledakan bom dan bentuk ancaman lainnya. Semua kejadian yang tidak diinginkan ini memerlukan usaha-usaha penanggulangan yang segera untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkannya baik terhadap jiwa manusia, harta benda maupun terhadap lingkungan hidup.

Penanggulangan insiden atau keadaan darurat harus dilakukan sesegera mungkin sesuai dengan sifat dan skala dari insiden atau keadaan darurat itu sendiri.

Penanggulangan keadaan darurat tersebut harus dilakukan secara efektif dan efisien, sehingga tujuan dari operasi penanggulangan keadaan darurat untuk meminimalkan korban jiwa, kerusakan harta benda dan pencemaran lingkungan dapat tercapai dengan baik. Untuk itu diperlukan suatu sistem penanggulangan keadaan darurat yang sudah teruji efektif di lapangan baik dalam hal pengelolaan keadaan darurat yang bersifat strategis maupun untuk tindakan taktis di tempat kejadian.

1.2 Maksud dan Tujuan

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk mendalami dan memperkenalkan Incident Command System (ICS) sebagai sebuah perangkat atau sistem yang memiliki prinsip-prinsip penanggulangan insiden yang efektif dan efisien dalam sistem komando, koordinasi, komunikasi dan pengelolaan sumberdaya penanggulangan keadaan darurat. Buku ini juga diharapkan dapat memperkaya sumber informasi berbahasa Indonesia tentang penanggulangan keadaan darurat di Indonesia khususnya untuk praktisi di berbagai industri maupun pegawai pemerintahan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) anggota bakornas, satkorlak, & satlak PBP, SARNAS dan para relawan yang biasa terlibat dalam operasi penanggulangan keadaan darurat bencana alam.

(9)

1.3 Incident Command System (ICS) dan Penerapannya

ICS adalah model perangkat untuk komando, pengendalian dan koordinasi tindakan penanggulangan dan mengkoordinir usaha-usaha yang dilakukan pihak-pihak yang terkait untuk mencapai tujuan menstabilkan insiden dan melindungi jiwa, harta benda, dan lingkungan hidup. ICS menggunakan prinsip-prinsip yang telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam penanggulangan keadaan darurat.

ICS dapat digunakan untuk menanggulangi semua jenis keadaan darurat mulai dari kecelakaan tunggal kendaraan bermotor sampai pada kecelakaan/bencana alam skala besar yang memerlukan keterlibatan dan kerjasama berbagai pihak baik dari internal perusahaan maupun dari luar perusahaan seperti instansi pemerintahan yang terkait.

Dalam menanggulangi keadaan darurat seseorang yang terlibat di dalam organisasi keadaan darurat mungkin tidak akan bekerja sesuai dengan organisasi dan lokasi yang biasa dimana dia bekerja secara normal.

ICS sudah terbukti efektif untuk menanggulangi semua jenis insiden atau keadaan darurat termasuk:

 Insiden yang berhubungan dengan tumpahan minyak atau kebocoran bahan- bahan kimia yang berbahaya

 Penanggulangan bencana alam (gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, angin topan, banjir, dan sebagainya)

 Kebakaran

 Kerusuhan masa dan pemogokan buruh

 Kecelakaan angkutan darat, air, udara, dan kereta api

 Misi SAR dengan area yang luas

 Insiden yang melibatkan banyak korban

 Insiden dengan melibatkan banyak instansi dan lintas daerah

ICS juga dapat digunakan untuk aktivitas-aktivitas yang terencana seperti untuk mengelola kegiatan dalam pelaksanaan perayaan, parade, karnaval, pertunjukan musik, kunjungan kenegaraan, dan sebagainya

1.4 Sejarah ICS

ICS dikembangkan pada tahun 1970-an berkenaan dengan penanggulangan beberapa kejadian kebakaran liar yang terjadi di California bagian selatan. Pada saat itu instansi pemerintahan lokal, negara bagian dan otoritas kebakaran federal membentuk Firefighting Resources of California Organized for Potential Emergencies (FIRESCOPE). Pada saat itu, FIRESCOPE mengidentifikasi beberapa masalah yang terjadi secara berulang pada setiap operasi penanggulangan kebakaran yang melibatkan banyak instansi tersebut, seperti:

 Penggunaan istilah yang tidak standar (nonstandard terminology) oleh masing- masing pihak yang terlibat dalam penanggulangan kebakaran

(10)

 Kurangnya kemampuan untuk mengembangkan dan menciutkan (expand and contract) sumberdaya yang diperlukan sesuai dengan keadaan di tempat kejadian kecelakaan atau keadaan darurat

 Komunikasi yang tidak terintegrasi dan tidak standar (nonstandard and nonintegrated communications)

 Lemahnya rencana tindakan penanggulangan gabungan (consolidated action plans)

 Fasilitas pendukung penanggulangan keadaan darurat (designated facilities) yang tidak memadai

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas akhirnya melahirkan model-model ICS untuk pengelolaan insiden atau keadaan darurat yang efektif.

Meskipun pada awalnya ICS dikembangkan untuk menanggulangi kebakaran namun saat ini ICS sudah digunakan dalam menanggulangi semua resiko yang terkait dengan semua jenis keadaan darurat yang berhubungan dengan kebakaran maupun keadaan darurat lainnya. Keberhasilan dari ICS ini merupakan hasil dari penerapan struktur organisasi yang baku dan pinsip-prinsip manajemen yang baku pula.

1.5 Siapa yang Memerlukan Buku ini

Buku ini sangat bermanfaat untuk mereka yang bekerja di perusahaan baik swasta maupun perusahaan negara, pegawai pemerintahan, angkatan bersenjata, dan kepolisian yang sering terlibat dalam usaha penanggulangan keadaan darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), SARNAS, Palang Merah Indonesia (PMI) dan lembaga swadaya masyarakat yang banyak berkecimpung dalam pemberian pertolongan bila terjadi suatu bencana alam di berbagai daerah ataupun kecelakaan yang terjadi di berbagai industri. Pegawai pemerintahan yang dimaksud di antaranya adalah mereka yang bekerja pada Dinas Linmas, Pekerjaan Umum dan Binamarga, PMK, Kesehatan, Bappeda, Satpol PP, dokter/para medis rumah sakit umum pemerintah dan sebagainya. Adapun karyawan-karyawan perusahaan yang terkait dan terlibat atau bertanggung jawab dengan kegiatan penanggulangan keadaan darurat diantaranya adalah kepala pabrik, tim penanggulangan keadaan darurat, tim penanggulangan kebakaran, tenaga medis perusahaan, kepala bagian pemeliharaan dan perawatan (maintenance), kepala bagian utilitas dan pendukung operasi (support operations), bagian keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan (environmental, health and safety), kepala bagian pengamanan (security), dan bagian lainnya. Buku ini juga sangat bermanfaat untuk para mahasiswa dan dosen di jurusan keselamatan dan kesehatan kerja, fakultas kesehatan masyarakat di berbagai perguruan tinggi dan para pencinta ilmu pengetahuan dari berbagai kalangan.

(11)

1.6 Isi dan Sistimatika Buku ini

Buku ini disajikan dalam 11 bab dengan urutan topik setiap babnya dibuat sedemikian rupa sehingga memudahakan dalam pemahaman setiap aspek dan komponen yang ada pada sistem pengelolaan insiden berbasis sistem komando (ICS). Bab 1 merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, maksud dan tujuan, penjelasan singkat menegnai incident command system (ICS) dan penerapannya, serta sejarah ICS. Bab 2 membahas tentang persyaratan peraturan perundangan dan standar terkait yang terdiri atas Peraturan Perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Peraturan Perundangan Lingkungan Hidup, Peraturan Perundangan Lainnya, Persyaratan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) – ISO 14001, Persyaratan Sistem Manajemen K3 – ISO 45001, Persyaratan Process Safety Management (PSM), dan Persyaratan Lainnya. Bab 3 menguraikan bagaimana mengembangkan rencana penanggulangan keadaan darurat. Hal-hal yang diulas dalam bab 3 ini diantaranya adalah identifikasi dan analisa potensi keadaan darurat, rencana penanggulangan keadaan darurat, organisasi penanggulangan keadaan darurat, peralatan penanggulangan keadaan darurat, pelatihan, komunikasi, kerjasama dengan pihak luar, dan prosedur penanggulangan keadaan darurat. Bab 4 membahas konsep dan prinsip-prinsip ICS yakni penggunaan istilah-istilah yang baku (common terminology), organisasi yang bersifat modular (a modular organization), pengelolaan insiden berdasarkan tujuan (management by objectives), pengelolaan sumberdaya yang komprehensif (comprehensive resource management), rencana tindakan penanggulangan insiden gabungan (consolidated incident action plans/IAPS), rentang kendali yang dapat dikelola (a manageable span of control), penetapan lokasi dan fasilitas-fasilitas penanggulangan insiden (designated incident facilities and location), rantai komando dan sistem satu komando (chain of command and unity of command), sistem komunikasi yang terintegrasi (integrated communication), pembentukan dan peralihan komando (establishment and transfer of command), struktur komando yang disatukan (a unified command structure), pengelolaan informasi dan inteligen (information and intelligence management), Akuntabilitas (Accountability) dan penugasan/pengerahan (dispacht and deployment). Bab 5 membahas tentang organisasi incident command system (ICS) yang terdiri atas organisasi ICS (ICS organization), fungsi komando (the command function), seksi operasi (the operations section), seksi perencanaan (the planning section), seksi logistik (the logistic section), seksi keuangan/administrasi (the finance/administration section), peralihan komando (transfer of command) dan rencana tindakan penanggulangan insiden (incident action plan/IAP). Bab 6 membahas tentang tugas dan tanggung jawab setiap orang yang menempati posisi dalam organisasi ICS, mulai dari Incident Commander sampai Unit Leader di setiap fungsi yang ada. Bab 7 membahas tentang fasilitas penanggulangan insiden (incident facilities) yang terdiri atas pos komando penanggulangan insiden (incident command post), staging areas, bases dan fasilitas lainnya. Bab 8 membahas tentang pengelolaan sumberdaya penanggulangan insiden (incident resource management) yang terdiri atas sumberdaya untuk operasi, kategori sumberdaya, dan status sumberdaya Bab 9 membahas tentang penugasan

(12)

ICS (ICS assignment) yang terdiri atas kesiapan sebelum penugasan, prosedur penugasan, dan prosedur demobilisasi. Bab 10 membahas tentang sistem pengelolaan insiden mulai dari fase reaktif sampai pada fase proaktif. Fase reaktif berlangsung saat dilakukan operasi penanggulangan awal sampai operasi penanggulangan insiden sudah dapat dilakukan dengan perencanaan dan eksekusi yang terstruktur dan terukur. Pada bab ini juga diuraikan proses untuk pembuatan rencana tindakan penanggulangan insiden (IAP) sampai IAP tersebut dikumunikasikan dan disampaikan kepada setiap fungsi yang terlibat. Bab 11 membahas tentang prosedur pelaporan keadaan darurat dan prosedur menghadapi keadaan darurat. Prosedur pelaporan keadaan darurat menguraikan tentang laporan yang harus diberikan oleh orang yang pertama melihat kejadian keadaan darurat, apa yang dilakukan oleh operator atau bagian yang menerima laporan keadaan darurat, kepala departemen atau bagian di mana keadaan darurat terjadi, dan tindakan yang harus dilakukan oleh orang yang ditunjuk menjadi incident commander (orang yang diserahi tanggung jawab dalam mengendalikan operasi penanggulangan keadaan darurat. Prosedur penanggulangan keadaan darurat menguraikan tentang prosedur penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bencana alam, tumpahan bahan kima atau minyak, huru-hara atau pemogokan karyawan/massa, dan ancaman bom.

Prosedur penanggulangan keadaan darurat kebakaran mencakup prosedur umum, penanggulangan kebakaran yang terjadi di kantor, di ruang atau fasilitas produksi, kebakaran tanki, kebakaran di laboratorium, dan peledakan. Prosedur penanggulangan keadaan darurat bencana alam mencakup prosedur penanggulangan keadaan darurat gempa bumi, tanah lonsor, banjir, angin topan dan letusan gunung berapi.

(13)

BAB 2

PERSYARATAN PERATURAN PERUNDANGAN DAN STANDAR TERKAIT 2.1 Peraturan Perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Ada beberapa peraturan perundang-undangan keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatur dan memberikan pedoman dalam penanggulangan keadaan darurat di tempat kerja. Peraturan perundang-undangan tersebut di antaranya adalah sebagai berkut:

 Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

 Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 186 tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja

 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 187 tahun 1999, tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya Di Tempat Kerja

Isi peraturan perundangan tersebut di atas yang berhubungan dengan penanggulangan keadaan darurat adalah sebagaimana diuraikan sebagai berikut.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mengatur dan menetapkan syarat-syarat keselamatan kerja yang termasuk dalam hal ini mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran; memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya serta memberikan pertolongan pada kecelakaan.

Peraturan pemerintah no. 50 tahun 2012 tentang penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, pengusaha dalam melaksanakan rencana K3 harus melakukan kegiatan dalam pemenuhan persyaratan K3 yang salah satunya, rencana dan pemulihan keadaan darurat. Pelaksanaan dari kegiatan pemenuhan persyaratan tersebut juga diawasi oleh pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat, propinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai kewenangannya.

Lebih detil pada lampiran 1 peraturan pemerintah no 50 tahun 2012 tersebut dijelaskan pada bagian upaya menghadapi keadaan darurat dan bencana industri,

 Perusahaan harus memiliki prosedur sebagai upaya menghadapi keadaan darurat kecelakaan dan bencana industri yang meliputi penyediaan personil dan fasilitas P3K dengan jumlah yang cukup dan sesuai sampai mendapatkan pertolongan medik, dan proses perawatan lanjutan.

 Prosedur menghadapi keadaan darurat harus diuji secara berkala oleh personil yang memiliki kompetensi kerja, dan untuk instalasi yang memiliki bahaya besar harus berkoordinasi dengan instansi terkait yang berwenang untuk mengetahui kehandalan pada saat kejadian yang sebenarnya.

Juga diatur pada bagian rencana dan pemulihan keadaan darurat bahwa dalam melaksanakan rencana penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat setiap perusahaan harus memiliki rencana penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat secara cepat untuk mengembalikan pada kondisi yang normal dan membantu pemulihan tenaga kerja yang mengalami trauma.

(14)

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 186 tahun 1999, tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja menjelaskan mengenai hal-hal sebagai berikut:

 Pengurus atau Perusahaan wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, latihan penanggulangan kebakaran di tempat kerja.

 Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja meliputi:

− Pengendalian setiap bentuk energi;

− Penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;

− Pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;

− Pembentukan unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja

− Penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;

− Memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.

 Pengendalian setiap bentuk energi, penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi serta pengendalian penyebaran asap, panas dan gas sebagaimana dimaksud dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

 Buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran memuat antara lain:

− Informasi tentang sumber potensi bahaya kebakaran dan cara pencegahannya;

− Jenis, cara pemeliharaan dan penggunaan sarana proteksi kebakaran di tempat kerja;

− Prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;

− Prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;

− Prosedur dalam menghadapi keadaan darurat bahaya kebakaran.

Pembentukan unit penanggulangan kebakaran dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran. Unit penanggulangan kebakaran tersebut terdiri dari:

 Petugas peran kebakaran;

 Regu penanggulangan kebakaran;

 Koordinator unit penanggulangan kebakaran;

 Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 187 tahun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di Tempat Kerja menjelaskan tentang hal-hal sebagai berikut:

 Dokumen pengendalian potensi bahaya besar sekurang-kurangnya memuat rencana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat;

 Petugas K3 Kimia mempunyai kewajiban memberikan petunjuk dalam prosedur penanggulangan keadaan darurat

 Ahli K3 Kimia sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf b mempunyai kewajiban mengusulkan pembuatan prosedur kerja aman dan penanggulangan keadaan darurat kepada pengusaha atau pengurus.

(15)

2.2 Peraturan Perundangan Lingkungan Hidup

Meskipun dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan tidak secara jelas diatur mengenai penanggulangan keadaan darurat terkait dengan pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi pada beberapa Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Undang-undang tersebut diatur tentang penanggulangan keadaan darurat yang berkaitan dengan:

 Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (PP No. 101 Tahun 2014)

 Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (PP No. 74 Tahun 2001)

 Pengendalian pencemaran udara (PP No. 41 Tahun 1999)

 Pengendalian pencemaran dan kerusakan laut (PP No. Tahun 1999

Berikut ini adalah kutipan dari isi peraturan pemerintah tersebut yang berkenaan dengan penanggulangan keadaan darurat.

Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun memberikan definisi Sistem Tanggap Darurat adalah sistem pengendalian keadaan darurat yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan kecelakaan serta pemulihan kualitas lingkungan hidup akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan Limbah B3.

Peraturan pemerintah ini mengatur lebih detil mengenai sistem tanggap darurat dalam pengelolaan limbah B3 sebagai berikut.

 Tempat penyimpanan limbah B3 harus memiliki peralatan penanggulangan keadaan darurat paling sedikit alat pemadam api dan alat penanggulangan keadaan darurat lain yang sesuai.

 Dokumen pengangkutan limbah B3 memuat prosedur penanganan limbah B3 pada kondisi darurat

 Fasilitas penimbunan limbah B3 harus memiliki peralatan dan perlengkapan untuk mengatasi keadaan darurat.

 Permohonan izin dumping (pembuangan) limbah B3 dilengkapi dengan rencana penanggulangan keadaan darurat yang paling sedikit harus memuat

− Organisasi;

− Identifikasi, pengaktifan, dan pelaporan;

− Prosedur penanggulangan; dan

− Jenis dan spesifikasi peralatan.

Sementara itu untuk ketentuan yang lebih lengkap dalam peraturan pemerintah ini mengenai sistem tanggap darurat dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sebagai berikut.

 Umum

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib memiliki Sistem Tanggap Darurat.

− Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3 terdiri atas:

 Penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3;

 Pelatihan dan geladi kedaruratan Pengelolaan Limbah B3; dan

 Penanggulangan kedaruratan Pengelolaan Limbah B3.

− Kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 meliputi:

(16)

 Keadaan darurat pada kegiatan Pengelolaan Limbah B3;

 Keadaan darurat Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota;

 Keadaan darurat Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi; dan

 Keadaan darurat Pengelolaan Limbah B3 skala nasional.

 Penyusunan Program Kedaruratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 sesuai dengan kegiatan yang dilakukannya.

− Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut Kepala BPBD kabupaten/kota menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.

− Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah provinsi yang selanjutnya disebut Kepala BPBD provinsi menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi.

− Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional yang selanjutnya disebut Kepala BNPB menyusun program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional.

− Dalam penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota, Kepala BPBD kabupaten/kota berkoordinasi dengan:

 Setiap Orang;

 Menteri;

 Gubernur;

 Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; dan

 Instansi terkait lainnya di kabupaten/kota.

− Dalam penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi, Kepala BPBD provinsi berkoordinasi dengan:

 Setiap Orang;

 Menteri;

 Instansi lingkungan hidup provinsi; dan

 Instansi terkait lainnya di provinsi.

− Dalam penyusunan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional, Kepala BNPB berkoordinasi dengan:

 Setiap Orang;

 Menteri; dan

 Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota merupakan bagian dari program penanggulangan bencana kabupaten/kota.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi merupakan bagian dari program penanggulangan bencana provinsi.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional merupakan bagian dari program penanggulangan bencana nasional.

− Program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 paling sedikit meliputi:

 Infrastruktur; dan

 Fungsi penanggulangan.

(17)

− Infrastruktur paling sedikit meliputi:

 Organisasi;

 Koordinasi;

 Fasilitas dan peralatan termasuk peralatan peringatan dini dan alarm;

 Prosedur penanggulangan; dan

 Pelatihan dan geladi keadaan darurat.

− Fungsi penanggulangan paling sedikit meliputi:

 Identifikasi, pelaporan, dan pengaktifan;

 Tindakan mitigasi;

 Tindakan perlindungan segera;

 Tindakan perlindungan untuk petugas penanggulangan keadaan darurat, pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup; dan

 Pemberian informasi dan instruksi pada masyarakat.

− Ketentuan lebih lanjut mengenai format program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 diatur dalam Peraturan Menteri.

 Pelatihan dan Geladi Kedaruratan

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 wajib dilaksanakan oleh Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 sesuai dengan kegiatan Pengelolaan Limbah B3 yang dilakukannya.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 wajib menyelenggarakan pelatihan dan geladi kedaruratan untuk kegiatan yang dilakukannya paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk memastikan Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 dapat dilaksanakan.

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Kepala BPBD kabupaten/kota dan dilaksanakan bersama dengan:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; dan

 Instansi terkait lainnya di kabupaten/kota,

berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.

− Kepala BPBD kabupaten/kota mengkoordinasikan pelatihan dan geladi kedaruratan secara terpadu sesuai dengan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 tingkat kabupaten/kota.

− Pelatihan dan geladi kedaruratan wajib diikuti oleh:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

(18)

 Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota; dan

 Instansi terkait lainnya di kabupaten/kota.

 Pelatihan dan geladi kedaruratan diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun.

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi dikoordinasikan oleh Kepala BPBD provinsi dan dilaksanakan bersama dengan:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Instansi lingkungan hidup provinsi; dan

 Instansi terkait lainnya di provinsi,

berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi.

− Kepala BPBD provinsi mengordinasikan pelatihan dan geladi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 secara terpadu sesuai dengan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala provinsi.

− Pelatihan dan geladi keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diikuti oleh:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Instansi lingkungan hidup provinsi; dan

 Instansi terkait lainnya di provinsi.

− Pelatihan dan geladi kedaruratan diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.

− Sistem Tanggap Darurat Pengelolaan Limbah B3 skala nasional dikoordinasikan oleh Kepala BNPB dan dilaksanakan bersama dengan:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Menteri; dan

 Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, berdasarkan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3.

− Kepala BNPB mengoordinasikan pelatihan dan geladi kedaruratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 secara terpadu sesuai dengan program kedaruratan Pengelolaan Limbah B3 skala nasional.

− Pelatihan dan geladi keadaan darurat wajib diikuti oleh:

 Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3;

 Menteri; dan

 Kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.

− Pelatihan dan geladi kedaruratan diselenggarakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 4 (empat) tahun.

 Penanggulangan Kedaruratan dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

(19)

− Penanggulangan kedaruratan dalam Pengelolaan Limbah B3 paling sedikit meliputi kegiatan:

 Identifikasi keadaan darurat dalam Pengelolaan Limbah B3;

 Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan

 Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup.

− Dalam melaksanakan penanggulangan kedaruratan Pengelolaan Limbah B3, Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib mengutamakan keselamatan jiwa manusia.

− Penanggulangan dilaksanakan sesuai dengan program kedaruratan Limbah B3.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 berdasarkan program kedaruratan sesuai dengan kegiatan Pengelolaan Limbah B3 yang dilakukannya wajib melaksanakan kegiatan penanggulangan kedaruratan jika terjadi keadaan darurat dalam Pengelolaan Limbah B3 yang dilakukannya.

− Pelaksanaan kegiatan penanggulangan kedaruratan wajib dilaporkan secara tertulis dan berkala setiap hari kepada menteri, gubernur, dan bupati/walikota.

− Kepala BPBD kabupaten/kota menginisiasi dan memimpin pelaksanaan penanggulangan kedaruratan jika terjadi kedaruratan skala kabupaten/kota.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan kedaruratan.

− Kepala BPPD provinsi menginisiasi dan memimpin pelaksanaan penanggulangan keadaan darurat jika terjadi kedaruratan skala provinsi.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan kedaruratan.

− Kepala BNPB menginisiasi dan memimpin pelaksanaan penanggulangan kedaruratan jika terjadi keadaan darurat skala nasional.

− Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3 wajib ikut serta melaksanakan penanggulangan keadaan darurat.

Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mengenai Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat mengatur mengenai hal- hal sebagai berikut:

 Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menanggulangi terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3.

 Dalam hal terjadi kecelakaan dan atau keadaan darurat yang diakibatkan B3, maka setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mengambil langkah- langkah :

− Mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan;

(20)

− Menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur tetap penanggulangan kecelakaan;

− Melaporkan kecelakaan dan atau keadaan darurat kepada aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat; dan

− Memberikan informasi, bantuan, dan melakukan evakuasi terhadap masyarakat di sekitar lokasi kejadian.

 Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, setelah menerima laporan tentang terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3, wajib segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan.

 Kewajiban tersebut, tidak menghilangkan kewajiban setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 untuk :

− Mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat; dan atau

− Memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar; yang diakibatkan oleh B3.

Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air berkenaan Penanggulangan Darurat mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut:

 Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya.

 Dalam hal terjadi keadaan darurat, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menjelaskan tentang cakupan pengendalian pencemaran udara yang meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Pada bagian tentang Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara mengatur mengenai hal-hal berikut:

 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.

 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknikal penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara.

 Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya, maka :

− Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional;

− Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.

 Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media elektronik

 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara

(21)

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran atau kerusakan laut tentang pemulihan mutu laut dan tentang keadaan darurat.

 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.

 Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

 Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila :

− Pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut.

− Pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf a disebabkan oleh adanya kerusakan pada peralatannya dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

 Dalam keadaan darurat, pemilik dan/atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab.

 Pemberitahuan wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.

 Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau kerusakan laut dan wajib melaporkan kepada Menteri.

 Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

2.3 Peraturan Presiden No. 1 tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disingkat BNPB adalah lembaga pemerintah non kementerian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang penanggulangan bencana. Kepala BNPB, yang selanjutnya disebut Kepala adalah pimpinan BNPB yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan fungsi BNPB.

Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi

 BNPB berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

 BNPB dipimpin oleh seorang Kepala.

BNPB mempunyai tugas:

 Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan keadaan darurat bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;

 Menetapkan menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan;

 Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat;

(22)

 Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;

 Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional;

 Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

 Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, BNPB menyelenggarakan fungsi:

 Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan

 Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Apabila terjadi bencana nasional, BNPB melaksanakan fungsi komando dalam penanganan status keadaan darurat bencana dan keadaan tertentu.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BNPB dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.

Susunan Organisasi BNPB BNPB terdiri atas:

 Kepala;

 Unsur Pengarah; dan

 Unsur pelaksana.

Kepala

Kepala mempunyai tugas memimpin BNPB dalam menjalankan tugas dan fungsi BNPB.

Unsur Pengarah

Kedudukan, Tugas, dan Fungsi

 Unsur pengarah berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala.

 Unsur pengarah mempunyai tugas memberikan masukan dan saran kepada Kepala dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Unsur pengarah menyelenggarakan fungsi:

 Perumusan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional;

 Pemantauan; dan

 Evaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Keanggotaan

(23)

Unsur Pengarah terdiri atas Ketua yang dijabat oleh Kepala dan 20 (dua puluh) Anggota.

Anggota unsur pengarah terdiri atas:

 11 (sebelas) pejabat eselon I.a dan eselon I.b atau setara pejabat pimpinan tinggi madya, yang diusulkan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah; dan

 9 (sembilan) Anggota masyarakat profesional.

Pejabat Pemerintah mewakili:

 Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan;

 Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;

 Kementerian Dalam Negeri;

 Kementerian Keuangan;

 Kementerian Kesehatan;

 Kementerian Sosial;

 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;

 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;

 Kementerian Perhubungan;

 Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

 Tentara Nasional Indonesia.

Unsur Pengarah yang berasal dari masyarakat profesional berasal dari para pakar/profesional dan/ atau tokoh masyarakat.

Unsur Pelaksana

Kedudukan, Tugas, dan Fungsi

 Unsur pelaksana berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala.

 Unsur pelaksana mempunyai tugas melaksanakan penanggulangan bencana secara terintegrasi yang meliputi prabencana, saat keadaan darurat bencana, dan pascabencana.

Tugas Unsur Pelaksana meliputi:

 Penyusunan kebijakan di bidang penanggulangan bencana;

 Pelaksanaan kebijakan di bidang penanggulangan bencana;

 Penyusunan, perumusan, dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penanggulangan bencana; pemberian

 Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang penanggulangan bencana;

 Pengoordinasian instansi pemerintah terkait, pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga usaha serta lembaga internasional dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan teknis di bidang penanggulangan bencana;

 Koordinasi pelaksanaan fungsi, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BNPB;

 Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab BNPB;

 Pengawasan atas pelaksanaan fungsi di lingkungan BNPB; dan

 Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan

(24)

Dalam menyelenggarakan tugas, unsur pelaksana mempunyai fungsi:

 Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana;

 Komando penyelenggaraan penanggulangan bencana; dan

 Pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dilaksanakan pada tahap prabencana dan pasca bencana.

Fungsi koordinasi unsur pelaksana dilaksanakan melalui koordinasi dengan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, masyarakat, lembaga usaha, lembaga internasional dan/atau pihak lain yang dipandang perlu.

Fungsi komando unsur pelaksana dilaksanakan melalui pengerahan sumber daya manusia, logistik dan peralatan dari instansi terkait, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia serta langkah lain yang diperlukan dalam rangka penanganan darurat bencana.

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Fungsi pelaksanaan pada unsur pelaksana dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia dengan memperhatikan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Susunan Organisasi

Susunan organisasi unsur pelaksana terdiri atas

 Sekretariat Utama;

 Deputi Bidang Sistem dan Strategi;

 Deputi Bidang Pencegahan;

 Deputi Bidang Penanganan Darurat;

 Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi;

 Deputi Bidang Logistik dan Peralatan; dan

 Inspektorat Utama.

Sekretariat Utama

Sekretariat Utama berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala dan dipimpin oleh Sekretaris Utama. Sekretariat Utama mempunyai tugas pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BNPB. Dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat Utama menyelenggarakan fungsi:

 Koordinasi kegiatan BNPB;

 Koordinasi dan penyusunan rencana, program dan anggaran BNPB;

 Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, persandian, kerumahtanggaan, kerja sama, hubungan masyarakat, arsip, dan dokumentasi BNPB;

 Pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana;

(25)

 Koordinasi dan penyusunan peraturan perundangundangan serta pelaksanaan advokasi hukum;

 Penyelenggaraan pengelolaan barang milik/kekayaan negara; dan

 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Sekretariat Utama terdiri atas paling banyak 4 (empat) biro. Biro sebagaimana dimaksud terdiri atas paling banyak 4 (empat) bagian dan/atau kelompok jabatan fungsional, dan masing-masing bagian terdiri atas 2 (dua) subbagian dan/atau kelompok jabatan fungsional. Dikecualikan dari ketentuan, bagian yang menangani ketatausahaan pimpinan terdiri atas sejumlah subbagian sesuai kebutuhan. Bagian yang menangani ketatausahaan pimpinan memberikan dukungan administrasi kepada deputi.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi

Deputi Bidang Sistem dan Strategi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala dan dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Sistem dan Strategi mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang sistem dan strategi penanggulangan bencana. Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Sistem dan Strategi menyelenggarakan fungsi:

 Penyusunan kebijakan teknis di bidang sistem dan strategi;

 Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang sistem dan strategi;

 Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dalam perencanaan penanggulangan bencana;

 Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang sistem dan strategi;

 Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang sistem dan strategi;

 Pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang sistem dan strategi; dan

 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Deputi Bidang Sistem dan Strategi terdiri atas paling banyak 4 (empat) direktorat.

Direktorat terdiri atas paling banyak 3 (tiga) subdirektorat dan/atau kelompok jabatan fungsional, dan masing-masing subdirektorat terdiri atas 2 (dua) seksi dan/atau kelompok jabatan fungsional.

Deputi Bidang Pencegahan

Deputi Bidang Pencegahan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala dan dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan perumusan kebijakan di bidang pencegahan. Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi :

 Penyusunan kebijakan teknis di bidang pencegahan;

 Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pencegahan;

 Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pencegahan;

 Pemantauan, evaluasi dan pelaporan atas pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan; dan

 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Deputi Bidang Pencegahan terdiri atas paling banyak 4 (empat) direktorat. Direktorat sebagaimana dimaksud terdiri atas paling banyak 3 (tiga) subdirektorat dan/atau

(26)

kelompok jabatan fungsional, dan masing-masing subdirektorat terdiri atas 2 (dua) seksi dan/atau kelompok jabatan fungsional.

Deputi Bidang Penanganan Darurat

Deputi Bidang Penanganan Darurat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala dan dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Penanganan Darurat mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penanganan keadaaan darurat, meliputi penyelenggaraan siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat ke pemulihan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Deputi Bidang Penanganan Darurat menyelenggarakan fungsi :

 Penyusunan kebijakan teknis di bidang penyelenggaraan penanganan darurat;

 Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang penyelen ggar aar. penanganan darurat;

 Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyelenggaraan penanganan darurat;

 Pemantallan, evaluasi dan pelaporan atas pelaksanaan kebijakan di bidang penyelenggaraan penanganan darurat; dan

 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Deputi Bidang Penanganan Darurat terdiri atas paling banyak 4 (empat) direktorat.

Direktorat sebagaimana dimaksud terdiri atas paling banyak 3 (tiga) subdirektorat dan/atau kelompok jabatan fungsional, dan masing-masing subdirektorat terdiri atas 2 (dua) seksi dan/atau kelompok jabatan fungsional.

Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala dan dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi mempunyai tugas menyelenggarakan perurmusan dan pelaksanaan kebijakan teknis di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi menyelenggarakan fungsi:

 Penyusunan kebijakan teknis di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi;

 Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi;

 Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi;

 Pemantauan, evaluasi dan pelaporan atas pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi; dan

 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi terdiri atas paling banyak 4 (empat) direktorat.

Direktorat sebagaimana dimaksud terdiri atas paling banyak 3 (tiga) subdirektorat dan/atau kelompok jabatan fungsional, dan masing-masing subdirektorat terdiri atas 2 (dua) seksi dan/atau kelompok jabatan fungsional.

Deputi Bidang Logistik dan Peralatan

Deputi Bidang Logistik dan Peralatan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala dan dipimpin oleh Deputi. Deputi Bidang Logistik dan Peralatan

(27)

mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang logistik dan peralatan penanggulangan bencana. Dalam melaksanakan tugas, Deputi Bidang Logistik dan Peralatan menyelenggarakan fungsi:

 Penyusunan kebijakan teknis di bidang logistik dan peralatan;

 Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang logistik dan peralatan;

 Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang logistik dan peralatan;

 pemantauan, evaluasi, dan pelaporan atas pelaksanaan kebdakan di bidang logistik dan peralatan; dan

 pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Deputi Bidang Logistik dan Peralatan terdiri atas paling banyak 4 (empat) direktorat.

Direktorat terdiri atas paling banyak 3 (tiga) subdirektorat dan/atau kelompok jabatan fungsional, dan masing-masing subdirektorat terdiri atas 2 (dua) seksi dan/atau kelompok jabatan fungsional.

Inspektorat Utama

Inspektorat Utama berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala dan dipimpin oleh Inspektur Utama. Inspektorat Utama mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan internal di lingkungan BNPB. Dalam melaksanakan tugas, Inspektorat Utama menyelenggarakan fungsi:

 Penyusunan kebijakan teknis pengawasan internal di lingkungan BNPB;

 Pelaksanaan pengawasan internal di lingkungan BNPB terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, dan pemantauan;

 Pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan Kepala;

 Penyusunan laporan hasil pengawasan;

 Pelaksanaan administrasi Inspektorat Utama; dan

 Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala.

Inspektorat Utama paling banyak terdiri atas 3 (tiga) inspektorat. Inspektorat Utama dilengkapi 1 (satu) bagian yang menangani ketatausahaan. Masing-masing Inspektorat terdiri atas 1 (satu) subbagian yang menangani ketatausahaan, dan kelompok jabatan fungsional auditor. Bagian yang menangani ketatausahaan terdiri atas 2 (dua) subbagian.

Pusat

Pusat dapat dibentuk di lingkungan unsur pelaksana paling banyak 3 (tiga) Pusat sebagai unsur pendukung pelaksanaan tugas dan fungsi unsur pelaksana. Pusat dipimpin oleh Kepala Pusat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala melalui Sekretaris Utama. Pusat mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BNPB untuk mendukung pencapaian tujuan dan sasaran strategis BNPB.

 Pusat terdiri atas paling banyak 3 (tiga) bidang, 1 (satu) subbidang yang menangani ketatausahaan dan/atau kelompok jabatan fungsional.

 Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas paling banyak 2 (dua) subbidang dan/ atau kelompok jabatan fungsional.

(28)

Unit Pelaksana Teknis

 Untuk melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang tertentu dapat dibentuk unit pelaksana teknis.

 Unit pelaksana teknis dipimpin oleh kepala unit pelaksana teknis.

Pembentukan unit pelaksana teknis oleh Kepala setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.

Kelompok Jabatan Fungsional

Jabatan fungsional dapat ditetapkan di lingkungan BNPB sesuai dengan kebutuhan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Tata Kerja

Kepala mengendalikan pelaksanaan tugas dan fungsi unsur pengarah dan unsur pelaksana. Semua unsur di lingkungan BNPB dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, baik di lingkungan BNPB sendiri maupun dalam hubungan antar instansi pemerintah baik pusat maupun daerah di luar BNPB. Setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan unsur pelaksana wajib melaksanakan sistem pengendalian intern di lingkungan masing-masing yang memungkinkan terlaksananya mekanisme uji silang. Setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan unsur pelaksana bertanggung jawab memimpin dan mengoordinasikan bawahan masing-masing dan memberikan pengarahan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan. Setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan unsur pelaksana wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk dan bertanggLrng jawab pada atasan masingmasing serta menyampaikan laporan secara berkala tepat pada waktunya. Dalam melaksanakan tugas, setiap pimpinan satuan organisasi di lingkungan unsur pelaksana wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap satuan organisasi di bawahnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja BNPB diatur dengan Peraturan BNPB.

Untuk melaksanakan tugas penanggulangan bencana di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya disebut BPBD yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pembentukan BPBD dilaksanakan melalui koordinasi dengan BNPB. BNPB mengadakan rapat koordinasi dengan BPBD, paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. Rincian lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata keda BNPB ditetapkan oleh Kepala setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

2.4 Peraturan Pemerintah tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan Peraturan perundangan lainnya yang juga mengatur mengenai tanggap darurat adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Dalam bab mengenai keamanan dan keselamatan bandar udara, bagian penanggulangan gawat darurat diatur hal sebagai berikut:

(29)

 Penyelenggara bandar udara wajib memiliki kemampuan dalam melaksanakan penanggulangan gawat darurat di bandar udara.

 Penanggulangan gawat darurat sebagaimana dimaksud dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi terkait di luar dan di dalam bandar udara.

 Penyelenggara bandar udara wajib melaksanakan latihan penanggulangan gawat darurat.

 Pelaksanaan penanggulangan gawat darurat dan pelaksanaan latihan penanggulangan gawat darurat, dilaporkan kepada Menteri.

 Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gawat darurat dan latihan penanggulangan gawat darurat serta pelaporan sebagaimana dimaksud diatur dengan Keputusan Menteri.

Pada bagian keenam, pelayanan pergerakan pesawat udara di bandar udara, diatur hal sebagai berikut:

 Untuk keamanan dan keselamatan penerbangan, penyelenggara bandar udara dalam keadaan tertentu dapat menutup untuk sementara sebagian atau keseluruhan landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara.

 Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud, dapat berupa :

Bencana alam;

Huru hara;

Kecelakaan pesawat udara di landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara;

Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan perawatan landasan pacu, jalan penghubung atau pelataran parkir pesawat udara; dan

Keadaan tertentu lainnya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.

 Penyelenggara bandar udara wajib memberitahukan kepada Kapten Penerbang, operator dan bandar udara lainnya mengenai penutupan landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara.

 Pemberitahuan sebagaimana dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri.

 Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan landasan pacu, penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara, serta pemberitahuan dan pelaporan sebagaimana dimaksud, diatur dengan Keputusan Menteri.

Pada peraturan pemerintah ini juga diatur mengenai penyedian tempat terisolasi untuk pesawat udara yang mengalami gangguan atau ancaman keamana sebagai berikut:

 Penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau menunjuk bagian dari wilayah bandar udara sebagai tempat terisolasi untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan atau ancaman keamanan.

 Penyediaan atau penunjukan tempat terisolasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan:

Keselamatan penumpang, awak pesawat udara, petugas di bandar udara, masyarakat pengguna jasa angkutan udara lainnya dan masyarakat di sekitar bandar udara;

Keselamatan pesawat udara; dan

Referensi

Dokumen terkait

a) Dengan kajian teoritis materi mikrokontroler dapat diaplikasikan pada rancang bangun sistem trainer mikrokontroler dengan memiliki fitur-fitur : fleksibilitas dalam

Untuk sistem atau campuran yang sama, nilai koefisien difusi cairan merupakan fungsi konsentrasi.. BEBERAPA KEADAAN KHUSUS DIFUSI MOLEKULER ANTARA

Apabila tanpa diketahui sebelumnya telah terjadi kebakaran pada gedung, fasilitas, peralatan atau kendaraan tertentu di dalam kawasan bandar udara, dan secara

Pencegahan Kesiapsiagaan Penyusunan Program Kedaruratan PLB3 Pelatihan dan Geladi Kedaruratan PLB3 Penanggulangan Keadaan Darurat PLB3 Identifikasi Keadaan Darurat

Jika anda diberi tugas untuk membentuk mikrostruktur seperti yang ditunjukkan dalam Gambarajah S2[b] atas substrat silicon mengunakan proses punaran basah.. Terangkan

Riset ini menggunakan proses R&D yang berfokus pada model pengembangan Waterfall dan produk yang dihasilkan berupa bentuk data inventaris barang berbasis web

Dari Gambar 4 tersebut terlihat bahwa ukuran panjang 22,5 mm ikan teri nasi sudah mulai tertangkap oleh alat tangkap bagan rambo dan semakin banyak yang

dari sistem yang dibangun misalnya perancangan arsitektur survei kepuasan pengunjung berbasis web. Perancangan database yaitu merancang tabel-tabel pada database yang